Boboiboy x Reader | Alternate...

By Goldilocks95

12.7K 2.2K 1K

Aku terjebak dalam putaran waktu melawan Nebula. Aku mengulagi dan mengulangi. Tapi aku tidak kunjung menang... More

Prolog
- 01
- 02
- 03
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
Epilog
Xtra

- 17

328 74 35
By Goldilocks95

Pemandangan ini janggal. Sosok cewek pongah berkepribadian angkuh, mau menang sendiri, percaya dirinya setinggi Eiffel, dan mukanya menyebalkan menatapku tak suka. Sejujurnya dia cantik. Dahinya tertutup oleh anak rambut—poni yang tak beraturan, dan berakhir di bawah alis, matanya mengantuk entah karena ia sedang meremehkan aku atau memang begitulah konstruksi wajahnya, pupilnya mengkilap dan besar, hidungnya panjang, bibirnya merah muda, seperti manusia pada umumnya. Bulu matanya lentik, panjang, dan bengkok ke atas, seperti hasil cangkok. Tatapannya sayu, penuh arti, dan terasa menjengkelkan luar biasa.

Ia berpakaian seperti selayaknya agen TAPOPS yang dilepaskerjakan. Tak muluk-muluk. Tapi karena tubuh cewek itu ramping, dia jadi kelihatan trendi. Dia juga mengenakan sepatu modis berupa heels yang di bagian belakangnya, dililitkan pita sampai ke setengah lutut. Aku tahu dimana ia membelinya, berapa sizenya, dan kenapa lanyardnya agak kendur. Aku tahu segalanya mengenai si cewek. Aku tahu mengapa ia mencatok rambutnya curly, aku tahu kenapa ia mempadupadankan celana cutbray dan mantel panjang, serta memakai baret seperti pelukis Paris. Aku tahu selera fashionnya.

Sejauh pengamatanku, aku memiliki kesemua pakaian beserta perintilan yang digunakannya.

Dia juga memerhatikan aku, menyelidiki aku seperti polisi memindai penampilan pencuri ayam. Dagunya terkatup. Ia tak jadi berkomentar. 

"Wow." Setelah lima belas menit melamuni aku, menatapku sambil menilai, dia akhirnya angkat bicara. Tangannya diletakkannya di dagu, dan ia menggeleng-gelengkan kepala. "This plain cotton gauze pants, ai nggak kebayang jadinya bakal bagus banget kalo dipasangkan dengan atasan sailor vest. Lulumary emang oke banget!"

Aku menarik kesimpulan, cewek itu agak sinting, atau memang amat sinting. Sebab saat ia datang kemari dengan kepentingan hendak ikut-serta ke jejeran tentara galaktik, (Nama) Dunia Lain malah berkomentar soal fashion di tubuhku.

Aku menarik senyum, "Benar, 'kan?! Nggak heran Paris jadi pusat fashion dunia! Mana beli-belian di PFShops tuh harganya udah exclude pajak. Delivnya bisa pake chronopost pula."

(Nama) Dunia Lain menunjuk-nunjuk wajahku, penuh semangat, "Right, Girl. You asik banget. You bakal ai temenin."

Namun ekspresiku berubah. Aku maju, dan membisikkan beberapa hal ke telinganya (Nama) Dunia Lain, "I know you're such a woman if cult. But lemme know, you beneran udah kawin?"

(Nama) Dunia Lain sontak mundur, dan ia kelihatan gelagapan, "I-iya."

"Dengan Boboiboy? Orang yang you cacimaki padahal udah jadi mayat?" Aku mengerutkan dahi. "Nggak ada cowok lain? Kaizo misalnya? Empat puluh tiga mantan you? Cowok di kampus you? Cowok di tongkrongan dugem you? Cowok yang katanya ngantri buat kenalan sama you? Or else?" Aku meminta kejelasan. Sepeti kata LoopBot, Boboiboy tidak buta di timeline lain, dan artinya (Nama) Dunia Lain tidak perlu bertanggungjawab. Tapi kenapa mereka ...

