[Diterbitkan] The Bridesmaids...

Av Kaleela

2.1M 152K 17K

Follow instagramku: @falamalina untuk informasi buku-buku yang diterbitkan . Terima kasih. **** Alana, Audi... Mer

Sinopsis
Prolog
2. Bonjour, Fabien.
3. Namanya Samudra.
4. Kekasih Baru Alana
5. Kualifikasi Kekasih Alana
Sekilas Tentang The Bridesmaids
6. Selamat Datang di Rumah Alana.
7. Ketika Para Groomsmen Bertemu
8. Kapan Menikah?
9. Gibran Pertama, Gibran Kedua.
10. Akhir Pekan di Rumah Kaia
11. Kak Gibran yang Galak dan Menyebalkan
12. Tamu Tak Terduga
13. Ketika Kaia dan Samudra Menghilang
14. Don't You Miss Me?
15. "I'm So In Love With This Person"
16. Pernyataan (Cinta) Alana
17. Lelaki Lem Kayu
18. Selamat Hari Jadi yang Pertama
19. (Unplanned) Double Date
20. I'm Dying to Kiss You Tonight
21. Last Rehearsal
22. The Game is Over
23. Menanti Hari Bahagia Nadine
24. Selamat Menempuh Hidup Baru
25. Selepas Kau Pergi
26. Akhir Pencarian Alana - End
Epilog
Terkait Sistem Keamanan Wattpad
The Bridesmaids Tale Book Version
Voting Cover TBT
Info Penting!
Ayo Berikan Komentar Terbaikmu!
Pengumuman Komentar Terbaik
Revisi Pengumuman Komentar Terbaik
Unofficial Soundtrack The Bridesmaids Tale
Kabar Gembira Untuk Kita Semua (Pre-Order)
Officially Open Pre-Order!
Pre Order Melalui WhatsApp
TBT on Bookstore
The Bridesmaids Tale (still) on Bookstore

1. Pencarian Alana

118K 5.6K 148
Av Kaleela

"Lana... kita lunchy - lunchy cantik, yuk. Gue sama Audi udah janjian di Marutama PI."

Lana mendesah seraya menatap worksheet di hadapannya. Menjelang akhir tahun, kesibukannya bertambah berkali - kali lipat. Tak jarang ia terpaksa menginap di kantor demi menyelesaikan pekerjaan yang tampaknya tak pernah kunjung habis meskipun tubuhnya sudah legrek.

"Gue masih banyak kerjaan, Kay. Tumben si Yosi ngizinin elo lunch di luar."

Kaia bersandar pada kursinya seraya menatap kuku - kuku jarinya yang baru saja dipoles dengan cat kuku warna merah gelap. "Tiba - tiba bininya datang bawain makan siang, jadi gue free siang ini."

"Istri muda atau istri tua?" Lana tertawa pelan diujung telepon.

"Bini muda lah. Mana mungkin dia betah di kantor kalau bini tuanya yang datang. Eh, sebentar..."

Lana kembali memerhatikan layar komputernya sementara Kaia menggantung teleponnya. Terdengar kasak - kusuk di seberang sana. Nampaknya, sang nyonya muda tengah mengajak Kaia untuk makan siang bersama di dalam ruangan bosnya. Lana tertawa kecil. Sudah jelas Kaia akan menolak. Berkali - kali Kaia bercerita, kedatangan istri muda Yosi bukanlah hal yang baik. Kaia bahkan lebih senang dijadikan mata - mata oleh istri tua bosnya ketimbang menghadapi sikap istri muda Yosi yang kadang sering menyiratkan rasa cemburu padanya.

Kalau sampai si botak berani ngajak gue kawin, siap - siap aja rahasia besarnya terbongkar. Itu pun kalau dia siap ditendang dari perusahaan...

begitu tandas Kaia setiap kali para sahabatnya mencurigai gelagat bosnya yang kadang kelewat batas terhadap sekretarisnya.

"Halo, Lan? Jadi, elo ikut nggak lunch sama kita?"

Lana tersadar dari lamunannya. "Gue... lagi diet, Kay..."

"Diet melulu lo, Lan. Elo itu nggak gendut. Kita nggak gendut, Alana," sengaja Kaia menekankan kata 'gendut' pada kalimatnya, "Justru body kayak kita itu seksi. Idaman para lelaki."

