REGA

By narasutan

14.4K 1.2K 250

Rega dan Gunadi, duo-detektif pemula, harus berhadapan dengan berbagai kasus abstrak yang membutuhkan keahlia... More

Catatan Penulis
CASE 1 - The Mysterious Crowman
Chapter 1 The Burning Wound
Chapter 2 Toward The Light
Chapter 3 Words of Lie
Chapter 4 Morning Glory
Question
Mini-Case #1
Mini-Case #1 Answer
CASE 2 - A Curse of Speed
Chapter 1 The Lover
Chapter 2 The Green Keychain
Chapter 3 On The Record
Chapter 4 Shroud of the Past

Chapter 5 Kill The Beast

868 96 20
By narasutan

Pemakaman Edi berlangsung sedikit 'alot'. Pacar muda Edi datang dengan perut besar.

Hujan mengguyur semua yang hadir.

Di rumah duka, Gunadi dan Rega duduk paling belakang.

"Mana seratus ribu?"

"Nih. Awan pembawa sial. Ramalan cuaca memang tidak bisa selalu dipercaya."

"Rega aku ke depan dulu. Ayah Edi memintaku menceritakan kesan tentang Edi di tempat kerja."

"Ku harap kau tidak mengatakan kebohongan di depan sana."

Gunadi berjalan sampai ke barisan paling depan, berhenti dan tinggal sebentar di depan peti berisi jenazah Edi. Ia lalu berbalik dan menghadap ke semua orang. Ia mulai menitikkan air mata.

"Edi adalah rekan kerja yang baik. Meski orangnya sedikit kaku, ada satu waktu di mana dia menjadi sangat humoris dan membuat kami semua tertawa. Edi pernah berkata kalau dia butuh lebih banyak warna dalam hidupnya yang abu-abu. Edi tidak sadar kalau kami semua juga butuh warna abu-abu dalam hidup kami yang terlalu berwarna. Edi sudah menjadi contoh yang amat baik dalam hal profesionalitas. Kepergiannya adalah pukulan berat untuk kita semua."

Labil kau. Dari tegar tiba-tiba sedih. Lalu tegar lagi dan bahkan bercanda denganku. Dan menangis lagi hari ini.

Cepatlah Tua Bangka. Ada pameran permata yang harus kita hadiri.

***

"Sudah selesai nangisnya?"

"Kau benar-benar sosiopat Rega."

"Sosiopat? Lalu kenapa aku dengan mesra mau bergaul denganmu?"

"..."

Rega memegang bahu Gunadi dan meremasnya kuat-kuat.

"Dengar, kakakku Yoga sudah menguruskan dua undangan VIP untuk kita berdua."

Rega menyerahkan sebuah kertas undangan bersampul biru tua pada Gunadi sambil mengingat kembali bagaimana 'proses' menyakitkan yang harus dia lalui saat menemui kakaknya di hotel, sebelum pergi mengunjungi kakek Sigar kemarin.

Rega, sekarang di klub kami adalah jadwal main catur dan kartu bridge. Sekaligus. Kau harus ikut bermain. Yang kalah harus tersenyum lebar sampai permainan usai.

Dan Rega kalah di semua permainan. Seluruh anggota klub adalah grandmaster catur dan pembimbing tim bridge nasional.

Rega tidak dapat melupakan bagaimana otot wajahnya tetap dalam posisi senyum bahkan sampai di depan ruang tahanan Kakek Sigar.

"Jadi Rega kita harus sewa tuxedo?" Suara Gunadi membuyarkan lamunan Rega.

"Harus. Leo akan mengurusnya."

"Leo? Bagaimana bisa?"

"Pamannya menyewakan tuxedo. Dan kata Leo, kita boleh meminjamnya."

"Gratis?"

"Sejak kapan kau membayar benda yang kau pinjam?"

"Sekarang segala sesuatu butuh uang."

"Tidak segala sesuatu. Oke, ayo pergi. Leo sudah menunggu kita di rumah Pamannya."

"Apa Leo tahu kita akan bermain di pameran malam ini?"

"Tidak." Rega tersenyum.

"Nice. Kita sendirian."

***

"Ini terakhir kalinya aku memakai dasi kupu-kupu Rega."

"Aku jamin ini malam terakhir kau memakai benda itu. Yang penting malam ini berakhir dengan sempurna."

"Oke kita mulai. Apa rencanamu?"

"Aku tidak punya."

"Not funny."

"Aku tidak punya rencana apapun."

"Jadi? Tanpa persiapan kita masuk ke dalam?"

"Aku bilang tanpa rencana. Bukan tanpa persiapan. Dengan persiapan secukupnya kita akan berimprovisasi."

"Jika aku mati, kau harus menyampaikan pidato bela sungkawa tanpa teks selama tiga puluh menit untukku."

"Lebih baik aku yang mati. Pidato adalah neraka."

"Jadi apa persiapanmu?"

"Satu tongkat kayu eboni yang kakakku tancapkan di sebuah pot bunga di pintu belakang."

"Hanya itu?"

"Itu bagian yang paling penting dalam persiapanku."

