ONLY LEARNT BAD THINGS

By AiYueLinglung

6.9K 256 5

More

ONLY LEARNT BAD THINGS

6.9K 256 5
By AiYueLinglung

            PLAAKK ! ! !

            Suara tamparan itu mendiamkan seisi kelas yang tadinya ramai oleh celoteh para murid. Semua mata memandang ke satu titik, di mana Raya tengah berdiri marah di hadapan Vino yang hanya memandang kaget sembari meraba pipinya yang kini terasa panas.

            Raya menatap Vino denga pandangan terluka. Raya menggeleng pelan dan langsung meninggalkan kelasnya. Semua penghuni kelas Ipa 1 mengamati kejadian itu dengan napas tertahan. Jelas tau siapa yang salah dan siapa yang benar.

            “Raya!”

            Saskia, sahabat baik Rayalah yang paling pertama pulih dari kekagetannya. Ia kemudian menatap Vino dengan pandangan mencela.

            “Vin, elo memang keterlaluan ya!” kata Saskia tak percaya. “Lo kalau memang nggak punya perasaan sama Raya, seenggaknya lo bisa menghargai perasaannya!! Raya juga cewek, Vin!! Bisa sakit hati juga!” bentak Saskia tajam, lalu meninggalkan kelas menyusul Raya.

            Vino masih terlalu tercengang sehingga nggak bisa bereaksi. Ia bergeming dan menatap kepergian Raya. Dia tersentak pelan saat Anjar menepuk pundaknya, berusaha menyadarkan Vino dari keterpakuannya. Vino tampak linglung, kejadian barusan tampaknya telah menerbangkan kepintarannya entah ke mana.

***

(Flashback beberapa saat sebelum Raya menampar Vino...)

            Vino dan teman-temannya sedang ngobrol-ngobrol di kelas. Mereka tertawa dengan suara keras dan juga saling melempar celaan pada yang lainnya. Lalu, tiba-tiba saja Derry menyeletuk tentang siapakah cewek tercantik di kelas mereka. Mereka pun mulai memberikan nilai-nilai pada cewek yang mereka anggap memenuhi syarat.

            “Tuh, si Mini lumayan kan? Udah seksi, gaul pula! Yah, biarpun otaknya pas-pasan,” ujar Danar.

            “Masih cantikan Indi! Cantik, ramah, sikapnya ayu banget lagi! Apa coba yang kurang?” sahut Anjar tidak mau kalah.

            “Yee, mendingan juga Laylah, udah sexy, cantik, menggoda, body kayak gitar spanyol!” sahut Vino sembari tertawa, karena yang namanya Laylah itu berlawanan dengan definisi Vino tadi.

          “Alaah, Raya gimana, Vin?? Lo kan dekat sama dia,” goda Derry. “Atau jangan-jangan kalian udah jadian ya??”

            Vino yang tak siap menjadi bahan olokan langsung salah tingkah. Alhasil teman-temannya semakin menggodanya. Vino pun hanya bisa membantah habis-habisan. Saking semangatnya membantah, Vino sampai kelepasan bicara.

            Vino mengatakan hal-hal yang nggak ia niatkan untuk dikatakan. Dan kalau sampai Raya mendengarnya, mungkin Raya akan tersinggung karena Vino mengatakan saat bersama Raya itu seperti menghabiskan waktu bersama teman cowok. Padahal dalam hatinya, Vino senang bisa berteman dengan Raya. Selain Raya itu asik dan fleksibel, kesukaan mereka akan hal-hal tertentu juga sama. Sehingga Vino merasa nyaman jika bersama Raya. Hanya saja, kepanikan dan malu membuat Vino melupakan sopan santunnya.

            “Plis deh, masa sih gue jadian sama Raya!? Udah bawel, tomboy pula, di mana menariknya?? Malah berasa kayak jalan sama cowok!” kata Vino keterlaluan.

            Anjar, Derry, dan Damar seketika terdiam dan menatap dengan mata membelalak ke arah belakang Vino, di mana tengah berdiri Raya yang baru saja kembali ke kelas. Dan cewek itu berhenti ketika mendengar kata-kata Vino! Wah, wah, celaka tiga belas kamu, Vino...

            “Heh, kenapa kalian malah diam?” tanya Vino yang masih belum menyadari kesalahannya.

