SEAL WITH A KISS

By AiYueLinglung

52.9K 1.3K 89

More

SEAL WITH A KISS

52.9K 1.3K 89
By AiYueLinglung

SEAL WITH A KISS

Terjadinya begitu tiba-tiba...

Tak terduga...

Dan mengubah segalanya...

            Siang itu Resha tengah menuju ke perpustakaan kampusnya untuk mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya tempo hari. Resha bergegas. Roknya yang sepanjang mata kaki tidak menghambat langkahnya. Buku-buku di tangannya juga tidak tampak membebaninya. Langkahnya tetap ringan, meski agak lambat. Ia masih terbilang cukup lincah saat menyusuri koridor. Naik ke lantai 3 di gedung E, menyusuri koridor pendek. Lewat satu tikungan lagi maka dia sampai di perpustakaan.

            Resha adalah mahasiswi semester 7, dan sedang menyusun skripsi. Ia memiliki ambisi untuk membangun usaha sendiri begitu lulus nanti. Usaha yang sudah mulai dirintisnya secara kecil-kecilan bersama temannya. Apa yang ia inginkan begitu jelas dan terarah sehingga beberapa hal dalam hidupnya menjadi terbengkalai. Salah satunya adalah aspek asmaranya. Saking seriusnya ia kuliah, ia jarang menyempatkan waktu untuk berkencan. Kalau hanya ngumpul-ngumpul bersama teman sih dia masih oke, tapi selain itu dia menolak.

            Resha melihat tikungan di depan sana dan tersenyum. Ia mempercepat langkahnya, berharap bisa segera mengembalikan buku-buku di tangannya, dan mungkin meminjam yang baru. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Ketika ia berbelok, ia malah menabrak tembok. Yah, sesuatu yang sekeras tembok lebih tepatnya. Napas Resha seolah terenggut dari paru-parunya. Kerasnya tabrakan itu membuat Resha terdorong ke belakang, semua bukunya berjatuhan dan dia berusaha menggapai-gapai untuk menyeimbangkan dirinya.

            Sebuah lengan yang kuat dan kekar menyambar pinggangnya dan menariknya agar tak jatuh. Sebagai gantinya, Resha masuk ke dalam sebuah pelukan hangat. Resha membeku karena terlalu terkejut. Tanpa sadar ia mendongak, dan langsung bertatapan dengan mata sekelam langit tengah malam yang menatapnya dengan tatapan aneh. Entah kenapa jantung Resha langsung jumpalitan dibuatnya, dan napasnya terengah.

            “Ma... Maaf...” kata Resha, suaranya tercekat sementara kacamatanya melorot hingga ujung hidungnya.

            Cowok yang memeluk Resha itu tampak agak menunduk dan menatap Resha dengan lekat. Entah cuma perasaannya atau bukan, tapi rasanya tangan di punggung Resha bergerak semakin turun saja dan Resha seolah semakin mendekat ke arah cowok itu. Tanda peringatan langsung berbunyi keras di dalam benak Resha dan ia mulai menggeliat.

            “Diam,” suara rendah dan dalam itu membuat Resha kontan membeku patuh.

            Mata cowok itu menelisik wajah Resha hingga Resha merasa resah oleh tatapan intens itu. Jenis tatapan yang menusuk hingga seolah tatapan itu tengah menelanjanginya. Dan Resha gemetar. Ya Tuhan, cowok ini harusnya tidak boleh berkeliaran bebas. Pasti banyak hati yang jatuh bergelimpangan akibat tatapan cowok ini. Harusnya cowok ini dikurung dan dikunci dalam sebuah ruangan dengan kunci gembok berlapis-lapis. Harusnya...

            Pikiran Resha kontan blank saat cowok di hadapannya itu tiba-tiba mengangkat dagu Resha dan memiringkan wajah ke arahnya. Jantung Resha langsung menggila, menghentak dengan sengit hingga membuat dadanya terasa sesak karena tak mendapatkan asupan oksigen. Matanya membelalak saat menyadari kalau cowok itu akan menciumnya.

            Akan tetapi, tepat saat bibir cowok itu hanya berjarak beberapa senti lagi dari bibir Resha, pintu perpustakaan terbuka dan suara beberapa mahasiswa terdengar. Kejadiannya begitu tiba-tiba. Satu saat Resha masih dalam pelukan cowok itu, lalu detik berikutnya ia sudah dilepaskan. Lututnya yang lemas langsung saja membuatnya jatuh terduduk dengan wajah shock.

            Cowok penyebab lutut Resha lumer itu kini berlutut di hadapan Resha dan mulai memunguti buku-buku Resha, seolah ia tidak pernah hendak mencium Resha. Beberapa mahasiswa, penyelamat Resha tanpa sengaja, menyapa cowok di hadapan Resha dengan ramah. Dari balik keterpakuannya, Resha mendengar cowok itu dipanggil Max.

            “Duluan aja. Gue masih ada urusan,” terdengar cowok itu, Max, berkata dengan santai.

Resha mengerjap. Seolah suara Max telah membangunkannya dari tidur yang panjang. Ketika ia sudah sadar sepenuhnya, ia langsung berdiri, nyaris menginjak roknya sendiri dan hampir jatuh. Tapi setelahnya Resha langsung berlari pergi. Ia bahkan tidak melupakan semua bukunya. Hal yang paling ia inginkan saat itu adalah kabur menjauh dari cowok bernama Max itu.

            Sepeninggal Resha, Max menatapi buku-buku yang baru saja dipungutnya. Dahinya berkerut menyeramkan, akan tetapi tak berapa lama justru sebuah senyum terulas di bibirnya. Dia berdiri dengan tumpukan buku di tangannya. Max berjalan kembali ke perpustakaan seraya memikirkan cewek yang menabraknya tadi. Max terkekeh saat teringat mata membelalak yang menatapnya. Ia meletakkan buku-buku di tangannya ke atas meja pengembalian.

            “Atas nama siapa?” tanya petugas perpustakaan.

            “Cewek. Pakai kacamata dan rok panjang. Yang pasti hari pengembaliannya sekarang,” sahut Max tak acuh.

            Si petugas menatap Max dengan kening berkerut, lalu mulai menelusuri daftar pengembalian buku. Petugas itu mengecek buku-buku yang dibawa Max. Dan setelah menemukan satu orang yang meminjam buku dengan judul-judul buku yang ada di atas meja, petugas itu mengangguk.

            “Siapa namanya?” tanya Max.

            Si penjaga melirik dari balik kacamatanya dengan curiga.

            Max langsung mengacungkan kacamata yang ia cewek tadi. “Biar gue bisa mengembalikannya,” dalihnya.

            Si petugas menatap Max sejenak sebelum mengecek daftar peminjaman. “Resha Adinda,” sahutnya.

            Max mengangguk dan berbalik pergi. Ia keluar dari perpustakaan dengan langkah santai. Resha Adinda. Hmm... Sepertinya bakalan seru nih, pikir Max.

***

            Selama berhari-hari Resha dilanda rasa gelisah luar biasa. Ia masih kepikiran cowok bernama Max itu, juga cara cowok itu menatapnya. Dan entah kenapa Resha memiliki firasat buruk mengenainya. Sejak insiden nyaris dicium itu, Resha jadi paranoid jika ada yang mendekatinya dari belakang. Ia jadi mudah terkejut dan terkadang membuat teman-temannya jengkel sekaligus penasaran dengan tingkahnya itu. Tapi apa daya, Resha tak bisa bercerita dan firasatnya semakin buruk saja.

            “Duuh, Sha, lo itu udah mirip kayak sapi yang mau lahiran tau nggak?!” ujar Chacha jengkel. Chacha ini sahabat baik Resha sejak SMA, dan mereka sekelas saat ini.

            Resha mondar-mandir dengan gelisah. “Gue bad feeling, Cha,” kata Resha.

            “Bad feeling gimana? Memangnya ada apa?” tanya Chacha sambil membuka-buka novel yang sedang dibacanya.