Tak kuasa tawa Lana lepas mendengar pemilihan kata yang digunakan Kaia. Kaia benar, bentuk tubuhnya memang seksi. Idaman para lelaki, itu fakta, dilihat dari cara lelaki memandang gadis itu. Tapi Lana sangsi hal yang sama juga berlaku baginya. Ketimbang seksi, Lana lebih memilih kata 'gempal' untuk mendeskripsikan bentuk tubuhnya.

"Lagipula, Lana, sekali - kali elo harus keluar dari kantor lo yang udah kayak penjara itu. Kapan elo mau dapat pasangan kalau kerjaan elo ngeram di kantor terus? Lama - lama bertelor juga lo, Lan."

Lagi - lagi, Kaia benar. Sudah terlalu lama Lana mengurung dirinya dalam gedung bertingkat dengan suasana kental gila kerja. Hingga terkadang ia lupa bahwa ia juga memiliki kehidupan sosial. Kalau bukan teman - temannya ataupun keluarganya yang mengingatkan, mungkin Lana tidak akan pernah keluar dari gedung itu.

Lana tersenyum masam kemudian melirik jam di komputernya. Jam setengah dua belas siang. Jarak kantornya pun tak terlalu jauh dari lokasi restoran yang ditentukan kedua sahabatnya. Hanya butuh waktu sepuluh menit dengan jalan kaki. Mungkin ia bisa melanjutkan pekerjaannya selama beberapa menit ke depan.

"Oke. Gue ikut."

"That's my gal. See you at 12, Alana."

****

"Coba elo perhatiin cowok yang duduk di meja pojok sana."

Mata Lana menyipit. Pandangannya terarah pada seorang lelaki dengan kemeja biru vertikal yang duduk di pojok restoran. Wajah lelaki itu cukup manis dengan bewok tipis menghiasi rahangnya. Sesekali pandangan lelaki itu berputar. Entah mungkin mencari temannya atau mungkin mencari pelayan untuk dipanggil. Lengan kemeja lelaki itu digulung hingga ke siku. Memperlihatkan tato huruf kanji kecil di bagian dalam lengannya. Ketika pandangan mereka bertemu, Lana bergidik ngeri.

"No. Dia punya tato," ujar Lana seraya menggeleng.

Kaia mendesah lelah. Sebelum kembali berceloteh, gadis cantik itu melirik Audi yang hanya tersenyum geli di tempatnya. Sebelum Lana berkomentar, Audi bisa dengan jelas menebak jawaban apa yang akan diberikan Lana. Lelaki itu bukan tipe lelaki yang dicari gadis konservatif macam Lana.

"Ya, elo sih suka, Kay. Macem Lana pula... mana mau sama yang model preman begitu?" ujar Audi geli.

"Apa salahnya sih punya tato? Manusia itu kan bebas berkarya, Lan. Apa bedanya dengan make up yang nempel di muka elo?"

Lana menggembungkan pipinya mendengar pertanyaan Kaia. "Beda, dong, Kay. Make up itu manusiawi. Lumrah. Dan yang pasti, nggak permanen," bela Lana. Beberapa detik kemudian matanya melebar ketika menyadari sesuatu. Lana mengacungkan garpunya ke arah Kaia. "Kalaupun dia tipe gue, terus, gue yang mesti ngajak dia kenalan, gitu? Ih!"

"Nggak apa - apa lah, Lan. Lagi kepepet ini," ledek Audi yang disambut pelototan Lana. "Gila!"

"Hei, gals... gals..." tengarai Kaia. Pandangannya kembali fokus pada Lana. "Elo nggak perlu ngajak kenalan dia secara langsung, Lana. Biarpun sekarang zamannya emansipasi wanita, kita tetap harus jaga gengsi. Flirting, Lan, flirting!"

Lana diam seraya menggigit bibirnya gelisah. "Perlu gue ajarin?" tanya Kaia. Lana masih diam.

Buru - buru, Lana menggeleng. "Enggak perlu. Hm... nanti gue belajar sendiri," ujarnya malu - malu.

