ALWAYS THINK ABOUT YOU

By AiYueLinglung

7.9K 296 6

More

ALWAYS THINK ABOUT YOU

7.9K 296 6
By AiYueLinglung

            Sore itu, di balkon lantai dua tepatnya di depan kelas X1, seorang gadis berparas biasa saja, denga rambut panjang yang lurus tergerai, sedang memandangi lapangan basket.

Di lapangan basket, terlihat para anggota tim basket yang sedang berlatih. Di pinggir lapangan, para cheerleaders meneriakkan kata-kata dukungannya. Suatu keberuntungan karena semua anggota tim basket SMA Perdamaian adalah kumpulan cowok-cowok ganteng. Akan tetapi, mata gadis itu hanya terpaku pada satu orang.

            Misha, nama gadis itu, sedang memandangi cowok dengan nomor punggung 1. Cowok dengan nomor punggung 1 itu selalu menyita perhatian Misha. Cowok yang disukai Misha sejak sebelum ia diterima di sekolah ini. Bahkan jauh sebelum itu, sebelum Misha tau apa nama perasaan yang mulai tumbuh itu, ia sudah selalu memikirkan cowok itu. Cowok itu bernama Ega. Cowok pemilik senyum termanis yang sanggup meluluhkan tembaga bak panas lava cair itu, sekaligus cowok tercool di sekolah. Pasti bertanya-tanya kenapa seorang cowok cool bisa memiliki senyum memesona kan? Tapi faktanya Ega memang memiliki pribadi yang komplek. Cowok itu baik, tapi tetap menjaga jarak. Dan Misha jatuh cinta pada Ega sejak pandangan pertama.

            Ega adalah cinta pertama Misha sejak 10 tahun yang lalu. Dulu sekali, Misha pernah tersesat saat pergi jalan-jalan ke kebun binatang bersama orang tuanya. Misha kecil yang ketakutan menangis di sebuah kursi kecil yang tersebar di pinggiran kebun binatang. Pada saat bersamaan, sebuah bola baskte menggelinding ke kaki Misha. Membuat tangis Misha terhenti.

            “Maaf, bisa ambilkan bolaku?”kata seorang anak cowok yang usianya mungkin beda setahun atau dua tahun dengan Misha. Cowok itu berlari-lari kecil ke arah Misha.

            Bukannya mengambilkan bola itu, Misha malah kembali menangis. Anak cowok itu kebingungan karena tiba-tiba saja cewek di depannya menangis. Setelah garuk-garuk kepala bingung, anak cowok itu menghapus air mata Misha.

            “Jangan nangis. Kamu kepisah dari orangtua kamu ya? Ayo, Ega antar mencari mereka,”kata anak cowok bernama Ega itu.

            Setelah itu, bersama-sama mereka mencari orangtua Misha. Setelah orang tua Misha ketemu, Ega pun pamit karena ia juga datang dengan kedua orangtuanya. Tapi, sebelum pergi, Ega memberikan bola basket kesayangannya untuk Misha.

            “Nih, bola kesayangan Ega buat kamu aja! Jangan nangis lagi ya!”kata Ega.

            “Ayo, Icha, bilang makasih sama Kak Ega,”kata Mama Misha.

            Misha dengan malu-malu mengucapkan terima kasih. “Makasih, Kak Ega...”kata Misha, lalu mencium pipi Ega sebagai tanda terima kasih. Sebagai balasannya Ega tersenyum dan melambai sembari berlari pergi. Sejak itulah Misha tak pernah bisa melupakan Ega. Walau saat itu ia masih kecil, sekitar 6 tahun lebih, tapi ingatannya mengenai Ega begitu kuat. Dan setelah 10 tahun berlalu, takdir mempertemukan Misha kembali dengan Ega. Tapi Misha terlalu pengecut untuk menemui Ega, bahkan hanya sekadar menyapanya. Misha lebih memilih mengamati Ega diam-diam. Kalau dengan itu ia bisa terus melihat Ega, Misha takkan keberatan. Asal bisa berada di dekat Ega, melakukan apapun Misha rela. Bahkan kalaupun itu artinya menjadi seorang pengangum rahasia.

***

            Tanpa Misha sadari, latihan basket telah berakhir. Anak-anak basket mulai membubarkan diri. Dan para cheers pun berlomba-lomba mendekati pujaan hati masing-masing, entah dengan memberikan handuk atau menyodorkan minuman. Tentu saja Ega yang paling laris. Terlihat seorang gadis berparas nan rupawan dengan tubuh tinggi semampai mendekati Ega. Misha tau nama gadis itu. Tania. Salah satu primadona sekolah yang sedang gencar-gencarnya mengincar Ega.

            Tania menghampiri Ega dengan gaya centilnya dan menawarkan handuk, tapi sayangnya Ega menampik kebaikan itu dengan menunjukkan handuk kecil yang memang selalu ia bawa tiap latihan. Misha tersenyum geli, dia sudah sering melihat episode itu. Apa Tania tidak punya ide kreatif ya? Jelas-jelas Ega selalu menolak handuk darinya, lain kali coba tawarkan minuman kek! Dan Misha mengangguk lega saat melihat Tania pergi dengan kaki menghentak tanah.

            Karena terlalu asik melihat Ega, Misha terlambat menyadari kalau gelangnya tak sengaja tersangkut di pagar balkon dan putus. Ia hanya tau gelangnya tak melingkari tangannya lagi. Misha langsung kelimpungan. Ia mencari-cari gelangnya. Bagaimana pun gelang itu sudah seperti jimat baginya, karena saat memakai gelang itu, keberuntungan selalu mendatanginya.

Misha buru-buru mengambil tasnya di kelas dan turun ke lantai satu. Misha hendak mencari gelangnya di sesemakan di bawah balkon kelasnya. Tapi, saat hendak menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir, Misha melihat Ega bersama dua teman baiknya, Pascal dan Lexi tengah berjalan tepat di bawah balkon kelas Misha.

            Karena grogi dan malu, Misha melupakan gelangnya dan malah berlari kabur ke arah yang berlawanan. Mencari gelangnya besok aja deh!

            “Gila ya, Si Tania, maju terus pantang mundur,”komentar Pascal, cowok berperawakan tinggi dan atletis itu.

            “Itu namanya nyusahin, Cal!”sahut Ega jengkel.

            “Udahlah, kenapa nggak diterima aja sih, Ga?”sahut Lexi, cowok dengan tubuh tinggi semampai bak model Korea itu.

            Diantara ketiga cowok itu, Lexi adalah yang paling tinggi, dengan tinggi badan mencapai 185cm itu, banyak agen model yang ingin merekrutnya. Tapi semuanya ditanggapi dengan lambaian penolakan oleh Lexi.

            “Nggak bisa, aku nggak cinta sama dia,”sahut Ega lugas.

            “Ega sih, nggak pernah naksir cewek, Lex!”sungut Pascal.

            Ega tidak memperdulikan sungutan Pascal karena matanya menangkap sesuatu yang berkilauan ditimpa cahaya matahari senja di dekat rerumputan semak mawar. Ega memeriksa apa itu dan menemukan sebuah gelang.

            “Apaan tuh?”tanya Lexi.

            “Gelang? Punya siapa?”timpal Pascal ikut mengamati.

            Ega mengangkat bahu.

            “Mungkin punya cewek yang tadi!”cetus Lexi. “Itu tuh, cewek yang rambutnya panjang yang selalu nongkrong diatas balkon sana tiap jam pulang sekolah,”kata Lexi lagi.

            “Yang kelihatan suka bengong itu?”tanya Pascal.

            Lexi mengangguk-angguk dengan bersemangat. Ega sendiri tidak berkomentar dan hanya memperhatikan gelang di telapak tangannya. Di perhatikannya gelang itu baik-baik. Gelang perak tipis dengan gantungan daun semanggi berkelopak empat dalam diameter kecil di sepanjang rantai gelangnya.

            “Siapapun yang punya,”kata Ega. “mungkin dia akan mencari gelang ini lagi,”lanjutnya. Kemudian ia memasukkan gelang itu ke dalam salah satu saku di tasnya.

