Miss Dandelion

By yusufalvaro00

163K 19.6K 1.1K

Setelah mengetahui bahwa dirinya mengandung, Larasati Kirana sangat kebingungan. Ia memang punya kekasih, nam... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Epilog

Dua Puluh Empat

3.5K 451 12
By yusufalvaro00

Keberadaan Ratih di rumah Suta, sedikit banyak memang mengalihkan perhatian Laras. Perempuan kerap menghabiskan waktu lebih banyak dengan sang adik.

Suta sendiri memberikan izin cuti selama beberapa hari untuk Laras, supaya istrinya itu bisa menemani sang adik berkeliling Jakarta. Namun Ratih menolak dengan sopan. Dia tidak datang ke Jakarta untuk mengganggu aktivitas sehari- hari kakaknya.

Lagi pula, Ratih datang bertepatan saat akhir pekan. Jumat malam tepatnya. Jadi, Laras dan dirinya punya Sabtu dan Minggu yang bisa mereka lewati bersama.

"Eh aku sempet ketemu sama Mbak Putri deh, Mbak. Dia nitip kado sama aku. " Ujar Ratih, ketika keduanya pagi itu pergi ke pasar untuk berbelanja.

"Oh, ya?" Laras bersemangat mendengar nama sahabatnya sejak SD itu disebut sang adik. "Gimana, gimana kabar Putri sekarang? Dia pulang ya, ke Wates?"

Ratih mengangguk. Mereka mampir ke kios buah. Sementara Ratih memilih- milih jeruk yang di display dalam keranjang kayu. "Beli jeruk ini ya, Mbak. Tinggi asam folat. Bagus buat bayi. " Kata Ratih. Laras hanya mengangguk.

"Iya. Pulang. Kabarnya sih, Mbak Putri mau dijodohin gitu. Entah sama siapa. Tapi kabar yang beredar sih begitu."

Laras ikut iba mendengarkan berita itu. Sepengetahuannya, Putri sudah menjalin hubungan dengan salah seorang rekan di tempatnya bekerja saat ini. Tapi Putri itu sangat manut pada orangtuanya. Laras jadi tak bisa membayangkan kalau hal itu benar- benar terjadi. Putri pasti sangat dilema saat ini.

Ratih selesai memilih sekantung jeruk. Saat Laras mengeluarkan dompet, adiknya itu menggeleng. "Biar aku yang bayar, Mbak. Sekali- sekali, ya. Mumpung ada rezeki. Meski belum dapat jackpot bisa nikah sama sultan kayak Mbak Laras sih. " Ratih mengulurkan selembar uang pada ibu pemilik kios buah itu. "Mau apa lagi? Pepaya? Semangka? Anggur atau stroberi?"

"Udah. Itu udah ada di kulkas. Mbak Ermin rajin beli kalo yang itu. "

"Sebenarnya aku datang ke sini karena Bapak itu khawatir sama Mbak. Takut kalo gosip yang disebarkan sama Ibunya Mas Satria itu bener. Dan Mbak nutup- nutupin dari keluarga."

Laras hanya mengangguk. "Setelah kupikir- pikir ya, Tih, kekuatiran Bapak sama Ibu itu ya memang wajar. Dulu pernikahan kami memang seadanya kok. Cuma catet di KUA."

"Katanya waktu itu Mas Suta masih pakai kruk ya?"

"Ya gitu. Dia habis kecelakaan mobil di jalan tol."

Dari kios buah, mereka berbelok ke tukang jual tahu tempe. Suasana pasar pagi itu hiruk pikuk. Banyak pengunjung yang mungkin berbelanja mingguan untuk mengisi kulkas. Untungnya, pasar- pasar di Jakarta ini sudah sangat bersih. Modern. "Sebenarnya, aku juga mau cerita," Ratih berkata agak ragu.

Laras dapat menangkap nada kegalauan dari suara adiknya. Tapi ia hanya diam dan menunggu. Ia memandangi Ratih dengan sorot sabar.

Di masa lalu, mereka adalah tim yang solid. Meski tak jarang juga keduanya kerap bertengkar karena hal- hal sepele. Ratih adalah sahabat terbaik bagi Laras. Yang bisa menjadi support systemnya. Menjaga rahasianya. Partner in crime nya.

"Mbak masih ingat sama Mas Haryo?"

"Heem?"

"Itu yang rumahnya dekat sama Mbah Uti. Kemarin dulu, Paklik Wito datang ke rumah. Dia bilang, keluarganya Mas Haryo tertarik buat melamarku."

