EVERNA SAGA lintas.masa

By Everna

6.2K 501 36

Wahai penjelajah, mari bertualang melintas zaman dan masa Dari masa dunia dipulihkan dan sihir kembali lahir... More

PESAN DALAM BOTOL Andry Chang
PADANG AMRU Grande Samael
KEMBALI DI DESAKU Anjar Adityatsu
KUTUKAN SANG PENYIHIR Kayzerotaku
EVE Bayee Azaeeb
LEINA DAN MALIN Andry Chang
SEBUAH PENGEJARAN Kayzerotaku
SIHIR VS ROBOT Wiendi Lauwinder
MALAM 1001 MALAM Dini Afiandri
DUA GELANG YANG TAK BISA BERSAMA Shin Elqi
CEI: SUDAH BERLALU Mad-Writer
CEI: SUDAH TERKUBUR Mad-Writer
ARTI SEBUAH KEKUATAN Wiendi Lauwinder
LUKA LUNA Renee Keefe
LORONG KRISTAL Rexa Strudel (Bagian 1)
LORONG KRISTAL Rexa Strudel (Bagian 2)
LEGENDA LI JUNYANG Andry Chang
SEDEKAPAN ASAGAO Duniamimpigie
KISAH SANG SUMBER Andry Chang
DEWASA ATAU MATI Andry Chang

LARCUS Cecilia Lika

118 19 0
By Everna

LARCUS Cecilia Lika

"Kamu ini apa?"

Si gadis mungil mencengkeram gaunnya dengan gugup. Matanya yang bulat besar berbinar, terpaku menatapku.

"Seperti kuda. Seperti orang," gumamnya.

Ia berlari dengan kaki-kaki kecilnya mendekat—menginjak-injak rumput yang basah karena hujan pagi tadi—kemudian berdiri diam mengamati. Kupikir tubuhku yang berbeda dari kaumnya akan membuatnya takut, namun aku salah. Mau tak mau aku meringkik dan menghentakkan kaki saat ia mengulurkan tangan ingin menyentuh badanku. Rasanya tidak nyaman berada dekat dengan manusia, mungkin karena aroma mereka atau karena wajahnya yang ingin menangis setelah kugertak, entahlah.

Anehnya, ia tidak juga pergi.

Matahari yang bersembunyi di balik pegunungan kini bersemburat merah, menandakan gelap akan datang, dan dia bergeming. Aku tidak suka keheningan yang canggung.

"Aku disebut centaurus, manusia kuda," ujarku akhirnya.

Gadis itu melongo menggumamkan oh panjang lalu tersenyum, membuat jantungku melompat sekilas. Ia mengulurkan tangannya lagi, kali ini hendak berjabat tangan.

"Aku Lulu," ia tersipu, "Aku tinggal di Dalamar. Apa kamu pernah kesana?"

Aku menjabat tangannya, mengabaikan pesan ayah untuk tidak main-main dengan kaum manusia. Kupikir ia tidak mungkin berbahaya, apa sulitnya mengatasi manusia yang berukuran sedikit lebih kecil dariku.

"Namaku Larcus," aku membalas, "Dan ya, aku pernah ke sana bersama ayahku. Kunjungan yang tidak menyenangkan."

Lulu menelengkan kepala. Apa maksud Larcus? Bukankah centaurus itu juga warga Kerajaan Castoria, seperti dirinya? Namun sebelum aku sempat menjelaskan, telingaku menangkap suara manusia di kejauhan dan badanku sontak menegang. Bila lebih banyak manusia datang, sepertinya ini saat bagiku untuk lari. Tapi rupanya yang datang hanya seorang lagi manusia wanita.

"Seseorang mencarimu," kataku. Lulu mendelik, sepertinya sama sekali tidak percaya.

"Dari mana kau tahu?"

Sayup-sayup terdengar suara wanita itu memanggil-manggil Lulu, membuatnya seketika lesu dan menggumam kecewa.

"Aku harus pulang," ujarnya singkat, kentara sekali enggan pergi.

Entah harus merasa lega atau sedih, namun aneh, ekorku tak hentinya berdesir. Lulu memandangku terakhir kali kemudian berbalik, berlari menuju asal suara. Dan jantungku berdegup kencang melihat punggungnya menjauh. Kapan aku bisa menemuinya lagi?