            Ketiga temannya langsung memberikan kode pada Vino agar berbalik dan berhenti mengoceh. Anjar mengedipkan mata dengan panik, Damar menggerak-gerakkan alisnya ke arah belakang Vino, sementara Derry sengaja menendang kaki Vino dari bawah meja. Pokoknya kesemuanya nggak berhasil menyadarkan Vino. Akhirnya karena teman-temannya terus menatap ke satu titik, Vino pun berbalik untuk melihat apa yang dilihat teman-temannya.

            Alangkah kagetnya Vino saat mendapati Raya ada di depannya. Akan tetapi, Vino malah tersenyum lebar, untuk menyembunyikan kegugupannya. Raya dengar kata-katanya nggak ya? pikir Vino panik.

            “Woi, Raya! Sejak kapan...” kata-kata Vino terputus oleh sebuah tamparan yang mampir di pipinya. Dan kejadian selanjutnya sudah bisa diduga. Raya meninggalkan kelas, sementara Vino hanya berdiri tertegun.

(Flashback selesai. Kembali ke masa kini...)

            Vino terduduk shock di kursinya. Matanya menerawang ke arah perginya Raya. Ketiga temannya saling pandang bingung, tak tau harus bagaimana membereskan kekacauan yang terjadi tadi. Derry yang merasa paling bersalah, soalnya dialah yang memancing-mancing hingga Vino kelepasan.

            “Vin, lo... oke??” tanya Derry hati-hati.

            “Raya...” gumam Vino linglung.

            Anjar, Damar, dan Derry hanya saling pandang. Percuma mengajak bicara Vino sekarang. Cowok itu masih linglung dan belum sadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi. Lalu, Derry berinisiatif untuk menjelaskan pada Vino apa yang telah terjadi tadi. Setelah itu, barulah Vino berdiri dan berlari keluar kelas untuk menyusul Raya.

            “Nggak nyangka bakal jadi serunyam ini,” kata Derry seraya memperhatikan kepergian Vino. Anjar dan Damar sama-sama mengangguk setuju. Sekarang mereka cuma bisa pasrah pada seberapa parah otak Vino bisa mengartikan apa yang terjadi.

***

            Raya menangis sesenggukan di tempat persembunyiannya. Ia meringkuk di salah satu sudut tersembunyi di ujung lorong di dekat perpustakaan yang jarang didatangi orang. Satu pack tissue habis dipakainya, dan disekelilingnya banyak tissue bekas pakai yang bergelimpangan, dan masih terus bertambah.

            “Raya!” seru Saskia yang akhirnya menemukan Raya. Ia sudah berkeliling sekolah mencari-cari Raya. Untung dia ingat kalau Raya pernah menyebutkan tempat ini sehingga Saskia langsung yakin ke mana tujuan Raya.

            “Lo nggak apa kan??” tanya Saskia sembari duduk di sebelah Raya dan menyentuh pundak temannya itu.

            “Huaaaa....!” tangis Raya malah tambah keras, dan dia langsung menubruk Saskia.

            Saskia merasa dirinya baru habis ditabrak truk tronton dan lehernya dicekik mak lampir lantaran pelukan Raya yang kuat. Saskia megap-megap.

            “Ray, gue...nggak...bisa napas...” ujar Saskia tercekik.

            Raya melepas pelukannya dan menatap Saskia. “Gue benci sama Vino!! Benci banget!! Gue nggak mau maafin dia!!” kata Raya benci dan juga sakit hati.

            Saskia mencoba jalan damai. “Ray, mungkin aja Vino bicara begitu karena diledek teman-temannya kan? Lo tau sendiri gimana kelewatannya Anjar, Damar, dan Derry kalau udah meledek Vino kan,” kata Saskia.

            “Tapi dia juga jangan bicara kayak gitu tentang gue donk! Gue nggak salah apa-apa!!” kata Raya marah. “Gue sakit hati, Sas! Dia nggak pernah nganggep gue sebagai teman ceweknya! Lo kan tau, selama ini gue sengaja bergaul sama anak cowok cuma buat dia! Gue rela tampil tomboy supaya gampang ngobrol sama dia!! Semua gue lakukan buat bisa dekat sama dia!!” seru Raya, lalu terisak lagi.