"Oh rasanya aku akan pulang dalam kantong mayat malam ini."

"Kau siap Tua Bangka?"

"Tidak."

"Oke ayo masuk."

Rega dan Gunadi menaiki tangga gedung pameran.

***

Seorang penyanyi masuk. Dya Saraswati. Cantik dan bersuara merdu. Setelah menyanyikan satu lagu, acara dibuka.

"Rega, kok rasanya aku kenal penyanyi itu?"

"Televisi?"

"Bukan. Dia sepertinya mirip seseorang yang ku kenal."

"Nanti saja. Telur Fabergé-nya sudah keluar."

Oh itu dia permatanya? Kecil sekali ukurannya.

"Jelek."

"Apanya Tua Bangka?"

"Telurnya. Norak."

"Yang memukau dari telur ini hanya jenis permatanya. Dan permata hijaunya yang kecil itu adalah permata favorit keluarga kerajaan Rusia."

"Yang hijau? Apa itu zamrud?"

"Nope. Itu--"

Lampu tiba-tiba mati. Alarm gedung berbunyi.

Semua orang berhamburan keluar.

Telur Fabergé hilang dari kotak kaca yang mengurungnya.

Cahaya samar dari lampu jalan membuat Rega bisa melihat dua orang bergerak ke arah yang berlawanan dengan semua tamu undangan.

"Aha! Ketemu kalian. Gunadi kau ke pintu belakang."

Rega dan Gunadi berpisah. Rega mengejar satu orang yang kabur lewat pintu samping. Sementara Gunadi berlari ke arah pintu belakang.

Rega mencabut tongkat kayu yang tertancap di pot bunga dekat pintu samping. Ia berdiri dua meter dari pintu dan berhadapan dengan seseorang.

"Halo Triawan."

"Kau bisa mengenaliku? Hebat."

"Bukan aku. Analisis STR DNA-mu yang memberitahuku."

"Lalu mengapa tak memasang pengamanan ekstra ketat?"

"Salahku."

"Tiga anak TK yang menjagaku tidak ada apa-apanya."

"Apa kita akan terus bicara atau kumasukkan tongkat kayu ini ke mulutmu?"

Malam itu Karate Kyokushin Triawan bertemu dengan Kodokan Judo Rega. Dan tongkat yang dia bawa tidak memperlihatkan fungsinya.

Rega sudah memikirkan semua gerakannya matang-matang. Pukulan dan tendangan Triawan membuatnya tersudut tapi Rega berhasil menghindari pukulan kesembilan, membanting Triawan dengan gerakan Hane Goshi. Triawan kembali berdiri namun tiba-tiba jatuh dan pingsan. Rega ternyata berhasil menyetrum  Triawan.

Rega menyeret Triawan dan mengikatnya ke tiang listrik.

Aww, mataku sepertinya memar. Dan rusukku pasti patah. Oh tidak, Gunadi!

Gunadi dan Monika sudah bertemu di pintu belakang. Gunadi dalam posisi berlutut dengan dua tangan di udara.

Monika memasukkan telur Fabergé ke dalam tasnya. Lalu mengarahkan senjatanya ke wajah Gunadi. Jarinya sudah siap menarik pelatuknya.

DZIIING!!!

Peluru menembus paha Monika.

"Gunadi, ambil senjata Monika!"

"Hei kau kan penyanyi itu?"

"Ia Gunadi ini Aku, Nindya. Teman Rega."

Nindya dan Gunadi meringkus Monika dan mengamankan telur Fabergé.

"Kau kan full-time lab girl Nindya?"

Gunadi sedang mengagumi kecantikan Nindya.

"Dan penyanyi. Dan pemegang pistol berlisensi. Yah tidak sia-sia Aku mengeluarkan banyak uang untuk ijin kepemilikan senjata api."

Rega muncul.

"Gunadi!"

"Rega! Mana Triawan?"

"Aku ikat ke tiang listrik."

"Apa itu? Alat kejut listrik?"

"Ehm, ini rencana B."

"Dan Nindya?" Gunadi menebak-nebak isi pikiran Rega.

"Ehm, Nindya itu rencana C."

"Kau tega! Aku tidak punya senjata dan Monika hampir menembak tengkorakku."

"Maaf."

"Dan, aku rencana D."

"Leo?"

"Kutaruh pelacak di dasi kalian."

Leo datang bersama anak buahnya.

"Dasi bodoh ini ternyata benar-benar berguna."

***

Di kantor Polisi.

Sial! Buku telepon Monika ini rupanya hanya berisi nomor telepon palsu.

"Jadi Rega?"

"Begini Leo, nenek mengetahui hubungan Monika dan Triawan. Dan mengetahui hubungan Kakek dengan Monika. Nenek membiarkannya. Namun, Monika ingin memastikan kalau nenek tidak akan memberi tahu kakek Sigar soal hubungannya dengan Triawan karena kakek pasti akan mengusirnya dan suplai uang otomatis berhenti. Apalagi dia sudah menerima 250 juta Rupiah. Meskipun Monika tahu nenek mengalami penurunan daya ingat, dia tetap berencana membunuhnya. Monika mengatakan pada Kakek kalau hanya dirinya yang pantas menjadi istri kakek satu-satunya. Dia berhasil meyakinkan kakek untuk membunuh nenek."