            Pascal yang melihat hal itu menaikkan sebelah alisnya dan tidak berkomentar apa-apa. Ega membalas tatapan Pascal dengan tatapan penuh tanya, seolah bertanya ‘apa ada yang salah?’ pada Pascal. Maka Pascal pun menggelengkan kepalanya. Kemudian, ketiganya pun menuju parkiran sekolah untuk mengambil kendaraan mereka masing-masing, lalu pulang ke rumah masing-masing.

***

            “Huuaaaa... Huaaa.... hhuuuu...”tangis Misha di dalam kamarnya. Dipeluknya erat-erat boneka panda ekstra besarnya sementara ia terus saja menangis keras. Ia berkeluh kesah tiada akhir sejak ia pulang dari sekolah.

            “Hiks... gelangku hilang... aku kabur saat lihat Kak Ega... hilang deh kesempatan emasku... huuhuuu....”

            “Icha, turun! Makan malam udah siap nih!”teriak Renald, kakak tertua Misha.

            Dengan kesal Misha menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangannya. Ia bangkit dari tempat tidur, keluar dari kamarnya dan berseru kesal.

            “Jangan panggil aku dengan ‘Icha’ lagi! Aku kan udah gede!!”protes Misha sesampainya di ruang makan.

            “Gede apanya? Masih pendek gitu ngaku udah gede!”

            Misha langsung tersinggung dengan kata-kata Renald. Masalahnya, Misha tidak puas dengan tingginya yang cuma 155cm itu. Jadi ia paling benci jika masalah itu di ungkit-ungkit.

            “Udah, Cha, cuekin aja! Dia lagi sensi karena dimusuhin tanpa sebab sama cewek yang ditaksirnya!”sahut Ardi, kakak kedua Misha, dengan cuek.

            Kali ini giliran Renald yang protes. Ia nggak terima jika disebut sensi cuma karena masalah cinta. Meski begitu, dengan cueknya Ardi melanjutkan makan malamnya. Misha pun turut mengabaikan Renald, ia mengambil nasi dengan tampang cemberut.

            Renald yang masih belum ‘ngeh’ dengan suasana hati Misha yang buruk, dengan bodohnya menanyakan kenapa adiknya itu menangis. Sementara Ardi langsung melemparkan tatapan ‘kamu-memang-kakak-yang-paling-nggak-peka’ pada Renald.

            “Kakak diam deh! Daritadi berisik melulu!!”seru Misha kesal.

            Renald yang baru kali itu di damprat oleh Misha, langsung cemberut. Alhasil, Renald langsung menyuapkan nasi ke mulutnya banyak-banyak dan mengunyah dalam diam. Dia mau ngambek, tapi sayang nggak satupun dari kedua adiknya yang mengacuhkannya. Membuat Renald makin manyun.

            Esok paginya, Misha pergi ke sekolah dengan lunglai. Dia sama sekali nggak punya semangat. Langkahnya gontai dan dia menunduk terus. Kehilangan gelang semanggi kesayangannya sama dengan kehilangan keberuntungannya juga.

            “Pagi, Sha!”sapa Rere, teman sekelas Misha di X1.

            Misha cuma menjawab dengan gumaman malas dari bibir pink alaminya. Rere yang heran pun tambah heran saat melihat Misha keluar dari kelas setelah menaruh tasnya saja, padahal ini masih tergolong pagi. Misha mau kemana coba? Sekolah aja masih cukup sepi!

            “Mau kemana, Sha?”tanya Rere sebelum Misha keluar kelas.

            “Mau cari gelang,”sahut Misha murung dan melangkah pergi.

            Rere mengangguk-angguk dan membiarkan Misha pergi tanpa banyak tanya lagi.

            Misha menuruni tangga ke lantai dasar. Ia menuju semak mawar di bawah balkon kelasnya. Misha mulai menyibak-nyibakkan tangkai-tangkai mawar dengan hati-hati agar tidak terkena durinya. Misha menghela napas berat saat tak menemukan gelangnya. Apa mungkin ada yang memungutnya? Misha lalu duduk di atas kursi beton panjang yang sengaja di letakkan di dekat sana.

            “Jatuh dimana sih...”gumam Misha, menendang-nendang debu dengan ujung sepatunya.

            Tiba-tiba saja, Misha merasakan kalau dirinya nggak sendirian. Misha merasa ada seseorang yang menghampirinya. Spontan ia mendongak dan nyaris kehabisan napas. Ia menarik napas tajam. Misha yakin dirinya pasti mimpi. Kembali Misha menunduk. Astaga, kenapa ia berhalusinasi kalau Ega mendatanginya? Kenapa di saat seperti ini??

            “Kamu Misha, anak X1 kan?”

            Nah, sekarang Misha malah membayangkan suara Ega! Aduuh, Misha, bangun donk! Ini bukan saatnya bermimpi!

            “Misha??”

            Nah, suara itu lagi. Tapi... kenapa suaranya nyata banget ya? Misha tercekat. Dengan perlahan ia mendongakkan kepalanya dan matanya langsung melebar saat melihat Ega berdiri di hadapannya.

            “Y... ya???”sahut Misha kaget.

            “Kamu benar Misha, anak X1?”tanya Ega, mengulangi pertanyaannya dengan sabar.

            Misha mengangguk cepat. “Iya! Iya, aku Misha!”sahut Misha terlampau semangat.

            “Bisa ikut aku sebentar?”tanya Ega.

            Mendengar ajakan Ega itu, Misha langsung ternganga. Ega ingin bicara dengannya?? Ya Tuhan, pahala apa yang Misha perbuat sehingga dirinya di datangi oleh Ega! Tanpa pikir panjang Misha mengangguk takjub. Ia bahkan lupa dengan pencarian gelangnya. Bahkan ia juga melupakan akibat apa yang akan di dapatnya jika sampai Tania tau ia mendekati Ega. Pasti Ketua Cheers itu akan membantainya. Tapi, semuanya tak berarti bagi Misha. Yang terpenting adalah Ega di depannya dan mengajaknya bicara! Misha takkan pernah melupakan hari itu seumur hidupnya. Bagi Misha, Ega adalah yang nomor satu. Jadi, ia mengikuti Ega dengan sukarela, dengan langkah melayang-layang seolah terbius. Perihal kemana Ega membawanya, Misha tak peduli.

            Misha mengikuti Ega ke ruang sekretariat basket. Disana telah menunggu Pascal dan Lexi yang nyengir bersamaan saat melihat Ega datang. Pintu ditutup dan Ega bergabung bersama teman-temannya, sementara Misha cuma bisa terperangah di depan pintu. Asli, ia belum pernah melihat ketiga cowok di depannya itu dari jarak sedekat ini. Dan wajah mereka lima kali lipat lebih ganteng! Misha serasa mau pingsan.

            “Kayaknya dia mau pingsan deh,”komentar Lexi yang memang tukang ngiceh.

            “Misha, kamu boleh duduk kok,”kata Pascal, seraya menendang bokong Lexi.

            “Cal, apaan sih kamu?!”protes Lexi.

            “Diam!”perintah Ega, melerai keributan di depannya. Ia lalu menoleh kembali ke arah Misha.

            “Duduk aja,”kata Ega ramah. “Kami cuma mau bicara kok!”kata Ega lagi.

            “Eits, bukan ‘kami’ tapi Ega aja,”ralat Lexi, mendapatkan lirikan kesal dari Ega. Akan tetapi, Ega hanya tersenyum pada Misha yang duduk dengan ragu di sebuah kursi.

            “Sebelumnya biar kuperkenalkan teman-temanku ini. Yang di kananku ini namanya Pascal. Sedangkan yang suka bicara ngawur satunya adalah Lexi. Sedang aku sendiri, namaku Ega, kami anak XII Ipa 2,”kata Ega.

            “Aku nggak suka bicara ngawur!”protes Lexi saat perkenalan itu selesai.

