Awan untuk Rembulan

By AriraLv

201K 25.1K 5.3K

"Kalau panas mataharinya nyakitin kulit lo, gue bisa jadi awan yang halangin sinarnya." ☁️ Agraska Galelio T... More

Prolog
Cast
☁️ㅣ1. Kedatangannya di SMA Pelita
☁️ㅣ2. Saus Gadis Petaka
☁️ㅣ3. Pengawal yang Menghilang
☁️ㅣ4. Pengawal yang Baru
☁️ㅣ5. Awan, Cloud Cafe
☁️ㅣ6. Ada Rekomendasi Film?
☁️ㅣ7. Praktik Drama Korea
☁️ㅣ8. Awan Pelindung Rembulan
☁️ㅣ9. Sudah Ada yang Tahu
☁️ㅣ10. Izin dari Kakak Pertama
☁️ㅣ11. Awal Perlawanannya
☁️ㅣ12. Penampilan Agraska
☁️ㅣ13. Lemah, Letih, Lebay
☁️ㅣ14. Dia Lelaki Kimia
☁️ㅣ15. Obat Sang Rembulan
☁️ㅣ16. Sebuah Rencana Kecil
☁️ㅣ17. Bagaimana Faktanya?
☁️ㅣ18. Mereka Telah Memulai
☁️ㅣ19. Ikut Dalam Permainan
☁️ㅣ20. Rencana yang Hancur
☁️ㅣ21. Labirin Milik Agraska
☁️ㅣ22. Pengganggu adalah Benalu
☁️ㅣ23. Permintaan Maafnya
☁️ㅣ24. Rekaman yang Tersebar
☁️ㅣ25. Ini Jatuh Cinta?
☁️ㅣ26. Sebuah Lagu, Untukmu
☁️ㅣ27. Isabela Sudah Pulang!
☁️ㅣ28. Lavender dan Blueberry
☁️ㅣ29. Luka karena Ayah
☁️ㅣ30. Apa Pilihannya?
☁️ㅣ31. Terjadi Pembubaran?
☁️ㅣ32. Bulan Menerima Awan
☁️ㅣ33. Kebahagiaan Sesaat
☁️ㅣ35. Bukan Hanya Teman
☁️ㅣ36. Tidak Ada Akses
☁️ㅣ37. Kita Harus Bertemu
☁️ㅣ38. Berita Buruk, Lagi
☁️ㅣ39. Plat Nomor yang Sama
☁️ㅣ40. Saat Permohonan Itu
☁️ㅣ41. Hari Beraksi
☁️ㅣ42. Aksinya, Kembali
☁️ㅣ43. Anumus.n Namanya
☁️ㅣ44. Tetap Menerima Hadiah?

☁️ㅣ34. Penyelamatnya Tiba

2.2K 359 96
By AriraLv

Kira-kira Bulan bakalan dijemput Agar gak ya?

Rembulan tak bisa melihat ada apa di depannya karena semuanya buram. Kacamatanya entah ada di mana, yang bisa ia lihat hanyalah benda-benda yang berjarak dekat, maksimal lima puluh sentimeter di hadapannya. Kepalanya kini tertoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba untuk memindai keadaan sekitar. Apalagi saat ini, mulutnya ditutup rapat oleh lakban serta kedua tangannya terikat ke belakang kursi. 

Seingatnya, Rembulan hanya tertidur di perjalanan pulang dengan Agraska. Kenapa saat terbangun, dirinya malah ada di tempat yang tak jelas seperti ini? Bangunan berantakan, kotor, serta banyak sekali barang berdebu yang rusak di sekelilingnya.

Kebingungan Rembulan belum terjawab sama sekali, ketika suara beberapa orang terdengar, semakin lama semakin mendekat sampai tibalah tiga sosok yang Rembulan lihat menghampirinya. 

"Oh, adik cantik udah bangun." Salah satu lelaki dengan beberapa tato di lengan kanan dan kiri itu tersenyum lebar, ia mengangkat dagu Rembulan dan memindai wajahnya. "Cantik banget, mulus begini, rugi kalau gak dicobain." 

