Miss Dandelion

By yusufalvaro00

110K 14.9K 1.1K

Setelah mengetahui bahwa dirinya mengandung, Larasati Kirana sangat kebingungan. Ia memang punya kekasih, nam... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Epilog

Tujuh Belas

2.2K 289 11
By yusufalvaro00

Setiap pagi dan sore, selama sekitar dua puluh menitan, Laras akan membantu Suta untuk latihan berjalan.

Pak Abas dibantu Pak Gun membuat campuran semen dan batu koral di taman belakang yang tak seberapa luas itu. Di kiri dan kanannya dipasangi palang besi sepanjang tiga meter. Di sanalah setiap hari Suta akan berjalan selama dua puluh menit.

Kalau pas lagi jengkel sama Laras, dia minta bantuan Pak Gun atau Pak Abas. Kalau lagi adem hatinya Laras boleh membantu.

Tapi seringnya, Suta tidak mengizinkan Laras untuk mendekat saat Suta harus berjalan tertatih- tatih tanpa kruknya.

Hanya saja, sebulan kemudian, pria itu menunjukkan kemajuan. Ketika kontrol ke rumah sakit, fisioterapisnya bilang bahwa Suta tak memerlukan tongkatnya lagi.

Di bulan yang sama juga kehamilan Laras mulai tampak. Perutnya mulai membuncit, tapi belum ada yang mencurigainya di kantor, karena Laras selalu memakai pakaian yang longgar.

Lagi pula, sepengetahuan penghuni kantor, dia memang sudah menikah dan suaminya ada di Bandung. Dan rupanya, lagi- lagi itu jadi bahan nyinyiran dan gunjingan di kantor.

Ada yang bilang sepertinya Laras memang belum menikah. Dia cuma dijadikan simpanan Om- Om senang. Itu adalah pendapat Cynthia yang memang sejak awal tak menyukai kehadiran Laras di Ranjana.

Ada yang bilang pernah melihat Laras jalan dengan seorang pria. "Bisa jadi itu suaminya. Waktu itu dia yang jemput Laras di depan kantor. Orangnya seumuran kita- kita kok." Yunita membela.

"Alah! Gue yakin deh, tuh. Dia pasti hamil di luar nikah! Dan nggak ada suaminya!" cetus Cynthia dengan gaya nyinyirnya itu. "Ke sini cuma mau jebak Pak Suta doang tuh. Berharap mau mungut dia!"

Yunita menggeleng ke arah Fitri. Gadis itu hanya mengangkat bahu.

Sementara Laras sendiri menghadapi situasi itu dengan satu sikap saja; tidak peduli. Toh, dia tidak harus berurusan terlalu sering dengan Cynthia.

Perempuan itu cuma tidak suka dengan kehadiran Laras di Ranjana. Entah apa penyebabnya, Laras pun tak ingin tahu.

Masalah kehamilan ini saja sudah bikin dia kalang kabut. Dokter Rio memberinya akses ke seorang dietitian di Hemera Clinic, sebuah klinik premium yang akan membantu mengatur menu makanan Laras.

"Berat badan Bu Laras turun. Tapi tekanan darah enggak stabil itu. Kurang istirahat juga kayaknya."

Laras cuma menyeringai. Hamil bukan perkara mudah. Setiap malam, dia bergelut dengan sakit pinggang, punggung bagian bawah, sulit tidur karena kepanasan. Walau di kamar Suta AC nya 2 PK.

Kalau masalah makan sih, memang dia kadang nafsu makan ada. Kadang juga tidak nafsu sama sekali. Penginnya minum melulu.

Lagi pula, meski sudah menikah dengan Suta, dia harus menghadapi kehamilan ini sendirian. Tidak bisa bermanja- manja sama suami. Tidak bisa minta pijat. Mana setiap pagi rasa mual itu masih datang.

Belum lagi mesti makan hati kalau Suta kumat galaknya. Belum lagi kalau Elida--- kakak perempuan Suta--- mendadak mampir dan selalu menatap Laras seolah dia adalah bakteri yang mesti disingkirkan.