            Ketika itu Resha dan Chacha sedang duduk di salah satu bangku yang ada di halaman kampus mereka yang luas. Dan sejak tadi Resha tak henti-hentinya bergerak gelisah. Resha meremas-remas kedua tangannya, lalu duduk di sebelah Chacha. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya Resha memutuskan untuk membagi kegelisahannya dengan Chacha. Ia pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Max, minus insiden nyaris ciumannya.

            “Max?? Maximilien Pranatha???” tanya Chacha shock.

            “Gue nggak tau nama lengkapnya,” kata Resha seraya menggeleng. Lalu dia menatap Chacha bingung. “Lo kenal dia?” tanyanya.

            “Bukannya kenal lagi! Dia tuh udah jadi bahan gosip tahunan tau! Lo benar-benar nggak tau apa-apa soal dia?”

            Resha menggelengkan kepalanya.

            “Maximilien, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Max, adalah cowok playboy paling berbahaya di kampus ini! Dia pindah kira-kira satu setengah tahun yang lalu dan langsung jadi buah bibir. Sekarang dia ada di semester 5,” kata Chacha.

            “Lebih muda dari kita???” tanya Resha tak percaya, sebab bukan kesan itu yang dia dapatkan saat berhadapan dengan Max.

           “Dia memang junior kita di kampus ini, tapi menurut gosip yang gue dengar dia jauh lebih tua ketimbang kita. Menurut Mona, yang temannya pernah jalan sama Max, katanya usia Max sekarang hampir 25 tahun! Mungkin dia telat kuliah atau keasikan main sehingga lupa kuliah, gue nggak tau pasti,” kata Chacha sambil mengangkat bahu. Lalu mimiknya berubah serius. “Yang jelas, lo harus hati-hati sama dia. Udah banyak cewek yang patah hati lantaran dicampakin dia. Dia nggak pernah serius sama cewek. Baginya cewek itu cuma sekedar selingan. Dan dia nggak pernah peduli bagaimana keadaan cewek yang udah dia campakin. Dia move on begitu aja!”

            Resha tampak speechless dengan penjelasan Chacha. Separah itukah? Memang sih, ketika berhadapan dengan Max, Resha merasa sangat terintimidasi oleh cowok itu. Bukan hanya karena tubuhnya yang tinggi dan tegap, tapi juga karena matanya. Tatapan yang sekelam langit tengah malam itu memang bisa membuat cewek hilang akal. Resha takkan ragu sama sekali.

***

            Resha menelusuri lorong di antara dua rak besar di perpustakaan. Ia awalnya datang ke sana hanya untuk mengecek apakah Max mengembalikan buku-buku yang ia tinggalkan saat itu. Dan syukurlah, ternyata cowok itu berbaik hati mau mengembalikannya walau ia tidak tau siapa Resha.

            Menggelengkan kepalanya, Resha meneruskan pencarian bukunya hingga ke ujung lorong buntu tersebut. Ketika tak menemukan buku yang dicarinya, Resha pun berbalik. Jeritan tersangkut di tenggorokannya saat melihat Max berdiri beberapa langkah di depannya, bersandar menyamping pada rak buku dan sedang mengamati Resha dengan mata kelamnya.

            “Lo kelihatan kaget,” komentar Max.

            Tanpa sadar Resha melangkah mundur.

            “Senangnya lo masih ingat sama gue,” kata Max santai. Ia menegakkan tubuh dan mulai berjalan ke arah Resha.

            “Stop!” bisik Resha panik. Ia melirik sekilas ke balik bahunya dan sadar ia telah terpojok, tanpa jalan untuk lari. Selain melewati Max tentunya.

            “Kalau gitu berhenti melangkah mundur,” kata Max geli.

            Resha tetap melangkah mundur hingga pinggulnya membentur ujung meja dan ia terkesiap. Ia menoleh ke belakang secara spontan dan Max menyambar kesempatan itu dengan mempersempit jarak di antara mereka. Sekali lagi Resha terkesiap dan menatap Max dengan panik.

            “Jangan ganggu gue!” bisik Resha dengan suara tercekik.

            “Gue nggak berniat mengganggu,” kata Max. Lalu ia menyentuh pipi Resha, membuat cewek itu tersentak. Tangannya menelusuri pipi Resha hingga ke rambutnya dan menarik lepas ikat rambut cewek itu. Helaian rambut yang tebal dan halus mengenai tangannya.

           Sungguh luar biasa karena Resha masih bisa membalas tatapan Max. “Gue nggak kenal sama elo,” kata Resha. “Nggak ada alasan lo menemui gue!”

            “Tentu aja gue punya alasan,” gumam Max, mengamati wajah Resha. “Setiap hal memiliki alasan. Begitu juga gue,” tambahnya.

            Resha menggeleng. “Gue tau reputasi lo,” katanya.

            Alis tebal Max terangkat penasaran. “Oh ya? Sejauh mana reputasi gue yang lo ketahui?”

            “Semuanya! Lo adalah cowok yang paling harus dihindari oleh cewek-cewek di kampus ini!”

            Max menelengkan kepalanya. Hebat juga cewek ini. Jelas-jelas kalau dia sangat ketakutan dan terintimidasi oleh keberadaan Max, akan tetapi cewek itu masih bisa bersikap melawan. Max suka tipe cewek pembangkang seperti ini. Cewek tipe ini akan jual mahal pada awalnya, tapi menyerah pada akhirnya. Pasti akan membutuhkan sedikit waktu untuk menjinakkannya. Tapi Max sudah siap.

            Resha mengumpulkan setiap ons keberaniannya yang masih tersisa dan menegakkan tubuhnya. Ia mencoba melewati Max dengan berani, akan tetapi Max bergeming dan tetap menghalangi jalannya. Resha bergeser ke kanan, Max ikut bergeser ke kanan. Reshaa bergeser ke kiri, Max juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, Resha kehilangan kesabaran dan mendelik ke arah Max.

            “Mau lo apa sih?!” desis Resha marah.

            Max perlahan tersenyum. Jenis senyum serigala yang puas karena mangsa telah memakan umpannya. “Akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Gue pikir lo nggak akan pernah nanya,” kata Max sambil mendekat ke arah Resha.

            Resha kontan mundur dan merapatkan punggungnya ke meja di belakangnya. “Berhenti!”

            “Tadi lo nanya gue mau apa kan? Sekarang gue kasih tau,” kata Max sambil menyentuh dagu Resha, mendongakkannya dengan halus. “Lo masih mau tau kan?”

            Mata Resha membelalak ketika menyadari maksud Max. “Nggak!!” semburnya cepat.

            Max tersenyum malas. “Terlambat,” katanya. Lalu ia menundukkan kepalanya dan memagut bibir Resha.

            Tubuh Resha seketika menegang dan diia berusaha melawan. Ia mencoba mendorong Max, tapi pegangan Max di belakang tengkuknya begitu kuat, dan cowok itu menciumnya dengan lembut dan menyelidik. Resha sebisa mungkin mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mengabaikan ciuman-ciuman lembut membuai yang dilancarkan Max untuk menggodanya. Sayangnya, bagi Resha yang belum pernah dicium dengan cara seperti itu, ciuman Max begitu mengguncang kendali dirinya. Lututnya lemas dan ia napasnya tercekat saat merasakan sapuan ujung lidah Max di bibirnya. Hanya dengan mengandalkan kekuatan tekad semata Resha tetap bertahan agar tidak kalah oleh pesona cowok itu.

            Sekarang Resha mengerti kenapa banyak cewek yang tergila-gila pada Max. Bagaimana tidak? Cowok itu merupakan iblis penggoda paling berbakat yang mampu menghancurkan pertahanan cewek. Dan bila lengah, mungkin saja akan menghancurkan. Jika Resha belum mendengar cerira tentang Max dari Chacha, mungkin saat ini dia sudah bergabung dengan cewek-cewek yang ditaklukan oleh Max. Karena sekuat apapun Resha bertahan, Max lebih keras kepala lagi untuk mengalahkannya.