"Hah?" Laras tidak bisa menutupi kekagetannya. Haryo adalah pria yang lima tahun lebih tua dari Laras. Kalau Laras tak salah ingat, pria itu bekerja di dinas pengairan. ASN yang dulu pernah dijodohkan dengan Mbak Menik, tetangga mereka juga.

"Lha tak kira dia udah nikah sama Mbak Menik itu lho, Tih. Eh, mendingan kita cari sarapan aja yuk. Biar enak gitu ngobrolnya. "

Ratih mengangguk menyetujui saran sang kakak. Mereka pun akhirnya berbelok ke warung yang menjual lontong sayur ala Padang.

Keduanya memesan dua porsi lontong dengan telur dan dua gelas teh hangat. "Terus kamu bingung apanya, Tih? Kamu nggak sreg sama Mas Har ya? Apa dia ketuaan buatmu?"

"Sebenarnya bukan ketuaan sih, Mbak. Aku sih nggak pernah punya kriteria khusus buat calon suami juga. Hanya aja, aku kan baru lulus kuliah ya. Aku maunya ya kerja dulu. Berkarir dulu. Kayak Mbak Laras atau Mas Aldi." Ratih menyuap lontong sayurnya sebelum melanjutkan. "Lagian aku udah cape- cape kuliah. Sambil kerja pula supaya enggak bikin Bapak,  Ibuk sama Mas Aldi ketatalan mikirin biayanya. Masa begitu lulus langsung dinikahin."

"Emang Bapak sama Ibuk maksa kamu nerima?"

"Enggak sih, Mbak. Tapi Lik Wito itu kok kesannya kayak maksa aja gitu. Sampai bela- belain bujuk Bapak, kalo Mas Haryo itu calon potensial. Dia udah punya rumah, sawah, kerjaan juga mapan banget. Wong bayar memang masih menarik bagi orangtua kan?"

Laras mengangguk- angguk. Memang sih, ASN punya nilai tinggi di daerah tempat Laras dibesarkan. Mereka juga disebut "wong bayar" karena merujuk ke menerima gaji tetap setiap bulannya.

Orangtua para anak gadis pasti akan tenang kalau anaknya berjodoh dengan ASN. Mereka berpikir, hidup sang anak pastilah terjamin hingga hari tua karena kalau sudah ASN pasti juga ada dana pensiun.

Tapi Laras merasa bahwa pikiran itu terlalu sempit. Zaman serbacanggih begini, hidup tidak selalu mengandalkan penghasilan suami. Hal itu dulu yang juga senantiasa ditekankan oleh orangtuanya. Terutama ibunya.

Ibu, meski punya suami seorang guru yang masih juga harus menggarap sawah milik sendiri, tapi tetap menyingsingkan lengan baju untuk membantu keuangan keluarga.

Ibu paling tidak tega kalau kebutuhan anak- anaknya terbengkalai. Seperti zaman Laras masih SD, waktu itu ada vaksinasi hepatitis di sekolah. Tapi harus membayar. Meski terbilang tidak mahal, namun ada beberapa orangtua murid yang keberatan dengan jumlah iuran yang ditentukan oleh pihak sekolah.

Laras waktu itu sudah pasrah kalau memang orangtuanya tidak sanggup membayar. Waktu itu, sore hari, Laras duduk mencakung di balai- balai di atas dipan beralaskan tikar pandan. Hatinya diberati kegalauan soal vaksinasi itu. Ia mencoba menabahkan hatinya sendiri. Ibu yang saat itu pulang dari kondangan ke desa tetangga, melihat Laras yang duduk tercenung, kemudian mendekati sang putri. "Ada apa, Ras? Kok mukanya begitu? Lagi ada yang dipikirin?"

"Nggak kok, Buk. "

Ibu meletakkan buntalan berisi baskom yang tadi diisi tiga kilo gula dan satu bal mie telur ukuran sedang untuk diberikan pada yang punya hajat. "Jangan menyembunyikan masalah, Ras. Apalagi dari ibuk. Mungkin Ibuk juga nggak bisa bantu banyak. Tapi Ibuk bisa dengerin kamu. "

Ibu memang anomali dari perempuan- perempuan di daerah Laras. Beliau selalu peduli pada perasaan anak- anaknya. Di saat orangtua lain memilih mengabaikan bila anak mereka terlihat murung. "Ada vaksinasi hepatitis Buk di sekolah. Tapi harus bayar."

Jbu menghela napas. Seolah sudah menebak- nebak, bahwa yang membuat hati putrinya risau adalah perkara uang.

"Berapa yang  harus dibayar?"