"Kalau yang itu, gimana?" tanya Audi menunjuk salah seorang lelaki yang duduk tak jauh dari meja mereka. Lelaki itu juga tengah duduk sendiri. Mungkin Lana tertarik.

Tapi kenyataannya, Lana justru kembali menolak. "Nggak suka. Terlalu muda."

"Susah sih kalau seleranya Om - Om..." ledek Audi.

Audi dan Kaia tertawa kemudian melanjutkan acara makan mereka. Lana bersungut - sungut sambil sesekali memerhatikan tingkah Kaia. Begitupula sikap Audi yang berwibawa. Ia mulai membanding - bandingkan dirinya dengan kedua sahabatnya. Lana menggeleng kemudian kembali menyesap minumannya.

"Lana, elo itu nggak jelek. Elo cantik, Lan. Elo juga nggak cupu. Masalah elo cuma satu, ansos," ujar Audi lembut seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Lana.

Lana tersenyum masam, "Dan gempal."

"Enggak gempal, Lan. Cuma kelebihan lemak aja di bagian tertentu. Terutama di bagian dada," tambah Audi yang disambut tawa ketiganya, "badan elo dan gue nggak beda jauh, tapi gue punya pacar. Ralat, tunangan."

Lana terpekur memikirkan perkataan Audi. Tak lama berselang, ponsel gadis manis berdarah Jawa itu berdering. Seketika wajahnya berubah sumringah. Pasti Gema, tebak Lana dan Kaia.

"Halo, Yang," sapa Audi.

Lana dan Kaia saling berpandangan dan kembali menikmati makan siang mereka masing - masing sementara Audi sibuk dengan Gema.

"Kamu udah di depan? Masuk aja. Aku sama Kaia dan Lana ada di bagian belakang dekat pilar..."

Audi Bangkit berdiri lalu melambaikan tangan. Kaia menggeser sedikit tubuhnya dan Lana membalikkan tubuhnya demi melihat tunangan Audi yang kini tengah melangkah menuju meja mereka. Audi menyambut Gema gembira. Tak lupa sebuah kecupan singkat didaratkan Gema di pipi Audi. Beruntungnya Audi, Gema adalah tipe pria romantis namun tidak berlebihan dalam mengumbarnya. Selain itu, Gema juga humoris.

"Hai, Kaia, Lana," sapa Gema lalu memilih kursi kosong di hadapan Audi, tepat di samping Lana. "Geng gendut lagi kumpul nih. Lan, makin lebar aja," ledek Gema yang langsung disambut cibiran kesal Lana.

"Kita nggak gendut, Yang... Seksi kali," bela Audi sambil tertawa melihat cara Lana mencibir Gema.

"Bercanda, Yang. Kalian seksi kok. Kayak gitar Spanyol."

"Gitar Spanyol atau Bass betot?" tanya Kaia.

Wajah Gema berubah bingung. Senyum jahilnya kembali mengembang. "Mungkin kawin silang antara keduanya."

Tawa para gadis di meja itu kembali lepas. Beberapa pengunjung memerhatikan mereka selama beberapa saat kemudian kembali sibuk dengan kegiatan masing - masing. Ditengah acara bincang - bincan mereka, ponsel Lana berdering nyaring ketika topik pembicaraan mereka semakin seru. Lana mendesah pasrah ketika melihat layar ponselnya dan menemukan nama atasannya tertera di sana.

"Emergency call," ujar Lana seraya membereskan tas tangannya. Kaia dan Audi sama - sama memutar bola mata. "As always..." tambah Lana sambil nyengir kemudian buru - buru kabur dari restoran tersebut sebelum Kaia dan Audi sempat protes.

Kecepatan langkah kaki pendek Lana semakin meningkat berkali - kali lipat ketika dirasanya ponselnya urung berhenti berdering. Sengaja ia tidak mengangkat panggilan atasannya. Lebih baik ia mendengar celotehan panjang lebar perempuan paruh baya itu di kantor dibandingkan ia harus mengorbankan lebih banyak tenaganya hanya demi mengangkat telepon dari Ibu Nani di tengah jalan raya penuh polusi suara.

Setibanya gadis itu di kantor, matanya menyipit heran melihat seorang lelaki tengah duduk bersantai di atas kursinya. Bukan hanya itu, lelaki itu juga tampak sibuk tertawa memandangi layar komputernya. Baru Lana hendak menegur lelaki itu ketika salah seorang temannya menyapanya.