            “Max? Lo di sini kan? Mario bilang dia lihat lo ke sini,” sebuah suara terdengar dari ujung rak di belakang Max, diikuti dengan munculnya seorang cowok berambut jabrik. “Ya ampun!! Apa lo nggak bisa pilih-pilih tempat?!?” tanya cowok itu tak percaya.

            Resha terkesiap saat menyadari ada orang yang melihat dirinya dicium oleh Max. Rasa ngeri langsung melandanya dan dia kembali berusaha berontak. Sayangnya, Max telah menemukan celah dari pertahanan Resha. Cowok itu memanfaatkan momen saat Resha terkesiap untuk memperdalam ciumannya, menyusup dan mencicipi Resha. Membelai, mengecap, dan menyelidik. Lutut Resha benar-benar goyah karena rasa shock, dan ia bersandar pada Max. Ia yain, kalau Max tidak memeluknya dengan erat, ia mungkin sudah jatuh ke lantai saat itu juga. Dan ia tidak bisa menahan erangan lirih yang terlontar dari bibirnya.

            “Max!!” sela cowok yang sepertinya teman Max itu dengan tidak sabar.

            Max menghentikan ciumannya dan melirik kesal ke balik bahunya, tapi ia tidak melepaskan pelukannya sama sekali. “Gue sibuk, Rey,” geram Max.

            “Ya, ya, lo selalu sibuk. Sekarang lupakan itu dan pergi. Lo mau Monica menemukan lo di sini dan mengamuk? Tu cewek satu memang bebal, masih aja mengejar elo tau!” kata cowok yang dipanggil Rey itu jengkel.

            Alis tebal Max berkerut sedikit. “Tunggu gue di mobil. Lima menit lagi gue nyusul,” perintah Max.

            Rey memutar bola matanya. “Jangan lama-lama!” kata Rey dan mencoba mengintip siapa cewek mungil yang berada di balik tubuh Max.

            “Rey,” kata Max mengancam. “Pergi!”

            Rey terkekeh tapi pergi juga.

            Sepeninggal Rey, Max menunduk menatap cewek yang sedari tadi berdiri lemas di pelukannya. Napas cewek itu tersendat-sendat. Napas Max sendiri masih bisa dibilang tak beraturan, tapi ia bisa mengendalikan diri. Tidak seperti Resha.

            Kening Max berkerut kian dalam. Belum pernah ia lepas kendali seperti tadi ketika mencium seorang cewek. Biasanya ia menganggap ciuman hanya sekedar ciuman karena ceweklah yang bersifat agresif terhadapnya. Tapi, tadi dialah yang membujuk sepenuhnya. Membujuk, merayu agar Resha membalas ciumannya, yang tidak sepenuhnya dilakukan cewek itu dengan sukarela. Kalau bukan karena kemunculan Rey, Max mungkin akan melakukan hal yang lebih jauh, tanpa ia sadari, hanya untuk melemahkan pertahanan Resha. Dan sekarang, untuk pertama kalinya ia merasa seperti pecundang karena tidak berhasil dengan rayuannya. Bukannya Resha yang kehilangan kontrol, tapi malah dirinya. Dan hal itu membuat Max gusar.

            Max melonggarkan pelukannya di tubuh Resha, perlahan menciptakan jarak dan membiarkan Resha menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk menenangkan diri. Max melihat hasil kerja tangannya di rambut Resha. Rambut cewek itu tergerai, dan kacamatanya hilang, mungkin jatuh saat ia mencium cewek itu. Tatapan Max jatuh ke bibir Resha yang memerah akibat ciumannya, dan hal itu membuat Max merasakan dorongan untuk mengecap bibir itu lagi. Mengklaim cewek itu sebagai milikinya. Akan tetapi tatapan shock di mata Resha menahannya, dan Max mengumpat dalam hati.

            Ini tidak berjalan seperti yang ia rencanakan. Ia telah bermain-main dengan api. Max mundur selangkah. Cewek itu berbahaya untuk Max. Terlarang. Max harus menjauh dari Resha. Sehebat apapun reaksinya terhadap cewek itu, Max tidak boleh mendekati Resha. Resha tidak sama dengan kebanyakan cewek yang dikencaninya.

            Dengan keputusan itulah Max berbalik dan meninggalkan Resha. Tidak sekalipun dia menoleh ke belakang, sehingga dia tidak melihat setetes air mata mengalir di pipi Resha.

***

            Resha berbaring miring di atas tempat tidurnya. Ia bergelung dan memeluk bantalnya, menatap ke luar jendela kamar yang terbuka. Dalam keremangan cahaya bulan yang menyusup masuk, Resha berbaring diam. Sejak pulang kuliah sore tadi, ia sudah mengurung diri di dalam kamar kosnya. Pertemuannya dengan Max, dan apa yang terjadi selanjutnya sangat mengguncang Resha. Bukan karena apa yang Max lakukan, itu memang mengejutkan bagi Resha yang jarang memiliki hubungan serius dengan cowok, dan itu pun sudah bisa ditebak. Akan tetapi, yang membuat Resha tercengang adalah bagaimana ia bereaksi terhadap Max.

            Kenangan itu sejernih kristal dalam benak Resha. Setiap ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah mata sekelam langit malam yang menatap balik ke arahnya. Rasa bibir cowok itu, kelembutan dibalik ketegasan. Resha memejamkan matanya dan berusaha menghalau bayangan itu.

            Nggak Resha, lupakan itu semua. Semuanya hanyalah selingan bagi Max. Tidak ada yang spesial dari tindakan cowok itu. Kalian bahkan tidak saling mengenal. Bukankah hal itu cukup membuktikan kalau Max sama sekali tidak memiliki perasaan sama kamu? Max akan melupakanmu, dan beralih kepada cewek lain yang lebih menantang. Setelah kini rasa penasarannya terpenuhi, cowok itu akan mengabaikanmu.

            Resha memejamkan matanya. Lupakan, Resha, lupakan...

***

            Max uring-uringan. Keputusannya untuk menjauhi Resha ternyata berbuah kekesalan. Meski sudah dua minggu berlalu, tapi Max belum bisa mengenyahkan bayangan Resha dari kepalanya. Ia sudah mengencani banyak cewek untuk melupakan Resha. Tapi bukannya menikmati kencan-kencan itu seperti biasanya, Max malah makin muak. Bayangan cewek berkacamata itu terus saja bercokol di dalam kepalanya, tidak mau pergi. Hanya satu ciuman! Max memarahi dirinya karena bertingkah seperti anak SMA yang sedang kasmaran.

            Gara-gara moodnya yang semakin memburuk itulah cewek-cewek jadi waspada saat mendekatinya. Setelah kejadian Max 'membantai' Monica karena terus saja merengek ingin pergi dinner, cewek lainnya langsung menjaga jarak karena takut mengalami hal yang sama.

            “Max, lo mau ikutan nggak?” tanya Rey, menyela lamunan suram Max.

            “Ke mana?!” sahut Max ketus.

            Rey mengangkat alisnya mendengar nada ketus Max. Memang belakangan ini cowok itu tampak aneh. Bahkan saat Rey menanyakan di mana cewek yang dicium Max di perpustakaan itu, Max langsung menghadiahkan Rey tatapan membunuh. Rey jadi menerka-nerka, mungkin saja buruknya sikap Max ini ada hubungannya dengan cewek itu. Tapi Rey cukup bijak untuk tidak membahasnya lebih jauh.

            “Tempat biasa. Anak-anak lagi pada suntuk dan ngajak have fun. Mario yang traktir,” kata Rey. Sebenarnya tidak perlu mengatakan siapa yang akan membayar. Bagaimana pun, Max sanggup membayarnya sendirian kalau dia mau.

            “Oke,” sahut Max. Berpikir untuk menenggelamkan dirinya pada minuman dan hingar bingar kehidupan malam. Lebih baik menumpulkan otaknnya dengan alkohol daripada mencoba mengenyahkan Resha dari benaknya.

