MOVE ON Antara Mantan atau Pe...

By ikamitayani

472 9 0

Dilema antara mantan atau seseorang yang menjadi secret admirer? Keduanya datang di waktu yang hampir bersama... More

Kehilangan Part 1
Kehilangan Part 2
Secret Admirer
SENDIRI
PENASARAN
Gamang
Cemburu
Mak Comblang

Pendekatan

37 1 0
By ikamitayani

Pendekatan

Gilang terlihat segar ketika mengenakan baju berwarna serba putih itu. Tumben, dia mengenakan warna yang bukan favoritnya. Bukankah, dia sangat membenci warna putih, yang akan mengingatkan pada kedua orang tua yang meninggal dunia, dalam waktu berdekatan? Warna putih menurutnya warna kematian dan kehilangan. Bukan warna hitam. Dia melempar senyum dan mengulurkan tangan pada Dita yang sedang duduk di kursi. Tak berapa lama, semua menjadi kabur, menghitam dan menghilang, tanpa bekas.

Dita membuka mata, dan memutar pandangan ke segala sudut ruangan. Nafasnya memburu dan tersengal. Keringat dingin mengucur. Jadi, Dita tadi hanya bermimpi tentang Gilang? Bukankah sudah lama sekali tidak mengingatnya? Kenapa tiba-tiba muncul kembali, meski hanya dalam mimpi? Sebentar, Gilang tadi memakai baju warna putih. Maksudnya apa? Apa ada artinya? Gilang tidak menyukai warna putih. Apa ada pertanda dari Gilang, untuknya? Mata Dita mengerjap-ngerjap, setelah mampu duduk dengan sempurna di pinggir spring bed. Ada sesuatu yang perih mengganjal di dada.

-

Putri tersenyum lega, sepertinya ada harapan dengan lelaki bernama Bintang. Bintang telah mengirimkan permintaan pertemanan di BBM. Ternyata lelaki itu serius juga untuk mengetahui banyak hal mengenai Dita. Putri merasa memiliki harapan baru. Menurutnya, Bintang ini memiliki pesona tersendiri, yang mampu membuat orang akan menoleh padanya. Minat keduanya terhadap buku juga sama.

Ting!

Pesan BBM muncul di layar. Putri mengusap ikon BBM di layar, untuk membaca pesan tersebut. Bintang. Cepat sekali.

"Hai, maaf, baru bisa invite. Iya nih, aku pengen tahu banyak soal Dita dari kamu. Ternyata dugaanku benar, kamu sahabatnya."

Putri terdiam sementara, sebelum membalasnya.

"Kamu bukan cenayang kan? Tebakannya bisa bener gitu. Takut nih. Pengen tahu soal apa nih? Mumpung ga ada kerjaan." tanya Putri setengah menantang. Tanpa sepengetahuannya, Bintang mengembangkan senyum, saat membaca bbm dari Putri.

"Apakah Dita memiliki pacar? Itu alasannya kenapa dia tidak meresponku?"

Ehem, Putri berdehem, Putri mencium sesuatu yang menyenangkan. Pertanyaan itu pertanda bagus. Satu plus lagi.

"Dita tak punya pacar. Tepatnya ditinggalin cowoknya. Padahal mereka sudah pacaran lama. Kebangetan kan? Aku gemes banget."

Aduh, bagaimana ini, BBM sudah terlanjur terkirim. Putri menggigit bibir bawahnya. Bintang tertegun membaca bbm terakhir. Gadis secantik itu? Malang sekali nasibnya.

"Oh, jadi status Dita sekarang, bisa dibilang tidak jelas ya? Semacam digantung?"

"Bisa dibilang begitu. Kasihan juga sih. Sekarang keadaannya sudah lumayan membaik, daripada beberapa bulan yang lalu. Dita ini tak punya sosok ayah, hidup hanya dengan mamanya. Ayahnya juga meninggalkan mereka berdua sendirian. Butuh waktu lama buat Dita bisa jatuh cinta. Aku takutnya, Dita kelamaan menutup diri lagi seperti dulu."

"Senangnya Dita mempunyai sahabat seperti kamu. Pantas saja, aku merasa Dita seperti dingin sekali. Kukira ada yang salah denganku. Ternyata memang Dita yang seperti itu. Aku bisa memahami apa yang dirasakan Dita."

Raut muka Bintang mulai berubah, ada perasaan yang tak dia pahami. Dia tak menyangka Dita memiliki kehidupan yang tak menyenangkan. Berhubungan dengan lelaki.

"Lalu?" tanya Putri secara singkat. Dia begitu penasaran dengan Bintang. Apakah cowok seperti dia akan terus melangkah atau memutuskan berhenti.