"Lalu kaitan permata itu dengan mumi curian?"

"The Beast. Kolektor yang menyukai mumi dan permata. Mumi sudah ditangannya."

"Triawan membawa mumi itu pada The Beast?"

"Pilot helikopter yang menemukan Triawan, dialah yang membawa mumi itu kepada The Beast."

"Pilot helikopter itu? Memangnya siapa The Beast?" tanya Gunadi.

"Saat kemarin kau berkata tentang Beast anggota X-Men, Aku teringat pada kolektor itu. Ia orang yang sangat kaya. Menyukai mumi dan permata apapun yang berwarna hijau.
Kita mungkin berhasil menangkap Triawan dan Monika. Tapi The Beast masih bisa menyewa orang lain."

"Termasuk pilot helikopter itu."

"Kita harus menangkap orang yang kau sebut The Beast itu."

"Sayangnya itu hampir mustahil. Kita tidak bisa menangkapnya. Tapi harus langsung membunuhnya."

"Apa dia orang yang berkuasa?"

"Entahlah. Hanya Yoga yang pernah berbicara dengannya. Di pesta topeng."

"Aku menyerah. Dia terlalu misterius."

"Dan jenius. Suatu saat dia akan muncul ke ranah publik."

Kakek dan Monika dipertemukan dan mulai bicara. Jeruji besi memisahkan mereka.

Monika terus saja tertawa.

"Kakek bodoh. Puber keduamu adalah bencana untuk istrimu Gemala. Oh Gemala yang malang..."

"Kau wanita iblis!"

***

Dua hari kemudian.

Pagi hari Rega dan Gunadi ke kafe. Memilih meja di luar, dan merenung.

Bosan.

Rega tidur dengan pipi kanan melekat ke meja. Gunadi mengambil koran dan membuka kolom berita kriminal. Tak ada yang menarik. Ia menaruhnya kembali dan mengeluarkan buku setebal dua ratus halaman dari dalam tasnya.

"Apa tidak ada kasus? Copet? Jambret? Rampok? Atau maling jemuran?" Sambil berbicara, kepala Rega masih tertarik oleh percepatan gravitasi meja.

"Nihil. Leo tampaknya bertugas dengan sangat... komprehensif."

"Terlalu komprehensif. Tidak hanya kasus besar, sejak kasus Monika berakhir dia mulai suka menangani kasus-kasus kacangan. Katanya dia tidak mau melewatkan satu kasus pun. Apalagi pilot itu sudah terbunuh. Tidak ada petunjuk soal The Beast."

Smartphone Rega bergetar. Menyakiti telinga kanannya yang sejak tadi tertanam ke meja.

"Halo, ini siap--"

"Regaaaa! Sayangku! Ayo kita ketemu! Please. Yah yah yah?"

"Patricia?"

"Nanti sore jam 4. Tempat yang biasa. Oke?"

"...."

Telpon berakhir.
Muka Rega beku. Tangannya gemetar meletakkan smartphone di atas meja.

Cewek gila itu lagi.

"Tumben ada wanita meneleponmu. Patricia teman sebangkumu dulu kan? Seisi sekolah tahu kalian pacaran."

"Gosip murahan jaman SMA. Gun, aku harus pergi sekarang. Bye."

Rega berjalan kikuk menuju parkiran.

"Mau ke mana Rega Beast?"

"Tidur."

"Tidur? Jam 10 pagi?"

"Aku makhluk malam. Nocturnal Beast."

Aku harus bertemu Yoga. Saatnya memburu The Beast. I have to kill that Beast.

Gunadi menikmati kopi Red Eye favoritnya dan melanjutkan proyek baca yang sudah seminggu ia kerjakan. Suara knalpot Rega makin menjauh.

"Rega dan dunianya. Tak pernah bisa kuselami."

Tiba-tiba, suatu ingatan mahapenting menghentikan jari Gunadi untuk membalik halaman ke-116 buku yang sedang ia baca.

"Nindya itu seksi juga."

CASE 1 DITUTUP.

Continue Reading

You'll Also Like

6.7K 1K 23
Memang tugasnya Oreo untuk membuat dua menjadi satu. (Book 1)
42.4K 3.6K 34
Sequel of 'Twilight Saga : Breaking Dawn 2' Jacob and Renesmee Story . . Ketika dua dunia yg sangat berbeda bergabung menjadi satu hasilnya akan luar...
14.5K 500 90
Kumpulan "kepingan memori" random yang terkadang gaje Dpt berupa, potongan scene, oneshots, ide cerita, atau hanya sekedar quotes numpang lewat dan t...
1.7K 277 22
"aku berjumpa dengan Allie Jamison lagi di Rocky Beach." Jupe langsung meluruskan sikap duduknya. Bob juga ikut terkejut. Allie Jamison, gadis dari...