The Book of Love and Wander

By Atikribo

862 88 100

Pernah suatu kala, rakyat Kerajaan Elatian tak ada yang bisa bicara. Tiga dekade lamanya. Tutur Hira sang Jan... More

Halo
Luan
Those Who Lost Their Voice
Tank Who Loves
Lonely Heaven

To Fall, To Fly

46 5 0
By Atikribo

PERTANYAAN ITU terlontar tanpa pikir panjang. Manik birunya membulat lebar; rasa takut dan penasaran sekelibat tampak ketika seekor gagak bertengger di teralis teras apartemennya; mengamati perempuan itu lebih dekat dan dalam diam. Claire bertanya, kenapa dia datang menghampirinya. Kemudian, ia menunjuk tempat pakan burung, namun burung hitam itu kerap bergeming.

"Jawablah aku, wahai gagak," ucap perempuan itu datar, "bagaimana rasanya terbang?"

Menelengkan kepala, si gagak kemudian mengepakkan sayap mendekati si perempuan. "Akan kutunjukkan," jawab sang gagak, membuat si perempuan terbelalak.

Mengepakkan sayap, terdengar gemertak tulang seiring tubuhnya membesar. Sayap legamnya melengkung. Sang gagak membusungkan bulunya, menutupi si perempuan berambut jingga dengan bayang-bayang yang memanjang hingga dinding; menutupi separuh balkon. Kepala sang gagak menunduk dengan paruh besar yang sama hitamnya seolah siap melahap. Matanya memantulkan sosok Claire yang meringkuk ngeri.

Sang gagak tahu, bagaimana hari-hari perempuan itu berlalu. Dia melihat semuanya, dari kejauhan, tanpa berkoak menunjukkan keberadaan. Sang gagak mengamati apartemen kecil berbalkon asri, penuh bunga dan sayuran hidroponik. Setiap pagi, Claire menyapa mereka dengan senyum secerah mentari lalu menuangkan pakan burung ke wadahnya, mengamati para avían bercuit gembira dari balik jendela sembari melahap setangkap roti dan secangkir kopi.

Berangkat kerja, dia mengenakan rok sepanjang lutut dan kardigan; sesekali menggunakan boots atau sepatu flat, tergantung cuaca kota dengan tas lebar tersampir di bahu. Dagunya tinggi ketika ia pergi, namun tak jarang ia pulang dengan wajah tertunduk. Hari-hari di kantor tidak semenyenangkan biasanya; tak dihargai, dianggap bagaikan remah-remah roti. Sang gagak tahu, hati perempuan itu menciut pilu. Koleganya menyarankan untuk berhenti, namun Claire tentu tak enak hati.

Kian hari wajah si perempuan kian kuyu. Semangatnya bak mentari senja, tak lagi berpendar dan balkon kecilnya pun mulai menguning. Alih-alih melihat para burung sembari minum kopi, Claire kini menghalangi mentari memasuki kamarnya. Kebetulan saja, si perempuan duduk di teras yang kini penuh debu, dengan semangat meredam dan wajah lesu. Kebetulan saja, perempuan itu tengah melihat jauh ke bawah dari balkon. Orang-orang tampak bagaikan butiran pasir, riuh kota dan manusia di bawah sana seolah mengundangnya mendekat. Seolah memanggil, seolah menanti.

Alih-alih, sang gagaklah yang menanti.

Kepalanya menunduk dan paruh besarnya terkatup. Hening penuh keraguan mengisi udara di antara mereka. Merasakan ketakutan si perempuan, sang gagak mendekatinya, membiarkan tangan kecil si perempuan menyentuh kepalanya hingga gemetarnya tak lagi terasa. Claire kemudian melompat, menunggang dan mencengkram punggung sang gagak.

"Pegang erat," ujar burung berbulu selegam obsidian itu.