"Lalu? Itu tak masalah buatku."

"Apa kamu akan meneruskan mendekatinya?"

"Tentu. Aku tak akan berhenti."

"Syukurlah, entah kenapa, aku merasa, sepertinya kamu lelaki yang tepat untuk Dita. Kalau kamu ingin menjadikan dia pacarmu, tentu ini bukan masalah yang besar buatmu. Lagipula, menurutku enam bulan bukan waktu yang sebentar untuk ditinggal kekasihnya. Bisa dikatakan, dia sudah single. Betul kan?"

"Seharusnya sih begitu. Aku bukan menjadikan dia pacar, tapi calon istri. Oia, Dita nanti akan ke kantor, membicarakan naskahnya yang akan terbit. Sekalian teken kontrak."

Putri tertawa lepas bercampur takjub dengan pernyataan Bintang. Calon istri.

"Wah, hebat juga dia. Akhirnya. Eh, atau jangan-jangan kamu yang memuluskan demi perasaan kamu ke dia ya?"

Putri terkekeh. Dia suka cowok ini. Niat sekali untuk mendekati Dita. Sementara di kantornya, Bintang hanya tersenyum kecut, karena dicurigai begitu oleh Putri.

"Tentu saja tidak. Itu murni karena naskah Dita memang bagus. Aku juga tidak mau capek-capek membantu, kalau tidak memiliki kapasitas yang bagus."

"Iya, iya. Maaf. Aku hanya bercanda. Sukses ya. Ditunggu kabarnya. Kalau mau tanya-tanya soal Dita, aku pastikan untuk membantumu. Semampuku."

"Terima kasih ya. Tapi jangan bilang Dita soal obrolan kita ya."

"Sip! Beres !"

-

"Pak Bintang, ini Mbak Dita sudah datang. Bertemu dimana?" tanya Ipang asistennya, setelah mengetuk dan membuka pintu ruang kerja Bintang. Lelaki yang diajak bicara itu mendongakkan kepala, menatap Ipang.

"Disini saja Pang. Bikinkan dia es teh ya."

Ipang mengangguk, sebelum dia melangkah keluar, suara Bintang menghentikannya.

"Pang, tolong kamu belikan kue coklat ya. Apa saja, asal kue coklat. Beli di bakery sebelah."

Ipang kembali mengangguk. Dia sedikit heran dengan permintaan atasannya satu itu. Tak biasanya Bintang menyuruhnya secara khusus untuk menyiapkan kue coklat. Biasanya hanya es teh. Ah terserah, bukan urusannya, yang penting dia segera membelikan kue itu dan menyajikan untuk tamu bosnya. Ipang kemudian pamit dan menutup pintu ruang kerja Bintang dengan pelan. Sementara Bintang terlihat berbenah dan membereskan meja kerja juga penampilannya yang sebenarnya tidak berantakan itu.

-

Gilang memegang dadanya yang terasa nyeri dan menyakitkan. Dia menyesal kenapa tidak dari dulu, melakukan pemeriksaan kesehatan untuk jantungnya sejak dini. Kalau begini, yang ada hanya perasaan takut, karena menunggu waktu. Menunggu giliran untuk meninggalkan dunia ini. Meninggalkan apa yang dia suka, mulai makanan, minuman, hang out, pekerjaan, melupakan senyum seseorang seperti Dita.

Pandangan matanya begitu nanar. Menatap kumpulan foto dalam folder di laptop yang berisi hanya mereka berdua. Mereka begitu bahagia, tersenyum lepas. Terutama gadis itu, senyumnya selalu mengembang di tiap foto, entah berdua atau hanya sendirian. Tanpa terasa, Gilang ikut menyunggingkan senyum, dan air mata mulai merebak. Gilang juga tak kuasa menahan. Nafasnya tak beraturan.

"Dita, aku takut sekali. Menghadapi segala sesuatu sendirian. Tapi untuk bersamamu, aku juga tak kuasa. Aku tak sanggup melihatmu bersedih di hadapanku. Aku tak mau membuatmu menghadapi emosiku yang sekarang labil. Aku tak seperti dulu. Aku sudah bagai mayat hidup yang tak memiliki keinginan hidup dan menunggu mati. Yang aku tahu, aku hanya tinggal menunggu waktu saja. Cukup mengikutimu dari kejauhan. Aku sudah sangat senang melihatmu berjalan dari belakang, tanpa sepengetahuanmu. Itu sudah cukup bagiku. Hanya itu saja yang bisa mengobati rasa rinduku ini. Hanya itu yang menjadi semangatku, untuk melihatmu. Agar aku bisa bertahan dengan semua pengobatan yang harus aku jalani. Itulah alasanku, masih bisa hidup keesokan hari, dengan melihatmu."

