BANGKU ruang persidangan, banjar kanan, baris paling belakang. Titik paling sudut ialah tempat di mana Jaehyun duduk setelah sempat singgah di rumah untuk menyantap semangkuk sup buatan sang ibu yang tak selezat biasa, setibanya ia di kotanya.
Belanda ditinggalkan, seminggu setelah sebuah kekacauan. Juga, setelah ia mencoba menjalani kehidupan normal, namun gagal.
Flat, sepeda, toko sandwich, jalan raya, bahkan selembar jendela. Semua mendadak punya kemampuan berbicara, lebih berisik ketimbang mulut para manusia, mengajak Jaehyun berbincang-bincang pasal hari-hari lega bersama kekasihnya.
Maka, ruang persidangan adalah tempat terbaik bagi Jaehyun sekarang.
Keputusan pengadilan untuk perempuan yang duduk di bangku terdakwa, di depan sana, atas kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang yang dilakukannya, berbunyi masa tahanan sekaligus rehabilitasi selama dua tahun, diberlakukan remisi dengan persyaratan tertentu.
Ketuk palu.
Yang mulia hakim beserta jajarannya meninggalkan kursi singgasana.
Ruang sidang mulai dipenuhi celoteh para manusia dan juga kerlap-kerlip lampu blitz kamera peliput acara.
Berisik luar biasa.
Namun, Jaehyun hanya bergeming di tempatnya.
Seolah-olah ini merupakan tempat paling sunyi yang pernah ia kunjungi. Seolah-olah di sini, hanya ada ia dan sosok perempuan berbalut seragam tahanan yang pasrah dirinya diarak petugas kepolisian meninggalkan kursi terdakwa.
"Sialan! Dasar anak tidak tahu diuntung! Bagaimana bisa kamu mengacau setelah dua puluh tahun lebih aku merawatmu, Sialan?! Sekarang, bagaimana aku? Katakan bagaimana aku harus hidup kalau kamu masuk penjara?!! Arghh!!!"
Sampai suatu masa, terbingkai oleh mata Jaehyun satu manusia lain. Seorang wanita paruh baya berlarian, berusaha menjangkau tubuh perempuan yang hanya diam kala seragam tahanannya ditarik hingga lepas kancing atas dan rambut panjangnya dijambak hingga rontok beberapa utas.
Jaehyun hampir meninggalkan bangku. Ingin hati menyeret wanita minim etika yang menyebut dirinya seorang ibu.
Namun, pergerakan Jaehyun tidak lebih cepat dari para petugas keamanan. Bangku memang ditinggalkan bokongnya, tetapi kakinya masih menapak di lantai yang sama.
"Argh! Dasar anak sialan!"
Pada akhirnya, Jaehyun hanya menjadi bagian dari mereka yang sebatas menyaksikan secara langsung kejadian pemicu banyak spekulasi orang-orang sehingga headline "Aktris R Positif Narkoba, Diduga Tertekan karena Menjadi 'ATM Berjalan' Ibunya" tayang di mana-mana dan dihujani ketikan komentar jahat dari jari para manusia yang menganggap diri mereka suci.
Meninggalkan gedung pengadilan, Jaehyun datangi sebuah bar mewah.
"Maaf, Anda harus melakukan reservasi terlebih dahulu."
Persetan dengan peringatan wanita yang ditemuinya di lobi bar. Jaehyun memaksa masuk, membuat keributan dengan menghajar deretan para lelaki yang menghadangnya sampai target muncul di depan mata.
Koo Junhoe, selaku pemilik bar memberi isyarat pada para pekerjanya untuk menyingkir, memberi Jaehyun ruang.
Jaehyun mengekori langkah laki-laki itu setelah mengusap darah dari luka robek di bibir.
Melewati lorong gelap, menaiki tangga, memasuki ruangan.
Tawaran duduk, tidak digubris Jaehyun. Sofa empuk hanya dihuni Junheo yang terlihat santai memantik sebatang rokok dan menuang alkohol ke dalam gelas.
"Kau yang mengirimkan morfin saat Rose ada di Belanda?"
Hanya Jaehyun di sini yang terburu-buru. Dalam posisi berdiri, segera memberi tanya untuk menumpas rasa penasaran juga geramnya.
"Jika aku melakukannya, aku tidak akan duduk di sini sekarang."
Jaehyun mengerutkan dahi.
Tersenyum, Junhoe katakan, "Bukan aku. Jika itu aku, sudah pasti aku juga akan bernasib sama sepertinya sekarang, atau mungkin lebih naas karena aku adalah bandar sekaligus pengedar."
Alkohol diteguk Junhoe. "Kendati aku banyak pengawal, tindakan sebodoh mengirimkan morfin pada Rose ke Belanda tidak akan pernah kulakukan. Itu sangat berbahaya. Aku sudah memperingatkan Rose, tapi mungkin dia sangat membutuhkannya sehingga membeli itu dari orang lain."
Jemari Jaehyun yang sempat mengepal kini merenggang. Niat hati, jika orang yang menyuplai morfin untuk Rose saat di Belanda adalah Junhoe, maka Jaehyun akan menghabisi laki-laki itu sebelum menyeretnya ke penjara.