Lantas sang gagak mengepakkan sayapnya, membawa si perempuan pergi tinggi; menghadapi pemandangan kota yang tampak bak maket mahasiswa arsitektur. Claire yang awalnya memejamkan mata erat kini membukanya; menghadapi lanskap dari atas langit. Permukiman padat penduduk, distrik bisnis, hutan kota hingga aliran sungai membuatnya terpana sekaligus mencelos.

Oh, betapa kecil dirinya dibandingkan dengan kota; bahkan alam semesta. Dia mungkin salah membandingkan orang-orang dari atas apartemen dengan sebutir pasir. Pemandangan ini baru lebih tepat untuk disebut butiran pasir.

Biru langit berubah jingga, terpaan udara mengeringkan air mata. Sang gagak membawanya ke tempat yang tidak asing. Entah mereka yang mengecil atau jendelanya memang besar, dirinya yang belum dewasa tampak di balik sana bersama ibunya yang tampak senang melihat tumbuh kembang sang putri. Tangannya tak selebar sehelai daun; menggenggam batangan balok yang hendak ia susun menjadi menara.

Entah bagaimana Claire bisa mengingatnya. Itu kali pertama ia ingin membuat bangunan setinggi-tingginya. Dengan tubuh yang tak seimbang dan rawan jatuh, ia membayangkan tangannya dapat membangun menara yang tak bisa dipijak oleh siapapun kecuali astronot. Ibunya dengan senyum lebar mengamati dan turut membantunya membangun menara balok yang tak lama kemudian ambruk dan konsentrasinya pun terpecah dengan kedatangan ayah yang membawa satu ember es krim.

Sekelebat kenangan berlalu singkat seiring sang gagak mengepakkan lagi sayapnya; membuat Claire terkejut. Ia mempererat genggaman, memeluk punuk sang gagak sementara desir angin melewati telinga. Ke mana gagak itu membawanya pergi, perempuan itu bertanya dan sang gagak menjawab bahwa ia hanya diminta untuk mengirimkan pesan.

Pikiran Claire berkelana, mempertanyakan pesan apa yang handak sang gagak sampaikan. Sang gagak membawanya ke tempat yang tak asing lagi. Gedung tinggi dari kejauhan ini adalah kantor ayahnya. Ada masanya dibandingkan dititipkan ke kakek maupun nenek, sang ayah akan membawanya ke kantor; membiarkannya bermain, membaca buku dan bertemu dengan orang-orang dewasa lain.

Tak jarang rekan-rekan kerja ayahnya membawa Claire kecil keliling ruangan, melihat bagaimana biro arsitektur bekerja. Dibanding disebut pemalu, Claire kecil lebih tepat dibilang sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Satu ruangan yang selalu membuatnya terpukau adalah ruangan di mana mereka menyimpan buku-buku referensi penuh gambar, beberapa bahkan berisi material bertekstur yang merangsang indra perabanya.

Beberapa langkah ke dalam, Claire dihadapi dengan pedestal berisi maket-maket proyek besar atau rumah yang bentuknya begitu unik ada di publik. Tak jarang pula anak perempuan itu menarik kursi, memanjatnya, dan melihat maketnya dari ujung ke ujung; membayangkan dirinya berada di dalam sana, berlari di lorong maupun membaca buku di salah satu ruangannya. Jika rekan kerja ayahnya sedang mengerjakan maket, dia akan mengamatinya dari jauh dan mendekat ketika mereka memperbolehkannya. Bagai rumah boneka super mini dan kompleks, betapa senangnya Claire kecil ketika rekan kerja sang ayah memperbolehkannya menempatkan furnitur atau orang-orangan pada maket itu.

Perjalanan ke kantor sang ayah selalu menyenangkan. Ia hanya perlu berjanji untuk menjadi anak baik, tidak berbuat onar dan merepotkan orang banyak, maka ia mendapat hadiah untuk melihat maket dari jarak dekat.

