Love at The First Sight

By arupati

598K 49.3K 5.1K

Vin sudah lama jatuh hati pada pangeran sekolah, Red. Tiga tahun memendam perasaan, akankah dia mendapatkan c... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas (End)
Extra. 01

Tujuh

39.3K 3.6K 251
By arupati

"... kejarlah aku sampai ke Oxford..."

Empat tahun lalu, Red menantang Vin dengan kalimat itu. Terdengar jahat, apalagi dia tahu kemampuan Vin yang biasa-biasa saja. Mereka berdua sama-sama tahu kalau tantangannya pasti terdengar mustahil.

Tapi Red berharap, di sudut hatinya, bahwa Vin akan menghapus kemustahilan itu.

Selama empat tahun, Red berusaha untuk move on. Sulit sekali baginya untuk membiarkan orang lain masuk ke dalam hatinya setelah Iki.

Menggelikan sekali. Dia masih terikat pada bayangan masa lalu, tapi seiring dengan berlalunya waktu, Red sadar bahwa bayangan masa lalu yang mengikatnya bukanlah Iki, tapi Vin.

"Aku mencintaimu."

Jika Vin memang tulus mencintainya, dia akan berusaha untuk mengejar Red. Bila tidak, usaha Red menunggunya selama empat tahun akan sia-sia.

Tapi, pikir Red, Vin pantas untuk ditunggu. Itu sebabnya, meskipun dia sudah menyelesaikan S1 dan S2-nya secara berturut-turut di universitas yang sama, dia masih melamar untuk studi S3-nya juga.

Karena Red berjanji akan menunggunya.

Dia terlambat tiga bulan dari jadwal yang dia tentukan dan terlambat lagi untuk satu bulan berikutnya karena kecelakaan.

Tapi dia sama sekali tak menyangka bahwa hari ini dia dihadapkan secara langsung pada Vin, yang kini berdiri mematung di tempatnya, menatap Red seakan melihat hantu.

"Red..."

Red tersenyum kecil, melangkah dengan hati-hati menuju Vin yang masih terlalu terpaku dan mencerna apa yang terjadi.

"Bagaimana—apa yang kau lakukan di sini?" kata Vin sewaktu menyadari bahwa Red menopang sebagian tubuhnya pada tongkat siku. "Kenapa kakimu?"

"Aku tak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil," jawabnya meski sedikit meringis.

Vin segera mengingat apa yang dikatakan Hans tadi di bawah lalu cepat-cepat membantu Red untuk duduk ke tempat tidur. Red kecelakaan. Andai saja Red meninggal waktu itu, maka Vin tak akan tahu. Dia pasti akan mengutuki Red tanpa tahu kenyataan.

Red lega karena kakinya tak lagi menahan berat tubuhnya. "Apa kabar?"

Vin menegang sedikit. Jemarinya begerak gelisah. "Aku baik-baik saja." Ini kejutan yang sama sekali tak dia duga. Jantungnya nyaris keluar dari mulutnya karena kemunculan Red yang tiba-tiba. Selama beberapa bulan terakhir dia berpikir kalau Red tak ingat. Sekarang, saat pria itu muncul, bolehkah dia berharap?

"B-bagaimana denganmu?" tanya Vin balik, kemudian meneguk ludah cepat-cepat ketika tatapannya berhadapan langsung dengan mata Red. Mata Red yang indah terlihat begitu dekat.

"Aku masih hidup," kata Red setengah bercanda, tapi Vin tak menganggap itu lucu.

Vin nyaris kehilangan cinta pertamanya karena kecelakaan. Dia tak akan menganggap itu lucu.

Mereka diliputi keheningan canggung lagi. Vin kembali bergerak gelisah sementara Red masih menatapnya. Dia tak mengatakan apa-apa, masih memasang senyuman kecil, yang justru membuat Vin semakin salah tingkah.

"Aku terkejut kalau kita bisa sekamar," kata Vin tiba-tiba. Suaranya jauh lebih tinggi daripada seharusnya, yang membuat Red terkejut sedikit. "M-m-maksudku... ini terlalu k-kebetulan?" Vin ingin sekali memukul dahinya ke dinding.

"Kau tak suka sekamar denganku? Apa aku mengganggu?"

