MY LORD VAMPIRE #1

By AiYueLinglung

20.4K 513 33

More

MY LORD VAMPIRE #1

20.4K 513 33
By AiYueLinglung

            Awalnya terasa menakutkan. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan bertemu dengannya. Seorang laki-laki misterius yang tinggal di sebuah mansion besar dan tua tak jauh dari tempat tinggalku. Aku sering melewati mansion itu dan bertanya-tanya orang seperti apa yang tinggal di dalamnya. Meski tampak kosong dari luar, tapi konon mansion itu masih di tempati oleh laki-laki kaya raya yang eksentrik.

            Semakin sering aku melihat mansion itu, semakin timbul rasa penasaranku. Akan tetapi aku tak berani mendekati rumah itu. Selain tampak misterius, banyak rumor yang beredar seputar rumah itu. Tapi aku tak percaya. Kupikir rumor itu hanya mitos yang dibesar-besarkan oleh orang-orang. Hingga suatu malam, Dia datang.

            Itulah malam ketika aku bertemu dia, dan takdirku berubah...

***

            Aku sedang mencari kucing hitamku yang kabur di taman dekat rumahku. Kucingku suka ke sana, sehingga kupikir aku akan menemukannya di sana dan kami bisa pulang. Matahari sudah lama tenggelam dan lampu-lampu taman sudah dihidupkan. Namun tetap saja pencahayaannya masih kurang. Taman di malam hari begitu sepi dan menyiratkan sesuatu seolah akan ada sesuatu yang muncul. Menggelengkan kepala, aku mengenyahkan bayangan-bayangan yang mulai terbentuk di kepalaku. Sudah, Cherish, itu hanya bayangan saja. Tidak perlu terus memikirkannya.

            “Puss... keluarlah,” aku memanggil-manggil kucing nakal itu. Pandanganku terus bergerak ke sekeliling untuk mencari tanda-tanda keberadaan kucing hitamku. Akan tetapi aku tak menemukannya.

            Aku duduk di sebuah bangku dan menghela napas. Kutopangkan dagu diatas kedua tanganku. Ke mana kucing itu pergi? Sudah seharian aku tidak melihatnya. Ketika aku hendak beranjak, sebuah bayangan berkelebat di sebelah kiriku. Mengira itu kucingku, tentu saja aku langsung menghampiri. Sayangnya, bukan itu yang aku temukan.

            Sepasang mata perak menatap balik kepadaku. Sepasang mata terindah yang pernah kulihat yang berasal dari seorang laki-laki yang amat sangat tampan. Dengan rambut hitam legam yang agak melebihi batas lehernya. Laki-laki itu sedang bersimpuh di tanah, di dekat sesosok... Mataku membelalak saat menyadari apa yang ada di kaki laki-laki itu. Sesosok tubuh wanita, dengan dua titik di lehernya.

            Aku membuka mulut, tapi tak ada satupun suara yang keluar dari mulutku. Aku bahkan tak bisa bergerak sama sekali ketika laki-laki itu menegakkan tubuhnya dan berjalan dengan langkah anggun ke arahku.

            “Siapa kau?” bisikku ketakutan. Aku berusaha mundur dengan kakiku yang gemetaran. Tatapanku tak lepas dari laki-laki itu.

            Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai dan sepasang taring berkilat di bibirnya. Seketika aku tau apa yang tengah aku hadapi saat itu. Aku hendak berlari ketika ia menerjang ke arahku. Kukira leherku akan langsung koyak oleh taringnya, akan tetapi bukan itu yang terjadi. Laki-laki vampir itu menarikku ke belakangnya dan menyerang entah apa yang ada di belakangku. Aku tersungkur ke tanah dan langsung menoleh ke belakang. Kulihat bukan hanya ada satu, melainkan ada dua vampir lainnya. Dan kini dua vampir itu tengah bertarung. Vampir bermata perak itu berhasil menggigit leher vampir lainnya hingga koyak dan darah menciprat ke mana-mana. Lalu seolah belum cukup, vampir itu memelintir leher vampir satunya hingga terdengar suara berderak dan vampir itu berubah menjadi abu.

            Aku terkesima. Terlalu ngeri melihat pemandangan yang ada di hadapanku. Bekas darah masih ada, dan setumpuk debu berserakan di dekat vampir bermata perak itu. Aku tidak tau bagaimana nasibku selanjutnya, hanya saja yang kuingat adalah kegelapan yang menelanku tanpa ampun. Dan aku kehilangan kesadaranku.

            Aku terbangun di sebuah ruangan yang gelap. Dan aku sadari aku tengah tidur di sebuah ranjang antik bertiang empat dengan kelambu tipis yang menutupinya. Seberkas cahaya lilin menari-nari di dekat meja rias antik di sebelah tempat tidurku. Dengan perlahan aku duduk dan memegangi kepalaku. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi dan di mana kira-kira aku berada. Bukankah tadi aku sedang mencari kucingku di taman? Lalu bagaimana aku bisa berada di kamar tidur yang bukan kamar tidurku?

            Suara gema langkah kaki di lorong di luar kamarku membuatku tersentak. Aku mencengkeram selimut tebal di dadaku dan menatap pintu besar di kamar itu perlahan terbuka. Entah bagaimana perasaan gelisah merayapiku. Jantungku bertalu-talu dengan keras, dan aku merasakan ketakutan yang sangat walau aku tidak tau aku harus takut pada apa.