Paparan Claire perihal arsitektur sejak dini yang membuatnya jatuh cinta dengan subjek ini. Setiap mereka melakukan perjalanan ke kota-kota besar di barat sana, Claire akan mendongak lama; mengamati pilar, tembok serta struktur yang membuatnya berdiri kokoh. Irama yang tampak dari lengkung-lengkung kayu dan logam di langit-langit membawa ketenangan sendiri untuknya. Ada masanya gadis itu meminta waktu kepada orang tuanya untuk menggambar ulang baik struktur bangunan maupun elemen dekoratif pada pilar-pilar yang ada.

Melihat kenangan ini membuat perempuan itu tersenyum. Hasratnya selalu berjangkar pada arsitektur, mengikuti jejak sang ayah dan mempelajari perihal desain interior sebagai alternatif studinya. Claire tumbuh difasilitasi dan didukung keluarganya; sebuah hak istimewa, percaya tidak percaya.

Namun apa yang membuat kehidupannya tidak berjalan sebagaimana mestinya? Kenapa ia begitu frustrasi dan kesal dengan keadaan dunia-keadaan hidupnya?

Pemandangan membahagiakan di hadapannya pun beralih bak awan tertiup angin. Sang gagak membawanya pergi lagi, kini tanpa wanti-wanti. Nyaris terjungkal, perempuan itu memeluk lagi sang gagak yang membawanya terbang ke memori perih yang ingin ia lupakan.

Siang itu harusnya membahagiakan; cerah tanpa awan dan kampusnya merayakan pelepasan wisudawan. Claire dengan toga, bunga dan senyum lebar menanti ayah-ibunya merayakan pelepasan ini. Empat tahun berlalu cepat, penuh tangis dan pengalaman berharga. Tak sedikit pula amarah dan rasa kecewa dalam perjalanan kuliahnya. Claire siap menjadi 'manusia', berkontribusi menjadi rakyat sipil, membangun bangsa.

Dia memang bukan lulusan terbaik, tapi pencapaiannya tidak bisa dibilang sedikit. Perempuan itu siap menyambut masa depan, namun kabar yang masuk ke telinganya terlalu mengejutkan. Kedua orang tuanya tidak pernah tiba di kampus, bahkan hingga langit mulai jingga. Kabar mereka celaka masuk juga ke telinga perempuan itu akhirnya.

Meski siang bolong, supir truk itu mengemudi menahan kantuk. Pedal gas ia injak tanpa kontrol, membuat mobilnya melaju terlalu cepat, di sebuah turunan dan menimbulkan tabrakan berantai. Orang tua Claire tidak beruntung. Berada di ekor kejadian, mobil merekalah korban pertamanya.

Claire masih ingat sekujur tubuhnya terasa dingin seolah jantungnya berhenti berdetak. Matanya mendadak kering namun terasa air mata sudah berada di ujung. Senyumnya sirna, semua pencapaiannya terasa percuma.

"Hah?" hanya itu kata yang terlisan dari bibirnya. Claire terduduk di bangku terdekat, mengabaikan semua sorak sorai para wisudawan.

Suara di ujung telepon adalah pihak dari rumah sakit. Mereka memberikan alamatnya, cukup jauh dari kampus dan juga jauh dari kota asalnya. Perlu waktu sekitar satu setengah jam perjalanan melalui jalur bebas hambatan dan otak Claire seolah mati rasa. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih.

Wajah pucat setelah menutup telepon membuat kawannya khawatir. Wajahnya memucat, kata Nick pada Claire. Pemuda itu belum lulus, mungkin di gelombang wisuda berikutnya. Tugas akhirnya cukup rumit jadi ia datang hanya untuk merayakan. Mereka cukup dekat meski hanya sebagai sahabat.

"Ada apa?" tanya Nick, ikut duduk di samping perempuan itu.