            Max lalu bangkit dari duduknya, Rey mengikuti. Mereka berjalan menyusuri koridor, menuju parkiran. Kedua tangan Max dimasukkan ke dalam saku jeansnya, dan wajahnya cemberut. Rey memperhatikan dengan penuh ketertarikan saat Max mengabaikan semua sapaan cewek yang ditujukan padanya. Mereka sudah berteman sejak Max pindah satu setengah tahun yang lalu. Sama seperti Max, Rey terlambat kuliah. Bedanya, Max tidak kuliah karena malas, sementara Rey karena harus bekerja. Umur mereka sama, dan sepertinya kesukaan mereka akan kebebasan membuat mereka langsung cocok satu sama lain.

            Rey baru saja hendak bertanya mengenai apa yang membuat Max memasang tampang 'jangan mendekati gue' ketika langkah Max tiba-tiba berhenti. Rey ikut berhenti dan mengikuti arah pandangan Max. Rey melihat Max sedang menatap ke arah seorang cewek yang berjalan ke arah mereka. Cewek itu tengah mencari sesuatu di tasnya. Hmm, cewek biasa, berkacamata dan memakai rok selutut yang berlipit di bagian ujungnya. Karena penasaran, Rey pun mengamati saat cewek itu akhirnya mendongak. Rey mengerutkan kening. Apa ia melihat cewek itu tersentak pelan? Tapi ketenangan di wajah cewek itu membuatnya ragu. Tunggu, rasanya Rey pernah melihat cewek itu... Ah ya. Cewek itu...

            Resha berusaha menenangkan dirinya. Dia berusaha menjaga ketenangan di wajahnya sementara kakinya terus melangkah, membawanya makin dekat ke arah Max. Ia sadar Max sudah menatapnya sejak tadi, bahkan temannya itu juga. Hal itu membuat jantung Resha berdebar kencang. Tapi syukurlah wajah Resha tak menunjukkan apa yang tengah ia rasakan. Resha melangkah mantap, menatap lurus ke depan. Ia semakin dekat, semakin dekat... Dan ia berhasil melewati Max tanpa gentar sedikit pun. Tanpa sadar ia kembali bernapas. Dilihatnya Chacha melambai dari jauh dan Resha memanfaatkannya untuk berlari kecil menjauhi Max.

            “Duh, lama amat sih lo? Mereka udah nungguin kita nih!” omel Chacha.

            “Maaf, maaf, tadi gue merapikan penampilan gue dulu. Ada berapa orang hari ini?” tanya Resha, suaranya ceria, berlawanan dengan apa yang tengah ia rasakan.

            “Ada Rendi, Aldo, sama Tony. Mereka cakep-cakep deh. Gue bahkan terpaksa nyari satu teman lagi biar jumlahnya lengkap!” sahut Chacha.

            Tubuh Max menegang saat mengerti arti percakapan singkat itu. Tanpa sadar kedua tangannya mengepal dan wajahnya semakin dingin.

            “Itu cewek yang di perpustakaan itu kan ya?” kata Rey, mengamati Resha yang menjauh. Karena Max tidak menjawab, Rey pun menoleh. Ia nyaris menyeringai lebar saat melihat tatapan Max.

            “Hem, menarik. Lo nggak pernah jalan sama dia kan? Kecuali adegan kissing yang gue pergokin waktu itu,” kata Rey. “Terus kenapa tampang lo kayak orang yang mau bunuh orang begitu?”

            “Bukan urusan lo!!” bentak Max.

            “Tenang, Max, bukan gue yang mau dating sama dia,” kata Rey.

            Max menatap Rey dengan mata memicing marah, lalu berbalik. Ia melangkah dengan cepat dan marah ke arah yang diambil Resha dan temannya tadi, meninggalkan Rey yang menyeringai puas.

            “Bisa aja lo menyangkal, tapi reaksi dan tindakan lo menunjukkan semuanya,” ujar Rey geli.

            Resha baru saja sampai di cafetaria kampus bersama Chacha. Ia tengah tersenyum ke arah cowok yang duduk di seberangnya dan hendak duduk ketika sebuah lengan merenggutnya. Resha terkesiap kaget saat melihat Max berdiri menjulang di hadapannya. Dan lebih kaget lagi saat Max langsung menyeretnya pergi tanpa memedulikan mulut-mulut yang ternganga di hadapannya. Saking terpananya Resha, ia tidak mengajukan protes apapun sebab pikirannya masih memproses apa yang sedang terjadi. Ia tersadar saat mereka keluar dari gedung dan langsung menuju parkiran. Resha mulai memberontak.

            “Tunggu! Lo mau bawa gue ke mana?!” Resha berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Max dan menolak melangkah.

            Max langsung menyentakkan tangan Resha hingga cewek itu kembali berjalan. Ia menolak menjawab pertanyaan Resha dan terus melangkah ke arah mobil Jaguarnya yang terparkir di bawah kerindangan pohon. Max menyentak pintu hingga membuka dan memerintahkan agar Resha masuk.

            “Gue nggak mau!! Ini pemaksaan! Dan gue bisa menuntut elo!!” ujar Resha marah, menolak masuk ke dalam mobil.

            “Masuk!” perintah Max, matanya menatap tajam.

            “Nggak mau!! Lo nggak punya hak buat memerintah gue!! Lo bukan siapa-siapa gue!!”

            Max merenggut Resha hingga cewek itu menabrak dadanya. Lalu dengan tiba-tiba diraihnya tengkuk cewek itu, dan menciumnya dengan keras. “Sekarang kita resmi jadian!”

            Resha terperangah hingga tak sanggup bicara. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Sebelum ia sempat menyadari apa yang ia lakukan, Resha sudah melayangkan tangannya ke pipi Max. Tatapannya membakar dengan penuh amarah. Selapis cairan bening tampak di kedua matanya, bergetar di pelupuk mata Resha saat ia menatap Max.

            “Kalau lo pikir bisa bersikap sesuka hati lo sama gue, lebih baik lo pikir dua kali! Gue bukan cewek yang rela menyembah-nyembah untuk mendapatkan cinta elo! Gue punya harga diri, Max... Gue bukan cewek murahan yang bisa seenaknya lo permainkan! Jangan pernah berpikir untuk memasukkan gue ke dalam jajaran cewek-cewek taklukan lo!” kata Resha dengan amarah tertahan.

            Ditatapnya Max dengan tajam. Ia menarik napas dengan gemetar. “Jangan pernah muncul di depan gue lagi, kalau lo belum mengerti cara menghargai perasaan orang lain!” Resha berbalik dan langsung berlari pergi.

            Air mata mengalir deras di pipinya dan mengaburkan pandangannya. Akan tetapi ia tetap berlari. Hatinya sangat sakit terhadap perlakuan Max. Sikap menggampangkan yang dijunjung oleh cowok itu. Cowok itu adalah cowok paling brengsek yang pernah Resha temui.

            Max memandangi kepergian Resha dengan kemarahan yang membuncah. Hanya saja ia tidak marah pada Resha walaupun cewek itu menamparnya, melainkan pada dirinya sendiri. Ia jijik pada apa yang dia lakukan. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

            “Aarrgghhh!!! Sialan! Sialan! Sialaaan!!!” teriak Max sambil menendang ban mobilnya dengan geram.

***

            Resha berlari meninggalkan kampus dan menyetop taksi pertama yang ditemuinya. Setelah menyebutkan alamat kosnya, Resha pun menumpahkan tangisnya. Tak peduli kalau tindakannya itu mungkin akan membuat si sopir taksi kebingungan. Ketika sopir taksi itu menyodorkan sekotak tissue, Resha menerimanya dengan penuh syukur dan mengucapkan terima kasih dengan susah payah. Ia membersit hidungnya dan kembali meraih beberapa lembar tissue.

            “Udah, Mbak, ndak usah menangisi apa yang sudah terjadi,” kata si sopir taksi dengan bijak.

            “Susah, Pak... Saya terlanjur sakit hati,” sahut Resha ketika ia sudah lebih tenang.