            Pintu terbuka dan dua orang pelayan perempuan masuk. Pelayan-pelayan itu tidak berkata apa-apa kepadaku, mereka hanya meletakkan sebaki makanan dan sebaskom air hangat di atas meja rias, lalu keluar lagi. Aku mengerutkan keningku. Sebenarnya aku ada di mana?

            Perlahan aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. Aku hanya melirik sekilas ke arah makanan-makanan yang tampak lezat itu dan menggelengkan kepala. Tidak, aku tidak boleh menyentuh makanan itu tanpa tau siapa yang memberikannya. Mungkin saja makanan itu diracuni kan?

            Aku mencoba membuka pintu kamarku, yang rupanya sangat berat karena terbuat dari kayu terbaik. Aku harus bersusah payah agar bisa membuat celah di sana supaya aku bisa keluar. Aku melongokkan kepala keluar, menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada siapa-siapa di lorong. Setelah menyakini bahwa aku memang sendirian, aku keluar. Aku menyusuri lorong gelap itu dengan bertelanjang kaki. Lorong itu hanya di terangi lampu kecil sehingga jarak pandangku sangat terbatas.

            Di mana sebenarnya aku ini? Kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi, tapi ingatanku seolah kacau dan tidak mau bekerja sama denganku. Dan setiap aku hampir mengingatnya, ingatan itu langsung lenyap. Hanya gambaran sepintas-sepintas yang bisa kuingat. Laki-laki. Ya, ada laki-laki di taman. Laki-laki yang tampan kalau boleh kutambahkan. Bermata perak dan memiliki wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang aristokrat dan juga rambut sekelam malam.

            Perasaan ngeri melandaku saat terpikir kalau mungkin saja laki-laki itu yang membawaku ke rumah besar ini. Apa aku diculik? Tapi kalau ini peculikan, harusnya aku dikurung di ruang bawah tanah dan bukannya diberi kamar yang mewah dan diberi makanan yang enak. Lalu apa?

Menghela napas, aku sampai di ujung lorong. Ada tangga yang menuju ke bawah, di mana terdengar suara percakapan para pelayan yang sangat pelan. Aku pun menuruni tangga itu dengan perlahan, mengintip dari atas anak tangga. Aneh, semua tirai ditutup dan hanya lilin dari candelir yang menerangi ruangan di bawah itu. Ruangan yang mirip seperti sebuah aula besar dan mewah.

            Aku baru saja menginjakkan kakiku di anak tangga terbawah ketika semua pelayan menoleh secara serempak ke arahku dan obrolan mereka terhenti. Entah kenapa mereka tampak berhati-hati padaku. Saat kucoba mendekati salah satu pelayan perempuan, pelayan itu mundur dan tak berani menatapku. Meski merasa aneh, aku tetap mencoba bicara.

            “Maafkan aku, bisakah kau memberitahuku aku ada di mana sekarang ini?” tanyaku hati-hati.

            Pelayan itu mundur dan terus menunduk. “Maaf, My Lady, saya tidak diperkenankan untuk menjawabnya,” kata pelayan itu padaku.

            “Tapi kau pelayan di sini kan??” tanyaku tak mau menyerah, walau aneh rasanya mendengar diriku dipanggil ‘Lady’ oleh pelayan itu. Itu kan sebutan abad pertengahan.

            Pelayan itu meminta maaf dan malah mengundurkan diri. Pelayan-pelayan lainnya pun mengikutinya. Aku coba menahan mereka, tapi tampaknya mereka terlalu takut padaku. Menyerah, aku duduk bersimpuh di lantai pualam yang dingin. Aku mengigit bibirku untuk menahan tangisku. Lalu tiba-tiba tengkukku meremang. Aku merasakan ada seseorang yang mengamatiku dengan intensitas yang tinggi. Sehingga tanpa sadar aku langsung menoleh ke sekeliling. Dan aku melihatnya. Berpakaian serba hitam, berdiri di anak tangga teratas dan tersembunyi di balik bayangan. Mantel panjang menutupi bahunya. Seketika aku menegang.

            “Siapa kau??” tuntutku.

            Laki-laki itu menuruni tangga dengan perlahan. Gerakannya anggun dan tampak elegan. Pakaiannya pun tampak mewah, walau agak terkesan salah jaman. Tapi, laki-laki itu menguarkan aura menakutkan.

            “Kau bangun juga,” kata laki-laki itu. Suaranya terdengar semerdu lonceng, dan anehnya mampu mengirimkan getaran aneh ke sekujur tubuhku.

            Aku menatap laki-laki itu, dia masih belum terpapar cahaya sama sekali, sehingga sulit bagiku untuk melihat wajahnya dengan jelas. Kutunggu hingga ia lebih dekat dan mataku lebih terbiasa dengan gelap.

            Napasku tersangkut di tenggorokan saat melihat betapa menawannya wajah laki-laki itu. Ya Tuhan, wajahnya bisa disebut sebagai sesuatu yang ilegal karena bisa membuat wanita berlomba-lomba untuk melihatnya. Dan matanya, berwarna perak gelap, yang anehnya terlihat indah. Seperti cahaya bulan yang keperakan. Rambutnya yang panjang diikat dengan seutas pita putih di tengkuknya. Dan aku sadar aku belum mengalihkan mataku darinya.