Dan kalau Elida datang, biasanya Cynthia langsung mendekati untuk cari muka dengan menjelek- jelekkan Laras.

Saat mood nya sedang baik- baik saja, biasanya Laras bisa menghadapi penghinaan mereka dengan tabah. Tapi namanya ibu hamil, ya, kadang- kadang juga bisa lepas kendali lantaran hormon yang meledak- ledak. Kalau sudah begitu, demi menghormati Suta, dia lebih memilih buat mengalah.

Karena tekanan batin yang terus terakumulasi itulah, Laras pingsan di kantor.

Saat itu, Suta sedang mengecek store yang ada di Bogor bersama Elida Syahid dan Linda. Di kantor hanya ada Dhea dan beberapa anak buyer. Termasuk Davinsha yang saat itu baru saja pulang dari Solo.

"Ke rumah sakit ya? Lo pucet banget itu!" Dhea yang biasanya kalem, saat itu tampak cemas.

"Udah bawa aja sih. Dekat sini kan ada rumah sakit tuh,"

"Rumah sakit saya biasanya ada di Jakpus!" Laras memberitahu sambil mengernyit menahan rasa nyeri di perut bawah yang tiba- tiba muncul.

Davinsha melirik ke arah Dhea. "Cabut sekarang deh!" Davinsha dan Dhea membantu Laras untuk bangkit, ia menelepon bagian kesehatan untuk meminta diantarkan kursi roda.

***

Hardjoeroekmono ramai sekali siang itu. Laras  sudah menanyakan apakah dokter Rio ada di tempat. Untungnya, hari ini beliau sampai jam  dua.

Mengantrelah Laras di depan ruangan dokter Rio. Davinsha sedang pergi ke kantin rumah sakit untuk mencari sesuatu yang bisa di makan. Laras hanya ditemani Dhea.

Antrean tinggal tiga orang lagi.

Dua kolegannya itu sempat bengong begitu Laras mengaku bahwa dirinya tengah mengandung. Dia tak ragu mempercayai keduanya. "Jadi, sebenarnya elo..."

"Ya.... "Laras mendesah pasrah. Dia sudah tak sanggup untuk berpikir. "Waktu nikah, saya udah hamil sekitar tiga bulanan, Mbak. "

"Terus elo betulan dinikahin sama ortu di kampung?"

Laras menjawab dengan anggukan lemah. Dia tidak berbohong dalam hal ini. Orangtuanya memang menikahkannya dengan Suta.

"Gimana perasaan lo waktu tahu kalo lo hamil?"

"Takut tentu aja, Mbak. Apalagi waktu itu saya sendirian di Jakarta. Nggak tahu harus gimana. Mau jujur sama orangtua aja maju mundur juga. "

Dhea menatapnya dengan pandangan miris. Laras sebetulnya orang baik. Dia juga bukan tipikal perempuan yang keganjenan. Sikap ramahnya pada semua orang tanpa terkecuali membuatnya banyak disenangi. Terlebih sama orang pantri atau bahkan sekuriti.

Laras tak pernah membentak Mbak Dartik atau Anis, pramubakti kantor kalau pesanannya keliru. Tidak seperti Cynthia yang suka membentak bahkan memaki, atau Fitri yang kerap menampilkan wajah kecut bila Anis salah membelikan kopi pesanannya.

Singkatnya, Laras sangat pantas disukai. Layak diajak berteman. Hanya saja, satu yang masih mengganjal di kepala Dhea. Mengapa perlakuan Suta pada Laras terkesan istimewa di matanya? Walau seringnya Suta berbicara dalam nada tinggi, namun Dhea selalu menangkap nada perhatian tersisip di dalamnya.

Saat nama Laras dipanggil suster, Dhea menunggu di kursi tunggu seorang diri. Lalu seseorang menghamprinya.