"Woy, nunggu ketua dululah!" satu lelaki lain menyahut. "Kita sih, bakalan kebagian sisa." 

Kaki Rembulan jadi gemetar mendengar percakapan serta tawa ketiga lelaki di sana, keringatnya mulai bercucuran, tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana bisa? Siapa mereka, dan kenapa semuanya bisa terjadi begitu saja? Rembulan menyesal mengapa ia harus tidur di mobil tadi, seharusnya ia menemani Agraska.

Tunggu. Agraska di mana? 

Rembulan mengguncang-guncang lengannya, ia juga mencoba berteriak meminta perhatian pada lelaki di hadapannya hingga ia berhasil. 

"Kenapa, cantik?" lelaki itu membuka lakban yang menutupi mulut Rembulan. "Gak akan ada yang bisa nolong kalau teriak, soalnya di sini udah terbengkalai," lanjutnya dan tertawa bersama dua temannya yang lain. 

"Di mana Agraska?!" Rembulan berkata nyaring tanpa ragu meskipun dua belah bibirnya sudah bergetar hebat. "Kalian siapa?!" 

"Agraska cowok yang tadi bukan?" salah satu lelaki di sana bertanya. "Agraska siapa, woy?"

"Iya yang tadi, ketua geng itu mungkin," jawab lelaki lain lalu ia menatap Rembulan. "Kayaknya dia udah dihabisin sama temen gue. Soalnya berontak mulu."

"Mayatnya pasti ada di sungai," lanjut lelaki di samping Rembulan lalu mereka kembali tertawa seolah-olah itu memanglah sebuah candaan yang amat lucu. 

Tubuh Rembulan menegang karena itu, air matanya jadi mengalir deras. Tidak mungkin 'kan? Agraska pasti baik-baik saja, Agraska pasti akan menjemputnya. Agraska tidak semudah itu untuk dikalahkan. 

"Kalian siapa?! Apa salah Agraska?!" Rembulan terisak kencang, mencoba menendang-nendang namun kakinya tetap tak berdaya apalagi dengan kondisi diikat. 

"Gak salah, sih." Lelaki di depan Rembulan terkekeh. "Tapi dia itu target." 

"Target apa?!" Rembulan terus mengalirkan air matanya yang kian mendobrak. Hatinya berdenyut nyeri. 

Bukankah siang sampai sore tadi ia dan Agraska baik-baik saja? Bahkan tertawa, dan mereka baru saja merayakan hari pertama sebagai pasangan. Tidak mungkin keadaan langsung berbalik secepat ini. Pasti semuanya hanya mimpi 'kan?! 

Lelaki dengan lengan bertato itu membungkuk, mencoba menghapus air mata Rembulan namun Rembulan segera mengalihkan pandangannya. Tidak mungkin ia mau disentuh oleh mereka yang tak jelas. 

Mengedikkan pundaknya kesal karena ditolak, lelaki itu berdecih. "Awas aja lo, udah dibawah ketua, pasti lo cuman bisa minta ampun," ujarnya dan lagi-lagi diakhiri tawa puas. 

"Gak sabar deh mau nyicip, si pak ketu lama banget," ujar lelaki lain. 

"Sabar elah, Pak ketu lagi ngambil bayaran tugas." 

Rembulan semakin kencang terisak, menunduk dalam dan menatap hoodie Agraska yang ia kenakan, masih wangi dengan khas Agraska yang menguar. Namun tetap saja itu tak membuatnya tenang, Rembulan takut sekali tapi tak ada cara melarikan diri. Ia hanya bisa berharap, berdoa, dan berteriak meminta tolong dalam hati. 

"Lama banget anjir." Lelaki yang berdiri di hadapan Rembulan itu terduduk, lantas tanpa aba-aba tangannya menyentuh betis Rembulan yang tak terbalut apapun membuat Rembulan memekik kencang. 

"LEPAS! COWOK ANEH, GILA!" Rembulan berteriak frustrasi, menjijikan sekali jika disentuh oleh lelaki asing itu. "JAUH-JAUH, DASAR TIKUS GOT!" 

"Woy?!" lelaki lain terkekeh mendengar teriakan Rembulan yang mengarah pada temannya. "Lo disebut tikus got, El!" 