            “Siapa kau sebenarnya? Kaukah yang membawaku ke sini?!” tanyaku.

            Laki-laki itu mengamatiku. Sampai-sampai aku merasa sangat gelisah dibawah tatapannya. “Ya,” sahutnya akhirnya.

            “Kalau begitu, kau bisa memulangkanku?? Keluargaku akan khawatir kalau aku tidak pulang,” kataku penuh harap.

            Laki-laki itu berdiri menjulang di hadapanku yang duduk di lantai. Lalu dia berlutut dengan sebelah kakinya sehingga mata kami menjadi sejajar. Tangannya terulur ke arahku dan menyentuh pipiku dengan sekilas. Seluruh tubuhku gemetar ketika merasakan tangannya yang sedingin es menyentuhku. Bagaimana bisa tangan seseorang begitu dingin, walau di musim dingin sekalipun??

            “Mulai sekarang kau akan tinggal di sini.”

           Aku membuka mataku yang tadinya terpejam dan menatap tak mengerti ke arah laki-laki di depanku itu. “A... Apa?”

            “Mulai sekarang kau akan tinggal di mansion ini bersamaku. Kau tidak bisa pergi tanpa ijinku, dan pintu akan selalu tertutup meski kau mencoba membukanya dengan berbagai cara,” kata laki-laki itu.

            Saat itu aku mulai menyadari kengerian apa yang menantiku. Aku ada di mansion kuno bergaya Inggris itu! Dan laki-laki di depanku adalah pemiliknya. Entah kenapa aku merasa ngeri membayangkan diriku di kurung di sini olehnya. Ini bisa disebut penculikan!

            “Tidak mau! Aku mau pulang!! Pulangkan aku?!” sahutku memelas. Aku meraih kemejanya. “Kumohon, aku harus pulang,” pintaku dengan air mata merebak.

            Akan tetapi laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Ia menyentuh daguku dan mendongakkan wajahku dengan lembut.

            “Kau akan menjadi Ladyku. Mulai saat ini kau akan menemaniku,” kata laki-laki itu dengan nada tak terbantahkan. Dan sebelum aku sempat menemukan kata-kata untuk memohon agar ia memulangkanku, ia menunduk dan menciumku.

Terlalu tak percaya dengan nasibku yang diputuskan seenaknya oleh laki-laki itu, selama berhari-hari aku mengurung diri dan menolak setiap makanan yang dibawakan ke kamarku oleh para pelayan. Aku juga tidak mau menemui laki-laki yang kuketahui bernama Lord Aldhen L’Arcen itu. Namanya aneh, dan ada sebutan lord pula di depan namanya. Memangnya ini jaman apa? Dan aku juga tidak peduli mau dia itu lord atau raja sekalipun. Dia tidak berhak mendikte hidupku sama sekali. Kalau dia ingin aku tinggal di sini, dia harus berusaha keras karena aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah baginya. Dan sampai kapanpun aku takkan pernah mau tinggal bersamanya!

            Sayangnya semua tidak berjalan sebagaimana harapanku. Tadinya aku harap dia akan menyerah karena melihat keteguhan hatiku. Akan tetapi, tepat pada hari ketiga, aku mulai merasakan efek dari kurangnya asupan makanan dan minuman ke dalam tubuhku. Aku merasa sangat lemah, bahkan untuk mengangkat tubuhku dari ranjang saja aku tidak bisa.

            Bermodalkan semangat baja, aku mencoba membuka mataku. Lalu perlahan aku berguling hingga menyamping dan menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhku yang hanya terbalut oleh gaun tidur. Dari semua yang Aldhen berikan, hanya pakaian yang tidak aku tolak. Dan anehnya, pakaian-pakaian itu sangat pas denganku, seolah-olah memang pakaian itu dibuat khusus untukku.

            Perlahan aku duduk di tepian ranjang, seketika saja rasa pusing melandaku dan aku menjadi mual. Kutopang kepalaku dengan kedua tangan hingga pusingku berkurang. Setelah itu, aku menapakkan kakiku di lantai pualam yang dingin. Dengan sempoyongan aku melangkah ke arah meja, di mana sebaskom air telah diletakkan oleh pelayan. Baru beberapa langkah, dunia seolah berputar. Aku mencoba menggapai-gapaikan tanganku, akan tetapi tak ada apapun yang bisa kuraih. Sadar-sadar aku sudah terkulai di lantai. Napasku terasa berat dan mataku sulit untuk dibuka. Aku coba bernapas dengan pelan.

            Tak lama berselang, pintu kamarku terbuka. Sulit rasanya untuk memaksa mataku untuk terbuka agar bisa melihat siapa yang datang. Tapi harusnya aku bisa menebak. Hanya satu orang yang masuk ke kamar ini selain para pelayan. Hanya satu orang yang suara langkahnya nyaris tak terdengar. Dan hanya satu orang yang mampu menimbulkan perasaan aneh pada diriku.

            Benar saja, laki-laki itu berjalan memasuki kamar dan langsung menuju ke arahku. Seolah-olah ia memang sudah menduga akan menemukanku dalam keadaan yang menyedihkan ini.

            Kupejamkan mata menahan air mata yang mengancam akan mengalir. Kenapa laki-laki itu memutuskan menemuiku sekarang? Kenapa tidak sejak beberapa hari lalu? Apa dia sengaja menunggu agar aku menyerah sendiri?