Mata Claire terasa begitu kering. Ia lupa bagaimana caranya mengerjapkan mata hingga Nick menepuk pundaknya. Raut wajah kawannya khawatir dan Claire kembali tidak berkedip. "Apa kamu bisa mengantarku ke rumah sakit?" ucapnya datar.

Nick mengerutkan alis, "Sekarang? Siapa yang masuk rumah sakit?"

Perempuan itu diam. Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan bahwa orang tuanya sudah tiada. Hati dan pikirannya masih memproses berita yang ia dapatkan, berusaha mengategorikan ini ke dalam realita namun masih tidak bisa.

"Mama dan papa-," suara Claire tercekat. Sulit sekali menyelesaikan kalimat ini. Alih-alih kalimat, air mata yang keluar menuruni pipi. Sontak, Nick memeluknya; mengabaikan belasan pasang mata yang memandang.

Sentuhan lembut Nick menghancurkan dinding pertahanannya, membawanya kembali ke realita. Namun Claire tidak bisa membedakan dadanya sesak karena pelukan kawannya yang begitu erat atau hal lain. Perempuan itu menenggelamkan kepalanya di tubuh Nick, membuahkan cibir menggoda teman-teman mereka yang tidak bertahan lama.

Perkataan jahil dan godaan itu beralih menjadi kekhawatiran. Nick menggenggam tangan Claire, tanpa berkata banyak membawanya keluar dari euforia kelulusan dan menarik perhatian sahabatnya yang lain, Devi, perempuan cekatan yang menjadi panutan satu angkatan dan menjadi lulusan terbaik.

Penjelasan Nick singkat dan Devi langsung memahami situasinya. Devi meminta alamat dan kontak rumah sakit yang menghubunginya. Meminjam kunci flat Claire untuk mengambil baju ganti dan segala hal penting sementara membiarkan perempuan bermanik biru itu pergi ke rumah sakit bersama Nick.

"Aku akan menyusul," ujar Devi di daun pintu mobil. "Hati-hati menyetirnya, Nick."

Claire hanya menatap dasbor mobil, bibirnya terkatup. Meski ingin berterima kasih, tak ada kata yang terucap. Lisannya hilang, laparnya tak terasa, matanya seolah tak bisa berkedip. Seolah boneka, apapun yang dianjurkan oleh sahabatnya ia sambut dengan anggukan.

"Tidak apa-apa kalau kamu mau nangis," ucap Nick di perjalanan yang terasa tanpa ujung. Namun Claire tidak menangis. Tidak bisa. Kini ia menjadi batu.

Memori itu memperlihatkan Nick yang menyempatkan untuk menggenggam tangannya kala mengemudi, selama yang dia bisa. Meski dada Claire terasa kopong dan pikirannya tak menapak ke bumi, sentuhannya membawanya kembali ke tanah. Perempuan itu tidak tahu apakah ini merupakan hal yang baik. Ia tidak siap. Ia harap perjalanannya benar-benar tidak akan berakhir. Namun, GPS dari ponsel Nick berkata lain.

"Your destination is on the left. You have arrived."

Seolah kehampaan menelan dirinya, sekujur tubuhnya terasa dingin. Nick telah memarkirkan mobil, membuka pintu, namun terdiam ketika melihat perempuan itu tidak beranjak dari kursi penumpang. Seolah tertancap pasak, Claire tidak bisa bergerak, dan ia gemetar hebat. Nick kembali ke dalam mobil, menutup pintu dan menggenggam lagi tangannya. Ucapannya minimal namun kesabarannya lebih besar dari lapangan apapun yang ada di dunia.

"Kapanpun kau siap, Claire," ujarnya.

Menelan ludah, ia tak menyadari bahwa kerongkongannya sekering itu. Claire ingin menghilang dari muka bumi, tapi apa daya? Gedung berbau antiseptik itu menanti. Realita itu menanti. "Tolong jangan dilepas," pintanya parau setelah diam selama perjalanan.