            “Bertengkar sama pacar ya, Mbak? Sudah, masih banyak cowok baik lainnya kok,” kata si sopir taksi.

            “Dia bukan pacar saya, Pak... Tapi sikapnya seolah-olah saya itu pacarnya!”

            “Yah, mungkin itu karena dia sayang sama Mbaknya,” kata si sopir taksi lagi.

            “Seandainya memang begitu...” lirih Resha.

***

            Resha duduk bersandar di tempat tidurnya sambil memeluk boneka panda raksasa. Kamarnya remang-remang, hanya cahaya bulan dari jendela yang menerangi kamar itu. Matanya masih sedikit sembab, sisa-sisa tangisnya semalam. Hari ini pun dia sengaja tidak pergi ke kampus lantaran tidak sanggup bangun dari tempat tidur. Kejadian kemarin masih terbayang-bayang dalam benaknya, dan rasa sakitnya pun tidak berkurang sedikit pun. Ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya, Resha menyahut pelan tapi tidak mengalihkan tatapannya dari jendela. Pintu terbuka dan Chacha menerobos masuk.

            “Sha, lo hutang penjelasan soal... Ya ampun! Lo kenapa?!” seru Chacha dan bergegas menghampiri Resha. “Sha, lo nggak dimacem-macemin sama Max kan? Dia nggak...” kata-kata Chacha terputus tatkala Resha memeluknya dan kembali menangis.

            Chacha menepuk-nepuk punggung Resha sementara Resha menceritakan semuanya pada Chacha tentang pertemuan pertamanya dengan Max, dan apa yang terjadi selanjutnya. Semuanya Resha ceritakan tanpa ada yang ditutupi. Ketika selesai, Chacha hanya bisa ternganga tak percaya.

            “Dia begitu?! Dia mempermainkan elo seperti itu?!?” seru Chacha. “Kenapa???”

            “Gue nggak tau, Cha... Gue sendiri bertanya-tanya kenapa harus gue,” sahut Resha lemah.

            “Tapi lo beda dengan cewek-cewek yang biasa dia dekati! Dan lagi... dia nggak akan sampai melakukan pemaksaan seperti itu! Cewek akan bertekuk lutut tanpa harus dikasari begitu!!” kata Chacha tak mengerti.

            Resha memeluk lututnya. “Gue benci dia,” bisik Resha dan air mata kembali menggenang di matanya.

            Chacha mengamati Resha dan langsung mengerti. “Ya Tuhan... Lo jatuh cinta sama dia kan??” tanya Chacha dan ia menyentuh lengan Resha. Sumpah, Chacha speechless.

            “Gue nggak mau jatuh cinta sama dia, Cha...” bisik Resha.

            Chacha meraih dan memeluk Resha. “Kenapa harus dia sih, Sha...” desahnya.

            Resha membiarkan air matanya mengalir kembali. “Tuhan nggak adil, Cha...”

            “Sshhs... Tuhan pasti punya rencana sendiri, Sha,” kata Chacha.

            Dering ponsel Resha memecah keheningan yang menyusul setelah kata-kata Chacha. Melihat Resha tampak tidak berniat untuk mengangkatnya, Chacha mengambil inisiatif untuk menjawabnya.

            “Hallo?”

            “Apa gue bicara sama Resha?” tanya suara berat di seberang sana.

            “Bukan. Ini Chacha. Resha lagi nggak bisa menerima telepon. Ini siapa?” tanya Chacha sambil mengerling ke arah Resha.

            “Gue Rey. Bisa lo kasih teleponnya ke Resha?”

            “Rey?” ulang Chacha. Ketika melihat Resha menoleh ke arahnya, Chacha langsung menyimpulkan bahwa Rey ini pasti teman Max yang diceritakan Resha. Nada suara Resha langsung berubah tajam. “Apa lo teman si brengsek itu?!”

            “Wah, kayaknya Max udah sangat dibenci ya? Gue pikir dia itu dipuja-puja,” Rey terdengar geli. “Tolong, kasih teleponnya ke Resha. Gue perlu bicara sama dia,” kata Rey lagi.

            “Apa? Biar lo bisa semakin menyakiti dia lagi?! Resha nggak mau berurusan sama Max lagi!” hardik Chacha.

            “Cha, siniin,” kata Resha pelan.

            “Nggak, Sha! Lo nggak usah bicara sama mereka lagi!” sahut Chacha kesal.

            “Sini,” kata Resha.

            “Ya, Chacha, kami perlu bicara,” kata Rey menimpali.

            “Awas kalau lo menyakiti Resha!” ancam Chacha sebelum dia menyerahkan ponsel kepada Resha dengan enggan.

            Resha menempelkan ponsel di telinganya. “Ada apa?” tanyanya langsung.

            “Hai, Resha, gue Rey. Kita pernah ketemu tapi belum kenalan,” kata Rey.

            “Ya,” hanya itu sahutan Resha.

            “Oke, gue to the point aja. Apa lo tau seberapa besar pengaruh lo pada Max?”

            “Itu bukan urusan gue, dan gue yakin itu juga bukan urusan elo,” sahut Resha.

            “Ck, ck, gue rasa ini sangat berhubungan sama elo. Lo tau nggak gue saat ini di mana? Gue lagi di Beast, lo tau Beast kan? Gue mengawasi Max supaya nggak berbuat bodoh lebih dari minum-minum hingga teler!” kata Rey.

            Resha agak kaget saat mendengar Max menenggelamkan diri dalam minuman, tapi ia berhasil menutupi kekagetannya dengan baik. “Kenapa lo sepertinya menyalahkan gue?”

            “Dia begini karena marah...”

            “Dia nggak berhak marah! Guelah korban di sini!!” potong Resha.

           “Dia marah pada dirinya sendiri,” lanjut Rey. “Dia belum pernah hilang kendali saat berurusan dengan cewek. Baru setelah bertemu elo dia jadi nggak seperti dirinya sendiri.”

            “Teman lo itu yang seenaknya memorakporandakan hidup gue! Bersikap seolah setiap orang akan dengan senang heti memenuhi keinginannya! Nggak pernah sekalipun dia peduli sama perasaan gue! Bagi dia, gue ini cuma selingan! Sama kayak cewek lainnya, Rey!” suara Resha meninggi karena amarah.

            “Itu karena dia nggak sadar dirinya jatuh cinta sama elo, Resha,” kata Rey.

            Resha sudah siap membantah jika Rey membela Max. Akan tetapi dia tidak siap mendengar kata-kata Rey. Semua pembelaan dirinya lenyap seketika.

            “Apa?” sahut Resha pelan.

            “Max jatuh cinta sama elo, tapi anak itu sendiri nggak sadar kalau dirinya jatuh cinta. Dia belum pernah jatuh cinta, makanya dia bersikap sangat menyebalkan sama elo. Dia nggak tau harus bagaimana menanggapi perasaannya, dan tanpa sadar dia menunjukkan sikapnya yang paling brengsek!”

            “Dia nggak jatuh cinta sama gue!!” tukas Resha. “Dia cuma merasa tertantang karena gue nggak terpesona sama dia!”

            “Kalau lo nggak percaya lo boleh datang ke sini,” kata Rey.

            “Nggak! Gue nggak mau ketemu dia lagi!” tolak Resha serta merta.

            “Lo nggak usah ketemu dia. Lo cukup lihat dari jauh. Lagian dia udah lumayan teler, nggak mungkinlah dia sadar lo ada di sini,” kata Rey enteng.

            “Gue nggak...”

            “Lihat dulu, baru lo putuskan. Kalau lo berubah pikiran, kami ada di Beast, sampai subuh!”

            Resha duduk terdiam setelah sambungan telepon dengan Rey terputus. Chacha yang sejak tadi berjalan mondar-mandir menghampiri Resha dan duduk di sebelahnya. Disentuhnya tangan Resha dengan lembut.

            “Apa yang bakal lo lakukan sekarang?”

            “Gue nggak tau, Cha...”

            “Mungkin sebaiknya lo mengikuti kata hati lo,” kata Chacha.