            Meski tak melihatnya lama-lama, aku dapat merasakan udara bergolak saat dia menghampiriku dan berlutut di sebelahku. Kemudian aku merasakan sebuah lengan kokoh menyelinap ke bawah tubuhku dan mengangkatku hingga berada dalam posisi setengah bersandar. Aroma rempah-rempah menyusup ke penciumanku. Rasanya aku ingin menenggelamkan diri saja.

            “Apa kau sudah puas sekarang?” tanya Aldhen padaku.

            Aku ingin meneriakinya agar meninggalkan aku sendirian dan membiarkan aku mati saja. Tapi sebaliknya aku memejamkan mata erat-erat dan membiarkan air mata meleleh di pipiku. Aku berusaha memalingkan wajah, walau tindakanku itu sia-sia karena aku bahkan tidak mampu menggerakkan seujung jari pun.

            “Kupikir kau sudah banyak perkembangan, Aldhen, tapi ternyata kau masih sama saja,” sebuah suara feminin terdengar.

            Aku mencoba membuka mata, namun aku tak bisa melihat apapun karena bahu Aldhen yang lebar menghalangiku, terlebih lagi ia membelakangi pintu. Namun, aku bisa merasakan tubuh Aldhen sedikit menegang saat mendengar suara itu.

            “Tutup mulutmu, Jean,” kata Aldhen dingin.

           Aldhen perlahan berdiri, membawaku dalam gendongannya dengan mudah, seolah-olah aku ini seringan bulu. Ketika ia berbalik hendak menuju tempat tidur berkelambuku, barulah aku melihat pemilik suara tadi. Seorang wanita cantik berambut pirang sedang berdiri bersandar di pintu. Gayanya terkesan menggoda dengan gaun merah menyala ketat tanpa lengan membalut tubuhnya, ia tampak seperti seolah sedang merayu Aldhen. Ia melemparkan senyum menggoda kepada Aldhen.

            “Aku datang karena mendengar gosip yang beredar dalam klan kita. Tidak kuduga, selain melawan dorongan alamiah kaum kita, kau bahkan memelihara kaum fana,” kata wanita bernama Jean itu.

            Kulihat Aldhen menggertakkan rahangnya. “Keluar dari sini, Jean,” perintahnya dingin.

            Jean tersenyum lagi. Ia membungkuk singkat. “Baiklah, My Lord,” sahutnya sebelum menyelinap keluar dari kamarku.

            Sepeninggal Jean, tinggallah aku dan Aldhen. Ia kemudian membaringkanku diatas tempat tidur, lalu menyelimutiku

            “Akan kupanggilkan pelayan untuk merawatmu,” hanya itu yang ia katakan sebelum berbalik ke arah pintu.

            “Kenapa aku?” tanyaku lirih. Kutatap punggung Aldhen, dan ketika ia berbalik, kutatap mata peraknya. Berharap akan melihat sesuatu di matanya, aku merasa kecewa saat mata itu melihatku dengan sorot tak terbaca.

            “Karena aku menginginkannya,” kata Aldhen.

            “Apa aku akan terkurung di sini selamanya?” tanyaku lagi, membiarkan nada putus asa menyusup dalam suaraku.

            “Untuk sementara ini aku tak bisa menjawabnya,” sahut Aldhen. “Hal terpenting yang harus kau lakukan adalah makan. Kau tidak perlu mengkhawatirkan keselamatanmu karena aku takkan membiarkan salah satu dari ‘mereka’ menyentuhmu seujung kuku pun,” kata Aldhen sebelum berbalik dan berjalan ke pintu.

            Kali ini aku tak menghalanginya. Aku menarik selimutku hingga menutupi sebagian wajahku dan menangis tanpa suara.

            Pada akhirnya aku menemukan kesadaran bahwa semakin aku melawan kehendak Aldhen, maka semakin keras ia memaksaku. Hal itu terbukti saat aku mencoba menolak memakan makanan yang dibawakan untukku. Bukannya aku tak mau, tapi perutku rasanya bergolak tiap kali menelan makanan. Dan apa yang dilakukan Aldhen? Coba tebak. Yah, mungkin kau takkan bisa menebaknya, selain karena aku sendiri tak menduga sebelumnya, ia juga tak pernah menunjukkan sisi lembut sedikit pun.

            Oke, jawabannya adalah dia menemaniku semalaman dan dengan sabar menyuapiku bubur. Hal itu cukup untuk menggoyahkan persepsiku mengenai dirinya. Mungkin dia tak seburuk yang aku duga. Secara teknis dia memang mengurungku di rumahnya, tapi di saat yang sama dia tidak menyakitiku, mencoba pun tidak. Kecuali tatapan perak cairnya yang setajam elangnya itu tak henti-hentinya menelisikku dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah ia ingin melahapku bulat-bulat. Memikirkannya membuat tubuhku gemetar penuh antisipasi. Aneh dan menakutkan buatku karena bisa-bisanya merasakan hal seperti itu pada orang asing. Aku bukan remaja tanggung lagi, bulan depan aku genap 23 tahun dan itu sudah bisa disebut dewasa kan?