            Saskia menyentuh pundak Raya bersimpati. Dia tau kalau Raya menyukai Vino sejak lama, tapi baru menyadari perasaannya sebulan lalu. Dan alasan penampilan tomboynya ini juga terpengaruh Vino. Alam bawah sadar Raya selalu ingin bisa bergaul akrab dengan Vino, sehingga tanpa sadar sedikit demi sedikit ia mengubah diri menjadi sedikit tomboy, padahal aslinya Raya itu 98% feminin! Masak jago, bersih-bersih rumah ok, perasaannya halus, wajahnya juga lumayan, apa coba yang kurang? Dan cuma karena seorang Vino, Raya menutupi semua kefemininannya. Kalau nggak, Raya akan mati gaya kalau berhadapan dengan Vino.

            “Ray, Vino mungkin...”

            “Dia nggak punya perasaan apa-apa sama gue! Selama ini dia merasa nyaman dekat gue karena menganggap gue sama dengan teman-teman cowoknya! Gue nggak akan menipu diri gue dengan berharap suatu saat dia akan melihat gue!! Mulai sekarang gue nggak akan memedulikan dia!! Bodo amat sama Vino!!” ikrar Raya berapi-api.

            “Tapi, Ray, mungkin Vino bisa jelasin kenapa...” kata-kata Saskia lagi-lagi dipotong.

            Raya menggeleng tegas. Keputusannya udah bulat dan nggak mau diganggu gugat lagi.    Akhirnya Saskia hanya mampu menghela napas. Ini semua salah Vino! Saskia takkan mau tau bagaimana, tapi cowok itu harus minta maaf pada Raya. Saskia takkan bisa membayangkan bagaimana rasanya hari-hari penuh kemarahan Raya. Pasti kelas bakalan nyesek banget deh...

***

            Vino marathon keliling sekolah. Semua sudut sekolah di datanginya, bahkan sampai sudut yang terpencil sekalipun. Mulai dari UKS, kantin (jelas nggak mungkinlah Raya nangis di kantin, bego!), kelas-kelas lain, ruang klub, lab, bahkan Vino sempat menunggu di depan toilet cewek. Dia berhara, seperti kebanyakan cewek lainnya, Raya akan memilih toilet sebagai tempat bersembunyinya. Akan tetapi karena tatapan-tatapan aneh dari cewek-cewek yang keluar masuk toilet, Vino akhirnya hengkang dan menyimpulkan Raya pasti tak ada di dalam sana.

            Akhirnya Vino memutuskan kembali ke kelas. Dan begitu ia sampai di kelas, dengan napas yang masih ngos-ngosan, didapatinya Raya telah duduk manis di kelas. Segera saja dihampirinya Raya.

            “Ray, gue bisa jelas...”

            “Len, gue pinjam ipod lo donk! Gue suntuk banget nih!” kata Raya pada Lenny yang duduk di meja belakang dan memunggungi Vino.

            “Nih!” kata Lenny sambil memberikan ipodnya pada Raya, ia melempar tatapan bersimpati pada Vino yang tampak memelas dan mandi keringat begitu.

            Vino shock dengan penolakan langsung Raya. Dan bel tanda masuk kelas berbunyi. Memberikan Vino sedikit harapan karena setidaknya Raya akan duduk di sebelahnya dan ia bisa minta maaf pada Raya. Akan tetapi, melihat Raya malah beranjak ke meja Saskia, membuat Vino bertanya-tanya.

            “Kok elo duduk di sini?!” tanya Vino pada Theo, yang seharusnya duduk dengan Saskia.

            “Gue diusir sama Saskia, katanya Raya mau duduk di sana, jadi gue disuruh cari tempat duduk lain,” kata Theo.

            Vino langsung merasakan harapannya runtuh dan jatuh berserakan di kakinya.

            Raya betul-betul marah padanya, bahkan tidak mau memberikan Vino kesempatan untuk menjelaskan. Bukan hanya itu, setiap kali Vino hendak mendekat, Raya selalu melengos dan menghindarinya. Semua sms Vino di delete tanpa dibaca, semua telepon Vino di reject dan Raya menolak menerima telepon Vino walau Vino menelpon ke rumahnya. Vino juga nekat mendatangi rumah Raya, sayangnya Raya menghindar dengan pura-pura tidur sehingga nggak bisa diganggu.

            Hal itu membuat Vino frustasi dan tambah uring-uringan.

            Makanya siang itu, setelah seminggu berusaha tanpa hasil, Vino mengumpulkan teman-temannya di kantin untuk meminta saran dan pertanggung jawaban. Bagaimanapun, merekalah yang memulai semua bencana itu.