"Aku tidak mau lihat," rajuk Claire pada sang gagak. Pedih. Ingin ia mengubur kenangan ini dalam-dalam. Tak diusik, tak dibuka lagi. Tragedi itu terjadi empat tahun yang lalu, tapi duka dan lukanya seolah baru terjadi kemarin.

"Kau tidak perlu melihatnya," sahut sang gagak meskipun memori itu terus berjalan. Mereka kini berada di resepsionis. Sang gagak dan perempuan itu bertengger di atas mesin kopi, berhadapan dengan lobi suram tanpa musik dan sedikit makhluk hidup. Sementara itu Nick dan Claire tengah menanti petugas yang akan mengantarkan mereka, duduk di banku logam keras yang membuat perasaan kian tidak nyaman.

"Bisa kita pergi sekarang?" pinta Claire lagi pada sang gagak yang ditolak halus.

"Kau tidak perlu melihatnya, tapi memori ini tidak bisa dipercepat maupun dilewati begitu saja."

Mengerang, Claire menenggelamkan wajahnya ke punuk legam sang gagak. Ia mengalihkan pandangan dari dirinya di masa lalu. Ia membiarkan nuansa dan suara keluar-masuk telinganya, membangkitkan kembali memori dari indra-indranya kala itu. Air matanya menggenang, asam lambungnya naik. Setiap sang gagak bergerak mengikuti dirinya dan Nick, Claire di pundaknya kian merapatkan mata; berharap sang gagak membawanya terbang ke tempat lain.

Ia ingat gema langkah di lorong rumah sakit yang sepi seolah membangkitkan seluruh penghuni. Kepalanya tertunduk hanya melihat ujung sepatu dan lempengan ubin yang menyusun lorong menuju kamar mayat. Ia ingat Nick terus menggenggam tangannya, mengabaikan lembab karena keringat dingin. Ia ingat derap kaki Devi yang menyusul mereka kemudian, berusaha diredam sedemikian rupa.

Suara-suara itu masuk lagi ke telinganya. Pintu yang diayun ke dalam, kadaver yang ditarik ke luar. Lalu, lolongan memecah malam.

"Hentikan," Claire menutup telinganya, "Tolong, pergi dari sini. Tolong."

Sang gagak tetap bergeming. Dengan berat hati perempuan itu mengintip pemandangan di hadapannya, berharap dengan melihat memori ini akan cepat berlalu. Namun, sayangnya tidak. Hatinya tersayat semakin pilu, dihadapkan dengan wujud orang tuanya yang biru dan nyaris tidak dikenali untuk kedua kali.

Ia tidak ingat kapan tangisnya berhenti, tapi ia bersyukur Devi mengurus segala administrasi. Dia mengabari keluarga Claire yang bisa dihubungi, bahkan memesankan penginapan murah untuk mereka bertiga bisa bermalam agar esok harinya tinggal menyelesaikan berkas-berkas yang perlu ditandatangani.

Meskipun ototnya meregang setelah mandi air panas, mata Claire sembab hebat dan kepalanya sakit. Perlahan logika memasuki lagi kepalanya, menyusun segala ceklis yang harus ia kerjakan keesokan harinya: rumah duka, proses kremasi, eulogi...apakah orang tuanya meninggalkan warisan? Claire juga harus menghubungi pihak kantor yang akan memperkerjakannya di dua minggu yang akan datang. Ia terlalu lelah, pikirannya kalut.

Untuk kenyamanan emosional Claire, Devi hanya memesan satu kamar; kedua perempuan di atas tempat tidur sementara Nick merapatkan sofanya ke dekat kasur. Devi memeluknya erat dan masih memeluknya bahkan setelah berbaring di atas tempat tidur. Meski dia sudah pulas, Claire masih terjaga. Perlahan Claire melepas tangan Devi dari atas tubuhnya, mendapati Nick berbaring di sofa dengan mata mulai sayu tertuju padanya.