Ketikan word di laptop, telah terkumpul begitu banyak. Gilang berharap akan ada keajaiban. Suatu saat, Dita akan membacanya. Entah dikala dia masih ada atau sudah tak ada. Tapi apa mungkin?

-

"Serius? Akan terbit bulan depan?"

Mata Dita mengerjap, masih tak mempercayai apa yang baru saja dia dengar. Bintang hanya bisa tersenyum saja, saat melihat mimik wajah Dita yang makin menggelikan dan menggemaskan dalam satu waktu. Kepalanya terangguk, untuk memastikan kepada Dita, apa yang didengarnya memang benar.

"Bagaimana? Apakah sudah mantab menjadi novelis? Kalau iya, kami akan mempersiapkan semua yang diperlukan."

"Aku mau!"

Dita terkejut dengan kalimat yang baru saja keluar dari bibirnya. Tak ayal, Bintang pun tergelak begitu kencang.

"Oke, lusa kita ketemu lagi ya. Kita bicara di kafe favoritmu. Aku akan bawakan keperluan yang berhubungan dengan novelmu yang akan terbit." ujar Bintang seraya mengerling. Jujur, ini adalah taktiknya, agar ia bisa memiliki alasan untuk bertemu dengan Dita. Kalau bisa, setiap hari, terus menerus. Dia akan melakukan apa pun, agar bisa melihatnya tersenyum seperti sekarang ini.

-

"Putri! Naskah novelku diterima di penerbit."

Suara Dita mengejutkan Putri, saat teleponnya sudah diangkat. Putri sampai tidak bisa bicara sepatah kata pun. Novel? Diterima? Oh aku sudah tahu. Tapi kata-kata itu tak keluar dari mulutnya. Dia tak bisa menahan geli, aku sudah tahu Dita, batinnya. Ternyata Bintang memang serius dengan ucapannya. Putri menggelengkan sambil tersenyum.

"Halo Put? Ehm, hari ini apa kamu ada waktu? Aku pengen traktir kamu di kafe biasanya."

"Iya, aku dengar. Ada. Aku selalu ada waktu buat kamu. Kabarin aja."

"Siap. Aku kabarin nanti lagi ya. Aku mau jemput mama dulu di bandara."

Klik. Telepon terputus.

-

Mama selalu nampak cantik dengan perpaduan atasan dan juga bawahan yang senada. Dita selalu mengagumi selera berpakaiannya. Mama melambaikan tangannya. Kalau Dita lihat dengan seksama dari kejauhan, gurat kecantikan itu masih ada. Tapi kenapa Ayah bisa tega meninggalkan dia ya. Apa kekurangan Mama yang Dita tidak tahu?

Dita menggeleng lemah. Gilang juga bersikap yang sama. Bukankah ini semacam kutukan? Percakapan dalam hati itu membuatnya kembali teringat dengan mimpi tadi pagi. Gilang memakai baju berwarna putih. Bukan kebiasaan dia memakai warna yang dibencinya itu. Pertanda kesedihan katanya. Tunggu! Kesedihan?

Dita meraih smartphone dari dalam tas. Dia mengetikkan nomor telepon Gilang, yang masih diingatnya di luar kepala. Bagaimana pun, mereka berdua telah menjalin hubungan begitu lama. Bukan waktu sebentar untuk mengingat nomor sebelas digit itu. Tak aktif. Masih sama. Gilang benar-benar ingin menghilang. Telepon genggam yang berada dalam pegangannya itu, masih terus dia pandangi, sampai kedatangan Mama disampingnya, tak disadari oleh Dita.

"Hai! Anak Mama, kenapa melihat ponsel terus sih."

Dita terkejut mendengar suara yang dikenalnya secara tiba-tiba. Dia mendongakkan kepala ke arah sumber suara. Mama sudah merentangkan kedua tangannya. Dita lantas menghambur. Kehangatan menjalar ke seluruh persendian tubuhnya, saat berada dalam pelukan wanita tegar itu. Rasanya tak ingin melepas, meski berada di tempat umum, seperti sekarang ini.

Tak berapa lama, Dita kemudian melepaskan pelukannya, dan meraih gagang koper yang lumayan besar.

"Dita kangen Ma. Sudah berapa hari ini, rumah sepi. Paling Putri yang nginep ke rumah."