            “Aku punya permintaan sama kamu,”kata Ega pada Misha, sama sekali tak menggubris Lexi.

            “Per... permintaann?”tanya Misha gugup.

            “Mungkin kedengarannya mendadak,”kata Pascal menambahkan.

            “Bahkan terkesan nggak masuk akal,”kata Lexi tak mau kalah.

            Ega menatap kedua temannya dengan kening berkerut sebelum menghampiri tempat duduk Misha dan berhenti tak sampai semeter jauhnya.

            “Aku mau kamu jadi pacarku,”kata Ega.

            Misha ternganga. Apa?! Ega memintanya jadi pacarnya?? Apa Misha mimpi? Ini kan nggak mungkin terjadi di dunia nyata! Astaga, Misha nggak pernah memimpikan hal ini dalam hidupnya.

            “...cuma pura-pura juga nggak apa,”kata Ega lagi. Seketika menghentikan imajinasi Misha yang mulai semrawut.

            Misha mengerjap linglung. Apa tadi Ega bilang?

            “Kami mau kamu berpura-pura pacaran sama Ega. Sementara aja kok, sampai kami mendapatkan cara lain untuk menjauhkan Tania dari Ega,”jelas Pascal.

            “Siapa tau setelah mendengar status Ega nggak singel lagi, si Tania mau mundur teratur,”kata Lexi menyambung.

            Misha terdiam. Hatinya bimbang antara menerima tawaran itu dan berada di dekat Ega atau menolaknya dan kembali menjadi pengagum rahasianya. Yang manapun sama-sama menyedihkan. Bagaimana mungkin Misha berpura-pura pacaran dengan orang yang ia sukai? Misha kecewa, tapi tak bisa mengeluh tanpa mengungkapkan perasaannya sendiri. Dia ingin jadi pacar sungguhannya Ega, bukan pacara bohongannya... Apalagi ini sifatnya hanya sementara waktu. Kalau sudah waktunya, ia akan berpisah dengan Ega dan kembali ke nol. Apa Misha bisa menelan kesedihan itu nantinya?

            Tapi, ini kesempatan langka baginya untuk membantu Ega. Sepuluh tahun memendam perasaan, mungkin tak apa jika ia mengambil keputusan sembrono ini. Lebih baik patah hati setelah mencoba berusaha ketimbang menyerah sebelum memulai. Misha mau berhenti menjadi pengecut!

            “Baiklah, Misha mau bantuin Kak Ega,”kata Misha perlahan, ia mendongak dan menatap Ega dengan penuh tekad.

            Lexi menepuk pundak Ega riang. “Tuh, dengar! Dia mau bantuin kita!”ujar Lexi.

            Ega menatap Misha sedemikian rupa sehingga raut sedih Misha sekejap tadi tak luput dari perhatiannya. Ega malah jadi memikirkan ulang rencana teman-temannya ini. Sepertinya salah kalau mereka memanfaatkan cewek sepolos Misha.

            “Aku tanya sekali lagi, apa kamu betulan mau? Ini cuma pura-pura, aku nggak mau memaksa kamu. Mungkin aja ada cowok yang suka sama kamu, atau cowok yang kamu suka?”tanya Ega.

            “Ga!”sergah Lexi, nggak setuju dengan kata-kata Ega. Susah-susah dapat bantuan malah mau dibuat ragu-ragu! Enak aja! “Ga, dia kan udah bilang...”ucapan Lexi terhenti kala Ega melemparkan tatapan memperingatkan ke arahnya. Mau tak mau Lexi bungkam dengan wajah manyun.

            “Nggak, aku nggak keberatan sama sekali. Aku senang kalau aku bisa membantu kalian,”kata Misha.

            “Yakin?”tanya Ega masih merasa ragu.

            Misha mengangguk tegas. Tidak apalah jika memang harus menjadi pacar bohongan Ega, selama Misha bisa berada di dekat Ega, apapun akan Misha lakukan. Meski itu artinya ia harus mengabaikan perasaannya sendiri. Sepuluh tahun ia habiskan untuk memikirkan Ega. Sekarang Ega ada di hadapannya dan meminta bantuannya, walau tak tau Misha menyimpan perasaan yang begitu dalam padanya. Misha tak bisa berdiam diri saja. Ia ingin membantu Ega. Ia tak butuh balasan. Yang ia inginkan hanyalah berada sedekat yang ia bisa dengan Ega.

            Untuk kali ini, Misha akan mengabaikan perasaannya pada Ega dan berusaha menghayati perannya sebagai pacar Ega. Kalau tak bisa menjadi pacar sungguhan Ega, maka jadi pacar bohongan pun Misha rela...

***

            “Aku yakin,”kata Misha dengan ketegasan yang membuat keraguan Ega terkikis.

            Ega menatap Misha, mengamati ketulusan dan juga kejujuran di wajah Misha. Kelembutan tatapannya hanya dimiliki oleh cewek yang betul-betul peduli pada orang lain. Akhirnya Ega menghela napas.

            “Aku harap kamu mau mengatakan kalau ada sesuatu yang membuat kamu tersinggung. Secara nggak langsung aku akan memanfaatkan kamu. Apa kamu nggak keberatan dimanfaatkan sebagai dinding penangksi?”tanya Ega.

            Misha menunjukkan seulas senyum dan menggeleng. “Aku yakin aku nggak akan apa-apa,”sahutnya, lalu ia mengernyit. “Apa nanti aku akan mendapat banyak musuh?”gumamnya.

            “Pastinya,”sahut Lexi tanpa ragu.

            Ega mendesis kesal pada mulut besar Lexi. “Aku pasti melindungi kamu,”kata Ega pada Misha. “Seenggaknya aku bisa membalas bantuanmu dengaan itu.”

            Misha tersenyum lagi. Sebelum ada yang sempat mengatakan sesuatu lagi, bel tanda pelajaran dimulai pun berdering. Misha langsung pamit untuk kembali ke kelasnya. Namun, sebelum ia sempat menyentuh kenop pintu, Ega menyusulnya.

            “Misha, ini punya kamu bukan?”tanya Ega sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah gelang.

            Wajah Misha berseri-seri seketika. “Iya! Iya, ini punya aku!!”sahutnya riang dan mengambil gelangnya. “Aku mencari-carinya dari tadi. Makasih ya, Kak!”

            Misha memakai gelangnya lagi dan memperhatikan pergelangan tangannya dengan mata berbinar-binar. Membuat Ega tersenyum tipis melihat hal itu.

            “Udah kuperbaiki kaitnya supaya nggak gampang lepas,”kata Ega.

            “Makasih ya, Kak Ega! Ini gelang kesayanganku,”kata Misha. “Kalau gitu aku ke kelas duluan ya!”ujar Misha dan membuka pintu ruang sekretariat basket, lalu berlari pergi tanpa bisa dicegah. Hatinya yang tadinya muram kini berubah cerah. Sepanjang hari itu ia terus-terusan memamerkan senyum kemana-mana.

            Bukan hanya di sekolah, di rumah pun Misha tak bisa berhenti memamerkan senyumnya. Misha juga tak menggubris tatapan mengernyit kedua kakaknya, ia terus saja tersenyum sambil memerhatikan gelangnya.

            Akan tetapi, kabar begitu cepat menyebar. Belum ada 24 jam Ega cs memberitau Misha kalau mereka akan mulai menyebarkan gosip, gosip tersebut sudah meluas ke seluruh sekolah. Dan gosip tentang perubahan status Ega membuat gempar cewek-cewek di sekolah. Mereka semua merasa diserang dari belakang oleh siapapun yang jadian dengan Ega. Terlebih menurut gosip, Egalah yang menyatakan cintanya! Jelas saja hal itu membuat penggemar Ega makin geram.

            Ketika akhirnya diketahui Mishalah yang menjadi pacar Ega, penindasan pun dimulai. Satu demi satu kesialan mulai menghampiri Misha. Mulai dari kehilangan buku pelajaran, jaketnya yang disembunyikan, memo merah yang di tempel di lokernya, bahkan sampai surat-surat kaleng penuh ancaman di laci mejanya, kesemuanya membuat Misha yang tadinya melayang-layang kini merasa khawatir. Akan tetapi Misha hanya menampilkan tawa hambar yang menyembunyikan kecemasannya yang sebetulnya.