Aku heran. Boboiboy orangnya manis sekali, kayak gula, bahkan lebih. Sepengetahuanku, aku seorang berandal kelas kakap. Tapi ... aku bisa berkenalan dengan siapa saja di H Club hanya dengan duduk dan nyetor komuk ke depan podium Disc Jockey. Aku pandai bertutur-kata, prosa manis di lidahku bagaikan silat lidah interaktif; aku mampu kenal, dekat, dan pacaran dalam waktu singkat. Karena aku mudah beradaptasi, menyesuaikan diri. Aku punya banyak pilihan. Tapi kenapa, di antara banyaknya pilihan-pilihan itu, aku berakhir menikahi mantan mayat di Rimbara? Terdengar tidak masuk akal. Sebab aku dan anaknya Pak Amato terlalu berbeda.

Aku menginajinasikan apabila aku dan Boboiboy kenal sejak dulu, dan kami bekerja berdamping-dampingan selayaknya tim. Aku menebak, hubungan kami akan kaku. Aku tak mendiskriminasi siapapun dalam pertemanan, tapi aku hanya bicara pada seseorang yang mengerti. Kurasa aku bakalan lebih sering menempel dengan Sai ketimbang Boboiboy. Meskipun bermuka jutek dan kadang menyebalkan, Sai tak punya gagasan-gagasan superhero berasas keadilan di otaknya. Sungguh. Boboiboy kelewat polos, pahlawanisme dalam dirinya terlampau tinggi, dan aku tak menyukainya.

"Gapapa." (Nama) Dunia Lain mengangkat bahu. "Nggak ada alasan terkhusus. Tapi dia ganteng."

Aku tahu (Nama) Dunia Lain menjeda begitu lama ucapannya karena ia ragu. Ia sedang berbohong dan menutup-nutupi sesuatu dariku. Aku tahu sikap-sikap kecilnya karena dia itu diriku, namun versi sudah jadi istri orang!

"Permisi." Seseorang datang dari arah pintu masuk. Aku dan (Nama) Dunia Lain kontan menoleh.

"Oh! Ini Sayangku." (Nama) Dunia Lain memekik. "Angin."

Angin datang dengan tongkatnya. Ia bergerak agak lambat ketika ia berada satu meter dariku. Aroma tubuhku, dan wangi parfumku sama persis dengan (Nama) Dunia Lain. Angin bingung di sisi mana ia mesti berdiri.

Tapi secara kurang ajarnya, (Nama) Dunia Lain menarik Angin ke sisinya, dan berceloteh, "Aish, Angin. Kamu imut banget! Kamu mirip Beliung—wait, kamu emang Beliung, sih. (Nama) itu berbuat apa? Kok kamu jadi kembali ke tahap satu, sih?!"

Dan (Nama) Dunia Lain tidak berhenti mengoceh, sambil memeluk Angin, "Kamu kelihatan lebih kurus. Kamu enggak dikasih makan? Atau gimana? Aku udah denger dari (Nama) itu, mengenai kenapa kebutaanmu bisa ... terjadi. I feel so sorry."

(Nama) Dunia Lain mengelus pundak Angin.

"Laksamana ... kamu wangi banget." Lagi-lagi, Boboiboy berkata begitu.

"Laksamana? Did you just manggil ai 'Laksamana'? For real? Panggil aku 'Sayang', Angin. I'm your belahan jiwa afterall." (Nama) Dunia Lain terkikik. "Atau, kamu boleh panggil aku 'Bubu', its kinda weird, but kedengerannya asik. Pokoknya you nggak boleh nyebut-nyebut ai 'Laksamana' lagi."

"Hey, Jablay." Aku menuntut. "Ini bukan suami kamu."

Aku menarik Angin dari genggaman tangannya.

(Nama) Dunia Lain berkacak pinggang, "Dia itu kan, Boboiboy. Cuma beda timeline doang."

"Onde Mande, nggak begitu konsepnya!" Aku menaikkan oktaf. "Urus Boboiboymu sendiri."

(Nama) Dunia Lain mengibaskan rambut sensasionalnya sambil memejamkan mata, "Dia Boboiboy."

Aku menyembunyikan Angin di belakang tubuhku, tak membiarkannya berada ke jangkauan (Nama) Dunia Lain.