"Lulu!"

Yang kupanggil berhenti dan menoleh. Mata zamrudnya....

"Apa...," ujarku gugup, "Apakah kau akan datang lagi?"

Ia tertawa.

"Pasti!" Ia melambai bersemangat.

Aku mengawasinya hilang di balik pepohonan, kemudian senyumku mengembang tanpa alasan. Seharusnya aku cepat-cepat pulang, tapi kakiku tidak mau bergerak. Tidak saat aku masih bisa mendengar suara nyaring Lulu di kejauhan.

Walau dia manusia, dia adalah teman pertamaku. Rasa hangat yang aneh pun mengii dada. Aneh, tapi begitu nyaman. Aku sengaja berlambat-lambat pulang, berharap rasa ini tak pernah hilang.

==oOo==

Beberapa tahun kemudian...

Aku menunggunya di pinggir danau. Seperti biasa. Namun kali ini, langit telah berubah ungu gelap sebelum ia datang tergopoh. Gaunnya berantakan dihiasi ranting dan daun. Rambutnya yang hitam sepanjang pinggang agak kusut diacak angin.

Kurasa aku tak perlu lagi bertanya.

"Maafkan aku, Larcus," nafasnya tersengal, "Ayah tak biasanya berlama-lama mengoceh."

"Duduklah." Aku tahu ia letih.

Lulu duduk di sampingku lalu mulai berkeluh tentang kegiatannya hari ini. Seperti biasa. Aku tentu tahu, hidupnya sebagai putri kerajaan begitu membosankan. Ia lebih menikmati mempelajari seni pedang dan ilmu beladiri, seperti yang kuajarkan padanya selama ini. Beberapa tahun belakangan ini ia kubimbing, selama itu pula keterampilannya terus berkembang hingga nyaris mampu menandingi centaurus paling tangguh sekalipun, yang mana centaurus itu adalah–tanpa bermaksud sombong–aku.

"Jika saja aku laki-laki, aku akan menjadi ksatria pengelana, mengembara ke seluruh negeri, menjelajah dunia," begitu katanya dulu. Aku bisa mengerti. Boleh dikatakan kondisi kami serupa. Ayahku sebagai ketua klan berharap banyak padaku. Teknik bertarung, kecerdasan dan ketangkasan, kebijaksanaan dan kepemimpinan. Aku terus belajar tentu saja, walau bagaimanapun jalan hidupku sebagai penerus sudah terpatok. Tapi jika saja mungkin, ingin rasanya memilih pergi dengan Lulu.

Mimpi kosong belaka tentu. Yang biasanya dihiasi celoteh dan canda setiap kali kami bertemu. Tapi hari ini, suasana hatinya buruk. Dari matanya memancar cemas dan bingung. Ketika aku menyinggung soal ini, ia sejenak ragu dan memeluk lutut, termenung.

"Apa pernah terpikir olehmu untuk tidak mengikuti jejak ayahmu—menjadi ketua klan?"

Seketika segalanya jelas. Rupanya ia mencemaskan yang selalu menghantui benakku.

"Sebetulnya, hidupmu adalah pilihanmu, dan bukan orang lain. Tidak juga ayahmu," aku membalas.

"Aku tahu. Hanya saja, kita tidak selalu punya pilihan, bukan?"

Jawabannya membuatku sesak. Kata-katanya itu benar, dan aku pun turut menghadapi dilema yang sama. Maka nada getir yang tersirat itu begitu bisa kurasakan. Aku sendiri tak pernah memikirkan perkataannya ini lagi sampai segalanya telah menjadi buruk.

Malam itu adalah hari terakhir aku melihat senyum Lulu.

==oOo==

"Bajingan!"

Ayahku murka. Ia berjalan mondar-mandir, menimbulkan suara ketukan nyaring pada lantai kayu. Centaurus lain yang hadir di pondok kecil ini terlihat tidak tenang, beberapa bahkan gusar dan mengibaskan ekor tak sabar.

Pertemuan mendadak bagi para pemimpin klan dicetuskan oleh Regis—salah satu dari empat pemimpin klan. Ia melaporkan dua orang manusia berpakaian kulit dan mengenakan lambang resmi Kerajaan Castoria telah melukai seorang warga—Omu—di tepi Sungai Kehl kemarin sore. Si bodoh, tentu saja. Siapa lagi yang mampu begitu bodoh berburu ikan di sana, sementara hubungan centaurus-manusia tengah memanas.