            “Jadi, punya ide apa lo-lo pada!?” tanya Vino gusar.

            Vino memandang Anjar. Anjar yang tak tau mau bicara apa langsung menoleh pada Damar. Damar yang juga nggak punya ide langsung menoleh pada Derry. Sementara Derry, dia beralih memandangi... tembok. Derry memandangi tembok itu dengan serius. Ada semut-semut yang lagi merayap sambil bersalam-salaman. Derry berharap semut-semut itu mau membentuk sebuah kata yang bisa ia gunakan.

            “Der, itu tembok nggak bakal bisa gerak! Nggak guna lo lihatin!” kata Vino kesal. Derry beralih pada Vino. “Minta maaf, cuma itu satu-satunya cara yang gue pikirkan,” kata Derry.

            “Heh, geblek! Lo pikir apa yang gue lakukan selama semingguan ini?! Lo nggak lihat gue udah coba minta maaf sampai kayak pengemis begitu?!” Vino meledak.

            “Mana gue tau! Tuh, tanya si Damar! Dia kan udah punya pacar!” seru Derry. “Dam, lo kan udah punya pacar, lo kasih tau ke Vino apa yang lo lakukan kalau pacar lo ngambek!”

            Damar terdiam sejenak, kemudian nyengir kuda. Ia mengedipkan sebelah matanya, membuat perut Vino, Anjar, dan Derry yang baru diisi jatah makan siang bergejolak.

            “Itu sih gampang,” kata Damar. “Gue tinggal...itu...haha”sahut Damar nggak jelas.

            “Itu apa?!” sahut Vino nggak sabar.

            Damar lagi-lagi nyengir. “Gue tinggal manis-manisin, terus gue cium deh, tuh, sampai dia meleleh,” sahut Damar.

            Mata Vino mendelik. “Gila lo!! Lo suruh gue nyium dia?!? Lo mau bantu gali lubang kuburan gue?!!” seru Vino shock.

            “Ya, maaf, itu kan cara gue, Vin,” kata Damar. “Lagian, hubungan lo sama Raya tuh sebenarnya gimana sih? Pacaran, lo bilang nggak. Nggak pacaran, tapi lo kelabakan cuma buat minta maaf,” sahut Damar bingung.

            “Gue juga heran,” kata Anjar menimpali. “Kayaknya lo sama Raya udah klop banget deh. Pembicaraan nyambung, dari segi luar lo sama dia serasi,” kata Anjar lagi.

            Vino langsung garuk-garus kepala dengan kening mengkerut. “Gue juga nggak tau...” sahut Vino.

            Ketiga temannya langsung saling pandang penuh arti. Akhirnya mendaulat Derry diam-diam sebagai juru bicara.

            “Elo merasa nyaman nggak sama Raya?” tanya Derry tiba-tiba.

            “Iya,” sahut Vino, bingung dengan pertanyaan tiba-tiba itu.

            “Kalau disuruh milih antara menjalin hubungan sama Raya atau cewek lain, lo bakal pilih siapa?” tanya Derry lagi.

            “Kenapa pertanyaan lo aneh-aneh gini sih?”tanya Vino.

            “Ya, lo jawab aja,”sahut Anjar.

            “Hmm... gue nggak tau. Raya mungkin? Kan gue udah kenal lama sama dia, jadi nggak usah pdkt lagi kan?”

            Derry mengangguk, lalu menatap kedua temannya, memberi ijin jika ada yang mau bertanya.

            “Menurut lo, Raya itu gimana?” tanya Anjar, menerima tawaran Derry.

            “Ng... lumayan. Tomboy tapi lumayan manis,” kata Vino. “Anaknya juga asik,” tambahnya.

            “Kalau ada yang menjelek-jelekkan Raya gimana?” tanya Damar.

            “Gue hajar!” sahut Vino lugas.

            “Kalau ada cowok yang mendekati Raya?” tanya Derry.

            “Hah?! Mana?? Siapa yang mendekati Raya?! Mana orangnya?!” seru Vino.

            Derry langsung membekap mulut Vino dan mendesis jengkel. “Seandainya, Bego! Seandainya!” desis Derry.

            Setelah Vino menyerap kata-katanya dan jauh lebih tenang, Derry pun melepaskan tangannya.

            “Vin, dari reaksi lo, gue cuma bisa menyimpulkan satu hal,” kata Derry sok bijak.