"Lan, Bu Nani nyariin elo dari tadi."

Lana mengagguk pada Mia kemudian memutar langkahnya menuju ruangan atasannya yang hanya berjarak sepuluh langkah dari mejanya.

"Alana, dari mana saja kamu?" Lana tersenyum serba salah pada atasannya. Perempuan paruh baya itu menatapnya dari balik kaca matanya tanpa keramahan sedikit pun.

"Itu, Bu, habis makan siang," ujar Lana. Ia yakin seharusnya jatah istirahatnya masih tersisa sepuluh menit lagi. Tapi atasannya ini memang seringkali memangkas jam istirahatnya sesuka hati ketika ia memiliki tugas untuk Lana. Tugas yang hanya dipercayakan dikerjakan oleh Lana.

"Tugas yang saya berikan untuk kamu sudah selesai?"

"Be.. belum, Bu. Sedikit lagi," ujar Lana seraya menautkan ibu jari dan telunjuknya membentuk lingkaran. Bu Nani melirik Lana sekilas kemudian kembali menghadap layar laptopnya. "Segera selesaikan. Pak Banda minta laporannya selesai minggu depan. Kamu boleh keluar dari ruangan saya sekarang."

Lana menarik nafas lega, bersyukur Bu Nani nampaknya sedang berbaik hati hari ini. Lana menutup pintu perlahan. Tujuannya kembali pada meja kerjanya yang masih dihuni oleh tamu asing tak diundang. Tamu tak diundang yang manis, pikir Lana. Tapi tetap saja, ia harus menyingkirkan lelaki itu segera dari mejanya sebelum ia memulai kembali kerja rodinya.

"Maaf, kamu siapa, ya?" tegur Lana pada lelaki itu. Lana memerhatikan lelaki itu dengan seksama. Wajahnya mengernyit melihat kaus putih santai serta celana kargo pendek yang dikenakannya. Selain itu, lelaki itu juga hanya menggunakan sandal jepit ke dalam kantornya.

Manis, sih. Tapi, kok gembel begini? Mau ngantor atau liburan?

"Mas, Mas...." tegur Lana sekali lagi. Barulah setelah itu sang pemuda di depannya menoleh ke arah Lana.

"Ada apa, ya?" tanyanya datar pada Lana. Mata Lana melebar menatap lelaki itu. "Ini meja saya."

"Oh, jadi kamu yang punya meja?" ulangnya. Lana tidak memberikan respon apapun karena dirasanya pernyataanya sebelumnya sudah cukup jelas menjawab pertanyaan lelaki itu. Melihat Lana tidak memberikan respon apapun, lelaki itu melanjutkan kalimatnya.

"Saya Gibran," ucapnya, "Saya putra Ibu Nani. Beliau bilang, karena kamu belum kembali ke kantor, saya bisa pakai komputer kamu untuk..." Lelaki bernama Gibran itu menunjuk menunjuk layar komputer Lana dan mata Lana makin melotot menatap layar komputernya, "streaming youtube..."

Lana mendengus melihat layar komputernya. Tangannya segera meraih mouse di sisi mejanya dan menggerakan pointer di layar. Nafas Lana tercekat seketika. Hidungnya kembang kempis. Wajahnya pucat pasi begitu melihat layar komputernya kosong. Tidak ada jendela aktif yang tadi ditinggalkannya sebelum makan siang.

"Kerjaan saya... mana?" tanya Lana cemas dan panik. Tubuhnya berbalik. Matanya menatap tajam lelaki yang masih duduk di kursinya--Gibran dengan pandangan menuduh. Ditatap Lana seperti itu, Gibran sontak mengangkat bahunya perlahan.

"Penting, ya?" tanya Gibran dengan polosnya.

Alis Lana bertaut tinggi, "Menurut kamu?!"

"Saya kira sudah kamu simpan, jadi saya tutup jendelanya," jelas Gibran dengan nada tak berdosa.