            Masih ada Jean yang sering berkeliaran di sekitarku. Aku tak tau apa hubungannya dengan Aldhen, tapi ia sering mengunjungi mansion setelah matahari terbenam. Dan sering kali, aku merasa ia menatapku dengan penuh minat, khususnya bagian leherku. Seolah ia menunggu sebuah kepala lain tersembul keluar dari leherku. Atau mungkin ia ingin mencabik-cabik leherku dan menggantungnya di atas perapian karena mengira aku punya hubungan khusus dengan Aldhen. Hiie, memikirkannya membuatku bergidik.

            Sekitar seminggu setelahnya, aku mulai terbiasa tinggal di mansion ini. Memang aku masih sering memikirkan keluarga yang aku tinggalkan. Grandma dan Grandpa sudah tua dan aku mengkhawatirkan kesehatan mereka. Tapi aku sadar, percuma memikirkannya karena untuk sementara aku pun belum bisa dinyatakan aman. Kata-kata penuh misteri Aldhen membuatku menyadari ada hal yang tidak kuketahui di rumah ini.

            Suatu sore, aku mencoba mengelilingi mansion. Aku memasuki tiap ruangan, baik itu ruang tamu, ruang makan, dapur, perpustakaan, aula, semua yang bisa kumasuki dan kutemukan. Sayangnya aku tak berani naik ke lantai tiga. Menurut Etna, pelayan yang ditugaskan mengurusi segala kebutuhanku, kamar Aldhen ada di lantai tiga, bertempat di ujung koridor dengan pintu mahoni besar yang mengilap, dan penuh dengan ukiran menarik. Sempat terpikir untuk coba mengintip ke atas, tapi selalu ada penjaga yang berdiri di tangga dan aku yakin akan menghalauku. Akhirnya aku hanya memuaskan diri dengan mengelilingi ruangan lain.

            Ada taman di belakang mansion, dengan rumah kaca berisi aneka mawar dan bunga lainnya. Aku melihatnya dari jendela kamarku, tapi belum pernah menginjakkan kaki di sana. Aku kan dikurung di dalam rumah, dan sebagai tahanan aku tak berani meminta agar diijinkan mengecap cahaya matahari. Bagaimana pun, terkurung di dalam rumah selama beberapa minggu membuat kulitku menjadi terlihat pucat, terlebih karena kulitku memang berwarna sedikit pucat dari lahir. Dan aku sedikit membencinya. Teman-temanku memiliki kulit kecokelatan yang eksotis, dan aku iri pada mereka.

            “Aku ingin keluar,” ujarku sambil memandangi taman di luar sana.

            Matahari sudah condong ke barat dan senja mulai merambat naik. Aku baru saja selesai mandi dan kini tengah mengenaikan sebuah gaun terusan berbahan satin berwarna turkis yang panjangnya hingga semata kaki. Aku agak heran darimana datangnya gaun-gaun itu. Hampir semua pakaian yang disediakan untukku adalah gaun, baik gaun terusan panjang, rok panjang yang dipadankan dengan blus berkancing hingga leher, gaun sederhana dengan warna natural sepanjang lutut, ataupun gaun tidur sutra dan katun panjang. Lihat kan, aku tidak diberi jeans ataupun pakaian yang lebih sederhana di sini.

            “Maaf, My Lady, kurasa Lord Aldhen takkan menginjinkannya,” sahut Etna.

            Aku berputar ke arah Etna, ujung gaunku berdesir di pergelangan kakiku. “Kenapa tidak boleh?? Dia sudah mengurungku di dalam rumah! Tidak menginjinkanku menghubungi keluargaku! Sekarang dia juga tak menginjinkanku untuk keluar walau hanya ke halaman?!” seruku kesal. Well, sejak jadi tawanan, emosiku mudah tersulut, walau hanya hal sederhana sekalipun.

            Etna tampak tak berani membantahku, dan ia hanya meminta maaf. Aku pun kembali melihat keluar jendela besar di hadapanku. Menggerutu.

            “Kalau dia ingin aku betah di sini, walaupun aku tidak mau, harusnya dia membiarkan aku mendapatkan apa yang aku mau. Aku hanya ingin menghirup udara luar dan bukan hanya terjebak di dalam mansion besar dengan orang yang sama sekali tidak mengindahkan keinginanku, tapi bersikeras agar aku tetap di sini,” aku menggerutu. Seraya kembali berputar, aku bertanya pada Etna. “Apa bukan keterlaluan namanya?!”

            Sayangnya, bukan Etna yang ada di dalam kamar bersamaku, melainkan Aldhen yang berdiri bersandar di pintu, dengan tangan terlipat, menatapku tertarik. Aku hampir ternganga, tapi menahan diri tepat waktu dan mengatupkan rahangku dengan cepat. Sebagai gantinya, aku memelototi dia.

            “Mau apa kau di sini?! Aku tak pernah mengijinkanmu masuk!” ketusku.

            “Ini rumahku,” sahut Aldhen dengan pernyataan paling faktual dan tak bisa kubantah.

            Menghindari kondisi kalah berdebat yang memalukan, bahkan sebelum debat itu dimulai, aku memutar badan dan memunggunginya. “Aku yang tidak mau melihatmu, kalau begitu,” sahutku kesal. Benar, aku kesal padanya. Dan kalau aku menyebutkannya satu persatu, mungkin saja akan menghabiskan waktu berhari-hari dan aku pasti akan kelelahan bicara.

            Aku bisa melihat Aldhen menelengkan kepalanya dari pantulan jendela di depanku, dan aku makin ingin melemparkan sesuatu ke arah wajah tampannya itu. Tapi lagi-lagi aku menahan diri, karena apa lagi yang bisa kulakukan kalau aku terjebak di sini??