            “Apa?” tanya Vino.

            “Masa lo nggak sadar sama perasaan lo sendiri sih?” ujar Anjar gemas.

            Vino masih tampak bingung. Derry menghela napas dan menepuk pundak Vino. “Vino, My Friend, lo tuh suka sama Raya,” kata Derry.

            “Iya, gue memang suka sama dia. Raya orangnya asik sih,” sahut Vino kalem.

            OMG! Derry, Damar, dan Anjar langsung menepuk jidat. Pasrah dengan kelambanan otak Vino yang masih pentium rendah dalam menanggapi informasi.

            “Gini ya, Vin,” kata Anjar jengkel. “Maksud kami tuh ya, elo suka sama Raya dalam artian suka antara cowok dan cewek! Lo jatuh cinta sama dia!!” kata Anjar.

            Vino tampak menyerap informasi itu. Perlahan-lahan kesadaran menyusup di otanya dan dia membelalak. Ditatapnya ketiga temannya dengan pemahaman penuh. Kenapa selama ini dia nggak menyadarinya?? Teman-temannya saja sadar, kenapa dia sendiri nggak sadar?? Sekarang Vino merasa panik. Bagaimana ia bisa minta maaf agar Raya nggak marah lagi?? Ucapan Vino jelas-jelas menyakiti hati Raya. Dan semuanya Vino ucapakan karena spontan!

            “Dan gue rasa... Raya juga punya perasaan yang sama kayak elo. Kalau nggak, nggak mungkin dia marah kan?” kata Damar.

            “Serius lo??” tanya Vino, tiba-tiba berharap.

            Damar mengangguk sok yakin, padahal dia juga nggak seyakin itu alias cuma tebak-tebak untung.

            “Te... terus gue harus gimana?? Raya pasti benci sama gue!” kata Vino panik.

            “Tenang, Bro, gue punya rencana,” kata Derry, merasa dirinya sebagai juru selamat. Lalu ia pun membisikkan rencana dadakan yang baru saja numpang lewat di kepalanya pada ketiga temannya.

***

            Raya dan Saskia berjalan beriringan keluar dari pintu gerbang sekolah. Saat sedang asik-asiknya ngobrol, ponsel Raya berdering. Raya melihat nama Derry muncul di layar ponselnya. Raya pun bertanya-tanya kenapa cowok tengil itu menelponnya.

            “Apa?!”sahut Raya ketus.

            “Ray, gawat! Vino, Ray!!”kata Derry terdengar panik.

            “Kenapa sama dia? Urusannya apa sama gue?”sahut Raya sinis.

            “Dia lagi diatap gedung, Ray! Dia bilang mau terjun kalau lo nggak mau ngomong sama dia lagi!”kata Derry.

            “Maksud lo dia mau bunuh diri?”tanya Raya, alisnya terangkat. “Ya udah, biarin aja. Titip salam buat dewa kematian!”sahut Raya pedas. Lalu mematikan ponselnya. Dia mendengus. “Lo pikir bisa bohongin gue?! Mimpi lo!”sungut Raya.

            “Kenapa, Ray?”tanya Saskia.

            Belum Raya menjawab, ponselnya berdering lagi. Kali ini nama Anjar yang terpampang di sana.

            “Gue bilang gue nggak peduli!! Lo boleh suruh dia...”

            “Raya...”

            Kata-kata Raya terhenti karena kaget. Bukan Anjar, melainkan Vino yang diajaknya bicara! Raya diam.

            Suara-suara dengungan murid-murid mengalihkan perhatian Raya. Saskia bahkan sudah menarik-narik tangan Raya, mukanya pucat kayak habis melihat setan. Dengan pasrah Raya membiarkan Saskia menyeretnya ke arah kerumunan di lapangan basket, tempat di mana semua murid berkumpul sambil menunjuk-nunjuk ke atas.

            Sampai di barisan terdepan, Raya mendongak. Ia menyipitkan matanya untuk mencari apa yang ditunjuk oleh Saskia. Mata Raya kontan membelalak tatkala melihat Vino tengah duduk di tepi atap. Raya langsung mengenali cowok itu karena Vino memegang ponsel.

            “Vino?! Apa yang lo lakukan di sana?!”bentak Raya kaget.

            “Ray, gue minta maaf!”suara Vino terdengar melalui ponsel. “Gue memang keterlaluan. Gue minta maaf, Raya,”kata Vino lebih keras. Tampak cowok itu perlahan berdiri.