"Salahnya sendiri," aku menukas, "ia jelas-jelas tahu sungai itu tidak aman. Itu 'kan perbatasan wilayah kita dan Castoria."

"Meskipun begitu, manusia-manusia tengik itu rupanya ingin mencari masalah," seru Varron—dialah pemimpin klan bertubuh paling besar dan berotot, "Ini artinya perlawanan, tuanku."

Yang kutakutkan terucap.

"Jangan gegabah," aku menyergah, berharap pemimpin yang lain tak sependapat dengannya. Reaksi ayah yang samar sama sekali tidak membantu. "Sudah bertahun-tahun hubungan antara centaurus dan manusia dipertahankan. Kalau kita memulai perang sekarang, semuanya akan sia-sia begitu saja."

"Lalu apa? Diam saja? Setidaknya kita harus melindungi warga yang dilukai bukan?" Varron berpaling ke arah pemimpin yang lain meminta dukungan.

Regis mengangguk setuju di belakangnya sementara Niverta—satu-satunya perempuan pemimpin klan—diam menyandarkan bahunya pada tiang kayu penyangga pondok. Aku cemas dengan sikapnya yang tertutup, namun ia satu-satunya tersisa. Jika ia pun menentangku....

"Niverta?"

"Perang hanya akan mengorbankan warga lebih banyak lagi," jawabnya singkat, namun cukup membuatku lega. "Ingat, kita adalah kaum pendatang di Castoria ini, yang bermigrasi besar-besaran akibat wabah di Parthenia dan diperkenankan menempati wilayah hutan ini berkat kemurahan hati Raja Castoria waktu itu. Para manusia adalah tuan rumah di wilayah negeri ini, kita harus selalu menghormati kedaulatan mereka."

"Tapi raja yang memerintah saat ini tak sepikir dengan pendahulunya! Lantas bagaimana kalau suatu saat para manusia itu memutuskan ingin menebang kayu di Hutan Walsch, wilayah kita, kaum centaurus ini? Apa kita akan membiarkan mereka begitu saja? Huh, perempuan memang tidak seharusnya menjadi pemimpin klan!" ujar Varron ketus.

Sebelum aku sempat mencerna kalimat Varron itu, Niverta telah meringkik marah dan menerjang Varron. Dua kaki depannya telak menghantam dada si pejantan yang kini meringis mencengkeram dada.

"Tarik ucapanmu!" geram Niverta.

"Kau—!"

Aku dan Regis harus bersusah payah memegangi Varron saat centaur bertubuh hitam legam itu menggerung dan hendak menyerang.

"Hentikan kekonyolan kalian!" gelegar ayah, membuat mereka diam.

Varron dan Niverta saling bersitatap dengan sorot mata berapi-api, namun keduanya tak lagi saling menyerang. Pondok itu kini diselimuti keheningan nan canggung.

"Ayah, pikirkanlah matang-matang," kataku, "Kaum centaurus telah berabad-abad menjalin hubungan baik dengan manusia, baik di Parthenia maupun di seluruh Benua Aurelia. Kita mungkin hanya klan kecil, tapi memulai peperangan sekarang hanya akan menyulut perang antar ras yang jauh lebih besar di wilayah lain. Ini akan mempengaruhi tidak hanya generasi kita, namun juga anak-cucu kita nantinya."

"Namun tidak bisa dipungkiri, manusia selalu memandang rendah kita, Larcus," balas ayah, "Mereka pikir kita hanya hewan bodoh berkaki empat yang bisa mereka peralat sebagai prajurit bertempur, ingatkah kau?"

"Ingatkah pula ayah akan masa-masa kita bersekutu dengan Castoria, bahu-membahu dalam Perang Suci?" aku menantang, "Itu dua puluh tahun terbaik yang pernah kita lalui, dan terus berlanjut sebagai masa-masa damai dan indah sampai saat ini."

Sang ketua tidak menjawab. Alisnya bertaut, kakinya mengais-ngais, sementara lengan kokohnya terlipat di depan dada. Gambaran nyata pikirannya sedang bergumul, seperti juga aku. Entah apa jadinya jika perang ini benar-benar meletus. Beberapa tahun tak lagi bisa bertemu Lulu sudah cukup buruk tanpa harus ditambah saling membunuh.