            Belum lagi Misha harus menyesuaikan diri dengan skenario yang dirancang Ega cs. Seperti siang itu, ketika mereka berempat makan di kantin. Dengan posisi melindungi Misha tanpa kentara. Ega duduk di sebelah kanan Misha, sementara Lexi dan Pascal di depan Misha.

            “Sha, makanmu sedikit ya?”komentar Lexi melihat porsi makan Misha yang sedikit, sementara dirinya sendiri tengah bersiap manyantap sandwichnya yang kedua.

            “Ehm... nggak juga,”sahut Misha.

            Misha sebenarnya tak punya nafsu makan di tengah-tengah tatapan ingin tau seisi kantin. Bagaimana pun tadi ia berniat makan di tempat sepi sendirian, ia bahkan telah membawa bekal sendiri. Tapi karena hasutan Pascal yang mengatakan kalau Misha muncul bersama Ega di depan umum, kebenaran gosip itu takkan diragukan lagi. Dan jadilah Misha terjebak di kantin bersama Ega, Lexi, Pascal, dan tatapan bengis seluruh cewek yang mengisi kantin.

            “Kamu harus banyak makan,”kata Ega dengan kening berkerut.

            Misha hanya tersenyum getir. Gimana mau makan kalau semua mata menatapnya dengan tatapan tertusuk begini?batin Misha.

            Misha lalu mengambil garpu dan menyendok mie di piringnya. Ia makan sedikit agar tatapan Ega tak terus lekat padanya. Akan tetapi, tiba-tiba Ega mengambil tissue dan mengelap ujung bibir Misha.

            Tindakan sederhana itu sukses membuat Misha terperangah lalu salah tingkah. Bahkan, hampir seluruh cewek yang mengamati meja mereka menganga tak percaya. Sepertinya semuanya pada mau diperlakukan semanis itu oleh Ega.

            “Ada saus,”jelas Ega tanpa diminta, nggak sadar akan efek tindakannya tadi.

            Misha kembali salah tingkah dan menekuri piringnya. Pascal yang menyadari hal itu hanya tersenyum geli. Sungguh kelewatan si Ega, kenapa bisa nggak sadar udah membuat seorang cewek polos salah tingkah?

***

            Siang hari beberapa hari kemudian, Misha tengah menuju ke lokernya. Ia hendak mengambil kamus bahasa inggrisnya. Akan tetapi, Misha tak menemukan kamusnya di dalam loker, malahan ia menemukan kamusnya ada di tong sampah, dengan kondisi hancur berantakan. Misha menatap kamusnya dengan tatapan pasrah. Bagaimana ini? Ia bisa dihukum oleh Bu Asri kalau sampai tidak membawa kamus sendiri.

            Disaat itu, kebetulan Pascal juga tengah mengambil kamus di lokernya. Ia melihat Misha berdiri termenung di dekat tempat sampah. Dihampirinya cewek itu.

            “Misha? Kamu ngapain?”tanya Pascal.

            Misha tersentak dan langsung menutup tempat sampah. Secepat kilat ia berbalik dan memasang wajah baik-baik saja ke arah Pascal. “Kak Pascal,”sahut Misha gugup.

            “Kamu lagi ngapain?”tanya Pascal.

            “Oh, nggak, itu...aku mau ngambil kamus di loker, tapi aku lupa kalau kamusnya aku bawa pulang,”kata Misha berbohong.

            Meski Pascal tau Misha menyembunyikan sesuatu, tapi Pascal tak menunjukkannya. Sebaliknya, ia malah mengangsurkan kamus miliknya pada Misha.

            “Pakai punyaku aja,”kata Pascal.

            “Eh, tapi Kakak pakai apa?”tanya Misha.

            “Nggak apa, aku nggak usah pakai kamus juga nggak masalah,”sahut Pascal.

            Akhirnya Misha menerima kamus itu dengan enggan. Setelah berterima kasih sekali lagi pada Pascal, Misha pun beranjak ke kelas.

           Pascal memperhatikan hingga Misha menghilang di balik tangga. Kemudian Pascal menghampiri tong sampah, membukanya dan melihat alasan Misha berdiri termenung tadi. Ia mengambil kamus Misha yang telah sobek dan tak berbentuk itu. Kemudian membawa kamus itu ke ruang sekretariat basket. Pascal meletakkan kamus yang hancur itu diatas meja tanpa berkata apa-apa. Membiarkan Ega dan Lexi melihatnya.

            “Ini apa?”tanya Lexi ingin tau. Ia membolak balik kamus yang tak berbentuk itu.

            “Kamus milik Misha,”kata Pascal tenang.

            Ega tampak terhenyak. “Apa? Punya Misha??”tanyanya tercekat.

            Pascal mengangguk lalu menceritakan pertemuannya dengan Misha tadi di loker.

            “Kenapa dia nggak bilang apa-apa padaku?”ujar Ega.

            “Wiiih, ini sih parah amat. Apa ada kejadian lainnya?”sahut Lexi. Membuat Ega memucat dengan rahang mengeras.

            “Misha pasti menyembunyikannya karena nggak mau kamu kepikiran. Sejak awal dia tau kalau bakal jadi sasaran penggemarmu. Aku heran kamu nggak menyadari sikapnya yang gampang gugup dan suka termenung sendiri itu,”kata Pascal. Lalu ia memperlihatkan raut wajah serius. “Pasti Tania telah mengerjainya habis-habisan. Tinggal tunggu waktu sampai penindasan ini berubah menjadi kekerasan,”kata Pascal.

            Ega menggemertakkan giginya. Ia bangkit dari duduknya dengan emosi yang terbendung. Kenapa Misha tak bercerita kalau ia ditindas? Bukannya Ega tak memikirkan kemungkinan itu, tapi melihat situasi yang tampak tenang, ia pikir akhirnya Tania dan kroni-kroninya akan mengerti dan bersedia mundur teratur. Tapi rupanya anggapan Ega salah.

            “Aku akan bicara sama Misha,”kata Ega dengan ketenangan mengancam.

***

            Misha memasukkan kamus dari Pascal ke laci mejanya. Ia berniat menyimpannya agar aman. Akan tetapi, Misha merasakan ujung jarinya mengenai sesuatu yang tajam. Ia meringis dan menggigit bibirnya ketika rasa perih merambati jari-jarinya. Tepat saat itu menarik tangannya, Ega muncul di kelasnya.

            “Sha, aku mau ngomong...”ucapan Ega terhenti dan ekspresi wajahnya mengeras melihat darah mengalir dari jari Misha.

            “Kak Ega!”ujar Misha terkejut. Ia kaget dengan kedatangan Ega yang salah waktu. Dan Misha terlambat menyembunyikan tangannya yang terluka dari Ega.

            “Kamu...tangan kamu...”ujar Ega terperanjat.

            Misha mencoba menampilkan ekspresi biasa saja dan membuat alasan. “Eh... ini... kayaknya kena pinggiran kertas buku yang kutaruh di laci meja...”ucapan Misha terhenti saat Ega menghampirinya dalam dua langkah panjang dan merenggut tangannya yang terluka. Ega mengeluarkan saputangan dari sakunya dan membalut tangan Misha. Ekspresinya dingin.

            “Jangan mencoba menyembunyikan kebenaran dariku,”kata Ega marah.

***

            Pascal membalut luka iris di jari Misha dengan perban. Ia telah memeriksa dan mengobati luka-luka Misha dan yakin tak ada luka yang terlalu serius selain goresan di ujung jari telunjuk dan jari tengahnya. Maklum, Pascal adalah penerus ayahnya yang seorang Dokter Kepala sekaligus pemilik sebuah rumah sakit terkenal.