            “Vin, turun! Lo gila ya?!”teriak Raya. Wajahnya memucat, bahkan tidak menyadari kalau sekelilingnya tengah memperhatikannya.

            “MAAFIN GUE DULU BARU GUE TURUN!!!”teriak Vino keras, kali ini bukan dari ponsel, melainkan dari atap langsung.

            “Jangan gila!!”sahut Raya marah. “TURUN!!”bentak Raya.

            “NGGAK AKAN!! GUE NGGAK AKAN TURUN SAMPAI LO MAU MAAFIN GUE!!”sahut Vino.

            “Gue nggak akan maafin lo kalau lo nggak turun!!”

            “RAYA!! LO MAU MAAFIN GUE NGGAK?! GUE NGGAK BISA KALAU LO MARAH SAMA GUE! GUE KESEPIAN KALAU LO NGGAK ADA!!”

            Raya kini menyadari kalau dirinya tengah menjadi pusat perhatian. Wajahnya memerah dan ia mendesis marah.

            “IYA, GUE MAAFIN!! TAPI LO TURUN!!!”teriak Raya putus asa.

            “JANJI?!”teriak Vino lagi.

            “IYA!!!”

            Akhirnya Vino bersedia mundur dari tepi atap. Akan tetapi, tubuh Vino tiba-tiba tampak oleng dan menghilang di balik pagar yang membatasi pinggiran atap.

            Raya menjerit spontan dan menghambur menembus sisa kerumunan. Ia langsung berlari ke arah tangga yang akan langsung membawanya naik ke atap. Pikirannya berpacu ke kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Vino? Bagaimana kalau kepalanya membentur lantai saat jatuh? Bagaimana kalau... Dan Raya tak bisa berpikir jernih. Ia takut berpikir hal buruk apa yang mungkin terjadi. Dia harus memastikannya sendiri.

            Sepeninggal Raya, Anjar muncul entah darimana dan menuju ke arah kerumunan. Membalas tatapan atau pelototan Saskia dengan senyum kalemnya. Lalu, pada anak-anak yang berkerumun dia berkata.

            “Oke, guys, thanks buat bantuan kalian. Sekarang kalian udah boleh bubar! Makasih ya!!”kata Anjar.

            Satu persatu anak-anak itu pun membubarkan diri sambil membahas apa yang mungkin terjadi saat Raya menemukan Vino. Masing-masing saling berspekulasi bagaimana akhirnya nanti.

            Anjar tersenyum puas dan melambaikan tangannya pada anak-anak yang membantu menyatukan kerumunan tadi.

            “Apa maksudnya itu?!”tuntut Saskia.

            Anjar tersenyum dan merangkul pundak Saskia. “Saskia sayang, kita harus membantu Vino agar bisa berbaikan sama Raya. Hal tadi itu diperlukan agar Raya bersedia bicara sama Vino,”jelas Anjar.

            “Jadi tadi itu cuma bohongan?!”seru Saskia. Ia menepiskan tangan Anjar dari pundaknya. “Kalian melakukan hal kayak gitu cuma buat memberikan Vino kesempatan?! Kalau jatuh betulan gimana?!”

            “Nggaklah, kita udah mengantisipasi hal itu kok,”kata Anjar santai.

            Saskia terdiam dengan mata menyipit. “Apa kalian tau bagaimana reaksi Raya kalau dia sampai tau?”tanyanya.

            Anjar terdiam, lalu perlahan menatap Saskia. Seringai nakal menghias bibirnya. Lalu ia merangkul Saskia lagi.

            “Lo akan membantu kan?”katanya.

            “Hmm... gimana ya,”sahut Saskia.

            “Lo boleh minta traktir nanti,”rayu Anjar.

            Perlahan Saskia tersenyum licik. Membuat Anjar langsung menyesali tawarannya barusan.

***

            Raya sampai di atap dengan napas tersengal-sengal. Napas Raya terhenti beberapa detik saat melihat Vino terbaring di lantai atap. Segera saja Raya berlari ke arah Vino, dengan perlahan meraup kepalanya dan letakkannya di pangkuannya.

            “Vin, Vino!”panggil Raya sambil menepuk-nepuk pipi Vino pelan. “Vino, jawab gue!”kata Raya, suaranya bergetar karena cemas. Ia memeriksa apakah ada luka di kepala Vino sehingga menyebabkan cowok itu nggak sadarkan diri. Akan tetapi, ia tak menemukan luka apapun.