Tanpa permisi, sosok yang adalah seorang pria dalam balutan jas dokter itu berdiri canggung di hadapannya. Sementara Dhea membuang muka ke arah lain.

"Dhea? " Pria itu berujar kaget. Dhea pun tak kalah kagetnya.

Yang sedang berdiri di hadapannya saat itu adalah seseorang yang berasal dari masa lalunya. Seseorang yang ingin sekali Dhea lupakan karena pernah memberikan mimpi buruk bagi Dhea.

"Ya?"

"Kamu Aradhea, kan?"

"Yep?" kali ini kerut- kerut samar muncul di dahi Dhea. "Kenapa?"

"Kamu.... nggak ingat saya?"

Dhea mengamati pria itu dengan lekat. Tentu saja ia masih ingat. Tapi ia memang menyetel wajahnya supaya kelihatan clueless di depan pria itu.

"Aku Ethan. Dulu.... aku sekelas sama Rania."

"Iya,"

"Kamu.... lagi periksa sama dokter Rio?"

"Iya."

Pria itu mengangguk. Tapi wajahnya kelihatan amat sangat kebingungan. "Aku juga obgyn...."

"Oh," gumam Dhea acuh tak acuh. "Aku nggak tahu. Tapi aku udah nyaman banget sama dokter Rio. Temenku yang rekomendasiin dia. "

Giliran muka pria itu yang clueless.

***

Laras hanya diam saja ketika dokter Rio mengatakan hal yang sama pada setiap kunjungannya agar Laras menjaga kesehatan kandungannya.

"Kehamilan, entah itu dikehendaki atau tidak, merupakan sebuah anugerah. Sayangnya, anugerah ini kan nggak bisa diprediksi kapan datangnya. " Cara dokter Rio menatapnya, sama seperti seorang ayah yang menatap anak gadisnya.

Hal itulah yang membuat Laras nyaman setiap berkonsultasi atau setiap kontrol kehamilan. Dokter itu berwajah tampan dan bersih. Berkulit putih dengan tubuh ramping yang masih kelihatan fit. Usianya mendekati kepala empat. Laras tak tahu, apakah dia masih beristri, sudah beristri atau belum beristri.

Dokter Rio tak pernah menyinggung hal itu. Ketika mendatangi praktik pribadinya pun Laras tak melihat siapa pun kecuali suster Evi dan beberapa staf lain yang berjumlah tiga orang.

"Saya tahu kondisi Bu Laras. Saya pun nggak punya hak untuk menghakimi atau mencampuri urusan Bu Laras. Saya hanya membantu supaya Bu Laras dapat melewati kehamilan ini dengan nyaman. Bu Laras sepatutnya bersyukur karena janin dalam kandungan ibu masih memutuskan untuk bertahan. Dia memang bandel. Apa seperti ayahnya?"

Laras tercenung memikirkan pertanyaan itu. Ingatannya kembali melayang pada sosok yang menyebabkan jabang bayi dalam rahimnya itu ada.

Pria tampan dan berkuasa. Kalau saja Laras mengambil pilihan itu, yaitu untuk tetap bertahan di sisi Gatra, apakah keadaanya akan lebih baik?

Gatra Wibisana Senoadji memang tak bisa ditolak. Tapi bukan berarti Laras mau melakukan kesalahan itu dengan sukarela.

Segalanya terjadi begitu saja tanpa Laras sadari. Awalnya, hanya perhatian - perhatian kecil yang pria itu tunjukkan padanya. Lalu beralih ke hadiah- hadiah setiap kali pulang dari kunjungan ke luar negeri. Kemudian, mereka dekat dan Gatra kerap mengeluhkan keadaan rumah tangganya yang kacau balau.

"Saya menyesal memetik bintang di langit. " Ujar Gatra waktu itu. Ketika keduanya mampir ke kafe sepulang kerja. Kafe itu berada di Tangerang.

"Rupanya, meski sudah dalam genggaman, saya nggak mampu bertahan dengan sinarnya."

