Behind Every Laugh

By plpurwatika

6.2K 457 111

#30DaysWritingChallenge More

#1 Love Yourself
#2 Say Your Love!
#3 See you soon!
#5 My Olive
#6 (Judulnya Nyusul)
#7 Sorry
#8 One Day to Remember
#9 Selfie
#10 Ojek tak Bermesin
#11 Cinta
#12 Bukan Benci Biasa
#13 Surat Cinta?
#14 Sate Cinta-eh, Sate Ayam
#15 Bukan Benci Biasa (2)
#16 Trust Me
#17 Damn you, Arka.
#18 I Miss You.
#19 Kotak Cokelat
One Call Away
KISS
#21 Dia yang Tidak Pernah Menangis

#20 Ongkos

179 15 2
By plpurwatika

#30DaysWritingChallenge Day 20: 5 things u passioanate about.

Aku menyetop angkot berwarna biru yang lewat di depanku dengan terburu-buru. Jarang sekali angkot ini lewat. Aku saja menunggunya dari mulai halte penuh sesak sampai kosong sama sekali, angkot ini baru sekali lewat!

Huh, derita sekolah jauh.

Aku langsung masuk ke dalam angkot yang sudah cukup penuh-tidak heran sih-dan duduk di paling pojok angkot yang jauh dari pintu.

Ketika angkot baru berjalan sebentar, seseorang menyetop angkot ini lagi. Dan naiklah cowok itu ke dalam angkot. Ya ampun! Bagaimana ini? Oh my God!

Cowok itu sedikit celingak-celinguk mencari tempat duduk, dan akhirnya memutuskan untuk berdempat-dempetan duduk di sampingku. Dia... Wangi banget!

Aku hanya sibuk melongok ke luar jendela sambil berpura-pura tidak menaruh minat pada cowok di sampingku yang sekarang sibuk memainkan handphonenya. Aku mengabaikannya. Berusaha meyakinkan kalau seragam batik sekolah yang kami kenakan sama. Aku tidak mengenalnya. Pokoknya tidak!

Iyadeh, aku memang mengenalnya. Namanya Reza. Panggilannya Reja. Dia adik kelasku. Awal pertemuan kami sangatlah jauh dari kata baik. Makannya, aku berusaha untuk tidak pernah bertatap muka lagi dengannya.

Aku dan teman-temanku pernah melabraknya karena kesalahpahaman yang tolol sekali. Memalukan. Harusnya aku tidak pernah ikut campur. Kenyataannya, Rejalah yang benar dan kamilah yang salah. Bodoh memang.

Entahlah dia masih mengingatku atau tidak. Syukur kalau dia tidak ingat. Memang aku dan teman-temanku adalah senior yang kurang ajar banget.

Ah ya, dan satu lagi, Reja ini ganteng banget! Mukanya kalem tapi bisa jadi serius kalau sedang marah. Alisnya nggak luntur walaupun dipake wudhu. Bibirnya... Jangan diomongin deh, takut khilaf. Pokoknya tipe yang loveable banget deh. Mungkin, aku bisa menjadikannya gebetanku kalau saja insiden tidak jelas itu tidak pernah terjadi.

Lebih baik aku menyiapkan ongkos daripada memikirkan cowok di sampingku yang sepertinya juga sedang sibuk merogoh saku celananya. Aku merogoh kantong bajuku dan keringat dingin langsung mengalir di tengkukku ketika tidak ada uang seribu rupiahpun di sana!

Tenang, tenang.

Mungkin aku memindahkannya ke saku rok tadi? Bisa jadi, kan? Aku langsung merogoh saku rokku sambil berdoa semoga ada uang lima ribu rupiah saja di sana.

Tapi hasilnya nihil. Sialan.

Ah kenapa tidak terpikir? Akukan bawa dompet!

Aku langsung merogoh tasku dan mencari dompet di sana, kemudian teringat kalau dompetku tadi pagi aku pindahkan ke kantong jaket. Dan, ya ampun dimana ya jaketku?

Bodoh! Jaketnya ketinggal di mobil Papa! Damn, gimana dong?

Jalan satu-satunya cuman.... Ah gengsi. Tapi kalau tidak... Ya ampun.

Aku mencolek pundak Reja dengan hati-hati. Dan saat cowok itu menoleh, aku langsung kaget setengah mati. Anjrit.