"Tuan Zion," sahut Regis, "Jika nama ras kita tidak dikokohkan sekarang, maka manusia akan semakin menginjak-injak kita," ia memberi tekanan pada kata "ras kita" dan "menginjak-injak", menegaskan betapa gawatnya situasi sesungguhnya ini.

"Beri aku waktu untuk berpikir," ayah menghela nafas, "Larcus, peringatkan warga untuk tetap menjaga jarak dengan perbatasan. Sementara itu, Varron, persiapkan para petarungmu yang paling tangguh untuk berjaga-jaga. Jangan sampai kudengar lagi ada warga yang terluka. Mengerti?"

"Ayah—"

"Pergilah."

Aku menyilangkan satu lengan di depan dada dan membungkuk hormat bersamaan dengan ketiga pemimpin, lalu meninggalkan pondok. Memang ayah belum memutuskan untuk berperang, namun firasat buruk terus saja berdenyut, membuat jantungku seakan tak pernah berhenti menghentak.

==oOo==

Sebulan telah berlalu sejak rapat terakhir itu, dan yang kutakutkan perlahan mulai terjadi. Castoria telah mengumumkan ultimatum perang ke seluruh sudut kerajaan. Tentu jika bukan karena Varron yang menghina status raja di hadapan para manusia di perbatasan hari itu, tak mungkin mereka sekonyong-konyong meminta klan kami untuk tunduk di bawah pengawasan Kerajaan Castoria. Tentu saja ayah menolak, meskipun Hutan Walsch, daerah pemukiman kami jelas berada dalam wilayah Castoria.

"Centaurus adalah kaum bebas, dan akan selamanya bebas. Punya hak apa manusia mencampuri yang bukan urusannya?" Begitu kata ayah pada utusan kerajaan. Pun beliau tidak meminta maaf atas kelakuan kasar Varron.

Jika ada yang kusesalkan, itu adalah sifat bawaan kami yang sedikit angkuh. Walau itu membuat kami dihormati, tapi di sisi lain juga dapat menjatuhkan. Ayah menghardik, yang lain berang saat kukemukakan pendapatku tentang sifat kaum centaurus itu. Hampir saja aku membusuk dalam penjara bawah tanah, dan hanya statusku sebagai ahli waris klanlah yang menghindarkanku dari nasib konyol itu.

Esoknya, beliau mengutus Varron untuk mempersiapkan senjata, sekedar berjaga-jaga bila yang ditakutkan terjadi. Warga caentaurus membisikkan kata "perang" di sana-sini, hingga tak pelak manusia melihat gerak-gerik kami itu sebagai tindakan perlawanan dan pemberontakan. Belum sempat utusan dikirim untuk memperjelas masalah dan berunding, mencari pemecahannya, ultimatum Castoria pada klan centaurus telah menggema. Takluk atau musnah.

Mereka tak memberi pilihan bagi kami selain melawan, tentunya. Belum pernah sepanjang sejarah Everna klan centaurus tunduk di bawah kuasa siapapun, tak terkecuali manusia. Di Castoria, di Parthenia maupun di penjuru-penjuru manapun di dunia. Seperti yang diungkap ayah, kebebasan adalah segalanya bagi kami.

Maka hancur sudah harapanku dan keinginanku untuk terus bersama Lulu, seperti masa kecil kami dulu. Ingin rasanya aku menyerah saja pada Castoria. Apa arti kebebasan bila harus saling membunuh untuk meraihnya? Terlebih bila harganya adalah kehilangan seseorang yang begitu kucintai. Pun aku tak sanggup meyakinkan ayah agar mencari jalan yang lebih baik daripada konfrontasi. Pula tak mungkin kukhianati kaumku, membuatku terhimpit dilema yang mengiris jantung.

Tidak ada cara lain. Belati kembar mengkilat kusarungkan di pinggang. Busur kayu kokoh bertengger di bahu. Siap bertahan atau mati.

==oOo==

Aku bertugas jaga di sayap timur. Bulan setengah penuh yang menyorot hutan tidak cukup terang. Indera centaurus yang tajam kupikir akan menjadi keunggulan kami kali ini. Aku menunggu dengan perasaan kalut menghantui. Hening yang begitu tidak wajar membuatku semakin gugup hingga telapak tanganku berkeringat. Setiap detak jantungku terdengar seperti hantaman di dada. Aku mencengkeram erat pisau belati kebanggaanku, dengan tegang mendengarkan.