"Lagian you nggak becus banget." Suaranya berubah datar. (Nama) Dunia Lain mengajakku berbincang lebih serius. "You disuruh menyambut Nebula, tapi you malah enggan pergi. Bukannya meskipun itu misi bunuh diri, you seharusnya tetap menyanggupi? You and I, we both are superhero. Agen TAPOPS. Seseorang yang semestinya berkorban. Kenapa you justru mangkir?"

Ucapannya menyentuh—menamparku tepat di muka. Aku malu untuk menatapnya, karena aku tak punya cara untuk berargumen. (Nama) Dunia Lain itu pergi melawan Nebula tanpa LoopBot. Dia punya kesempatan untuk menolak, tapi dia tidak kabur, dia tetap menjalani misinya meskipun berakhir kalah. See? Kekalahannya menyelamatkan seseorang. Akibat dari keberaniannya, Boboiboy di timelinenya tidak bertemu Nebula, dan tidak buta. Ini bukan mengenai Boboiboy, melainkan soal ... betapa pecundangnya aku di timeline ini.

-

"Wah ..." Aku mendengar Rimba Dunia Lain terperangah. Dia Rimba, tahap tiga dari Daun, tapi yang berasal dari robekan waktu. Aku tak terbiasa menyikapi keberadaan banyak Boboiboy di satu waktu, aku jadinya menunjukkan sikap intoleran dengan terkejut sampai cegukan.

"Dimana pun kamu, kamu tetap cantik ya, (Nama)." Rimba Dunia Lain tidak berusaha memperoleh atensiku. Dia memang nakal, suka buat onar, dan pecicilan. Tapi dia bukan laki-laki yang akan menggoda kloningan istrinya di saat-saat genting, di tengah rapat. Dia murni terpukau, dan karena mulutnya tidak punya saringan, makanya ia menyatakan keterpanaannya blak-blakkan.

Aku berdiri tegak, berdiri di samping Laksamana Tarung. Aku menoleh pada Rimba Dunia Lain di belakangku, mataku menguncinya dalam pandangan.

"Aku tidak tahu kenapa bisa ada robekan waktu. Tapi mari lihat sisi baiknya, kita punya sumber daya lebih banyak untuk memusnahkan Nebula," Sedangkan Kokoci masih berceramah di mimbar. Aku tak begitu mendengarkan orasinya sejak tiga puluh menit belakangan, karena aku mendadak bosan. Aku hanya menunggu Kokoci untuk mempublikasikan guideline misinya padaku.

Aku menautkan tangan di belakang punggung sedari awal. Aku menggerak-gerakkan telunjukku, mengisyaratkan Rimba Dunia Lain untuk mendekat. Aku berminat mengisenginya.

Rimba Dunia Lain menurut, seperti dugaanku. Rimba Dunia Lain jadi pergi ke arahku, dan berakhir berdiri dua jengkal di belakangku.

Ini rasanya asing sekali. Rimba memuji penampilanku, meskipun pelakunya Rimba dari Dunia lain. Aku tak bisa mengimajinasikan aku diapresiasi secara visual oleh Boboiboy, karena di timeline ini, dia buta total. Ada rasa kecewa yang membelenggu kewarasanku. Rasa bersalah.

Andai aku tetap pergi melawan Nebula, Boboiboy tidak akan kehilangan pengelihatannya, dan dia bisa ... melihat aku.

"Rimba," Aku berbisik, pada si menggemaskan ini, "Kamu lucu."

Tanganku terjulur untuk mencubit pipi Rimba Dunia Lain, sambil terkekeh gemas. Suami orang ini lucu bener! Aku pengen bawa pulang! Mumpung (Nama) Dunia Lain sibuk memerhatikan pidato proklamasinya Komander Kokoci, aku mencubit pipi Rimba begitu lama.

"Laksamana." Aku dipanggil. Aku segera melapas cubitanku dari pipinya Rimba Dunia Lain, dan memergoki Daun berpartisipasi ke obrolan ringanku.