            Sementara itu, Misha tak henti-hentinya melirik Ega yang sejak tadi berdiri diam menatap keluar jendela UKS. Misha tau Ega sangat marah karena tidak diberitau apa-apa. Misha sudah mencoba minta maaf, tapi Ega terus mengacuhkannya. Kemudian Lexi muncul.

            “Cewek-cewek tuh sadis ya,”ujar cowok itu begitu sampai di UKS. Dia datang setelah diberitau oleh Pascal. “Nih, aku menemukan ini di laci meja Misha. Terselip diantara bukunya,”kata Lexi sembari menjatuhkan beberapa silet ke atas meja.

            “Kita hentikan aja,”kata Ega datar. Sehingga semua perhatian kini terpusat padanya. Dengan perlahan ia berbalik dan memandang teman-temannya. “Kita nggak bisa mencelakai Misha lebih dari ini,”kata Ega.

            Misha terhenyak shock. “Kenapa??”pertanyaan itu terlontar berupa bisikan tak percaya dari Misha.

            Ega menatap ke arah Misha. Ia menunjuk tangan Misha dengan tatapan mengeras. “Kamu masih tanya kenapa?! Lihat dirimu! Aku nggak bisa membiarkan kamu mendapatkan hal yang lebih buruk dari ini!!”bentak Ega marah.

            “T... tapi aku nggak apa-apa! Sungguh, ini bukan hal besar,”kata Misha setengah kalut.

            “Sekarang, iya! Tapi nggak tau bagaimana nanti kan?!”

            Misha memutar otak mencari pembelaan. Dia tidak mau semuanya berakhir secepat ini. Baru seminggu lebih dia menikmati kebersamaannya dengan Ega, dan baginya hal itu masih kurang. Misha mencoba memikirkan sebuah jalan dimana ia tetap bisa ada disisi Ega sebagai pacar pura-puranya.

            “Tapi Kak Ega belum menemukan cara untuk menjauhkan Kak Tania kan?”tembak Misha langsung. “Lagipula aku udah janji akan membantu sampai Kakak menemukan cara untuk menghindar dari Kak Tania,”kata Misha sembari berdiri dari kursi. Ia menghampiri Ega yang berdiri di depan jendela.

            “Aku betul-betul nggak apa, Kak. Lagipula aku senang bisa membantu kalian,”kata Misha. Ia menunduk dan menatap jari-jarinya yang diperban. “Selama ini, aku nggak pernah bisa bergaul dengan orang-orang disekitarku. Aku terlalu pemalu dan kurang percaya diri. Tapi aku senang saat kalian minta bantuan padaku. Aku pikir aku bisa berguna untuk orang lain selain menjadi parasit nggak berguna,”lanjut Misha.

            Keheningan menyusul pengakuan Misha itu. Ega melemparkan tatapan ke arah kedua temannya yang sejak tadi memperhatikan dengan serius. Ega ragu, tapi sudah tak ada kemarahan dalam suaranya ketika ia bicara.

            “Sha, aku nggak bisa membawa kamu ke dalam masalahku,”kata Ega lembut.

            Misha mendongak. “Kak Ega tenang aja! Aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang! Kalau perlu, aku akan menyiapkan serangan balasan buat membela diri!”kata Misha. “Percaya deh! Aku bisa kok!”lanjut Misha dengan tatapan memohon.

            Ega, Lexi, dan Pascal saling pandang. Pascal akhirnya terkekeh pelan, sementara Lexi menggelengkan kepala sok prihatin. Sampai akhirnya Ega pun menghela napas kalah.

            “Oke. Tapi kalau ada apa-apa, kamu harus cerita sama aku!”kata Ega tegas. “Dan ini nomor ponselku. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku,”kata Ega lagi sambil menyerahkan selembar kertas berisikan nomor ponselnya. Tapi tampaknya ia belum selesai. Ega menunjuk Misha dan menatapnya dengan tegas.

            “Satu lagi, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kakak’ lagi! Kalau kamu memang mau menjadi pacar bohonganku, kamu harus mulai membiasakan diri memanggil namaku saja!”kata Ega.

            Misha memandang tak percaya ke arah kertas ditangannya. Ega begitu baik. Dari dulu sampai sekarang nggak ada yang berubah. Tanpa sadar mata Misha berkaca-kaca. Perlahan ia mendongak dan menghapus air matanya. Misha lalu tersenyum. “Iya, aku mengerti,”sahutnya.

***

            Beberapa hari setelah itu...

            Ega menjadi tamu rutin di kelas Misha sejak insiden tempo hari. Ia selalu menemui Misha di kelasnya dan menjemputnya untuk makan di kantin. Ega juga nggak mengendurkan pengawasannya dari Misha. Matanya selalu menatap tajam ke arah cewek-cewek yang menatap Misha dengan sinis.

            “Nggak ada yang aneh kan?”tanya Ega, seperti kemarin-kemarin.

            Misha tersenyum masam. “Nggak ada yang aneh kok... Kamu nggak perlu datang kesini setiap hari,”kata Misha.

            “Apa salahnya kalau aku khawatir dengan ‘pacar’ku?”sahut Ega lugas, sengaja menekankan kata pacar agar siapapun yang menguping dapat mendengar nada posesif dalam suaranya.

            Misha mendesah dalam hati. Kenapa Ega harus mengulangi kata-kata itu?

            “Sha, kalau ada apa-apa, bilang aku atau Pascal dan Lexi ya,”kata Ega.

            “Iya, Ega... Tapi kamu nggak perlu datang kemari tiap waktu. Aku nggak akan lenyap kalau lepas dari penjagaan kamu selama sejam atau lebih,”kata Misha malu.

            Selama keduanya mengobrol di meja Misha, sambil sesekali melempar senyum dan juga lelucon, terdengar bisik-bisik di beberapa tempat.

            “Sstss... mereka udah akrab banget, udah saling panggil nama lagi!”

            Atau

            “Hhuuhuu... Ega... Nggak rela, kenapa Ega udah punya pacar sih...”

            Atau yang ini,

            “Mesra banget! Bikin iri aja!” dan masih banyak lagi bisik-bisik yang mampir ke telinga Ega dan Misha.

            Keduanya saling pandang penuh arti dan melempar senyum. Dalam hati keduanya bersorak atas keberhasilan akting mereka. Dengan beredarnya kabar kemesraan mereka, otomatis semakin banyak yang menyerah mengejar-ngejar Ega. Hal itu membuat penindasan atas Misha mulai berkurang. Ditambah lagi muncul gosip yang mengatakan kalau Ega nggak akan tinggal diam jika sampai mendengar ada yang menyentuh ‘pacar’nya barang seujung rambut pun. Sehingga, hampir semua fans Ega memilih mundur daripada memancing kemarahan idola mereka.

            Kecuali satu orang...

***

            “Kayaknya rencana kita sukses ya, buat para pengikutnya Tania terutama,”kata Ega siang itu di runag sekretariat basket.

            “Berarti Tania masih belum menyerah juga?”tanya Pascal.

            “Cewek itu sih nggak kenal kata menyerah! Dia tuh muka badak! Udah tau Ega punya pacar, masih aja nempel-nempelin Ega,”kata Lexi.

            “Itulah masalahnya,”kata Ega lelah.

            “Apa nggak ada cara yang ampuh buat mengusir Tania?”tanya Pascal merenung. “Kita jelas nggak bisa meminta Misha menghadapi Tania secara langsung. Bisa-bisa Misha habis dibantai,”kata Pascal lagi.

            Belum ada yang sempat mengomentari kata-kata Pascal ketika pintu ruang sekretariat basket terbuka dan Misha muncul dengan wajah merona akibat habis berlari. Misha menatap Ega cs dengan senyum terkembang. Ia lalu masuk dan menutup pintu.

            “Aku punya hadiah buat kalian!”kata Misha bersemangat. Ia lalu meletakkan handuk kecil di hadapan Ega. “Buat Ega, warna biru!”kata Misha. Ia lalu beralih ke Lexi dan meletakkan handuk kecil lainnya di tangan Lexi. “Kalau Lexi warna hijau!”katanya riang. Terakhir, ia memberikan handuk pada Pascal. “Pascal warna putih! Dipakai ya!”