"36 ribu, Buk. " Zaman itu, 36 ribu sudah sangat besar jumlahnya untuk saat itu.

Ibu tampak berpikir sejenak, sebelum mengatakan. "Ibuk ada simpenan kok, Ras. Kamu ikutan saja. Nggak perlu kuatir, ya." Ibu mengelus pundak anak sulungnya itu. Waktu itu Laras masih duduk di kelas tiga SD.

Setelah agak lebih besar, Ibunya selalu berpesan, supaya Laras harus ulet. Berusaha dengan tenaga sendiri untuk mendapatkan apa yang diinginkan. "Semuanya itu ndak serta merta datang sendiri pada kita, Ras. Kalo kamu ndak berpunya, hanya bergantung pada nasib mujur supaya dapat suami kaya, pada akhirnya kamu ndak akan punya harga diri. Kalo pernikahan itu berjalan seumur hidup, syukur. Seandainya di tengah jalan ada apa- apa, kamu pun masih bisa mandiri. Bapak menghormati Ibuk juga karena biar cuma jualan lotek sama pecel, Ibuk bisa mandiri. Tapi jangan mentang- mentang bisa ceker---nyari uang sendiri--- terus suami disepelekan. "

Agaknya, nasihat yang dulu pernah disampaikan ibu padanya, juga disampaikan pada adiknya. Hingga saat ini, Ratih masih diliputi kegalauan.

"Aku itu cuma mau buktiin bahwa pepatah "buat apa perempuan itu sekolah tinggi- tinggi, kalo berakhir di dapur aja"  itu tuh nggak bener. Aku masih pengin kerja. Ngejar cita- cita. Aku masih terlalu muda, Mbak."

"Aku paham, Tih. Tapi sebaiknya, kamu tolak dengan halus aja. Kamu udah punya cowok belum sih? Kok aku nggak pernah denger kamu ngomongin cowok gitu. "

"Buat apa juga ngomongin cowok? Nggak ada seru- serunya juga. Dan sejak TK aku memang belum pernah pacaran. Aku nggak melihat ada gunanya. Maaf bukan mau menyombong, tapi kenyataannya mereka itu cuma tukang bikin rese aja. Lagian, teman cowok sih banyak Mbak. Cuma temen tapinya!"

***

"Istri saya mana, Mbak?" baru bangun tidur, Suta tidak mendapati istrinya di mana pun. Suta merasa ada yang kurang.

Biasanya keberadaan Laras membantunya untuk cepat tidur di malam hari. Keberadaan Laras memang jadi sepenting itu bagi Suta. Meski hingga detik ini, mereka belum juga menyempurnakan pernikahan dengan berhubungan badan seperti layaknya suami istri betulan.

Suta memang takut melakukannya dengan wanita hamil. Terlebih, yang berada dalam kandungan Laras itu bukan miliknya.

Suta bukannya tidak berminat. Kadang ada hari- hari ia benar- benar tidak tahan untuk mengatasi libidonya, sehingga memaksanya untuk mandi air dingin di bawah pancuran pada dini hari, demi bisa meredam hasrat yang sudah membara hingga ke ubun- ubun.

Suta tak pernah berpikir bahwa perempuan hamil itu seksi dan menggairahkan untuk diajak bercinta, sampai ia melihat Laras dengan perut buncitnya berkeliaran hanya pakai daster di dalam kamar.

Mbak Ermin datang tergopoh- gopoh. Wajahnya tampak was- was. "Mbak Laras pagi- pagi tadi pergi bareng Mbak Ratih, Mas. Mau ke pasar katanya."

Suta berdecak kesal.

Dari arah depan rumahnya, ia mendengar suara klakson mobil. Berharap bahwa itu mungkin sang istri yang datang, Suta berjalan tergopoh-gopoh ke pintu depan.

Ia mencebik ketika mendapati Pajero sport hitam milik Randi.

****

Continue Reading

You'll Also Like

11.4K 516 39
Saat hati berbisik, jari jemari mula menari, memaknakan setiap kata, segalanya dari hati... Cover by: @MrEzekiel79
278K 7.1K 29
PLAGIAT JAUH JAUH SANA MURNI PERHALUAN SAYA SENDIRI HOPE U ALL LIKE IT♥︎♥︎♥︎ Bagaimana jadinya jika seorang dosen menikahi mahasiswa nya sendiri, Ken...
860K 21.1K 200
Welcome witches! 🔮 ✨ This is basically an online book of shadows. It has a lot of stuff for witches. Like ideas for supplies, ingredients, elements...