"B-bukan begitu!" kata Vin cepat, tangan mengayun-ayun gugup. "Aku suka. Suka sekali! Ma-maksudku bukan seperti itu—aku cuma ingin bilang kalau—"

Red tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Aku mengerti. Kau tak perlu gugup begitu."

Vin menggigit bibir, kembali meletakan tangannya ke pangkuan dan memaki diri sendiri. Dia baru saja mempermalukan dirinya. Lagi. Hebat sekali.

"Jadi, kau mau membantuku membereskan barang-barangku?" kata Red, memecah kesunyian yang sekali lagi memenuhi ruangan. "Aku tak bisa berdiri terlalu lama. Kakiku butuh istirahat selama satu bulan."

Vin mengangguk, melirik kaki Red yang bagian pergelangan kaki sampai betisnya diperban. Di beberapa bagian ada memar biru dan bekas-bekas luka yang nyaris sembuh. Ketika mengamati wajah Red lebih seksama, dia juga bisa melihat sisa-sisa kecelakaan dalam rupa garis-garis halus di dahi dan dagunya. Nyaris menghilang, tapi ada.

"Kalau begitu aku akan membuka kardus dan kau meletakan bagian yang ada di bagian atas." Red kembali berdiri. Vin secara refleks memegang tangannya. "Terimakasih."

Senyuman Red membuat Vin merona. "Urm, sama-sama."

Mereka membuka kardus-kardus milik Red. Isinya kebanyakan buku dan peralatan kantor biasa. Red mengeluarkan isi-isi kardus dan Vin yang meletakan barang-barang ke tempat yang ditunjuk Red.

Kesibukan ini digunakan Vin untuk kembali curi-curi pandang. Red masih saja terlihat tampan, meski dia agak kurus sekarang. Rambutnya sedikit lebih panjang daripada sewaktu SMA, yang membuatnya mengikat sedikit bagian sisa rambutnya ke belakang. Mungkin karena dia tak sempat memotongnya. Warna rambutnya juga berubah lebih cokelat dan kulitnya sediki lebih pucat. Tapi bibirnya terlihat lebih merah.

Secara garis besar, Red masih tetap tampan.

"Tolong letakan ini di meja belajar."

Vin mengerjap, mengambil laptop yang disodorkan Red padanya, lalu berjalan ke meja belajar. "Kau tahu, aku terkejut karena kau sudah S3."

"Itu karena aku ingin mengalihkan perhatianku pada hal-hal yang positif," jawab Red sambil lalu. Dia tak ingin mengingat pengkhianatan Iki dan janji Vin padanya, jadi dia mengambil kelas lebih banyak. Dia berhasil menyelesaikan gelar pertamanya selama tiga tahun, dan satu tahun dua bulan untuk gelar master. Pendaftaran S3 sedikit terlambat daripada jadwal biasa, jadi dia tak terlalu terburu-buru. Tapi karena dia kecelakaan, dia jadi terlambat.

Vin mengambil buku-buku Red untuk disusun di rak. Tangannya gemetaran sedikit karena dia yakin sekali kalau Red tak akan semudah itu melupakan Iki. "Apa kau masih mengingat Iki?"

Red tak menjawab pertanyaannya. Pria itu seolah-olah tak mendengarnya, karena dia memberikan buku yang lain pada Vin. "Tolong letakan ini di sana."

Vin meneguk ludah, mengambil buku-buku itu tanpa bicara.

Red belum melupakan Iki.

Perjalanan cintanya masih panjang. Membuktikan pada Red bahwa dia mencintainya dengan datang ke Oxford tak akan membuat pria itu juga akan membalas cintanya.

Menyedihkan...

*

*

*

Vin masih belum tidur. Matanya sama sekali tak bisa diajak terpejam meski dia berusaha. Bagaimana dia bisa tidur bila matanya melihat pemandangan paling indah sejagat raya? Jantungnya juga ikut-ikut berbunyi memekakan telinga seperti musik orchestra karena hal yang sama. Tubuhnya juga ikut merespon dan jadi lebih hangat.

Semua ini karena Red.

Takdir tampaknya ingin mempermainkan sekaligus menertawakannya. Setelah dia dibuat kecewa karena berpikir bahwa Red tak akan mengingat ataupun memenuhi janjinya, kini dia diberi kejutan dengan kemunculan Red yang tiba-tiba—di kamarnya dan sekamar dengannya.