Aku mengedarkan pandang. Di ruangan ini, cuma ada marsekal lapangan. Pak Amato, Ramenman dan Papi tidak ada. Mereka berdiskusi di ruangan lain, membahas tatalaksana mobilisasi tentara galaktik. Mereka menyikapi adanya (Nama) dan Boboiboy Dunia Lain dengan cara yang oportunis; mereka memanfaatkannya, dan cenderung mengeksploitasi. Pak Amato sempat menginterogasi Boboiboy dari robekan waktu sedangkan aku berbincang pada (Nama) Dunia Lain. Segera setelah pembicaraannya selesai, Komander Kokoci segera menghubungiku, mengundangku ke rapat intern.

"Kenapa, Daun?" Tanyaku.

"Boleh anterin aku keluar?" Daun meminta.

Seperti pembina pramuka yang baik hati dan dermawan, aku berbesar hati untuk mengiyakannya, "Iya, Daun."

"Aku pergi dulu." Aku melirik kepada Rimba sebentar, dan izin ke toilet. Dari ekor mataku, aku menyaksikan Rimba mendadah. Lucu.

Komander Kokoci tidak mempermasalahkan aku ikut dengan Boboiboy. Dia beranggapan, Boboiboy perlu dituntun—bagaimana pun, kebutaannya juga menjadi privilege baginya.

"Mau ke toilet?" Aku menerka.

"Bukan." Daun berjalan lebih dulu. "Aku cuman mau bilang,"

"Apa?"

Daun berhenti di tengah jalan, dan ia membalikkan badan, "Aku bicara dengan Papi kamu."

Mataku menyipit dan aku menyilang tangan, "Wah. Kamu kebelet pengen kawinin aku ya, Boboiboy? Aku jadi malu."

Malahan Daun yang salah tingkah. Pipinya memerah sempurna dan ia menunduk, "Aku ..."

"Aku apa?"

"Itu," Daun menggertakkan gigi, "Aku Duri,"

"Yang benar saja?" Aku memegang pundaknya. "Sejak kapan?"

"Kata Ayah," Duri mengawali ucapannya dengan mengatasnamakan Amato sebagai perisai. Dia senang sekali mengutip kata-kata orang, eh? Kupikir dia juga sungguh menurut pada Tuan Guru Gaharum, dan selalu mengingat pepatah kolotnya. "Aku wajib menjadi kuat, supaya kamu mau dinikahi. Aku janji, aku akan ... mencapai tahap tiga ... supaya kamu bisa ... mencubit pipiku juga."

Aku menunjuk ke batang hidungnya dengan narisistik penuh, "Kamu cemburu, ya?"

Aku lalu tertawa singkat ketika Duri meresponnya dengan membisu bak patung, "Tadi kamu mau bilang apa? Apa kata Papi? Kamu minta restu?"

"Papi kamu orangnya baik." Duri mengulum senyum. "Papi kamu bilang dia bersimpati atas apa yang terjadi padaku. Tapi Papi kamu juga khawatir, aku enggak bisa menjaga kamu. (Nama). Aku nggak bisa lihat. Papi kamu jadi ragu."

Senyumku surut. Apa Papi belum tahu? Anaknya Amato begini karena aku?

"Terus, gimana?" Aku menyuruh Duri mencari resolusi. "Emangnya kamu enggak ngasih pembelaan, gitu?"

"Papi kamu cuma diam." Duri menghela napas. "Tapi Papi kamu ada benarnya. Aku ... buta, (Nama). Aku enggak bisa jaga kamu. Kayaknya di timeline ini, aku nggak bisa melamar kamu."

"Aduh." Aku mengelus kepalaku. "Kamu ini bikin repot aja."

Setelah berpusing-pusing ria, aku menggamit tangannya Duri, dan menyeretnya pergi.

"Di markas TAPOPS, ada (Nama) dan Boboiboy dari robekan waktu. Kepergian kita tidak akan mengacaukan rentetan misinya Komander Kokoci." Aku menimbang. "Mereka bilang mereka kehilangan jejak Nebula saat Solar Dunia Lain mencuri jam kuasanya (Nama) Dunia Lain, untuk menciptakan gamma buatan yang terpenetrasi fusi nuklir matahari. Artinya apa, Duri? Betul. Mereka bisa mengatasi Nebula. Mereka memiliki jawaban atas Nebula; Solar, dan meriamnya Mechabot. Sangat aman untuk meninggalkan (Nama) dan Boboiboy Dunia Lain menhandle tugas kita sebentar."