Lelaki yang menyentuh kaki Rembulan tadi hanya berdecih pelan, ia bangkit lantas menampar keras pipi gadis di hadapannyaa. "Gak usah sok jual mahal. Awas aja lo, ntar gue lahap!" 

Rembulan menangis lagi, sesekali ia berteriak meminta tolong namun hasilnya tetap sama saja. Bahkan saat ini, Rembulan terus mengeluarkan makian karena dua lelaki lain selain yang bertato malah menghampirinya, mengusap-ngusap pipi, menelusuri wajah serta rambutnya. Rembulan benar-benar terkepung, sampai tiba-tiba saja lelaki yang bertato tadi ambruk ke tanah dengan kencang. 

kedua lelaki lain berbalik, melihat seseorang datang membawa beberapa batu di tangan kanan dan kiri. Batu besar yang jika dilemparkan sekuat tenaga, pasti saja pingsan--seperti yang terjadi pada satu teman mereka yang ambruk dengan kepala berdarah. 

"Bajingan-bajingan ini memang tikus got." Suara sosok itu terdengar membuat dua lelaki di sana melangkah maju, tak lupa mengeluarkan sebilah pisau tajam yang mereka bawa. 

"Mati lo! Dua lawan satu."

"Yang nentuin umur bukan manusia!" 

Dua lelaki tadi langsung saja bergerak maju, namun tiba-tiba pandangannya langsung perih karena tanah menyembur mengenai wajah keduanya tanpa peringatan apapun. Lelaki yang melawan mereka menggunakan kesempatan itu untuk menendang, dan memukul hingga keduanya juga terjatuh, ambruk begitu saja dengan kepala masing-masing yang mengeluarkan darah. 

Melihat kedua lawannya telah ia lumpuhkan dengan rencana yang tersusun spontan di kepala, lelaki itu berlari menghampiri sosok gadis yang masih terikat di kursi.

"Ah, gue gak nyangka ini lo, Bulan."

"Alkuna?!" 

"Sssst, jangan berisik." Lelaki itu, lelaki berkacamata yang kini melepas semua ikatan pada Rembulan, segera menggendongnya dan berlari ke arah pintu di ujung. 

Begitu ia buka, ternyata itu adalah pintu darurat untuk tangga menuju lantai tiga gedung yang terbengkalai ini. Alkuna memutuskan untuk masuk, tak lupa ia mengunci pintu dengan rantai yang berkarat di sana. Setelahnya ia langsung menuju ke lantai atas, menyusuri tangga dengan Rembulan yang masih gemetar dalam gendongannya. 

"Alkuna, kita ke mana? Kenapa ke lantai atas?"

Terdiam sejenak, Alkuna mengedarkan pandangan pada lantai tiga gedung. Banyak sekali ruangan yang tertutup dan benar-benar berantakan. Jadinya Alkuna memutuskan untuk masuk ke salah satu ruangan yang pintunya terbuka. Begitu masuk, ia mendudukkan Rembulan di bawah dan mengunci pintu dari dalam. 

"Lo ditahan di lantai dua, di lantai satunya mereka banyakan, pada ngumpul," jawab Akuna. Ia berlutut di hadapan Rembulan, membuka tasnya lalu ia memberikan sebotol air yang masih ada di botol minumnya. "Ada yang sakit, gak?" tanyanya begitu Rembulan menenggak airnya dengan kedua tangan yang masih gemetaran. 

Rembulan menggeleng. "Nggak ada. Makasih Alkuna. Tapi kamu kok bisa ada di sini?" 

Alkuna mengeluarkan ponselnya sejenak, memeriksa pesan yang muncul lalu mematikannya. Ia terduduk, mendekat pada Rembulan dengan posisi mereka yang berhadapan. 

"Gue baru pulang dari perpustakaan sore tadi, di lampu merah, gue lihat ada rambut kejepit di bagasi mobil yang ada di depan motor gue. Jadinya gue ikutin. Gak nyangka ternyata tempatnya sejauh ini, sampe satu jam gue di jalan. Lebih kagetnya, korbannya lo," jelas Alkuna membuat Rembulan menatapnya penuh syukur. 