            “Ayo kita keluar,” kata Aldhen.

            Huh, dia pikir dia siapa? Enak saja memerintahku begitu. Memangnya dia pikir aku akan mau menurut begitu saja saat dia bilang akan mengajakku keluar... Apa tadi? Dia bilang akan mengajakku keluar? Keluar? Maksudnya keluar, ke alam bebas di luar sana kan? Aku berbalik secepat kilat dan menatap dengan mata membelalak terkejut ke arahnya.

            “Keluar???” semburku tanpa bisa kutahan. Sirna sudah image menjaga jarakku. Iming-iming keluar dari rumah menjemukan ini telah mengalahkan segalanya dan aku akui aku ini memang tak tetap pendirian. Kalau memang ada kesempatan bagus, aku akan langsung menyambarnya.

            Sudut-sudut bibir Aldhen berkedut, seolah ia sedang menahan geli, sebagai gantinya senyum tipis membayang di bibirnya. Dan lagi-lagi, aku seolah merasa perutku diisi oleh ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayap dengan riangnya. Reaksi yang aneh kalau boleh kukatakan.

            “Ambil atau lupakan,” kata Aldhen tenang dan mulai berbalik pergi.

            Tak perlu berpikir dua kali, aku langsung melesat menyusul di belakangnya. Menganggat gaun panjangku hingga selutut, aku menjajari langkah panjang dan tennag Aldhen.

            “Apa ada yang kau sembunyikan? Tiba-tiba berbaik hati dan mengijinkan aku keluar dari rumah,” kataku curiga.

            “Kau mengatakan banyak hal yang menarik, dan salah satunya adalah mengenai mansionku yang memuakkan,” kata Aldhen. “Sekarang ijinkan aku menunjukkan seberapa memuakkannya mansionku ini.”

            Aldhen membuka sebuah pintu ganda yang kuduga mengarah ke halaman. Dan saat seluruh pintu terbuka, aku langsung disambut oleh pemandangan taman yang sering kulihat dari dalam kamarku. Rumah kaca tak jauh di depan. Tanpa sadar aku melangkah keluar dengan riang. Berputar-putar dan menikmati aroma dedaunan dan udara yang mulai dingin karena senja telah berlalu. Bintang-bintang mulai menampakkan diri mereka, dan langit semakin gelap. Lampu-lampu taman menyala dan menciptakan pemandangan layaknya di negeri dongeng.

            Aku menyadari tingkahku yang memalukan saat mendengar suara kekehan pelan di belakangku. Seketika aku menyadari aku ada di mana dan bersama siapa. Perlahan aku merasakan wajahku merona merah, dan kulirik Aldhen dari balik bahuku. Laki-laki itu tersenyum geli ke arahku. Ugh... Ingin rasanya aku membenturkan kepalaku pada patung malaikat di dekatku hanya untuk menghukum diri karena menunjukkan tingkah kekanakan di hadapan laki-laki yang seharusnya paling kujauhi.

            “Apa yang lucu?!” sergahku.

            Aldhen tersenyum, yang kalau gadis-gadis melihatnya pasti akan dikategorikan sebagai ‘senyum memikat’. “Kau,” sahutnya.

            Aku memicingkan mataku, berusaha sebisa mungkin untuk tetap marah. “Aku tidak merasa ada yang lucu pada diriku,” sahutku.

            Aku melangkah menjauhi Aldhen dan menuju ke sebuah ari mancur, dengan patung dewi yunani, namanya aku lupa, yang tanpa busana, hanya ditutupi sehelai kain. Well, jelas sekali itu kesukaan para laki-laki.

            “Bagaimana dengan rumah kacaku?”

            Aku nyaris melompat saat mendengar suara Aldhen terdengar tepat di belakangku. Tengkukku meremang. Dan aku bersumpah, sesaat tadi aku bisa merasakan hembusan napas dingin di leherku. Bagaimana dia bisa ada di belakangku secepat itu??

            “Kenapa dengan rumah kaca? Aku hanya melihat sekilas, mana aku tau apa saja yang ada di dalamnya,” sahutku.

            Tanpa kuduga sebelumnya, Aldhen meraih tanganku dan menarikku. “Kalau begitu ayo kita lihat apa yang ada di dalam sana,” katanya seraya menuntunku ke arah rumah kaca.

            Dan reaksiku? Aku hanya bisa terperangah dan membiarkan diriku digiring ke dalam rumah kaca, tanpa perlawanan sama sekali.

            Aku masuk ke dalam rumah kaca, tepat di belakang Aldhen. Hawa hangat menyambutku dan aku sedikit bergidik. Aku melangkah semakin masuk ke dalam rumah kaca, menelusuri sebuah lorong yang di kanan dan kirinya berisi aneka tumbuhan dan bunga. Dinding di sebelah kanan di rambati oleh bunga mawar, membentuk tirai tanaman yang anehnya terlihat indah. Di petak-petak tanah di bawahnya ditanami dengan bunga mawar aneka warna, berjajar rapi sesuai warnanya. Kuamati lagi sisi lain rumah kaca itu, dan aku tetap terkagum-kagum.

            “Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah sememuakkan yang kau pikirkan?” tanya Aldhen seraya berhenti di tengah-tengah rumah kaca, di bawah sebuah pohon besar.