"Memangnya kita mau kemana?" Tanya Duri.

"Pake nanya!" Aku memekik. "Atau kamu mau di sini aja, heh? Waktu aku mengobrol dengan (Nama) Dunia Lain, Angin datang ke ruanganku untuk mengabarkan rapat dari Komander Kokoci. Si brengsek (Nama) Dunia Lain titisan setan langsung menarik Angin ke pelukannya ketika Angin menumpang lewat. Dia memang kurang ajar. Mana pula, Angin tak melawan. Angin malah senyam-senyum karena dipeluk (Nama) Dunia Lain. Bukankah bajingan? Mereka mesra-mesraan di depanku. Ataukah kamu juga lebih suka (Nama) Dunia Lain? Karena ia lebih frontal sebab ia merasa, kamu suaminya di timelinenya sendiri? Kamu enggak mau pergi bareng aku, Duri? Maunya sama (Nama) itu, ya?"

Meskipun aku dan (Nama) Dunia Lain ialah satu orang yang sama, dan cara kami bertingkah laku betulan identik, tapi (Nama) Dunia Lain jauh lebih sembarangan dalam memperlakukan Boboiboy. Dia dibentuk dari lingkungan dimana Boboiboy telah menjadi suaminya. Sedangkan aku tidak. Aku masihlah menjaga jarak, canggung, dan terlihat kaku. Aku hanya menggoda Boboiboy karena iseng, dan gemas, dan aku dijerat rasa bersalah bertubi-tubi.

Tak heran apabila Boboiboy di timelineku sendiri lebih menyukai (Nama) dari robekan waktu, si bangsat kecentilan itu.

"Tapi aku sukanya kamu, Laksamana. Walaupun wangi kalian sama banget. Aku enggak bisa membedakan kalian." Duri mengaku. Tentu saja. Secara fisik, aku dan (Nama) Dunia Lain tidak ada bedanya; merek parfum dan sabun mandi kami juga sama. Aroma kami tentulah sama.

Duri memegang pergelangan tanganku dan berkomentar, "Lingkar tangan kamu lebih kecil dari (Nama) satunya, kamu kurus. Nada bicara kamu juga lebih serius ketimbang (Nama) satunya. Kamu seperti dibentuk dari kekalahan ratusan kali, dan itu menjadikan kamu kedengaran lebih dewasa kalau bicara. Kamu berani banget. Kamu berani cerita ke Ayah, kalau kamulah yang menyebabkan kebutaan aku. Kamu enggak lari dari masalah."

Dia menyadari hal-hal kecil yang bahkan terlewat oleh diriku sendiri. Aku memang merasa (Nama) Dunia Lain lebih tengil. Tapi aku tak menduga, perbedaan kami terbentang sebesar ini bagi Duri.

"Enggak pernah ada yang suka kalau aku memelihara ayam. Termasuk Bunda. Tuan Guru Gaharum. Atau keluarga Cendawa lain. Tapi kamu mau jadi mamanya Alodia." Duri mengutarakan penyataan yang menghancurkan melodi indah dari percakapan ini. "Kamu baik banget, Laksamana! Kita kawin lari aja, yuk! Kata Ayah, kalau Pak Pian enggak setuju, aku boleh bawa kamu pergi buat diajak kawin lari. Soalnya kata Ayah, setelah menikah, aku baru boleh meniduri kamu."

Nggak tahu kenapa, aku dejavu.

-

Continue Reading

You'll Also Like

7K 965 8
Bermula dari seorang miya chinen yang menginap di rumah sahabat dari ibunya Lalu bertemu dengan (name) selaku putri dari y/m Apa yang membuat miya b...
2.7K 341 4
"Hey, want to hear the story of your father and mother's adventures?" !WARN! - Boboiboy © Monsta. - Jadwal Update menyesuaikan. - Typo merajalela...
369K 38.6K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...