"Kenapa?" dia berkata dengan nada yang kurang ajar di telingaku. Tidak semestisnya seorang junior berkata seperti itu pada seorang senior. Jangan-jangan dia masih mengingatku? Ah masalah itu bisa nanti. Saat ini ada yang lebih penting. Dan ego bukanlah penyelesaiannya.

"Ng, gini," kataku gugup. Dia mendengarkannya malas-malasan. Kusingkirkan semua egoku, dan berkata dengan nada seakrab mungkin. "Bayarin angkot gue dong! Plis?"

Reja melongo. Kenapa dia jadi makin ganteng di saat yang nggak tepat?

"Ya?"

"Emang duit lo kemana?" tuhkan! Nada ngomongnya masih aja nyebelin. "Kalo nggak punya duit, nggak usah sok-sokan naik angkot deh mending."

Kurasakan kepalaku sudah mulai berasap. Segala macam nama-nama penghuni kebun binatang sudah siap di ujung lidahku untuk aku tumpahkan pada cowok kurang ajar ini. Tapi kutelan emosiku bulat-bulat. Lalu beralih menghadap jendela dan memikirkan solusi lain.

Pasti ada. Pasti. Minta bayarin sama ibu yang lagi makan jeruk di depanku? Atau sama bapak yang lagi sibuk ngerokok di ujung pintu? Atau coba bicara baik-baik sama pak supir yang mukanya antagonis banget? Oh aku tau! Apa aku pura-pura ngamen?

"Rumah lo dimana?"

Setengah mati aku berusaha mengabaikan ucapan sok baik dari cowok di sampingku. Tapi gagal. "Komplek Pepaya."

Reja mengangguk-angguk nggak jelas. "Yaudah nanti ikutin gue aja."

Hah?

Maksudnya dia mau bayarin angkot? Tuhkan! Mana tega sih dia? Haha. Aku yang menang!

"Kiri ya bang!"

Seruan Reja membuatku melongo seketika. What? Inikan komplek manggis! Komplek pepaya masih di depan lagi! Dia bego atau gimanasih?

Angkot menepi dan tidak lama kemudian berhenti. Reja mengangguk mengajakku turun. Aku tetap duduk tenang di tempatku. Enak saja, jangan-jangan komplek manggis ini rumahnya! Dasar sok baik!

Ketika tidak ada tanda-tanda aku akan bergerak, Reja langsung menarik tanganku dan memaksaku turun dari angkot. Setelah kami berdua sudah turun, tanpa melepaskan genggamannya pada tanganku, Reja menyerahkan sejumlah uang kepada sang supir. Sebelum sang sopir sempat melihat berapa jumlah uang yang diberikan Reja, Reja sudah menarikku berlari masuk ke dalam komplek manggis.

Aku yang tidak siap, awalnya sempat terseok-seok diajak lari tiba-tiba. Ketika ingin protes kepada Reja, bisa kudengar suara teriakkan sangar sopir angkot dari belakang kami, "Woi bocah! Kurang nih! Main kabur lagi!"

Dan percaya atau tidak, sang sopir angkot saat ini tengah berlari mengejar kami memasuki komplek manggis! Gila!

Reja berlari di depanku, menunjukkan arah. Masih sambil mengenggam tanganku. Kali ini lebih erat. Kalau gini terus sih, aku rela dikejar-kejar sopir angkot sampe ujung komplek.

Reja lalu menarikku masuk ke dalam rumah tempat rental PS3. Bersembunyi. Dari kaca bisa kami lihat sopir angkot tadi yang merasa kehilangan jejak langsung berbalik. Huh, syukurlah. Aku mengelap keringat yang membahasai pelipis dan dahiku. Gila. Capek banget. Aku melirik Reja, cowok itu sama berantakkan denganku. Hanya saja dia kelihatan lebih macho kali ini. Haduh, ingin rasanya aku mencakari mukanya yang menyebalkan!

Satu hal yang baru kusadari, sejak tadi, walaupun sudah berhenti berlari, tapi tangan kami berdua masih tetap bergandengan. Gengsi, kutarik tanganku dengan kasar. Reja tampak kaget dan langsung salah tingkah. "Adek kelas nggak boleh modus ya."