            Bagus, sekarang ia menyerangku lagi. Aku menarik tanganku dari genggaman tangannya, akan tetapi genggaman tangan Aldhen sekuat baja, namun juga selembut sutra. Ia tak melepaskan tanganku, tapi menjaga agar tidak menyakitiku. Aku tak tau harus merasa kesal atau tersentuh. Laki-laki ini betul-betul membingungkan.

            “Silahkan saja menyindirku, aku takkan menarik kata-kataku,” sahutku kesal, harus puas hanya dengan membuang muka ke arah lain.

            “Senang mendengarnya,” kata Aldhen. Ia lalu menarikku dengan lembut agar mendekat ke arahnya. Seketika aku langsung was-was dan mencoba menarik diri darinya.

            “Mau apa kau?!” tuntutku, berusaha melepaskan tanganku.

            “Memelukmu,” sahut Aldhen tenang.

            Aku membelelakkan mataku ke arah Aldhen. Apa dia bilang? Memelukku??

            “Aku tidak mengijinkannya!!” seruku dengan wajah memerah.

            “Kenapa tidak? Aku hanya ingin memelukmu sekarang, bukannya menelanjangimu,” sahut Aldhen.

            Wajahku makin memerah dan aku makin berusaha melepaskan tanganku dari genggaman tangannya. Aku panik. Sudah jelas aku panik. Bagaimana mungkin aku tidak panik kalau seorang laki-laki mengatakan ingin memelukmu?

            “Aku tidak peduli! Bagiku keduanya terdengar sama saja!” sahutku.

            Aldhen berhenti memaksaku, akan tetapi ia belum melepaskan tanganku sehingga aku hanya bisa menjauhinya sejauh rentangan tanganku saja. Kuamati wajah Aldhen dengan was-was, mencari tanda-tanda kelicikan di wajahnya yang seperti pahatan sempurna itu. Diantara kekacauan pikiranku, aku bertanya-tanya bagaimana bisa iaa tampak begitu sempurna? Aku jadi merasa kasihan pada laki-laki di luar sana seandainya Aldhen berkeliaran. Sudah pasti semua wanita akan mengerubunginya bagai laron yang mengerubungi lampu.

            “Baiklah, kita buat perjanjian,” kata Aldhen.

            “Perjanjian?” tanyaku curiga.

            “Ya. Aku akan melepaskanmu, dan maksudku bukan memulangkanmu, jika kau berkata tidak saat aku merayumu,” kata Aldhen.

            Aku ternganga. “Kau merayuku?? Merayuku???” seruku terperanjat.

            Aldhen mengerutkan dahinya. “Ya. Ada masalah dengan hal itu?”

            Aku tambah menganga. “Tapi kau tak bisa merayuku!!”

            “Kenapa tidak?”

            “Karena... Karena kau tidak tertarik padaku!! Kau tidak bisa merayuku kalau kau tidak memiliki perasaan terhadapku! Aku tidak sudi dirayu!!” sahutku.

            Aldhen mendesah, seolah bicara denganku membuatnya lelah. “Aku merayumu karena aku tertarik padamu. Dan sebelum kau menyela dengan penyangkalanmu, biar kutegaskan satu hal lagi,” kata Aldhen. “Aku selalu mendapatkan apa yang kumau.”

            “Tidak untuk yang satu ini!” sahutku. Aku menyentak tanganku, bahagia karena Aldhen cukup lengah, dan langsung berbalik ke arah pintu. Aku baru membuka pintu itu ketika pinggangku direnggut dan tubuhku diputar ke belakang. Dan saat sadar, aku sudah ada dalam pelukan Aldhen. Aku terkesiap.

            “Aku akan berhenti saat kau mengatakan tidak,” kata Aldhen sedetik sebelum ia menundukkan wajahnya dan mendaratkan bibirnya di bibirku.

            Tubuhku kaku untuk sejenak, dan aku menyadari bahwa aku menempel pada tubuh Aldhen. Salah satu lengan kokoh laki-laki itu melingkari pinggangku, sementara yang lainnya berada di tengkukku dan menahan agar wajahku tetap mendongak. Bibirnya terasa hangat di bibirku, dan anehnya ia memperlakukanku dengan lembut hingga aku bergidik tanpa sadar. Terkesiap, aku mencengkeram bagian dengan bajunya, mencoba menarik diri dengan lemah. Dan sadar usaha menyedihkanku itu telah gagal karena otakku tak bisa berpikir lagi saat Aldhen mengambil kesempatan untuk menyelinapkan lidahnya ke mulutku saat aku terkesiap tadi.

            Lututku lemas dan aku bersandar sepenuhnya pada Aldhen. Tulang-tulangku seakan meleleh dan aku membiarkan diriku mencicipi rasa Aldhen. Ketika Aldhen menarik wajahnya menjauh sedikit, napasku tak beraturan, pandanganku sayu dan aku menatapnya dengan linglung. Bagian otakku yang paling dalam tau kalau aku sedang bersandar sepenuhnya pada Aldhen, laki-laki sialan itu bahkan tidak tersengal sedikitpun! dan membiarkan Aldhen melingkarkan lengannya di sekitar tubuhku.

            “Kau tidak mengatakan ‘tidak’,” kata Aldhen dengan penuh kemenangan.