Gemerisik samar tak jauh dari tempatku berdiri, menandakan kawan-kawanku telah bersiap, masing-masing dengan senjatanya. Kami—sekitar tiga ratus petarung khusus—melawan pasukan manusia yang hampir seribu banyaknya, berpencar di sekeliling perbatasan. Di jantung hutan, kira-kira dua ratus lagi warga biasa juga telah siap.

"Kau baik-baik saja?"

Niverta menyapaku dengan pertanyaan konyol. Siapa yang akan merasa baik-baik saja menjelang perang? Menghargai niat baik dalam sapaanya itu, aku mengangguk.

"Aku selalu bisa membedakan saat seseorang berbohong, kau tahu." Ia tersenyum.

Tentu saja. Niverta mengetahui kisahku dan Lulu. Bukan maksudku memberitahunya, hanya aku tak punya pilihan setelah ia melihatku di danau bersama Lulu. Sehingga kupikir ia bisa mengerti galau yang tengah kurasakan saat ini.

"Kau memilih jalan yang benar," ucapnya lagi. Aku tidak yakin, tapi belum sempat mendebatnya, dentum menggelegar disusul teriakan perang terdengar jauh di selatan, kawasan Regis. Niverta lantas melesat lenyap ditelan hutan.

Aku memberi tanda bersiap pada kawan-kawanku lalu menajamkan pendengaran. Desing lontaran anak panah, denting pedang beradu dan derak perisai bertumbukan saling menyahut. Pendengaranku tidak salah. Hatiku menjadi ringan saat yakin pihak kami unggul.

"Bersiap, Larcus," bisik Varron beberapa meter dariku, "Waspadai arah timur."

Aku terhenyak. Lima puluh pasang kaki mengendap-endap menginjak belukar dan ranting tak jauh di sana. Aku menunduk dan menyiapkan busur. Dengan aba-aba kepalan tangan, rekan-rekanku memasang anak panah lalu membidik. Di sudut mata, kulihat Varron telah siap dengan busurnya yang teramat besar dari balik perlindungan sebatang pohon ek. Kepalanku terasa dingin dan kaku menunggu jarak yang tepat untuk menyerang.

Sedetik kemudian, dengan satu ayunan tangan, panah-panah melesat tanpa suara, menyambar sekumpulan bayangan hitam di seberang. Tanpa menunggu, aku turut melontarkan panah secepat lenganku mampu, mencegah mereka sampai. Puluhan tumbang, namun yang tersisa kini berlari dan berteriak menyerang. Kurasa busur tak lagi berguna sekarang. Dengan sigap kuayunkan belati kembar mengkilat dalam genggaman dan berlari maju. Kawan-kawanku berderap mengikuti, disusul dengung nyaring sangkakala kami.

Aku melihatnya. Seorang manusia berzirah dengan pedang ramping datang lebih dulu, mengayunkan bilahnya ke arah kepala. Mudah bagiku berkelit. Berikutnya ia telah jatuh tak bernyawa dengan leher menganga. Belatiku mencicipi darah pertamanya. Namun tak ada kepuasan sama sekali, melainkan gundah memikirkan apa yang akan dikatakan Lulu bila tahu aku menghabisi kaumnya.

Gerungan Varron tak jauh di kanan membuatku tidak sempat berpikir. Naluri menggerakkan lenganku dengan liar, menyabet kesana kemari. Sempat aku membunuh beberapa lagi sebelum mendadak sebuah ledakan, menggetarkan tanah, menghempasku membentur pohon.

Segalanya tiba-tiba berlangsung sangat cepat. Kobaran api entah darimana melahap pepohonan dan semak-semak lalu kian membesar. Kepalaku pusing dan telinga ini berdenging, membuatku linglung tak tahu arah. Sekonyong-konyong puluhan pasukan lengkap dengan pedang dan perisai menyerang dengan brutal.