Jujur saja, Vin tak ingin protes pada kebaikan hati sang Dewi Keberuntungan. Tapi, dia juga tak memungkiri kalau dia sering dibuat malu bila Red menangkap basah aksi curi-curi pandang yang gencar dia lakukan. Dia juga sering salah tingkah hanya dengan senyuman Red dan bukannya bertingkah mempesona, dia justru terlihat menyedihkan karena sering mempermalukan diri.

Tinggal dengan orang yang kau taksir benar-benar neraka dingin.

Hanya saja saat ini, Vin menemukan dirinya tak menyesal dan berterima-kasih pada Dia yang menciptakan Langit dan Bumi.

Red ada di seberang ruangan, di atas tempat tidurnya, dan tertidur lelap dalam posisi menghadapi Vin yang ada di ujung satunya. Wajahnya tampak damai. Mulutnya terbuka sedikit, dan bibirnya lebih seksi dari biasanya karena itu. rambut cokelatnya terkulai di bantal biru miliknya. Beberapa helaiannya menempel di pipi dan dahi.

Posisinya justru membuat Vin membayangkan kalau Red ada di dekatnya, seolah jarak dua meter tempat tidur mereka menghilang begitu saja. Andai Red sejauh jangkauan tangan, dia ingin mengusap wajahnya, sekaligus menyelipkan jemarinya di antara rambut panjang Red.

Dan Vin tertidur dengan mimpi itu dalam kepalanya.

Keesokan paginya, imannya sedang diuji karena begitu dia membuka mata, yang tampak di depan matanya adalah sosok Red yang baru keluar dari kamar mandi dengan tubuh basah sempurna dan hanya dibalut oleh selembar handuk.

Tubuhnya menegang saat matanya menyusuri tubuh Red—yang tampak tak menyadari kalau dia baru bangun—dari atas sampai ke bawah. Tetesan air yang meluncur turun dari rambutnya yang basah ke bahu, lalu ke dada dan perutnya yang six pack membuat mulut Vin berair. Andai saja dia air tersebut, dia tak akan keberatan berlama-lama di sana.

Red menunduk sedikit menggunakan tongkat sikunya dengan tangan gemetaran untuk mengambil pakaiannya yang ada di laci paling bawah. Dalam sekejap, Vin bangkit dari tempatnya, memegang tangan Red yang satunya.

"Biar aku saja."

"Oh," kata Red, mengerjap beberapa kali. "Thanks."

Melihat senyuman Red membuat pipi Vin kembali memanas. Jarak wajah mereka yang begitu dekat membuatnya salah tingkah. Belum lagi, wangi shampoo Red yang menyelimutinya membuatnya sedikit pusing. Vin membantu Red duduk di tempat tidur dan dengan enggan mengambil pakaian Red yang ada di bawah. Dia ingin sekali dipeluk oleh tangan kokoh milik Red tapi dia tahu kalau hal itu masih akan lama terjadi.

"Apa kau ada kelas pagi?" tanya Red sambil memakai pakaiannya.

Vin dengan susah payah melihat ke arah lain agar dia tak melihat pria itu melepas handuk. "Erm... tidak. Aku masuk kelas siang. Besok aku masuk pagi."

Red manggut-manggut. Setelah memakai pakaiannya, dia pun mengambil kembali tongkat sikunya. "Aku ada kelas pagi ini. Well, sampai jumpa lagi, Vin."

Vin megangguk, melambai pada Red yang berjalan dengan susah payah ke pintu.

Untuk beberapa saat, dia hanya menatap nyalang ke pintu yang tertutup sampai dia sadar sesuatu dan buru-buru keluar.

"RED!" Vin cepat-cepat ke sisi Red yang masih belum melewati satu lantai.

"Hm? Kenapa, Vin?" Red terkejut.

"Kau tak boleh turun tangga sendirian. Kakimu masih sakit."

Yang membuat Vin sebal, Red malah tertawa kecil. "Aku tak apa-apa. Sungguh."

"Aku tak bisa membiarkannya. Kau harus didampingi seseorang kalau mau turun atau pun naik. Kau mengerti?"

"Oke oke. Jangan marah-marah. Nanti gantengmu hilang."

Wajah Vin merona kembali. Red baru saja memujinya. Vin rasanya ingin melayang.