            “Vin, bangun! Iya, gue bakal maafin elo! Tapi lo harus bangun! Lo dengar?! Gue udah maafin elo!!”kata Raya cemas. Ia menepuk-nepuk pipi Vino. Tapi Vino nggak juga membuka matanya. Raya menoleh ke kanan dan kekiri, berharap menemukan teman-temannya entah di mana, tapi tak tampak tanda-tanda keberadaan mereka. Raya mulai cemas.

            “Vin, masa lo mati sih?? Vin! Bangun! Kenapa lo masih nggak mau bangun?! Gue udah maafin elo, Bego! Kenapa sih lo harus pakai cara kayak gini?! Lo nggak pernah mikirin perasaan gue ya?! Apa lo nggak mikir kalau gue bakal sedih?!”ujar Raya setengah menangis. Ia mengusap matanya dengan punggung tangannya. “Gue sayang sama elo, Cowok Bego,”kata Raya terisak. Membuat beberapa tetes air mata jatuh di pipi Vino.

            “Gue sayang sama elo...”isak Raya.

            Tangan kanan Vino terangkat dan menyentuh pipi Raya. Raya tersentak dan menatap tak percaya pada Vino yang kini tengah menatapnya.

            “Gue juga sayang sama elo,”sahut Vino, lalu sebelum Raya sempat bereaksi, Vino menarik kepala Raya dan mendaratkan sebuah kecupan manis di bibir Raya. Kemudian Vino bangun dan duduk di depan Raya yang masih belum bergerak.

            “Raya?? Hei, Raya??”panggil Vino cemas sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Raya. Tampaknya aktingnya tadi agak kelewatan, apalagi sampai membuat Raya menangis.

            Raya mengerjap. Matanya memicing marah.

            “Lo...”desis Raya, sadar dirinya telah dipermainkan. Amarah seketika menyergapnya dan dia berdiri dengan tiba-tiba. “Lo bohong sama gue!!”bentak Raya.

            Vino ikut berdiri. “Sorry, tapi gue melakukan ini supaya elo mau dengarin gue bicara, Ray,”kata Vino.

            Raya menggeleng marah. “Brengsek lo! Gue benci sama elo!!”teriak Raya sambil melempar Vino dengan tasnya dan berderap pergi.

            Vino segera mengejarnya dan menangkap tangan Raya sebelum cewek itu pergi. Ditariknya tangan Raya dan memaksa cewek itu agar berhenti.

            “Lepas!!”teriak Raya marah.

            “Raya, dengarin penjelasan gue dulu!”kata Vino.

            “Nggak akan!! Lepasin gue!!”

            Vino menarik Raya dan memeluknya, tak peduli Raya memberontak dan memukul-mukulnya. Vino mengeratkan pelukannya. “Ray, gue minta maaf! Gue tau gue salah! Dan gue nggak mau kehilangan elo lagi! Gue sayang sama elo, Ray,”kata Vino.

            “Bohong!! Lo sama sekali nggak menganggap gue cewek kan?!”

            “Nggak! Gue serius! Gue cinta sama elo! Gue melakukan semua ini supaya elo mau maafin gue!!”kata Vino. “Please, kasih gue kesempatan! Gue akan buktikan ke elo kalau gue serius,”pinta Vino.

            Raya berhenti meronta-ronta sehingga Vino menghela napas diam-diam.

            “Ray, gue mau lo jadi cewek gue...”lanjut Vino serius.

            “Gue nggak percaya,”kata Raya dingin.

            “Gue serius! Ini pertama kalinya gue merasa nggak karuan begini cuma karena elo marah sama gue! Kenapa lo nggak mau mencoba percaya??”

            “Karena elo nggak peka!! Elo nggak mungkin merencanakan semua ini kan?! Lo pasti dibantu sobat-sobat brengsek lo itu kan?!”kata Raya. “Dan sekarang mereka pasti tengah menertawakan gue di suatu tempat! Iya, kan?!”

            Vino langsung gelagapan dan menyangkal semua yang dikatakan Raya. Memang ia dibantu, bahkan ini idenya Derry. Tapi Vino yakin ia sudah mengatakn dengan cukup jelas kalau ia nggak mau ada yang mengintipnya. Jadi pasti teman-temannya itu sudah menyingkir kan?