Sambil berusaha menangkap gaung suara Varron atau yang lain, aku menghindar sebisa mungkin, menebas manusia yang datang bergulung-gulung. Aku menerobos hutan berusaha kembali ke posisi namun semuanya tergantikan lidah-lidah api dan asap hitam mengepul. Mataku perih. Kulitku seperti terbakar. Jantungku mencelos saat menyadari telah terkepung lautan api. Panah-panah tak hentinya menyambar entah dari mana. Aku berhasil menangkis dan menghindar sebagian besar, terkecuali satu yang kini menancap di lengan kiri.

"Varron!"

Tak ada tanggapan, hanya jeritan dan keributan serampangan dari balik gulungan api. Aku sadar otakku mulai panik tak bisa berpikir jernih. Ditambah lagi manusia-manusia ganas terus berdatangan memaksaku melawan sambil berlari asal dalam gumpalan asap pekat. Detik berikutnya kurasakan kepalaku berputar dan paru-paruku berontak menyakitkan. Aku mencengkeram dada, memaksa kakiku berderap keluar dari neraka ini, namun akhirnya selip dan tumbang. Segalanya berputar, telingaku mendengung tak wajar. Lalu buram.

==oOo==

Saat kesadaran perlahan membangunkanku, hal pertama yang kurasakan adalah perih tak tertahankan. Aku membuka mata dan mendapati lenganku berlumur darah segar, membasahi rerumputan dimana aku tergeletak.

Kupikir segalanya akan berakhir saat aku sadar, mati ataupun hidup. Tapi ternyata asap hitam masih tampak menggulung, api masih berkobar. Bau hangus kayu dan kulit terbakar begitu menusuk hidung. Tersadar harus segera keluar dari sini, aku bangkit, menarik nafas dengan tangan mencengkeram lengan yang tertancap panah.

"Lama tak berjumpa, Larcus."

Aku terlonjak dan buru-buru menoleh. Dia berdiri di sana, zirahnya berkilau merah oleh cahaya api, layaknya dewi perang. Aku tak mampu berucap. Bahkan tak sanggup bertanya mengapa dia bisa ikut bertempur. Dialah Lucrezia Montefort, Putri Mahkota Kerajaan Castoria yang lebih kukenal lewat nama kecilnya.

"L... Lulu...!" seruku akhirnya.

"Kukira kau sudah mati. Lama aku berdiri di sini."

Suara Lulu sungguh lembut, melelehkan bekuan di jiwa. Suara yang hati ini rindukan sekian lama. Seketika aku lupa sedang berada di kancah pertempuran.

"Aku tak tahu kaupun turut serta, Lulu. Belatiku telah membunuh banyak kaummu. Maafkan aku. Bisa-bisa kau yang kubunuh dalam gelap... aku....,"

"Bodoh. Jika tidak membunuh, kaulah yang akan mati."

Kulihat matanya sendu. Aku berharap bisa melihat ia tersenyum, namun kehadirannya saja telah membuat perih di lenganku lenyap. Rasanya ingin sekali memeluknya, melenyapkan kegalauan di hatinya.

Lulu melangkah mendekat. Bilah pedang bertatahkan safir di genggamannya terseret, bercericit di tanah berbatu-batu.

"Apa kabar?" tanyaku. Benar-benar terdengar bodoh.

Nada suara Lulu berubah bergetar. "Maafkan aku, Larcus. Aku di sini sebagai Putri Mahkota Kerajaan Castoria. Sudah tugasku...."

"...membunuhku?"

"Mengapa kau melawan?" air mata Lulu menitik, "Sia-sia kukirim utusan itu untuk meminta kalian takluk. Kupikir bisa bersatu dengan manusia adalah yang kau inginkan. Bersatu denganku."

Hatiku teriris. Dia tak tahu betapa ingin aku menggapai mimpi kami dahulu. Betapa ingin aku bersamanya. Tetapi....

"Aku tak bisa mengkhianati kaumku—keluargaku. Melindungi mereka adalah tugasku," ucapku serak, "dan karena kebodohanku, aku gagal meyakinkan mereka—"

Dia menggeleng, terisak.

"—untuk itu sekali lagi maafkan aku."

Dia menangis dalam diam. Berpaling.

Diterkam rasa bersalah, aku tak mampu memandangnya. Segalanya berubah kelam saat kusadari tak ada yang tersisa dari klanku, kaumku di hutan ini. Keluargaku, kawan-kawanku telah habis, lebur dalam api kebencian yang terlanjur menggila. Pun bersatu dengan Lulu sudah mustahil.