            “Gimana kalau ternyata gue salah? Gue akan terperosok makin jauh!”

            Chacha menyentuh bahu Resha. “Setiap hal punya resikonya masing-masing, Sha. Kalau lo nggak mengambil resiko itu, lo nggak akan pernah menemukan jawaban yang lo inginkan,” kata Chacha.

            Resha diam, jadi Chacha melanjutkan. Ia bangkit berdiri dan meraih tasnya. “Ini tentang perasaan lo sendiri, Sha. Jawabannya ada di dalam hati lo,” kata Chacha sebelum dia meninggalkan Resha sendirian untuk berpikir.

            Resha tetap diam dan memeluk kedua lututnya. Jika ia mendengarakan kata hatinya, ia ingin melihat Max. Ia ingin membuktikan semua perkataan Rey tadi. Ia ingin bertanya apa sebenarnya yang Max inginkan. Tapi ia takut kalau jawabannya melenceng jauh dari yang ia harapkan. Ia takut kalau perisai yang ia bangun, yang kini telah retak di sana-sini, akan hancur berkeping-keping oleh hantaman kekecewaan. Dan ia pun akan hancur sepenuhnya. Jatuh cinta pada Max sudah merupakan kesalahan. Mencoba berharap Max akan mencintainya juga adalah kesalahan lainnya. Dan Resha tau, jauh di dalam hatinya yang terdalam, ia akan mengambil resiko itu...

***

            Satu jam kemudian, Resha berdiri di depan Beast. Ia ragu akan tindakannya itu. Berkali-kali ia melirik jam dan hendak pulang saja, akan tetapi kakinya menolak untuk melangkah pergi.

            “Gue nggak bisa...” bisik Resha panik.

            Ia balik badan dan siap pergi, tapi langkahnya terhenti saat melihat 2 orang cowok berjalan ke arah cafe sambil tertawa-tawa. Resha berusaha bersikap kasat mata dan menyingkir dari jalan kedua cowok itu. Akan tetapi rupanya tujuan kedua cowok itu berubah ketika mereka melihat Resha. Kedua cowok itu lantas menghadang Resha.

            “Kok udah mau pulang? Gabung bareng kita yuk?” ajak si cowok pertama.

            “Nggak, makasih. Gue lagi buru-buru,” kata Resha seraya mengelak saat salah satu dari kedua cowok itu ingin mencolek pipinya.

            “Eits, jangan takut gitu donk. Kita-kita ini orang baik kok!” kata si cowok kedua.

            Resha menatap kedua cowok itu dengan desir kepanikan di dadanya. Ia menerobos kedua cowok itu sebelum mereka macam-macam, akan tetapi tangannya ditarik. Resha menjerit. Ia meronta-ronta dengan kuat dan menjerit minta tolong. Ketika mulutnya dibekap, Resha langsung menggigit tangan yang membekapnya. Ketika pergumulan itu semakin sengit, sebuah teriakan terdengar. Resha dan kedua cowok itu menoleh kaget. Kelegaan membanjiri Resha hingga lututnya lemas saat melihat Rey berdiri di depan pintu Beast dan kini tengah berjalan dengan mengancam ke arahnya. Cowok-cowok yang mengganggu Resha itu pun langsung melepaskan Resha dan kabur.

            “Lo nggak apa-apa kan?” tanya Rey, bergegas menghampiri Resha. Ia membantu cewek itu untuk berdiri. “Mereka nggak ngapa-ngapain lo kan?”

            Resha menggeleng lemah.

            “Kenapa lo nggak telepon gue sih? Kalau gue nggak nyuruh orang buat ngawasin pintu depan, saat ini mungkin aja lo udah celaka!” kata Rey.

            “Gue... Gue nggak yakin. Gue berniat pulang...” sahut Resha.

            “Setelah sampai di sini?” tanya Rey. “Lupakan aja. Ayo masuk,” kata Rey dan menarik tangan Resha dengan lembut.

            “Tapi...”

            Rey mengabaikan protes lemah Resha dan tetap menggiring Resha masuk ke dalam Beast.

            Ketika mereka semakin mendekati meja tempat Rey meninggalkan Max, kekacauan lain sudah terjadi. Hanya saja kali ini Max-lah yang membuat keributan. Cowok itu tampak sedang mencengkeram kerah pengunjung lainnya dan siap memulai perkelahian. Rey pun langsung menghampiri dan menarik Max menjauh. Diseretnya Max dengan paksa, dengan susah payah memegangi tubuhnya karena Max tidak mau diam.

            “Sialan! Gue cuma ninggalin lo lima menit tapi lo udah buat onar!!!” hardik Rey.

            “Leeeepas!” sahut Max mabuk.

            “Pulang! Kita balik sekarang!” kata Rey dan menarik Max menuju pintu keluar. Rey lalu ingat kapada Resha. Ia pun menoleh ke balik bahunya. “Kalau lo nggak keberatan, bisa lo ambilin jaketnya Max di kursi itu?” kata Rey.

            “...Oke,” sahut Resha pelan.

            “Thanks,” kata Rey.

            Meski suara hingar bingar musik membahana di tempat itu, namun Max mendengar suara Resha dan menoleh seolah ia ditampar dengan keras. Matanya yang merah memicing ke arah Resha yang tengah mengambil jaket. Dari balik kabut minuman keras, Max masih bisa mengenali Resha. Cara berpakaiannya, cara melangkahnya, bahkan biarpun rambutnya tergerai di punggungnya. Dan ketika gadis itu berbalik, jantung Max seakan diremas oleh tangan tak terlihat.

            Resha berhenti melangkah saat menyadari Max tengah menatapnya. Ia membalas tatapan itu selama beberapa detik sebelum menunduk dan berjalan mendahului ke pintu keluar.

            “Ayo, Max, gerakkan kaki lo,” kata Rey seraya memapah Max.

            “Kenapa...” kata Max, berhenti sejenak karena cegukan, “dia ada di sini?”

            “Menurut lo kenapa?” sahut Rey. “Ayo, jalan! Jangan diam aja! Gue nggak mau kalau dia digangguin lagi sementara gue ngurusin elo di sini!!”

            “Apa?!” tanya Max tajam. Langkahnya terhenti dan dia berdiri limbung.

            “Berdiri yang benar kenapa sih?!” hardik Rey dan memaksa agar Max kembali melangkah. Max terhuyung maju.

            Sesampainya di luar, Max sudah nyaris tidak bisa melangkah tanpa diseret oleh Rey. Cowok itu menggerutu tidak jelas dan menyandar pada Rey. Resha yang menunggu di parkiran mengawasi saat Rey memapah dan setengah menyeret Max menuju ke mobil jazz yang terparkir tak jauh dari pintu masuk Beast.

            “Res, bisa lo pegangin ni anak sebentar? Gue harus buka pintu mobilnya,” kata Rey.

            “Eh? Ng... Nggak bisa gue aja yang buka? Siniin aja kuncinya,” kata Resha.

            “Kuncinya ada di saku depan celana gue lho,” kata Rey, membuat wajah Resha memerah.

            Resha menunjukkan raut tersiksa yang membuat Rey ingin tertawa. Sebagai gantinya, ia terbatuk pelan untuk menyembunyikan tawanya. Ia menaikkan alis penuh tanya ke arah Resha. Akhirnya, dengan enggan, Resha pun mengangguk. Ia mengulurkan tangan ke arah Rey.

            Rey menyerahkan Max kepada Resha. Meringis saat cewek mungil itu terkesiap saat Max membuatnya kesulitan menjaga keseimbangan. Rey buru-buru mengeluarkan kunci dan membuka pintu belakang. Mereka berdua berusaha memasukkan Max ke dalam mobil, dan dalam prosesnya, Resha ikut terseret masuk ke mobil.

            “Lo ikut sekalian ya? Gue janji bakal nganterin elo pulang dengan selamat,” kata Rey saat ia duduk di belakang kemudi.