            “Ini...”ujar Ega.

            “Hadiah dariku! Disana udah aku sulam nama kalian masing-masing. Nanti pakai saat pertandingan ya!”sahut Misha.

            Ega tersenyum. “Thanks, Misha,”kata Ega, membuat Misha tersipu-sipu.

            “Makasih,”ujar Pascal.

            “Wah, baru kali ini aku dapat hadiah yang penuh cinta begini!”seru Lexi. “Makasih ya!”

            Misha tersenyum puas. Nggak percuma semalaman ia menyulam nama Ega dan kedua temannya di setiap handuk itu. Bahkan sampai harus menyeret Ardi untuk memilihkan warna handuk, dan memaksa Renald menungguinya semalaman.

            “Kamu nanti sore nonton kan?”tanya Pascal.

            “Iya donk! Kalian semangat ya! Harus menang!”sahut Misha semangat.

            Ega tertawa melihat antusiasme Misha. Tapi Lexi langsung merusak suasana hati Ega dengan celetukannya.

            “Asal hati-hati, Sha... Siapa tau kamu nanti diculik sama tim Cheers sekolah lho!”kata Lexi dengan wajah sok serius. Membuatnya mendapat dua jitakan di kepala. Satu dari Ega, dan satu dari Pascal.

            “Pasti aku jagain!”ketus Ega. “Jangan bicara sembarangan deh!”

            “Kan bercanda, Ga...”sahut Lexi merengut. “Hix... dijitak...”ujarnya terluka.

            Misha tertawa melihat tampang Lexi. Sementara Pascal hanya menggelengkan kepalanya.

            “Makanya diam aja, Lex,”kata Pascal datar.

            Misha menatap pemandangan di hadapannya dengan tersenyum. Berkat Ega dan kawan-kawan, akhir-akhir ini Misha tak diganggu lagi. Meski begitu, ia masih merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa cewek. Semua itu karena Ega selalu ada disisinya. Atau kalau cowok itu sedang ada urusan, dia pasti akan mengutus Pascal atau Lexi, terkadang keduanya, untuk menemani Misha. Tindakan itu begitu manis hingga membuat Misha terlena dan melupakan fakta kalau semua itu hanya sementara.

            Nanti sore Ega dan kawan-kawan akan latih tanding di sekolah tetangga. Oleh sebab itu, Misha sengaja menghadiahkan handuk kecil untuk mereka bertiga. Sebelum bertanding, tim basket sekolahnya berlatih dulu sepulang sekolah. Satu jam latihan sudah lebih dari cukup. Lalu setelah itu anak-anak basket pulang untuk siap-siap bertanding jam 4 sore nanti, kira-kira tiga jam lagi.

            “Ayo pulang! Sekolah udah sepi, lagipula kita perlu prepare juga buat tanding nanti,”kata Ega ketika latihan terkahir itu selesai. Ia menghampiri Misha yang berdiri menonton di pinggir lapangan.

            “Ah, jaketku ketinggalan di kelas!”ujar Misha tiba-tiba. “Aku ambil dulu, kalian duluan aja ke parkiran!”kata Misha dan menitipkan tasnya pada Ega, lalu mulai berlari ke kelas.

            “Mau ditemani?!”teriak Ega.

            Misha melambaikan tangan. “Nggak usah!!”teriak Misha tanpa berbalik. Ia langsung berlari ke kelasnya.

            Sesampainya di kelas, Misha langsung menengok laci mejanya. Tapi sayang jaketnya tak ada, malahan sebuah memolah yang ia temukan.

            Misha mengambil memo itu dan membaca tulisan di dalamnya. Misha tak ragu kalau jaketnya diambil oleh Tania. Dan dalam memo itu tertulis, kalau Misha menginginkan jaketnya kembali, ia harus datang ke toilet cewek sendirian.

            Misha ragu-ragu dan berniat memanggil Ega untuk menemaninya, tapi ia lupa telah meninggalkan tasnya pada Ega, dan ponselnya ada di dalam tas itu. Akhirnya, dengan keberanian yang pas-pasan, Misha datang ke toilet cewek.

           Sesampainya di toilet yang dipilih Tania, Misha membuka pintu toilet dengan hati-hati menggunakan kakinya. Ia takut ada jebakan yang menanti jika ia langsung menghambur masuk.

Setelah yakin takkan ada benda yang menimpanya jika ia masuk ke dalam, maka Misha pun membuka pintu itu lebih lebar dan melongok ke dalam toilet.

            Bau khas toilet menyambut indera penciuman Misha dan ia mengernyit. Matanya menjelajahi setiap sudut toilet dan menemukan jaketnya tergantung di pintu salah satu bilik toilet. Dengan lega Misha bergerak mengambil jaketnya. Tapi, begitu ia berada di dalam sepenuhnya, pintu toilet membanting tertutup.

            Misha berbalik kaget. Astaga. Ia terjebak! Ia mendengar suara tawa Tania dari balik pintu toilet. Suara tawa penuh kemenangan dan Misha sadar dirinya telah terjebak di dalam toilet tanpa memiliki jalan keluar...

***

            Misha bergegas menuju pintu. Ia mencoba membukanya tapi pintunya terkunci. Misha pun akhirnya menggedor-gedor pintu toilet. “Kak Tania! Buka pintunya!!”teriak Misha sambil menggedor-gedor pintu.

            Tania tertawa mengejek. “Buka?? Enak aja! Kenapa aku harus buka pintunya??”sahut Tania sinis.

            “Kak Tania, kakak keterlaluan!!”seru Misha.

            “Heh, salah siapa berani-beraninya mendekati Ega?! Sekarang rasakan akibatnya! Kamu harus introspeksi diri!”bentak Tania sembari menendang pintu dengan keras.

            Misha berjengit saat mendengar suara pintu berderak. Ia mundur selangkah dan menatap pintu yang terkunci itu. “Kenapa?”tanya Misha perlahan. “Kenapa aku nggak boleh mendekati Ega?!”teriak Misha.

            “Masih tanya?! Kamu ngaca donk! Mana pantas kamu bersanding sama Ega!!”teriak Tania sinis.

            “Aku nggak peduli pantas atau nggak! Aku menyukai Ega! Apa salahnya kalau aku memiliki perasaan sama Ega!!”

            Tania merasa kesal dan sekali lagi menendang pintu toilet dengan kasar. “Diam! Kamu nggak punya kelebihan apa-apa selain yang kamu sebut rasa suka! Sementara aku mendekati Ega, kamu diam saja di dalam sana!”bentak Tania dan berlalu pergi.

            Suara tawa Tania yang menjauh memberitau Misha kalau Tania telah meninggalkannya sendirian. Tanpa sadar air mata Misha mengalir. Misha cepat-cepat menghapus air matanya. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling toilet dan memutuskan untuk duduk di lantai yang kering. Ia bersandar dengan lutut telipat.

            “Kenapa...?”gumam Misha sedih. Apa salah kalau ia menyukai Ega? Apa salah kalau ia selalu memikirkan Ega, dan berharap suatu saat perasaannya akan tersampaikan? Misha terduduk lemah. Ia menunduk dan menopangkan dahinya diatas kedua lututnya.

            Bagaimana ini? Apa Ega akan mencarinya? Ia pasti akan merasa ada yang aneh kalau Misha tak kembali kan? Cowok itu akan berusaha mencarinya kan? Cowok itu akan menemukannya kan?

            Misha menahan diri agar tak menangis lagi. Ia telah berjanji takkan menjadi cewek yang cengeng. Ia sudah berjanji...

***

            Ega mulai merasa gelisah. Kenapa Misha begitu lama? Ia kan hanya mengambil jaket saja? Tapi kenapa hampir 15 menit ia tak juga kembali?

            Ega, Lexi dan Pascal sudah menunggu Misha sejak tadi di parkiran sekolah. Berulang kali Ega melirik jam tangannya dan kerutan di alisnya makin bertambah tiap menitnya. Lexi saja sudah seperti belut kepanasan, mondar-mandir nggak jelas.