Ini adalah ketidaksengajaan. Saat Alkuna berhenti di lampu merah dengan langit sudah menggelap menunjukkan pukul delapan malam, ia terkejut dengan rambut yang menjuntai di bagasi mobil. Lantas ia menghubungi polisi untuk melaporkan. Awalnya, Alkuna tidak ingin mengikuti atau ikut campur, hanya saja ada hal yang mengganjal. Sebuah jepit awan yang menggantung di rambutnya adalah hal yang menjadi alasan Alkuna mengikuti mobil itu. 

Saat terus membuntuti hingga menuju ke jalanan sepi, Alkuna menemukan mobil itu terhenti di sebuah gedung besar terbengkalai yang luarnya dihalangi pagar besi. Ia menyelinap masuk, melihat perkumpulan di sana yang tampak menyeramkan, seperti perkumpulan preman. 

Alkuna terus mengendap-ngendap, hingga ia menemukan lantai dua karena teriakan seorang gadis yang ia dengar. Siapa sangka, ia melihat penyekapan terjadi. Beruntung ia sempat membawa tanah dan ia kantongi di saku almamater serta beberapa batu untuk perlawanan. Setidaknya, otaknya masih bekerja. 

"Terus sekarang kita harus apa?" air mata Rembulan mengalir lagi. Betapa leganya ia melihat sosok yang melawan tiga lelaki yang mengepungnya tadi, lantas ia dibawa menjauh untuk melarikan diri. Rembulan benar-benar berterima kasih, takdir membawa Alkuna padanya. 

"Tunggu polisi." Alkuna menjawabnya dengan tenang. "Gue sempet hubungin polisi di jalan, jadi kita tinggal sembunyi dan nunggu keadaan aman aja. Barusan gue dapat kabar, polisi udah mau nyampe." 

Sepuluh menit berlalu, mereka masih mengurung diri di ruangan itu. Hingga tiba-tiba saja suara gebrakan di luar terdengar. Alkuna dan Rembulan berjengit, terkejut apalagi saat teriakan beberapa orang terdengar.

Itu tandanya, polisi belum datang dan mereka sudah ketahuan. 

"Sial." Alkuna melangkah mundur, menyembunyikan Rembulan di belakang tubuhnya. Beruntungnya ruangan yang mereka pakai memang terkunci dari dalam, dan tak ada akses untuk masuk selain pintu itu. "Lemot banget polisi di sini," geram Alkuna lalu memeriksa ponselnya lagi. 

"Alkunaaa."

Alkuna berbalik, telunjuknya disimpan di bibir membuat Rembulan diam. "Percaya sama gue, lo aman," bisiknya. Alkuna mengelus kedua pundak Rembulan untuk menenangkan. "Kita harus bepikir dengan kepala dingin, Bulan. Jangan panik, itu kuncinya." 

Rembulan mengangguk-ngangguk. Begitu Alkuna berbalik membelakanginya lagi, Rembulan hanya bisa meremat pundak lelaki itu menyalurkan cemasnya, menangis dalam diam, dan berusaha tenang saat seseorang menendang-nendang pintu ruangan yang mereka tempati. 

Merasa keadaan sudah tak akan lagi berpihak padanya, Alkuna mengedarkan pandangan ke sekeliling, ia bangkit menuju ke sebuah lemari bekas yang benar-benar kotor di dekat pintu. "Maaf, buat sementara lo di sini dulu gak papa? Lo alergi debu, gak?" tanya Alkuna seraya membuka pintu lemarinya. 

Rembulan menggeleng. "Bulan gak alergi." 

"Bagus." Alkuna segera menggendong Rembulan dan memasukkan gadis itu ke sana. "Lo jangan bilang apa-apa, jangan keluar, jangan teriak. Tungguin gue di sini."

"Alkuna, kamu mau ke mana?" Rembulan menahan pergerakan lelaki itu. "Lemarinya cukup buat dua orang."

"Gak aman kalau begini. Lo tinggal ikutin rencana gue. Kalau gue ketangkap, lo jangan berisik, diam aja. Gue janji, gue pasti datang lagi ke sini."