            “Apa gue kelihatan punya pilihan lain?” gerutu Resha dan berusaha mendorong kepala Max menjauh dari bahunya.

            Rey menyengir. “Mulut lo tajam juga ya? Nggak heran kalau Max tergila-gila sama elo,” kata Rey.

            “Dia nggak tergila-gila sama gue!” sergah Resha.

            Rey mengangkat bahu dan melajukan mobilnya keluar dari area parkir Beast. Perjalanan itu didominasi oleh keheningan yang diselingi oleh gumaman Max yang tak jelas. Resha juga tampak duduk gelisah dan terus-terusan menegakkan kepala Max, walau ujung-ujungnya kepala Max akan kembali terkulai ke bahunya.

            Akhirnya mobil yang dikemudikan Rey memasuki sebuah pekarangan luas sebuah rumah. Rumah itu cukup besar dengan kesan minimalis. Khas tempat tinggal cowok bujangan. Resha jadi bertanya-tanya apakah Max tinggal bersama orangtuanya atau tidak.

            “Lo tunggu sebentar, gue mau minta kunci rumah sama satpam yang tinggal di belakang,” kata Rey. “Si Bego ini nggak mungkin ingat bawa kunci rumah,” tambah Rey. Ketika ia sudah di luar, ia melongok lagi ke dalam. “Kalau dia bertingkah, lo pukul aja kepalanya pakai asbak,” pesannya, lalu meninggalkan mobil.

            Ditinggalkan berdua saja bersama Max membuat Resha makin gelisah. Resha berusaha mendudukkan Max di kursi dan beringsut-ingsut menjauh. Setelah usaha yang terasa seabad lamanya, akhirnya Resha berhasil membuat Max duduk tegak, dengan kepala terkulai di jok. Resha bergeser sedikit dan menatap Max. Membingungkan, itulah kesan yang bercokol di kepala Resha setelah ia mengenal Max, bukan berarti ia sangat mengenal cowok itu sih.

            Bergeser lagi, Resha menatap keluar jendela. Kenapa Rey lama sekali? Resha mengubah posisi duduknya. Mungkin lebih baik ia turun dan menunggu di luar. Di dalam mobil bersama Max membuatnya gelisah. Tepat ketika Resha akan membuka pintu, tangan Max menutupi tangannya. Resha terkesiap. Ia berbalik secara spontan dan langsung menyesalinya saat menyadari Max berada begitu dekat dengannya. Sekarang Resha terkurung di antara kedua tangan Max. Jarak wajah mereka hanya terpaut sejengkal jauhnya. Tanpa sadar Resha menahan napas saat tatapan kelam Max memakunya.

            “Kenapa lo di sini?” tanya Max.

Resha tak menjawab. Selain karena ia tidak tau mau menjawab apa, ia juga bingung dengan perasaannya. Apa yang membuat Resha memutuskan datang?? Apa hanya sekadar ingin membuktikan kata-kata Rey?

            “Kenapa? Apa lo mau menyiksa gue??”

            Kali ini Resha menggeleng lemah. “Gue nggak tau...” bisik Resha.

            “Gue mau jawaban,” kata Max.

            “Gue nggak tau...” sahut Resha putus asa. “Gue sendiri nggak ngerti kenapa gue...”

            “Nggak ada jalan kembali,” kata Max. Ketika Resha hanya menatapnya dengan tatapan bingung, Max menarik napas gemetar. “Gue tau lo berbahaya buat gue. Gue tau harusnya gue menjauh dari elo. Tapi gue nggak bisa. Sekeras apapun gue mencoba, gue tetap nggak bisa menjauh,” kata Max.

            “Kenapa?” tanya Resha setelah terdiam lama. “Gue cuma cewek biasa. Gue nggak sepadan sama cewek-cewek yang mendekati elo,” kata Resha lirih.

            Mata mereka bertatapan dalam keremangan. Mata tajam dan kelam Max beradu dengan tatapan sendu Resha. Lalu Max mencondongkan tubuhnya ke arah Resha, bersamaan dengan Resha yang otomatis mendongak. Max melenyapkan jarak yang tersisa dan berbisik di depan bibir Resha.

            “Lo seperti candu buat gue. Membuat gue nggak pernah puas merasakan elo,” kata Max, lalu ia mencium bibir Resha.

            Awalnya lembut dan hati-hati, seolah ia meminta ijin. Lalu ketika merasakan Resha melembut, ciuman itu berubah menjadi lebih mantap dan yakin. Napas mereka berpadu dalam simfoni ajaib. Saling mencicipi dan menelisik perasaan lewat sentuhan ringan sekalipun. Max memeluk Resha, dan Resha meletakkan tangannya di bahu Max, memejamkan mata saat Max menciumnya lagi dan lagi.

            Tanpa Max dan Resha sadari, Rey bersandar di luar pintu mobil. Ia mengisap dan mengembuskan asap rokoknya dengan santai. Dalam hati merasa geli dengan pasangan aneh di belakangnya itu. Kalau memang akhirnya seperti ini, kenapa harus repot-repot menyiksa diri dulu? Dasar, ternyata benar kata orang, cinta itu bisa membuat orang jadi bego.

            Sepuluh menit kemudian, Rey menyentil puntung rokoknya dan menginjaknya hingga mati. Kemudian ia mengetuk kaca jendela mobil.

            “Hei, gue ngantuk nih,” kata Rey.

            Resha terkejut dan langsung mendorong Max, yang saat itu tengah menelusuri lehernya. Tak peduli bahwa kepala Max nyaris terantuk atap mobil. Resha lalu merapikan rambut, dan juga pakaiannya yang entah bagaimana caranya berhasil dikuak Max hingga dua kancing teratas kemejanya terbuka. Ditatapnya Max dengan wajah merah dan dongkol.

            Max pura-pura masih mabuk dan kembali menyuruk ke leher Resha.

            “Max!!” protes Resha.

            Pintu di belakang Max terbuka dan Rey langsung merenggut kerah pakaian Max. “Ayo, Max, udah waktunya lo tidur,” kata Rey.

            Max menggerutu saat Rey menariknya dengan paksa, ia menyebut Rey sebagai perusak suasana dan sejenisnya. Rey menjitaknya agar diam, lalu menyeret Max masuk ke dalam rumah. Resha menyusul di belakangnya.

            “Rey, pergi lo!” kata Max setelah ia dilemparkan ke atas tempat tidurnya.

            “Oke. Ayo, Sha, waktunya kita pulang,” kata Rey jahil.

            Max mendelik ke arah Rey. “Gue mau ngomong sama dia! Lo aja yang pergi!!”

            “Sorry, Max, gue udah janji buat nganter Resha pulang,” sahut Rey santai.

            “Rey...” geram Max.

            “Sebentar aja, Rey. Nanti gue menyusul lo,” kata Resha buru-buru sebelum Max membuat onar.

            Rey tertawa, tapi tetap keluar dari kamar Max.

            Sepeningga Rey, Max duduk di tepi ranjangnya dengan kepala tertunduk untuk mengurangi pusingnya. Bohong kalau ia bilang pengaruh alkohol di tubuhnya sudah hilang, buktinya saja sekarang kepalanya mulai berdenyut sakit. Akan tetapi pikirannya sudah jauh lebih jernih sejak meninggalkan Beast tadi. Dan keberadaan Resha membuat Max berusaha keras menghalau mabuknya.

            “Gue nggak suka ngomong jauh-jauhan,” kata Max.

            “Gue harus pulang,” kata Resha, tapi ia mendekat juga hingga berdiri sejauh rentangan tangan dari Max. Ia ragu-ragu dan meremas-remas tangannya.

            “Nggak bisa. Gue mau semuanya jelas malam ini juga,” kata Max. “Gue nggak suka setengah-setengah.”

            Resha menghela napas. “Gue belum siap. Apa nggak bisa ditunda sampai... seminggu lagi?” pinta Resha.

            Max mendongak dan mendelik. “Seminggu?!? Nggak bisa!!!” serunya. “Gue nggak mau insomnia satu minggu lantaran harus nunggu kepastian!!”