Takdirkah?

Aku berlutut menunduk, lengan menekap dada. Kulantunkan lagu klan kami, yang sering kami nyanyikan saat musim panen. Tentang kebebasan. Tentang kedamaian. Tentang mimpi-mimpi dan harapan. Mengantar jiwa kaumku yang binasa ke alam yang lebih indah.

Air mata ini tumpah. Inilah jalan yang telah disiapkan untukku.

Aku bangkit, memandang wajah Lulu yang sembab berkilauan. Dia gemetar. Pedangnya telah tergeletak.

"Aku senang bisa kenal denganmu," aku memulai, berharap senyumku tak goyah.

"Selama dua belas tahun, selama itu pula kau selalu mengisi rongga dadaku. Meski kita begitu berbeda."

Dia menggeleng pelan. Air matanya membanjir. Remuk hatiku melihatnya, namun tak ada lagi yang bisa kulakukan.

"Terima kasih, Lulu. Atas segala kenangan yang indah tentang kita. Juga seluruh usahamu. Salahku yang tidak mampu," aku tercekat, "Salahku."

Aku menyerahkan belati kembar milikku padanya. Lalu kugenggam tangan mungil yang gemetar itu.

"Kuserahkan nyawaku padamu. Hanya itu yang bisa kuberikan sekarang."

Dia memelukku erat-erat dan menangis, "Maafkan aku! Maafkan aku!"

Air mataku meleleh. Begitu dalam sayangku padanya.

"Lulu, tolonglah... jangan menangis," ucapku terbata, "Setidaknya kita bisa bertemu lagi kan?"

Memejamkan mata, kucoba menikmati menit-menit terakhir nyawaku. Segala kenangan bersama Lulu merangsek, lalu hari-hari bahagia yang kulewati bersama keluarga besar kaumku, dan detik itu juga hatiku melambung.

"Inilah akhirnya," aku memandang gadis itu mantap, "Kau harus terus maju, Lulu. Kau akan baik-baik saja."

Berikutnya aku memejam. Menunggu.

Dalam bisikan namaku meluncur di sela tangisnya yang menjadi, lalu kurasakan lengannya melingkar di pinggangku. Aku dapat mencium wangi setiap helai rambutnya, sebelum bilah pisau itu seketika menghunjam dada, memutus nafasku. Dingin dan sakit tak terkira membaur, menusuk cepat ke sekujur tubuh. Tubuhku roboh tak berdaya di pelukannya.

Dalam pandangan kabur, kulihat api di sekeliling kami masih membara. Lulu memelukku lembut, sebelah tangannya di pipiku.

Mata zamrud itu.

"Lu—"

Ingin kukatakan kata cinta yang belum sekalipun terucap. Namun hanya gumpalan darah yang kumuntahkan, mencekik tenggorokan.

Kudengar gadisku meratap, memaksaku menangis tanpa daya walau air mata ini tak lagi mengalir.

Selamat jalan.

Beberapa tahun kemudian, Raja Castoria mangkat. Lulu dinobatkan sebagai Ratu Lucrezia, dan dikenal sebagai pejuang persamaan hak dan kehidupan saling berdampingan antara manusia dan ras-ras lainnya di Castoria, juga Benua Aurelia yang paling gigih. Lulu tak pernah bersuami, namun ia memiliki anak laki-laki yang nantinya akan menjadi penggantinya. Anak itu dari ras setengah manusia-setengah centaurus, dan namanya adalah Larcus.

Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam Event Fantasy Fiesta yang diselenggarakan oleh Kastil Fantasi (Kini di Goodreads.com).

Cecilia Lika adalah insan yang hobi menulis cerita, termasuk kisah-kisah bergenre Fiksi Fantasi. Cecilia dapat dihubungi lewat E-mail di cecilialika@hotmail.com.


Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 357K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
718 160 16
[ DWC NPC 2024 - Kumpulan prosa ] *** Beberapa cerpen, awal mula kisah-kisah yang lebih panjang, dan sampingan dari yang sudah ada. Setiap judul ke...
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
36.7K 2.4K 6
"Karena aku seperti Hujan, yang selalu kembali meski tahu rasanya jatuh berkali-kali." Published : Wattpad ONLY Amazing cover by Expellianmus [THREE...