"Udah ditolongin juga, malah marah-marah." cowok itu mencibir. "Kakak kelas nggak tau diri."

Kurang ajar. "Iyadeh, makasih."

Aku lalu mengajak Reja keluar dari rental PS3 karena merasakan tatapan tidak enak dari mbak-mbak penjaga rental. Reja langsung menyetujuinya.

"Terus sekarang pulangnya gimana?" aku membuka suara sambil terus berjalan mengikuti Reja. "Lagian kenapa turun di sini sih? Jangan-jangan ini gang komplek rumah lo ya? Songong banget lo. Sebenernya lo iklas nggak sih nolongin gu-"

"Berisik banget sih lo!" apa aku tidak salah dengar? Barusan dia membentakku? "Yaa lo pikir kek, kalo kita turun persis di depan gang komplek rumah lo, kalo besok-besok tuh tukang angkot nyariin lo di gang situ gimana? Ya okelah kalo cuman nyariin. Kalo dia dendam? Mati aja lo.

"Asal lo tau ya, rumah gue itu di komplek Markisa. Satu komplek lebih jauh dari rumah lo."

Walaupun kata-katanya sangat kurang ajar, aku tidak bisa menyelanya sama sekali. Karena semua yang dia katakan benar. Dengan nada perasaan bersalah aku berkata, "Terus sekarang kita gimana? Mau naik angkot lagi? Lo masih ada duit?"

"Bego banget sih?" hah? "Kalo gue punya duit ya kita nggak bakal di kejar-kejar sopir angkotlah."

Ah iya benar juga. Tiba-tiba aku jadi terharu. Padahal dia nggak punya uang, tapi berbaik hati mau menolongku. "Emang tadi lo bayar berapa?"

"Goceng." dia nyengir.

Hah, pantas saja kita tadi di kejar-kejar. Bbm naik bro. Harusnya total uang yang diberikan Reja adalah 6 ribu. Berlebihan banget, demi uang seribu rupiah, si sopir angkot rela turun dari angkot dan mengejar-ngejar kami.

"Lagian gue nggak ngerti deh," kata Reja sambil berjalan. Aku mengikutinya saja. "Daripada dia ngejar-ngejar kita terus beli aqua yang harganya tiga ribu, kan mendingan dia iklasin aja tuh duit seribunya."

Aku menangguk bersemangat. Tidak bisa lebih setuju lagi dengan ucapan Reja. "By the way, kita daritadi jalan terus, mau kemanasih? Nggak nyampe-nyampe."

"Tenang aja. Gue tau jalan pintas dari sini ke komplek Pepaya. Makannya gue milih gang ini buat turun. Biar lo nggak kejauhan."

Aku tidak bisa lebih terharu lagi.

"Maafin gue ya." tak kusangka, akhirnya aku mengucapkan kalimat barusan pada Reja.

"Maaf kenapa?"

Songong! Dia mau membuatku malu dengan mengatakan sederetan kesalahku? Oh itu tidak akan pernah terjadi. "Kenapa kek."

"Dih, nggak jelas."

Aku tidak membalas kata-katanya. Biarkan saja dia berfikir sendiri. Saat ini aku dan Reja sedang sibuk menyusuri gang-gang sempit yang seperti tidak berujung ini. Saat akhirnya aku melihat pos ronda di ujung gang, saat itu juga aku tau, perjalanan kita sore ini sudah hampir selesai.

Karena kita sudah sampai di komplek Pepaya.

"Udah nyampe nih," kata Reja masih dengan nada kurang ajar. "Mau gue anterin sampe rumah apa gimana?"

Dasar nggak tulus! Inisiatif sedikit kek. Kenapa harus pake tanya-tanya segala?

"Terserah lo."

"Yaudah sampe sini aja deh, gue takut kesorean."

Deg. Bego! Harusnya aku tau, dia harus berjalan kaki lebih jauh lagi untuk sampai di rumahnya karena sudah mengorbankan ongkos satu-satunya untukku. Yaampun. Aku ini. Dasar tidak tahu terimakasih.

"Mampir ke rumah gue aja dulu, Dek." haish akhirnya aku memanggilnya dengan sebutan yang cupu itu. Karena kenyataannya, bahkan pemikirannya jauh lebih dewasa daripada aku.

"Lain kali aja deh."