"Tapi--"

"Gak ada waktu." Alkuna segera menutup pintu lemarinya karena dobrakan semakin menjadi. Ia mengambil tasnya, dan bertepatan dengan itu pintu berhasil didobrak dan terbuka. 

Alkuna mengangkat tangannya begitu berbalik dan melihat dua pisau teracung di hadapan. "Oke, gue nyerah," ucapnya membuat dua orang lelaki di sana segera menahan kedua lengannya. 

"MANA CEWEK TADI?!" teriak salah satu lelaki di depan pintu. 

Alkuna mengedikkan pundak. "Gue suruh sembunyi di ruangan lain. Tapi gue gak tahu dia milih ruangan mana, atau mungkin ... lantai mana," ucapnya dengan seringaian kecil. 

Lelaki yang berteriak tadi berdecih, lantas memerintahkan anak buahnya untuk menyeret Alkuna keluar. 

"Lubangin dua bola matanya! Siapa suruh si bangsat ini sok jadi pahlawan!" teriak lelaki itu yang memutuskan untuk pergi ke lantai empat bersama beberapa anak buahnya, sementara Alkuna diseret ke lantai satu. 

Alkuna saat ini tengah berpikir keras, bagaimana caranya ia melarikan diri? Sungguh, ia baru mengalami hal seperti ini, yang tentu saja membuatnya sempat panik beberapa menit lalu karena berhasil tertangkap. 

Di tengah lamunannya, tiba-tiba langkah semua orang yang membawanya terhenti. Bahkan mereka semua melepaskan cengkeramannya pada Alkuna. 

Mengangkat pandangan, Alkuna melihat beberapa polisi yang sudah melumpuhkan beberapa orang di lantai satu, lantas mereka mengacungkan senjata pada orang-orang di sekitar Alkuna. 

Ada gunanya Alkuna langsung menelepon polisi  saat melihat rambut di bagasi. Setidaknya usahanya itu bisa mempersingkat waktu kedatangan pihak berwajib untuk membantunya.

Mengembuskan napasnya, Alkuna benar-benar lega. "Di lantai atas masih ada, Pak," ujarnya dan segera meniti tangga, kembali naik diikuti beberapa polisi. 

Sementara di dalam lemari, Rembulan memeluk lututnya sendiri, menenggelamkan wajahnya di sana agar ia tak melihat apapun, berharap semuanya mimpi belaka. Setidaknya jika ini memang bukan mimpi, biarkan Alkuna memenuhi janji padanya. 

Rembulan terus menangis tanpa suara, hingga ia berteriak kencang saat pintu lemari terbuka dari luar. 

"Ini gue." Alkuna berlutut, meraih kedua tangan Rembulan yang gemetar. "Gue nepatin janji 'kan?" 

Membuka kedua matanya, Rembulan menangis kencang saat melihat Alkuna ditemani dua polisi di belakangnya. Rembulan segera memeluk lelaki itu, bersyukur Alkuna tak terluka karena dirinya. 

"Ayo, lo mau pulang 'kan?" Alkuna mengangkat tubuh gadis itu dengan mudah, membawa ke dalam gendongan. "Bulan, jangan takut lagi. Ada gue." 

🤗🙏

Lucu banget Kuna Bulan. Tapi ini Agar ke mana ya kira-kira?

Agar selamat gak sih?

Tinggalkan awan untuk chapter berikutnya>

Continue Reading

You'll Also Like

570K 16.3K 13
Pre Order My Sweet Bodyguard Bisa mulai dipesan per hari ini ya, sampai 28 November. Blurb : Reyana, siapa sih yang tidak kenal? Gadis yang digadang...
243 20 1
"Ayah bukan cinta pertama anak perempuan, melainkan luka pertama anak perempuan."~Gevita Anaillya Bhelandra. ____ Gevita Anaillya Bhelandra, gadis bl...
Artic girl By Ara

Teen Fiction

2.9K 375 19
°budayakan memfollow author sebelum membaca° *CERITA INI MURNI DARI KEPALA GUE SENDIRI!* Aqila Selina Pradipta atau yang lebih akrab dipanggil Qila...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.2M 117K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...