            “Misha kok lama sih?”keluh Lexi. “Ngambil jaketnya di Hongkong kali ya?”

            “Lex, diam deh! Mondar-mandir... bikin pusing orang yang melihatnya tau!”hardik Ega jengkel.

            “Aku cemas tau! Ini ekspresi kecemasanku!”tukas Lexi.

            Ega hanya mencibir kesal dan kembali menatap jam tangannya.

            “Tapi Lexi benar, Ga. Ini udah terlalu lama kalau dia cuma mengambil jaket di kelasnya,”kata Pascal.

            Ega tampak berpikir jangan-jangan terjadi sesuatu pada Misha. Bagaimanapun, ketenangan yang mereka rasakan belakangan ini terasa janggal. Seolah suasana tenang itu menyamarkan badai yang tengah berhembus.

            Bersamaan dengan Ega yang memutuskan untuk menyusul Misha, Tania muncul. Cewek itu menghampiri Ega dengan senyum menggodanya dan langsung menggelayut di lengan Ega.

            “Kok belum pulang?”tanya Tania manis. “Kan kalian bakal tanding nanti sore,”lanjutnya.

            Ega menatap Tania curiga. “Kamu kenapa masih di sekolah?”tanya Ega tajam.

            “Aku? Ohh, aku tadi habis dari latihan cheers. Tapi aku pulang belakangan karena harus mempersiapkan pakaian,”sahut Tania manis.

            “Kamu lihat Misha nggak?”tanya Pascal.

            Tania menatap Pascal tak mengerti. “Misha? Kenapa aku harus melihat cewek itu? Kan dia selalu sama kalian,”kata Tania tenang, tapi jelas ada nada sinis dalam suaranya.

            “Yah, siapa tau kalian berpapasan,”kata Pascal.

            “Nggak mungkinlah. Bagaimana bisa aku papasan dengannya sementara aku nggak tau dia dimana,”kata Tania mendengus, tapi lalu ia tersenyum. “Omong-omong, aku bakal mendukung tim basket kita nanti. Kalian harus berjuang ya!”

            “Kita susulin Misha aja yuk!”kata Lexi tiba-tiba, mengabaikan usaha Tania mengganti topik pembicaraan.

            “Memangnya dia kemana sih? Sekolah sempit begini nggak mungkin dia tersesat kan!”kata Tania nggak suka. Ia tersinggung karena jelas-jelas merasa diabaikan oleh Ega.

            “Misha kembali ke kelasnya,”kata Ega. “Tapi belum kembali juga,”lanjutnya.

            Tania mengibaskan tangannya dengan santai. “Paling dia pulang duluan,”katanya.

            “Nggak mungkinlah!”sahut Lexi. “Tasnya aja masih disini!”

            Tania menyipit ke arah Lexi, tapi menolak menghiraukan perkataan Lexi. Sebaliknya, ia menenangkan Ega dengan berkata mungkin aja ada hal penting yang membuat Misha terpaksa pulang tanpa mengambil tasnya. Akan tetapi, Pascal tak bisa menerima penjelasan tak masuk akal seperti itu. Sehingga ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar keberadaan Tania di sekolah, dan ketiadaan teman-teman pengikutnya. Walau terkesan biasa, tapi jelas Pascal sengaja memancing-mancing kekesalan Tania dengan menyangkut pautkan nama Misha ke dalam pembicaraan.

            “Kenapa kalian seolah-olah menuduhku melakukan sesuatu pada cewek tengil itu??”kata Tania tak terima, padahal tak ada satupun dari Ega, Lexi, ataupun Pascal yang menyatakan kecurigaan mereka sejelas itu.

            Sadar dirinya telah kelepasan, Tania langsung bungkam. Lalu berpura-pura mengecek jam tangannya dan bergegas pulang. Tapi, Ega mencekal lengannya dan menghentikan langkah Tania seketika.

            “Dimana Misha?!”tanya Ega tajam. “Kamu pasti tau dia ada dimana kan?!”bentaknya.

            Tania bungkam dan hanya menolak menatap langsung ke arah Ega.

            Ega mengeratkan cengkeramannya dan menarik Tania hingga wajah mereka berada sedekat mungkin. Tatapan dingin Ega memaku tatapan sok tenang Tania. Ega mengeratkan cengkeramannya hingga Tania menggeliat kesakitan.

            “Katakan dimana dia!”desis Ega dingin.

            “Aku nggak tau apa yang kamu bicarakan!”tukas Tania.

            Cengkeraman Ega makin menguat dan Tania berteriak kesakitan. Akhirnya karena tak tahan, Tania pun mengatakan apa yang ia lakukan pada Misha.

            Begitu Tania mengakui perbuatannya, Ega langsung melepaskan Tania hingga cewek itu terduduk di trotoar.

            Ega menatap dingin ke arah Tania. “Ini kali terakhir kamu mendekati Misha! Dan perlu kamu tau, aku nggak jadian sama dia! Jadi percuma kalau kamu mengerjai Misha lagi?”kata Ega dingin.

            Tania menatap Ega tak percaya. “Jadi benar kan dugaanku selama ini?! Kalian cuma pura-pura!!”kata Tania. Matanya memicing puas. “Memang hubungan kalian nggak lazim. Dan kamu juga pasti nggak akan tertarik sama cewek seperti Misha!”kata Tania sinis. Ia lalu tersenyum. “Kenapa kamu nggak jujur aja sih? Bilang kalau kalian nggak ada hubungan, jadi aku nggak akan...”

            Ucapan Tania dipotong dengan tajam oleh Ega. “Dia jauh lebih dari kamu! Dan asal kamu tau, aku udah muak melihat kamu berkeliaran di sekitarku! Aku muak pada sikap sok manismu, dan aku mau kamu menjauh dariku!!”tegas Ega tajam.

            “A... apa-apaan itu?! Kamu jahat Ega!! Aku benci sama kamu!”teriak Tania tak percaya.

            Ega tersenyum dingin. “Suatu kehormatan bagiku bisa dibenci oleh kamu,”kata Ega.

            Akhirnya Tania berlari pergi meninggalkan Ega cs. Sepeninggal Tania, Ega langsung beranjak menuju tempat Misha dikurung. Lexi dan Pascal mengikuti.

            “Apa nggak apa-apa kalau kamu membongkarnya seperti itu?”tanya Pascal hati-hati. Akan tetapi Ega diam dan terus saja berjalan. Pascal dan Lexi pun hanya bisa saling pandang.

***

            Ega melangkah cepat menuju toilet cewek. Ia geram pada Tania, tapi lebih geram pada dirinya sendiri. Betapa bodohnya dia karena melibatkan Misha ke dalam masalahnya, padahal cewek itu nggak ada sangkut pautnya sama sekali. Bagaimana kalau hal yang fatal terjadi pada cewek itu? Apa yang akan Ega lakukan untuk menebusnya? Memikirkan hal itu membuat Ega mempercepat langkahnya.

            Sesampainya ia di toilet cewek yang ditunjuk oleh Tania, Ega bergegas membuka kuncinya dan menghambur masuk.

            “Misha!?”panggilnya cemas. Matanya mencari-cari keberadaan Misha dan menemukan gadis itu tengah duduk bersandar di dinding. Melihatnya, Ega langsung bergegas menghampiri cewek itu.

            “Misha, kamu baik-baik aja??”tanya Ega khawatir.

            Pascal dan Lexi menyusul masuk tak lama kemudian.

            Misha mendongak perlahan dan menatap Ega dengan mata mengerjap-ngerjap. Ia takut dirinya hanya bermimpi.

            “Ega?”ujar Misha perlahan.

            Ega membantu Misha berdiri. Ia memeriksa keseluruhan cewek itu untuk memastikan tak ada luka di tubuhnya.

            “Aku nggak apa-apa,”kata Misha lirih.

            “Yakin? Kamu nggak diapa-apakan oleh Tania kan?”tanya Ega cemas.

            Misha menggeleng pelan.