            “Gue memang dibantu, tapi gue nggak bohong!”kata Vino. “Gue nggak mungkin nekat berdiri di luar pagar kalau gue nggak serius kan??”

            “Kenapa?! Kenapa harus pakai cara berbahaya gini?! Kalau lo jatuh beneran gue harus gimana, hah?!”bentak Raya.

            Vino kembali meraih Raya ke dalam pelukannya. “Maaf, abisnya gue nggak tau harus pakai cara apa lagi,”kata Vino. “Gue harus bisa membuat lo mau mendengarkan gue,”lanjutnya.

            “Jelas aja gue nggak mau bicara sama elo!!”sahut Raya. “Gue sebal sama lo!”

            “Tadi lo bilang lo sayang sama gue,”kata Vino dengan mimik polos.

            Wajah Raya seketika memerah. “I... itu karena gue panik! Gue tarik kata-kata gue tadi! Gue nggak sayang sama elo!!”tukas Raya.

            Vino cemberut dan menatap Raya nggak setuju. Bahkan setelah sampai di sini, Raya nggak juga mau jujur?

            “Ray, jujur donk... Gue udah ngaku kalau gue sayang sama elo. Apa elo masih mau mengingkari perasaan lo??”tanya Vino.

            Raya mengerjap. Vino dengan lembut menengadahkan wajah Raya agar tatapan mereka beradu.

            “Jangan siksa gue donk...”pinta Vino.

            Raya menatap Vino. Ia hendak membuka mulutnya saat ia merasa mendengar suara-suara bisikan pelan. Keningnya berkerut. Ditatapnya Vino, kekesalannya bangkit lagi.

            “Tadi lo bilang teman-teman lo nggak di sini?!”desisnya marah.

            Vino tampak bingung. “Iya, mereka memang pergi kok,”kata Vino.

            Tapi Raya nggak yakin. Ia mencoba melepaskan diri dari Vino. Akan tetapi, Vino menolak melepaskannya sampai Raya mengatakan apa yang ingin di dengar Vino. Raya mendelik.

            “Ray, gue udah melakukan hal nekat cuma buat mendengar pengakuan dari elo,”kata Vino lembut. “Masa lo mau membuat usaha gue sia-sia.”

            Raya tak dapat berkata-kata. Sejenak ia melupakan kecurigaannya mengenai mereka nggak hanya sendirian di atap sana. Ia menatap mata Vino, yang juga tengah menatapnya.

            “Raya, gue cinta sama elo,”bisik Vino dan menundukkan wajahnya.

            Raya menahan napasnya. Jantungnya berdebar keras hingga terasa menyakitkan di rongga dadanya.

            Lalu terdengar suara grasak-grusuk.

            Gerakan Vino terhenti beberapa senti sebelum ia betul-betul mencium Raya. Keningnya berkerut, begitu juga Raya. Perlahan ia menegakkan tubuhnya.

            “Lo juga dengar?”bisik Raya.

            Vino mengangguk. Keduanya sama-sama diam dan mendengarkan. Lalu, bersama-sama mereka melangkah ke pintu. Suara grasak-grusuk terdengar makin jelas dari balik pintu. Mirip tikus yang yang kocar-kacir setelah mencuri makanan.

            Dengan sekali sentakan, Vino membuka pintu yang tadinya tertutup itu. Matanya mendelik saat melihat Damar, Derry, Anjar dan juga Saskia tengah berdesak-desakan di ambang pintu.

            Keempat wajah itu menengadah, lalu memamerkan cengiran aneka maksud. Damar dan Anjar dengan cengir mupeng, Derry dengan cengir bajingnya, dan Saskia dengan cengir bersalahnya. Keempatnya menatap Vino yang kini tengah bersedekap.

            “Enak ya? Ngintipin orang seenaknya?!”cetus Vino.

            “Hai...”sahut keempat anak itu.

            Terdengar suara kertakan jari-jari dan setiap mata beralih ke arah Raya yang menatap dengan mata memicing. O...oww....

            “Kalian harus mampus,”desis Raya.

            Vino mengangguk setuju. Ia juga mengkertakan jari-jarinya dan melangkah ke pintu. Anjar, Damar, Derry dan Saskia buru-buru kabur dengan suara berisik. Menghindari amukan dari kedua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu.

THE END

Continue Reading

You'll Also Like

1M 100K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
1.4M 69.9K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.8M 8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
792K 74.8K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...