BERBEDA dari hari-hari yang pernah ada, pada hari ke enam ratus tiga puluh tujuh, dalam mendatangi ruang rehabilitasi mental untuk bertemu pasiennya kala itu, Jaehyun tidak banyak membawa benda.
Tidak ada map berisi berkas-berkas. Tidak juga alat penyuara frekuensi solfegio maupun alat-alat lainnya yang biasa ia pakai untuk menunjang penyembuhan.
Tidak ada.
Hanya, sebuah jas yang harusnya merupakan kebanggaan bagi setiap penyandang profesi dokter, tetapi tidak juga.
Bagi Jaehyun, terutama.
Selama benda itu menjadi miliknya, Jaehyun tidak sekalipun merasa bangga. Memakainya, ia hanya selalu merasa hampa.
Berjalan membelah lorong berisik di kala sinar mentari pagi menerobos celah-celah ventilasi pada tembok usang lapas, Jaehyun meraba ke dalam kantong jas yang ia kenakan, memastikan benda kecil itu ada di sana.
Berdiri di depan ruang rehabilitasi. Cukup lama Jaehyun membatu untuk menyeka gugup yang tiba-tiba saja menyerbu. Menggenggam erat gagang pintu, sebelum mengayunkan.
Lalu, mereka duduk berhadapan.
"Siapa yang membuatmu tersenyum hari ini?"
"Tidak ada."
Matanya membuang pandang ke jendela yang terbuka, menampilkan taman belakang lapas yang dihiasi mekar bebungaan. Musim semi tiba seminggu yang lalu.
"Dokter bertanya seribu kali pun, jawabaku akan tetap sama. Tidak ada yang membuatku tersenyum hari ini, besok, lusa, bahkan selamanya."
Sedangkan, mata Jaehyun tidak pernah terbuang ke mana pun selain kepada raut penuh kekosongan yang menyimpan banyak hal, termasuk di dalamnya adalah kenangan.
"Kalau begitu, saya dan dokter-dokter lain di sini telah gagal. Lapas ini tidak berfungsi dengan benar. Kamu harus dipindahkan."
"Percuma. Lapas mana pun tidak akan bisa menyembuhkanku. Dokter siapapun juga tidak akan bisa mengobatiku."
"Bisa."
Mendengar bicara Jaehyun, sorot perempuan itu mulai bergulir. Dua pasang mata manusia yang duduk saling berhadapan di dalam ruangan itu mula bersipandang.
"Bukan lapas mana-mana, hanya rumahku. Bukan dokter sesiapa, hanya aku."
Setiap detik terseret, mereka hanya terjerumus ke dalam mata satu sama lain. Begitu lekat, begitu dalam saling menenggelamkan.
"Menikahlah denganku, Rose. Akan aku sembuhkan kamu di rumahku. Akan aku obati kamu dengan tanganku. Akan aku buat kamu tersenyum selalu, setiap hari, selamanya."
Jaehyun sentuh sepasang tangan. Sepuluh jemari yang ringkih, ia bungkus dengan kelima jarinya sendiri.
"Ikuti proses rehabilitasi dengan benar, Rose. Agar kamu bisa secepatnya keluar dari sini. Menikah denganku, pindah ke rumahku, dan sembuh bersamaku."
Sebab sejatinya, sebagaimana Rose, Jaehyun pun sama sakit melihat perempuan yang dulunya punya hari-hari gemilang sebagai seorang mega bintang, aktris yang membintangi film-film layar lebar laris di pasaran, kini hanya selalu menemui hari-hari redup sebagai seorang tahanan.
Tapi, Rose enggan dibebaskan.
Katanya, di sini lebih baik ketimbang di mana pun.
Katanya, di sini, ia bisa makan tanpa harus repot-repot bermain peran, tanpa harus repot-repot terjaga dari suatu pagi sampa pagi dua hari kemudian, belum lagi perkara makian sutradara kalau ia salah mengucap dialog atau ekspresinya kurang main.
Di sini, ia aman dari terpaan fitnah, gosip, ujaran kebencian, teror, dan hal-hal menakutkan lainnya yang dulu ia terima hanya demi bisa makan.
Di sini, ia aman dari tamparan seorang wanita yang menyebut dirinya ibu tapi berlagak bak penagih hutang.
Jaehyun sakit, menyadari bahwa dahulu, selama ada di sisinya, ia tidak lebih dari sekedar pendamping tanpa guna.
Memangnya, apa gunanya, sebagai manusia yang mengaku mencinta, ketika kekasihnya terluka, ia hanya sibuk menonton dan bertepuk tangan?
Maka, dari itu, setelah berkawan dengan penyesalan dan rasa berdosa itu cukup lama, Jaehyun kini beranjak dari kursinya, mendatangi kursi tempat perempuan itu duduk.
Lalu, berlutut.
"Aku tidak bisa. Aku tidak bisa lagi menahannya. Tanpamu, aku benar-benar ...."
Dalam-dalam, menunduk.
"... aku sungguh kesulitan."
Ruangan menghening sekian detik.
"Apa yang Anda lakukan, Dokter Jung? Ruangan ini dilengkapi CCTV, Anda lupa? Jika tidak ingin dipecat, maka profesional lah seperti biasa! Kembali ke tempatmu, atau kubuat laporan pada petugas lapas kalau ada dokter yang menyelewengkan tugasnya, melamar pasiennya, berlutut, menangis, dan ...."
"Oleh karena itu, kumohon!!" menyela, mengangkat dagu dan pandangannya. Jaehyun tatap, dengan mata lembabnya, seraut wajah yang memandangnya tak suka.
Tapi, persetan.
"Kumohon, ... kembalilah! Kembalilah ke sisiku, Rose."
Persetan.
Selamanya, terlalu lama. Untuk merana selamanya, Jaehyun rasa tak sanggup. Setiap hari, rasanya seperti menyelami neraka.
CCTV, profesionalitas, pekerjaan atau apa pun itu. Jaehyun sudah tidak peduli.
Namun, perempuan itu masih peduli, sehingga ditinggalkannya kursi, ruangan, dan Jaehyun di dalam sana. Ia melenggang tanpa beban, kembali ke ruang tahanannya.
Sementara itu, Jaehyun yang sampai hari ini masih tidak juga memahami benar sosoknya, hanya menelan kecewa.
Merogoh saku jas, mengeluarkan sebuah cincin.
Ingin Jaehyun, bisa menyematkannya di jari manis perempuan itu. Terdengar muluk sekali, untuk ukuran laki-laki yang pernah melukai hati.
Setara memang, jika diganjar oleh situasi di mana ia ditinggalkan, bahkan tanpa sempat cincin itu ia perlihatkan.
[]
Em
\\ he was the one who asked her to back to his side \\
[SERENADE IN E MINOR]
by linasworld
***
notes:
finally, back to prolog, guys!
congrats^^ kamu hebat kamu kuat
dan,
are you ready for the ending?
thankyou for reading ^.^