Namun, pengelakan Junhoe terdengar masuk akal.
"Mengapa? Kamu bersusah hati setelah pacarmu ditangkap dan berpikir bahwa aku adalah penyebabnya?"
Terlalu tepat sasaran. Jaehyun kehilangan kata untuk merespon sehingga yang dikeluarkan mulutnya hanya, "Apa?"
Asap rokok dilepas Junhoe. "Apa kamu benar adalah kekasih Rose?"
"Apa maksudmu?"
Minuman dituang. "Hanya ... jika aku adalah kamu, jika aku adalah kekasih Rose, satu-satunya pertanyaan yang akan aku ajukan kepada bandar ini adalah ... mengapa kau memberi morfin pada kekasihku?"
"Aku tidak mengerti."
Tab dinyalakan, diamati. Berita teratas, dibuka. Headline dibaca. "Aktris R Positif Narkoba, Diduga Tertekan karena Menjadi 'ATM Berjalan' Ibunya."
Jaehyun diliriknya. "Apa menurutmu ibunya adalah satu-satunya penyebab dia berakhir menjadi 'pemakai'?"
Hening.
Jaehyun membisu panjang, sebelum menanyakan, "Kamu tahu sesuatu?"
Yang mana itu sama artinya dengan Jaehyun mengamini bahwasanya sebagai manusia yang mengaku kekasih, ia tidak memahami betul perihal orang terkasih.
Tab diletakkan. Rokok dimatikan. Senyum miring disunggingkan. Junheo berjalan menuju rak di pojok ruang, mengambil sebuah buku sketsa, membawakannya kepada Jaehyun.
"Milik Rose. Dia suka membawanya saat datang kemari. Itu tertinggal saat dia mabuk terakhir kali, dan aku belum sempat mengembalikannya." Junhoe kembali mengambil posisi duduk, santai meneguk.
Sementara Jaehyun sibuk membolak-balikkan halaman demi halaman buku sketsa di tangannya sekarang.
"Menggambar, Rose pandai melakukannya. Dan, itu tergambar sangat jelas di sana. Aku yakin kamu bisa memahami alasannya, karena kamu adalah seorang ahli jiwa."
Nanti, akan Jaehyun telaah buku ini dengan benar sampai ia bisa betul-betul memahami. Sekarang, cukup Jaehyun mengakui bahwa selama ini, sebagai seorang kekasih dan juga ahli jiwa, ia tidak paham apa-apa menyoal kekasihnya.
Pintu ruangan didekati. Jaehyun berpikir untuk mengusaikan perbincangannya dengan Junhoe sekaligus keberadaannya di sini.
Akan tetapi, pergerakan Jaehyun membuka pintu terhenti. Gagang pintu kembali didorong sampai daunnya tertutup rapat kembali. Lalu, kepada Junheo, Jaehyun ajukan, beberapa pertanyaan tanpa menghadap orangnya.
"Kamu dengan Rose, kalian dekat?"
"Mmm ... mungkin cukup dekat."
"Pernah tidur bersama?"
Tawa Junhoe menggema. Jaehyun yang sedari tadi memasang punggung untuk Junhoe kemudian memutar kaki agar bisa melihat wajah laki-laki itu.
Ruangan menjelma sunyi. Penghuninya bertatapan lekat.
"Sejujurnya, aku berharap itu terjadi."
Mendengarnya, genggaman Jaehyun terhadap buku sketsa di tangan sontak mengerat. Sampai suatu ketika, suara Junhoe kembali mengudara dari ujung sana.
"Tapi, Rose bilang ia hanya tidur dengan laki-laki yang dicintainya." Junhoe menyandarkan punggung, "Dan, itu adalah kamu. Dari buku sketsa itu, kupikir, dia mencintaimu lebih dari dia mencintai dirinya sendiri."
Kemudian, jemari, tangan, kaki dan seluruhnya bahkan sendi-sendi, Jaehyun rasa melemas. Wajahnya kebas.
Ia dibohongi. Namun, kekecewaan terbesar ialah jatuh atas dirinya sendiri.
Kecewa karena sempat percaya. Kecewa karena sempat mengakui bahwasanya ia pernah 'melakukan hal yang sama'.
Kecewa karena pernah mengarang cerita bahwa ia hanya mencium orang yang disukainya, padahal pada realitanya ia bahkan tidur dengan perempuan lain tanpa memiliki perasaan apa-apa.
Kaki yang lemas, dipaksa berlari. Dan, dalam pelarian, pelupuk mata Jaehyun basah tiada henti.
Sebuah lapas didatangi. Akan tetapi, ....
"Maaf, Tahanan yang ingin Anda jumpai menolak bertemu dengan Anda."
[]
Em9
\\ they were the ones who love each other in sadness \\
[SERENADE IN E MINOR]
by linasworld
***
notes:
apa yang menurut kalian kurang dari work ini? :')
biar nanti bisa kuperbaiki huhuhu
thankyou sudah baca ^.^