Dan ketika dia menggandeng tangannya, Vin semakin berdebar. Demi apapun, dia sama sekali tak menyangka kalau dia akan punya kesempatan menyentuh Red.

*

*

*

Jordan mengerutkan dahi melihat arah tatapan Vin. Sudah lima belas menit pria itu tak mengalihkan pandangannya pada sosok yang sama. Dan sepertinya dia tahu alasannya. Soalnya Vin menunjukan ekspresi soooo dreamy dengan senyuman seperti orang gila.

Dia bisa mengerti mengapa Vin naksir pria itu. Bukan hanya dia saja yang menunjukan ekspresi yang sama. Nyaris seluruh penghuni kantin melirik objek yang sama, tertutama wanita. Tapi tak ada yang berani mendekatinya. Siapa yang berani mendekatinya bila pria itu dikelilingi oleh Profesor dan calon Phd? Lagipula, bahan obrolan mereka benar-benar serius. Nyaris seluruh topiknya tak dimengerti Jordan.

"Sudah berapa lama kau gay karena dia?" tanyanya sambil lalu.

Mata Vin membulat, lalu dia menganga. Ekspresi itu benar-benar lucu sekali. Dia nyaris terbahak-bahak.

"A-a-apa m-maks-sudmu?" katanya tergagap dengan wajah merah padam.

"Kau tahu benar maksudku apa. Siapa namanya? Dia kan, teman sekamarmu?"

Vin menggigit bibir. "Namanya... Red."

Dia tak luput menyadari ketika Vin menyebut namanya serasa terdengar penuh cinta dan kekaguman.

"Jadi, sudah berapa lama kau naksir padanya?" tanyanya penasaran.

Vin sama sekali tak berani melihat wajahnya saat berkata, "Urm... aku tak tahu apa maksudmu..."

"Yeah, dan matahari terbit di barat," balas Jordan sambil memutar bola mata. "Jadi, apa dia gay juga?"

Vin menghela napas, tak bisa lagi kabur. "Dia nggak gay."

"Apa aku harus kasihan padamu?"

Kali ini Vin memelototinya sambil cemberut. "Aku tahu kalau aku terlihat tak pantas untuk Pangeran sepertinya. Tapi aku sudah berusaha sekuat tenaga tahu."

Jordan menaikan alis. "Misalnya?"

Telunjuk Vin bergerak-gerak gelisah. "Uh, alasan kenapa aku berusaha keras untuk masuk ke Oxford adalah untuk mengejarnya."

Jordan menganga. "Kau serius?" Vin mengangguk. "Wow. Kau pasti amat mencintainya sampai bersusah payah—tunggu, itu artinya kau sudah lama suka padanya? Astaga."

Vin menggigit bibir lagi. Ini pertama kalinya dia mengakui pada seseorang bahwa dia mengejar Red. Dia sedikit lega karena Jordan sama sekali tak melihatnya seperti orang aneh karena hal itu.

"Apa kau besok sibuk?"

Vin mengangkat kepalanya dari buku yang dia baca untuk melihat Red yang sedang tiduran di sisi ranjangnya.

"Urm... tidak."

"Kapan kau selesai?"

"Sekitar jam 3 sore."

Red manggut-manggut, tiba-tiba tersenyum lebar. "Kau mau kencan denganku?"

Buku di tangan Vin jatuh. "H-h-huh?"

"Kau ingin pergi ke mana?"

Melihat senyuman Red dan pandangan matanya membuat Vin menjawab tanpa dia duga.

"Ke hatimu."

Oh... shit.

*

*

*


Setelah sekian lama, akhirnya update juga. Gambar di media itu adalah Red. Dia cakep kan? Gue nggak dapat sosok manusia yang cocok buat Red yang kalem, tapi versi manganya dapat. 
My Vomen?

Continue Reading

You'll Also Like

296K 25.8K 28
apa yang terjadi jika selaku mantan ketua paskibra menarik mu dan tiba-tiba memeluk mu?. dan juga orang yang kamu benci malah menjauhkan mu dengan ma...
4.8M 177K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
490K 48.7K 32
WARNING....!!! ZONA PELANGI MPREG 21+ 24-02-2018 s/d 21-07-2018 Aland Robinson. seorang CFO muda dengan penyakit Aseksual parah,tapi belakangan ini p...
6.4M 328K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...