            “Ga, mendingan kita keluar deh, bicaranya di tempat lain aja,”kata Lexi dengan suara bindeng akibat ia menutup hidungnya.

            Tanpa bicara apa-apa Ega menuntun Misha keluar dari toilet. Mereka lalu menuju parkiran. “Aku udah mengatakan hal yang sebenarnya sama Tania,”kata Ega pada Misha saat mereka mendekati parkiran.

            Langkah Misha terhenti tiba-tiba. Pascal dan Lexi yang berjalan di belakangnya ikut berhenti. Egalah yang paling terakhir berhenti. Ia berbalik dan menatap Misha.

            “Ya, aku udah bilang kalau kamu cuma pura-pura jadi pacarku. Aku juga udah menegaskan kalau aku nggak mau melihat dia mengganggu kamu lagi,”kata Ega.

            “Ta... tapi... kenapa??”tanya Misha tercekat. Tenggorokannya seolah tersumpal. Lidahnya kelu untuk digerakkan.

            “Aku nggak bisa melihat kamu menerima akibat dari apa yang aku lakukan,”kata Ega.

            “Tapi... aku nggak apa-apa kok!”sahut Misha.

            Ega menggeleng tegas. “Lihat apa yang kamu dapatkan dengan membantuku! Aku mungkin terhindar dari para cewek itu, tapi kamulah yang jadi sasaran! Aku nggak bisa membiarkan semua masalah beralih ke kamu!”

            Misha kehabisan kata-kata. Ia malah merasakan sudut-sudut matanya panas akibat sengatan air mata. Benar juga, bagaimanapun semuanya hanya pura-pura. Harusnya Misha siap kalau saat ini tiba. Tapi, ia tetap merasa sedih karena tak bisa berada disisi Ega lagi.

            “Oh...”cetus Misha pelan. Ia mengangguk dan memaksakan sebuah senyum pada Ega dan kawan-kawannya.

            “Ka... kalau begitu...aku nggak perlu sama-sama kalian lagi ya...”kata Misha, berusaha agar kesedihannya tak terlihat. Ia menarik napas panjang dan tersenyum. “Aku harap setelah ini Kak Ega nggak akan diusik lagi,”kata Misha. “Kan susah kalau kejadian lagi,”tambahnya.

Pascal dan Lexi hanya menatap Ega dengan tatapan tak setuju. Keduanya sama-sama merasa keputusan Ega itu didasari oleh kemarahannya pada dirinya sendiri. Sehingga cowok itu tak melihat bagaimana Misha memandang keputusan itu. Cewek itu sedih, pasti.

            “Makasih atas semua bantuan kamu,”kata Ega dan menarik Misha ke dalam pelukannya.

            Misha menahan napas ketika ia dipeluk oleh Ega. Desakan air matanya malah semakin menjadi-jadi. Tapi Misha sekuat tenaga menahannya agar tak pecah saat itu juga. Dan ketika Ega melepaskan pelukannya, Misha merasakan kekosongan seolah mengisinya.

            “Kalau gitu, ayo, aku antar kamu pulang,”kata Ega.

            Misha mengangguk, akan tetapi ia tak bisa menggerakkan kakinya. Ia malah mematung di tempatnya. Dan tanpa sadar air matanya. Misha cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

            “Misha?”tanya Ega sembari mendekati Misha.

            Misha menggeleng, nggak yakin dirinya bisa berkata-kata.

            “Kamu kenapa? Kenapa kamu nangis?”tanya Ega. Ia lantas merengkuh Misha dalam pelukannya. Menenangkan cewek itu. “Kenapa?”tanya Ega lembut. Ia melempar tatapan ke arah Pascal dan Lexi untuk meminta pendapat.

            “A... aku nggak maksud buat nangis. Aku udah janji nggak akan jadi cengeng lagi, tapi air matanya nggak mau berhenti...”jelas Misha.

            Ia melepaskan diri dari Ega dan menghapus air matanya. Misha terdiam beberapa saat sebelum mendongak dan menatap Ega. Menimbang-nimbang apakah akan mengatakan sesuatu atau tidak. Namun akhirnya ia bicara.

            “Aku... sejak lama terus menyukai Kak Ega,”kata Misha pelan. “Sejak pertama kali kakak nolong aku sepuluh tahun yang lalu, aku udah menyukai Kak Ega!”kata Misha dengan suara bergetar. “Dan sampai sekarang pun...”Misha tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi.

            Ega mengernyit, seolah mencoba mengingat-ingat. “Sepuluh tahun lalu...”gumamnya

            Misha mengangguk pelan. “Kebun binatang,”kata Misha.

            “Ahh!!”cetus Pascal. “Kamu ya, anak nyasar yang ditolong Ega dulu itu??”

            Misha mengangguk bersemangat.

            “Eh, jadi kamu... Icha?? Si kecil yang nyasar itu??”ujar Ega kaget.

            Sekali lagi Misha mengangguk bersemangat.

            Ega terdiam sejenak, lalu tiba-tiba meledak tertawa. Ia terbahak-bahak. “Astaga...”katanya di sela-sela tawanya.

            “Jadi kamu Icha?”Ega menggelengkan kepalanya. Ia menyeka matanya yang berair gara-gara kebanyakan ketawa. Lalu, begitu tawanya berhenti, ia menatap Misha sambil tersenyum.

            “Dasar, kalau kamu bilang lebih cepat, aku kan nggak perlu mengira-ngira lagi!”kata Ega.

            “Maksud Kak Ega?”tanya Misha tak mengerti.

            “Sebenarnya, sejak pertama kali ketemu kamu, aku udah merasa kamu mirip sama anak yang kutolong dulu, yang sampai saat ini masih kuingat dengan jelas,”kata Ega. “Aku mau tanya ke kamu tapi takut salah. Sebenarnya, sejak saat aku nolong kamu dulu, aku nggak bisa berhenti mikirin kamu,”kata Ega.

            Air mata Misha kembali mengalir. Ia menatap Ega dengan tak percaya. Lalu ia menubruk Ega dan memeluknya. Ia takut kalau apa yang ia dengar hanya imajinasinya saja. Ia takut kalau ia membuka mata, Ega akan lenyap dari hadapannya.

            “Aku suka sama Kak Ega!”kata Misha terisak.

            “Aku juga suka kamu,”kata Ega dan memeluk Misha.

            Suasana seolah dunia cuma milik berdua bagi Ega dan Misha, yang lain cuma ngontrak. Beberapa waktu berlalu tanpa ada interupsi. Tapi tampaknya Lexi nggak bisa menahan lidahnya lebih lama. Ia pun menyeletuk dengan pongahnya.

            “Aahh... lapar deh,”kata Lexi. “tandingnya jam berapa ya, sempat makan nggak ya...”sindirnya.

            Misha mendongak seketika, ia lalu saling pandang dengan Ega. Keduanya menjauhkan diri dalam sekejap. Ega menyambar tangan Pascal untuk melihat jam, lupa kalau dirinya juga pakai jam. Pascal hanya mengangkat alisnya.

Lalu...

            “Aarrrggghhhhhh!!! Pertandingan!!”seru Misha dan Ega kompak.

            Kini giliran Lexi yang terbahak-bahak. Ia bahkan nyaris berguling-guling saking gelinya. Alhasil ia mendapatkan tendangan di bokong oleh Ega.

            Pertemuan pertama, rasa itu belum mewujud sempurna. Seiring waktu berlalu, perlahan namun pasti perasaan itu makin berkembang. Dan pada pertemuan kedua, cinta yang menguncup itu pun akhirnya bersemi. Meski jauh, hati tetap memikirkan satu sama lain.

THE END

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 76.8K 35
"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah." -Hilario Jarvis Zachary Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelik...
202K 15.2K 42
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
3.2M 236K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
285K 2.6K 17
WARNING 21+ **** Jeriko mesum, Jeriko sangean, Jeriko nafsuan. Jeriko sudah memiliki lebel yang sangat buruk dalam otak Keyna. Tapi, kenyataan dunia...