            Aku berusaha memelototinya, walaupun pandanganku masih belum fokus. Badanku masih gemetar gara-gara ciuman Aldhen tadi. Dan sungguh, sampai sekarang kalau dia tidak memeluk pinggangku, aku mungkin sudah terkulai ke lantai.

            “Kau licik,” desisku ketika sudah menemukan suaraku.

            “Tidak, aku cerdik,” sahut Aldhen sembari mengusapkan ibu jarinya di bibir bawahku, membuatnya gemetar. Dengan tatapannya ia memakuku sehingga aku tak bisa berpaling darinya. “Rasamu seperti ambrosia,” bisiknya.

            Aku berusaha menemukan balasan yang tepat, tapi seolah tersihir, aku hanya bisa membuka sedikit bibirku tanpa ada kata yang keluar dari sana. Kulihat Aldhen tersenyum miring dan aku langsung merasakan kulitku bergelenyar. Aku pasti sudah bergidik tanpa sadar karena tangan Aldhen mengusap punggungku dengan lembut dan menenangkan. Aku ingat kancing-kancing mutiara yang menghias pakaianku, dan letaknya di sepanjang tulang punggungku. Aku harus meminta Etna membantuku memakainya karena tak bisa menjangkau semuanya.

            “Aku mau kembali ke kamarku!” semburku. Bersama Aldhen membuat semua akal sehatku berlompatan dan aku tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan karena itulah aku harus pergi sebelum terlambat.

            Aldhen kembali mengusap bibir bawahku, gerakannya pelan dan ringan. “Kurasa tidak sebelum aku menginjinkannya,” kata Aldhen.

            Kekesalan dan juga rasa malu membuatku menemukan tenagaku kembali. Aku mencoba melepaskan diri dari Aldhen, tapi pelukannya sekokoh baja. Aku seolah sedang berusaha menggeser dinding beton.

            “Lepaskan!”

            “Baiklah,” desahnya. Pelukannya mengendur, dan aku nyaris menangis karena lega. Akan tetapi, ketika kupikir ia akan melepaskanku, hal sebaliknya malah terjadi. Secara tiba-tiba ia mengeratkan pelukannya dan menarik tubuhku ke arahnya. Sebelum aku menyadari bahwa aku tertipu untuk kedua kalinya, ia sudah memagut bibirku lagi. Kali ini dengan sedikit keras dan dalam, hingga aku terkesiap keras. Ia mengangkat tubuhku hingga aku terpaksa harus berjinjit dan berpegangan pada bahunya, dan ia makin memperdalam ciumannya.

            Kepalaku seolah berputar-putar dan aku melupakan segala hal yang ingin kukatakan. Reaksi alami tubuhku mengkhianatiku karena aku malah melingkarkan tangan di lehernya dan semakin merapat padanya.

            Keheningan rumah kaca itu terpecahkan oleh suara napas kami yang tak beraturan. Jantungku berdegup kencang seolah ingin keluar dari rongganya. Aku mengerang pelan. Aku tau aku harus menghentikan Aldhen. Aku harus berkata tidak. Tapi sulit sekali untuk menolak godaan sebesar ini. Kesadaran perlahan menyusup ke dalam benakku saat merasakan tangan Aldhen meluncur di sepanjang kancing gaunku. Sebelum aku menyadarinya, aku merasakan gaunku melonggar. Bahkan lengannya merosot dari bahuku.

            Saat itulah aku menemukan kewarasanku kembali. “Tidak!” engahku, berhasil menarik diri sejauh yang kubisa.

            Aldhen berhenti, tapi tidak langsung melepaskanku. Ia memastikan aku dapat berdiri di atas kedua kakiku dulu baru melonggarkan pelukannya. Aku langsung mundur dengan terhuyung-huyung, memegangi bagian depan gaunku agar tidak merosot. Kutatap Aldhen dengan mata membelalak. Napasku tersengal-sengal, jantungku berdentam-dentam, dan bibirku terasa bengkak akibat serangan-serangan Aldhen.

            “Kita tidak bisa!” semburku.

            Aldhen diam, menatapku tenang.

            “Jangan lakukan itu lagi!” kataku dengan suara bergetar dan langsung berlari pergi meninggalkan rumah kaca.

            Ya, Tuhan, betapa hampirnya aku menyerahkan diriku pada seorang laki-laki yang baru kukenal! Kenyataan itu membuatku ketakutan setengah mati. Aku belum pernah merasa begitu tergugah oleh kehadiran seorang laki-laki. Tapi bersama Aldhen, aku telah kehilangan semua kewarasanku. Aku harus memastikan hal itu tak terulang lagi. Harus!

Continue Reading

You'll Also Like

539K 68K 30
Do not allowed to copy paste my story for any reason! [Summary] "Mari kita buat kesepakatan. Kau boleh meminum darahku sebagai gantinya kau berikan t...
1.9K 430 7
Di dunia ini terdapat tiga ras yang mendominasi untuk saat ini, ras iblis, ras vampire dan satu lagi manusia, ketiganya memiliki perbedaan yang signi...
94.7K 6.2K 26
cerita ini murni karangan sang penulis. • rion x caine • bxb ( boy lovers) • sedikit 18+ ya!? • cerita ini menceritakan sebuah kerajaan vampir yang...
13.6K 1.2K 11
Mansion vampire penuh darah manusia. kelalaian manusia yang datang ke mansion itu akan tiada tanpa kata kata yang keluar dalam mulutnya. sang vampire...