"Mampir ke rumah gue aja, nanti biar gue suruh sopir gue buat anterin lo balik. Daripada lo buang-buang waktu buat jalan kaki, kan?"

Dia tersenyum tulus. Manis sekali sampai aku lupa caranya bernafas. "Nggak usah ngerasa utang budi gitu lah. Gue seneng kok jalan kaki sore-sore gini."

"Seriusan lo? Gue nggak enak sumpah. Harusnya lo sekarang udah tidur-tiduran kali di rumah. Eh kenyataannya, lo masih harus jalan jauh banget lagi biar sampe rumah."

Reja lalu mengangguk yakin. "Gue serius, kak Airin."

Oh baguslah kalau dia tampak begitu yakin, aku jadi tidak perlu kha-eh, sebentar. Tadi dia menyebutku apa? Kak... Airin? Yaampun sejak kapan dia memanggilku Kak? Padahalkan daritadi dia songong banget. Dan yang lebih penting, darimana dia tau namaku?

"Biasa aja kali, siapa sih yang tau nama lo di sekolah?"

Dia bisa baca pikiran ya? "Apaan sih lo?" mau tak mau aku tersenyum.

"Ya iya serius, semua orang di sekolah juga tau Airin. Satu-satunya orang yang ngewakilin sekolah dan menang di lomba ngelukis se-jabodetabek."

Bukannya aku mau sombong, tapi aku ini jago banget ngelukis lho-iyadeh aku memang sombong.

"Walaupun katanya orangnya jutek banget, tapi ternyata dia nggak jutek." Aku gitulho! "Cuman nyebelin doang."

Reja tai.

"Maksudnya apanih tiba-tiba lo jadi baik gini?" aku juga bisa kok lebih songong daripada dia!

"Tuhkan bhahahahaha." padahal, nggak jelas kenapa dia tiba-tiba ketawa. Tapi anehnya, suara ketawanya bikin candu. Pengen denger terus. "Gue jadi inget waktu lo sama temen lo ngelabrak gue. Bhahahahahahaha."

Tuhkan dia masih inget! Mampus dah. Mampus!

"Gue bego banget waktu itu. Padahal udah jelas-jelas lo ngelabrak gue, tapi gue masih sibuk ngeyakinin diri gue sendiri kalo lo tuh sebenernya bukan orang jahat. Lo tuh cuman mau solider aja sama temen-temen lo. Lo cuman salah milih temen."

Dari kata-katanya, kenapa seakan-akan dia sudah mengenalku dari lama? Padahal, di sekolah aku selalu mengindari mengobrol dengan adik kelas, siapapun itu.

"Dan setelah dari tadi lo ngobrol sampe berbusa-busa sama gue," kataku dengan nada sejutek mungkin. "Lo masih mikir gue baik?"

"Nggak." kenapa aku langsung kecewa tidak dianggap jadi orang baik di mata Reja? "Nggak. Gue nggak perlu mikir-mikir lagi, dari awal gue tau lo baik. Sampe waktu ngobrol sama lo, gue tau lo lebih baik daripada yang gue pikirin."

Rasanya aku ingin meleleh sekarang juga.

Reja seperti teringat sesuatu. "Ah ya, gue balik dulu ya, Kak. Malah jadi ngobrol panjang lebar."

"Oke." aku mencari-cari kata yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal yang lebih manis lagi. Tapi sepertinya kata-kata seperti itu tidak ada di dalam kamusku. "Take care."

"Besok lanjut ngobrol di sekolah aja."

Aku hanya mengacungkan jempol. Tidak rela saat melihat Reja berbalik dan perlahan berjalan menjauh.

Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya berteriak sekencang mungkin. "REJAAA!!"

Reja menoleh. Aku melambaikan tanganku dengan heboh.

"Semoga kita seangkot lagi ya!"

Reja hanya mengangguk, lalu tersenyum samar sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya.

Serius Reja. Kalau suatu hari kita seangkot lagi, aku janji nggak bakal lupa bawa ongkos lagi.

('∇ノ`*)ノTHE END (゜▼゜*)

Yhaa gua ga tau ini nyambungnya dimana sama tema. Yaudahlahya, sambung2in aja;3 Pasti kalian bisa menemukan makna tersembunyinya;3

Continue Reading

You'll Also Like

531K 87.6K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
8.4M 518K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
6.2M 482K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...