            Resha meringis. Ia yakin Rey pasti bisa mendengar teriakan Max itu, dan mungkin saja cowok itu tengah menahan tawanya di balik pintu.

            “Tapi...”

            “Nggak! Gue mau semuanya jelas sekarang!” kata Max. Ditatapnya Resha, mengabaikan pukulan-pukulan di kepalanya. “Meski gue kesal, gue nggak bisa menyangkal kalau lo udah membuat gue nggak bisa jalan sama cewek lain lagi. Bayangan lo menginvasi otak gue dan terus bercokol di sana sampai gue frustasi!”

            Max menatap Resha, kali ini dengan tatapan yang membuat napas Resha tersentak. Jantungnya mulai berdebar penuh harap, tapi sekaligus takut akan apa yang mungkin akan didengarnya.

            “Gue jatuh cinta sama elo,” kata Max.

          Napas Resha tercekat dan dia menatap Max terbelalak, tak percaya. Tatapannya mengabur oleh sesuatu. Apa? Apa barusan Max memang mengatakan bahwa cowok itu mencintainya? Tubuh Resha serasa tak bertulang dan ia jatuh berlutut. Max mencintainya? Mungkinkah?

            Max berlutut di depan Resha. Diraihnya dagu Resha dan ditengadahkannya wajah cewek itu. Resha tampak terkesima dan matanya berkilau oleh air mata. Hal itu membuat hati Max menghangat. Kenapa lama sekali dia baru menyadarinya? Selama ini Reshalah yang dicarinya di dalam sosok cewek-cewek yang dikencaninya. Resha adalah cewek yang diciptakan untuknya. Resha melengkapinya, menetralisir sifat egoisnya, dan menenangkan sisi gelapnya. Max membingkai wajah Resha dan menatap Resha dengan lembut.

            “Gue jatuh cinta sama elo sejak pertama kali kita ketemu. Dan semakin terikat sama elo sejak gue mencium lo di perpustakaan waktu itu,” kata Max.

            “Tapi... Nggak mungkin...” Resha berhasil menggelengkan kepalanya.

            “Apa yang nggak mungkin, Sha?” tanya Max.

            “Gue bukan cewek yang sempurna, apalagi populer. Gue nggak bisa menyamai elo...” bisiknya.

           “Sstt, gue nggak butuh cewek yang sempurna. Yang gue butuhkan adalah elo, apa adanya diri elo,” kata Max. “Sekarang gue tanya, apa lo merasakan hal yang sama kayak gue?”

            Resha terdiam, menatap mata kelam Max yang menatap balik ke arahnya dengan kelembutan yang menggugah setiap sel di tubuhnya. Resha mengerjap, dan sebutir air mata bergulir di pipinya. Air mata itu langsung dihapus Max dengan ujung jarinya, disusul dengan kecupan lembut di kedua kelopak matanya. Dengan mengejutkan Resha menyadari kalau ia merasakan hal yang sama dengan Max. Ia mencintai Max dengan setiap keyakinannya. Dan sekarang perasaan yang disangkalnya itu seolah menekan dadanya, menuntut untuk diungkapkan. Disuarakan dengan kata-kata. Resha menarik napas gemetar dan menatap Max.

            “Ya...” bisik Resha.

            “Ya apa?” tanya Max lembut.

            “...Gue cinta sama elo,” kata Resha.

            Max tersenyum. “Bisa gue artikan kalau itu artinya kita resmi jadian?” tanya Max jahil.

            Mata Resha berkilau oleh air mata. “Selama elo nggak memaksa gue... dan membiarkan semuanya berlalu apa adanya,” kata Resha, tersenyum kecil.

            Max mendesah dramatis. “Kesabaran? Gue lemah dalam hal itu,” katanya.

            “Lo harus belajar mulai sekarang,” balas Resha.

            “Oke,” kata Max, lalu mengecup sekilas bibir Resha. “Selama gue mendapatkan imbalan yang setimpal,” katanya jahil.

            Wajah Resha memerah. Ia mengangguk pelan. “Selama elo bersikap manis,” kata Resha.

            “Bagus,” kata Max. Kali ini dia mencium Resha dengan lembut dan lebih lama. Saat ia memisahkan diri dari Resha, ia melirik pintu dengan jengkel. “Lo nggak bisa tinggal?” tanyanya jengkel.

            “Max...”

            “Ya, ya, gue akan jadi anak manis,” kata Max. “Kalau gitu, kasih gue ciuman sebelum tidur,” kata Max dan tanpa menunggu, ia kembali meminta hadiahnya.

***

            Resha berjalan menuju halaman kampus bersama Chacha yang masih saja menyatakan ketidakpercayaannya mengenai Resha yang dengan sukses mengubah playboy paling wahid menjadi semanis anak anjing, padahal sudah sebulan berlalu. Chacha mengomel panjang lebar ketika menceritakan apa yang terjadi, tapi secara keseluruhan dia turut bahagia untuk Resha. Dan sama seperti Chacha, Resha pun tidak percaya bahwa dirinya kini berpacaran dengan cowok paling diminati di kampus. Yang sekarang menjadi pacar paling manis di dunia.

            Max bersikap begitu manis dan perhatian, mengimbangi sikap posesif dan over protectifnya yang kadang menyebalkan. Tapi Resha mengerti semua itu dilakukan Max tanpa sadar. Hal ini, perasaan sayang yang mereka rasakan ini, masih baru bagi mereka. Dan mereka berusaha untuk membiasakan diri.

            “Nah, ini dia si Playboy Kasmaran,” gumaman Chacha menarik Resha kembali ke realitas.

            Resha menatap ke depan, melihat Max tengah berjalan cepat ke arahnya dengan Rey yang menyusul di belakangnya. Seringaian Rey menunjukkan betapa gelinya cowok itu melihat kelakuan Max.

            “Sorry, gue telat. Tuh dosen kalau udah ngoceh bisa lupa waktu,” kata Max saat ia tiba di hadapan Resha. Cowok itu mencium pipi Resha dan menyapa Chacha, yang dibalas dengan sebuah cibiran.

            “Gue juga baru keluar kok,” kata Resha.

            “Hari ini mau ke mana? Perpustakaan buat cari data? Atau ke toko buku? Skripsi lo nggak ada masalah kan?” berondong Max sambil mengambil alih bawaan Resha.

            Resha tersenyum, melirik Rey yang memutar bola matanya ke atas, lalu ke arah Chacha yang kembali mencibir. “Semua baik-baik aja kok,” sahutnya.

            “Ingatkan gue untuk nggak berurusan sama playboy tobat,” gumam Chacha keras, ketika ia menyusul Max dan Resha.

            Rey mengalungkan tangannya di bahu Chacha. “Kalau sama gue juga nggak mau?” godanya.

            Chacha menatap Rey dengan tatapan seolah cowok itu sudah gila, lalu menepiskan tangan Rey. Rey terkekeh dan berjalan menyusul Chacha. Terpikir olehnya kehidupan Max sekarang mungkin tidak terlalu buruk. Godaan untuk mengubah gaya hidup menggelitiknya. Pasti akan sangat menyenangkan mencari cewek yang tahan menghadapinya tanpa mengeluh sedikit pun. Rey tanpa sadar menatap punggung Chacha yang berjalan di depannya. Sebuah senyum geli tampak di wajahnya. Ngapain mencari jauh-jauh? Targetnya mungkin ada di hadapan matanya, baik secara kiasan ataupun secara harfiah.

            Menyadari tantangan apa yang ada di hadapannya membuat Rey tertawa kecil. Dan rupanya Chacha mendengar tawa itu. Cewek itu menoleh ke balik bahu dan menatap Rey dengan kening berkerut. Rey mengedipkan sebelah matanya ke arah Chacha dengan menggoda, membuat cewek itu mendengus dan melanjutkan langkahnya sambil bersungut-sungut.

            Ya, pasti menarik, batin Rey. Ia menyusul sambil bersiul riang.

SELESAI

Continue Reading