Hati Lana mencelos seketika. Hasil kerja kerasnya hari ini hilang sudah. Ia merutuki dirinya sendiri karena tidak sempat menyimpan hasil pekerjaannya sebelum pergi makan siang bersama Kaia dan Audi. Dipikirnya, tidak akan ada yang mengutak - atik komputernya. Dan seharusnya, lelaki itu tidak dengan lancangnya menutup layar jendela pekerjaannya, meskipun Ibunya telah memberikan izin untuk menggunakan komputer Lana.

Lana mendengus kesal menatap Gibran. "Terima kasih banyak atas bantuannya, Mas," sindir Lana sinis, "sekarang, karena saya harus mengerjakan pekerjaan saya hari ini dari awal, bisa saya dapatkan meja, kursi, dan komputer serta ketenangan saya kembali?"

Gibran terparangah mendengar kalimat sepanjang kereta api dari Lana. Setelah beberapa detik mencerna, Gibran mengembalikan singgasananya kepada pemilik aslinya. Tatapan Gibran merasa bersalah melihat ekspresi tertekuk - tekuk milik Lana. Gadis itu tidak berniat menyembunyikan rasa kesalnya dari lelaki itu. Lana bahkan tidak berniat lagi berinteraksi lebih lanjut dengannya dan hal itu juga ditunjukkan jelas dari sikap tak acuhnya pada Gibran.

Perlahan, Gibran meraih secarik kertas nota kecil dari meja Lana dan menuliskan nomor ponselnya. Disodorkannya kertas itu pada Lana.

"Ini nomor saya..." ujar Gibran perlahan.

Lana yang masih sibuk dengan pekerjaannya hanya melirik kertas itu sekilas. "Buat apa?"

"Ya, mungkin kamu butuh bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan kamu... Ini bentuk tanggung jawab saya aja karena sudah menghilangkan hasil pekerjaan kamu."

Lana tertawa sinis tanpa berniat menoleh ke arah Gibran. Lucu sekali, pikirnya. Orang seperti Lana tidak butuh bantuan hanya untuk mengerjakan hal semacam ini. Apalagi bantuan dari Gibran yang tidak Lana tahu apa latar belakang pendidikannya. Bagaimana kalau ternyata dia seorang web designer? Dia mau membantu menggambarkan bentuk tabel yang imut untuk kertas kerjanya?

"Nggak perlu. Saya bisa kerjakan sendiri," tandas Lana ketus.

Gibran mundur selangkah dari tempatnya masih memerhatikan Lana sambil tertawa dalam hati melihat ekspresi galaknya. Tidak lagi berniat mengganggu gadis itu, Gibran pun pergi ke ruangan Ibunya ketimbang harus mendapatkan semburan kata - kata pedas lagi dari Lana.

Di tempatnya, Lana memerhatikan sosok Gibran menghilang dari balik pintu ruangan Bu Nani. Kepalanya menggeleng. Ia tak habis pikir kenapa kesialan harus menimpanya hari ini. Malam ini ia punya janji untuk menemani ibunya berbelanja ke supermarket. Sayangnya, janji itu harus dibatalkan mengingat--akibat insiden siang ini Lana terpaksa harus begadang lagi untuk yang ketiga kalinya dalam minggu ini.

Lana menghembuskan nafas berat kemudian meraih kertas kecil yang ditinggalkan Gibran di atas meja. Nomor ponsel lelaki itu. Lana meremas kertas itu kemudian melemparnya ke dalam laci meja kerjanya. Setelah itu, ia kembali fokus dengan pekerjaannya tanpa memedulikan panggilan siapapun lagi kecuali atasannya.

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

Diary Duri [END] Av Dhe

Tonårsromaner

439K 65K 32
Ketika kata-kata tidak bisa diucapkan. Yang bisa dilakukan hanya mencoret kertas tanpa warna. Menuangkan semua keluhan menjadi sebuah cerita. Berjuan...
6.5M 332K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
Icy Eyes Av Alifiana

Allmän skönlitteratur

2.3M 291K 48
Puspa bekerja sebagai perawat home care untuk Kafka yang mengalami kebutaan karena kecelakaan. Hingga suatu saat gadis itu sadar, dia telah melakukan...
1.7M 16K 8
Pindah CABACA Bisa dibaca melalui browser atau download aplikasinya Cabaca Update setiap hari Kamis ····· Seorang sekretaris yang dipekerjakan di per...