Mama hanya tersenyum, semenjak kecil, waktu mereka memang kurang banyak, karena harus banting tulang untuk menghidupi dan membesarkan anak semata wayangnya. Sejak Ayah Dita menghilang entah kemana, praktis membuatnya harus bekerja lebih giat. Tampa berpikir akan menikah lagi. Menyakitkan memang, ditinggal tanpa tahu letak kesalahannya. Hingga tak bisa menjelaskan kepada Dita, apa alasan Ayahnya pergi. Beruntung, Dita termasuk anak yang pengertian, mengerti akan kesibukannya, dan mengerti bahwa mereka hanya hidup berdua saja.

"Iya Mama tahu. Mama juga kangen. Mama sengaja ambil cuti lo. Biar bisa di rumah. Tugas Mama dari kemarin banyak sekali. Butuh istirahat juga."

Mama mendesah pelan. Pasti cukup melelahkan, dinas keluar kota dan pulau. Dita melirik Mama yang sedang membenarkan posisi tas di pundak. Satu hal yang membuat dia merasa senang, Mama selalu berusaha memiliki quality time bersama Dita. Itu yang paling penting.

-

Dalam perjalanan pulang, Dita lebih banyak diam. Banyak hal yang ada dalam pikirannya, termasuk Gilang. Sebenarnya Dita tak berminat mencari tahu soal Gilang. Toh semuanya pasti tetap nihil. Gilang memang berniat menghilang. Sahabat Gilang yang dikenal, juga tak tahu menahu soal dia. Tapi Dita tak mempercayainya, mana mungkin seorang sahabat bisa tak tahu sama sekali? Pasti ada yang disembunyikan mereka dari Dita. Masa iya, mereka dibayar, agar tidak mengatakan keberadaan Gilang? Astaga, pikirannya negatif sekali. Dita menggelengkan kepala cepat.

Dita mencoba menghubungi kantor tempat Gilang bekerja. Jawaban mengejutkan dari customer service, kalau Gilang sudah resign beberapa bulan yang lalu. Tepatnya empat bulan yang lalu. Selebihnya mereka tidak tahu menahu soal Gilang. Dita pura-pura menjadi klien yag proyeknya ditangani. Proyek desain interior untuk butik, ternyata mudah sekali mendapat jawaban. Customer Service tersebut tidak mungkin bohong. Jadi Gilang telah mengundurkan diri.

Lalu kemana sekarang? Gilang benar menghilang tanpa jejak. Satu yang dia tahu, persendiannya mulai melemas. Lelaki itu tak berhasil dihubungi. Dita juga tak menemukannya di berbagai tempat favorit, yang selalu mereka kunjungi. Itu kenapa, sekarang Dita tak berminat sama sekali mengenai Gilang. Dia seperti tak mengenali lagi orang yang dulu sangat ia cinta.

"Dita, tumben kok diam saja?" kata Mama memecah suasana. Dia memperhatikan anaknya seperti sedang banyak pikiran.

"Bahaya lho, kalau menyetir sambil berpikir."

Dita mendesah pelan, sulit menutupi sesuatu dari Mama. Pasti sudah menebak dengan tepat apa yang sedang dia lakukan.

"Apa kabar Gilang? Mama jarang melihat dia lagi ya. Dia baik saja kan?"

Degh! Jantung Dita berdegup lebih kencang. Harus jawab apa nih? Dita tak tahu,, harus menjawab apa. Tak mungkin menjawab kalau Gilang menghilang, mungkin sama seperti Ayah meninggalkan Mama. Dita tersenyum.

"Kalian, tidak putus kan?" selidik Mama lagi. Astaga, harus jawab apa? Mama pasti akan kawatir dengan anak tunggalnya ini. Masa iya, anaknya juga ditinggalkan lelaki juga? Lelaki yang terlihat seperti orang baik-baik.

" Gilang baik kok, Ma. Sekarang dia memang dipindahtugaskan keluar kota, jadi jarang ketemu." sederet kalimat meluncur begitu lancar. Dita tak mempercayainya. Itu terpaksa dia lakukan untuk menjaga hati Mama. Tuhan, ampuni hamba-Mu ini. Dia kawatir, ini akan mempengaruhi Mama, kalau saja ia bisa jujur mengatakan perihal Gilang.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 8.8K 23
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
4.5M 69.2K 45
Karena ayah yang jatuh sakit di desa dan adik yang ingin menyambung sekolah menengah atas, membuat Desi mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang...
1.4M 91.8K 60
Karena Ayahnya kecelakaan dan meninggal di tempat kerja, Ratu menerima kompensasi berupa beasiswa di sekolah elit. Namun siapa sangka, dari sanalah m...
534K 44.7K 31
Raline Arsjad, yang tadinya bertekad untuk husbandfree, dipertemukan dengan pria yang mirip dengannya, Christian Dhirgantara, hingga terciptalah satu...