Laras hanya setia mendengarkan obrolan ngalor- ngidul itu tanpa menyela sedikitpun. Hal itulah yang membuat Gatra betah bersamanya.

Dari betah, Gatra merasa tergantung pada Laras. Hingga setiap main golf, Gatra selalu membawa perempuan itu. Di depan para teman main golfnya, Gatra memperlakukan Laras sewajarnya. Tetapi, teman- teman Gatra pun juga memperlakukan Laras dengan baik dan sopan.

Mereka menyukai Laras yang ramah  dan selalu mendengarkan apa pun curhatan mereka tanpa menyela. Setiap ada yang mengatakan tertarik padanya, Laras mengaku sudah punya tunangan yang kerja di BUMN. Hal ini merujuk pada Satria.

Walau banyak juga yang melecehkan Laras secara verbal, karena melihat bodi perempuan itu yang padat, sintal dan berlekuk. Tapi Laras tetap bisa menolak mereka dengan elegan.

Terakhir, ketika menemani Gatra main golf di PIK, pria itu mengaku harus mengambil sesuatu dari apartemennya.

Gatra memang punya rumah di Lebak Bulus serta apartemen di STC. Rumahnya ia tinggali bersama sang istri. Sementara apartemen itu.... mengingatnya saja, hingga kini Laras merasa amat jengah dan sesak.

Sore itu hujan deras, sementara mereka masuk ke unit milik Gatra di lantai sembilan. Di luar, hujan mendadak turun dengan derasnya. Laras duduk diam di sofa ruang tamu apartemen berkamar tiga yang luar biasa mewah itu.

Karena kebanyakan minum ocha dingin saat main golf tadi, Laras pamit ke kamar mandi. Gatra memaksanya untuk memakai kamar mandi dalam. Namun Laras menolak.

Cukup lama Laras  berada di kamar mandi. Ketika ke luar, rupanya Gatra telah menunggu di dekat balkon. "Sebentar lagi, kamu saya antar pulang."

"Nggak perlu, Pak. Terimakasih. Saya bisa pesan taksi online. "

"Jangan, Laras." Saat itulah Gatra mendekatinya dari belakang. "Mulai sekarang, saya nggak akan biarkan kamu pergi sendirian. Apalagi pakai taksi online."

Berada sedemikian dekat dengan pria setampan Gatra Wibisana Senoadji, bukanlah perkara gampang. Pria itu sungguh menawan. Wajahnya tampan dan bersih seperti dalam cerita- cerita pangeran Jawa yang dulu pernah didongengkan oleh Mbah Uti, nenek Laras. Perawakan yang jangkung, atletis dan gagah, serta aroma yang memabukkan.

Saat benak Laras tenggelam dalam kisah pangeran yang didengungkan Mbah Uti setiap ia hendak tidur, tangan Gatra sudah meraih dagunya. Menariknya supaya menengadah. Laras terbius dengan ketampanan khas pangeran itu. Lama Gatra menatapnya, seolah meminta izin untuk melakukan sesuatu yang lebih intim, kemudian bibir pria itu yang kemerahan, sudah berada di bibir Laras. Melumat. Memagut. Sementara tangannya berkelana ke bagian- bagian tubuhnya yang lain. Membelai.  Meremas.

Laras tidak mendengarkan apa pun kecuali ketika Gatra menggumamkan, "Kamar saya, Laras...." dengan suara parau.

***



Continue Reading

You'll Also Like

3.8K 131 21
Life long friends find love amid tragedy.
100K 3.1K 75
When I woke up, I became the Demon King!? It's my responsibility as the Demon King to increase the monster population, and the only way to do that is...
681K 23.9K 33
Harry may be half-Veela, but there was no such thing as a destined mate. If somebody wanted him, they would have to prove their worthiness. And Draco...
196K 6.3K 26
aspen d'angelo is set to appear as a special guest on billie eilish's upcoming 'happier than ever' world tour. what will happen when their management...