"Enggak bisa tidur?" tanya pemuda itu.

Claire tersenyum simpul. Mereka kini berhadapan dan Nick mengusap kepalanya. "Aku enggak bisa mikir," bisik perempuan itu.

"Kamu itu capek. Memang harusnya tidur, bukan berpikir."

Mendengus, senyum Claire sedikit lebih lebar. Saat matanya terpejam, kejadian tadi siang dan di rumah sakit memicu kembali air matanya. Tak bisa menahan tangis, bantalnya kini basah dan tubuhnya bergetar. Devi terbangun dan memeluknya lagi, berbisik bahwa tidak apa-apa untuk menangis sementara Nick menggenggam tangannya.

Melihat memori itu dari luar jendela, sang gagak akhirnya mengepakkan sayapnya lagi. Terbang mengarungi benda-benda yang lebih besar dari mereka, mengarungi memori-memori lain. Dada Claire seolah diremas, perasaannya berantakan. Hari itu hari terberat dalam hidupnya dan dua minggu setelahnya pun tidak mudah. Drama keluarga, drama kantor, efeknya menggelinding dan sulit baginya bangkit tanpa bantuan kedua kawannya itu.

Kali ini sang gagak membawanya ke memori lain namun rentang waktunya tidak sejauh sebelum-sebelumnya. Claire sudah bekerja dan waktu menjadi manusia dewasa tidak selambat ketika ia masih sekolah, bahkan kuliah. Yang menentukan targetnya adalah dirinya sendiri, tak ada orang tua pula untuk mendapat nasihat diri. Dunia yang begitu luas terasa begitu sepi jika menjalankan segalanya seorang diri.

Devi yang berkutat dengan pekerjaannya tak sesering itu lagi untuk bertegur sapa. Sementara itu hubungan Nick dan Claire menjadi rumit. Pada titik terendahnya, Nick mengisi relung kosong di hati Claire. Perempuan itu membiarkan dirinya diperdaya, bahkan ia yang minta. Memang bodoh. Apalah cinta bila hanya mengisi kekosongan belaka? Apapun yang dia lakukan takkan pernah bisa cukup karena Claire hanya mencari muara lain, tidak membersihkan sumber airnya.

Waktu yang mereka habiskan bersama secepat mengedipkan mata. Mereka tahu hubungan itu tidak akan bertahan selamanya. Satu pihak kerap memberi, namun pihak lain tidak membalaskan tangan... Apa yang diharapkan?

Sama-sama menyesal, butuh waktu untuk membuat keadaan kembali normal. Claire menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Beruntung ia mendapatkan kolega kerja yang suportif. Proyek-proyek yang timnya kerjakan berjalan lancar. Ia pun diberikan kesempatan terjun ke lapangan; tak lepas dari supervisi, tentu saja. Meski cukup gagu, ia diajari untuk berhadapan dengan klien dan Claire merasa terpupuk dengan baik.

Setahun pun berlalu cepat. Perempuan itu menjalankan hari tanpa ambisi yang sirna setelah orang tuanya pergi. Harinya tenang dengan hobi barunya: berkebun dan melihat burung-burung di teras apartemen. Mungkin itu salah satu-satunya hal yang membuatnya terus hidup, melihat taman kecilnya tumbuh asri.

Namun percikan api pada matanya datang kembali ketika ia mendapatkan tawaran dari kantor lain. Meski disayangkan, kolega kantornya tidak ada yang melarang. Tentu mereka ingin melihat karir juniornya di atas angin. Pun, ketika ia menerima tawaran itu, Nick dan dirinya sudah kembali bertukar sapa.

Hidupnya nyaman. Pada masanya.

Pemandangan di hadapanya itu terjadi baru-baru ini. Melihatnya membuat kepala Claire pening. Betapa menyebalkan setelah ia pindah, budaya kantornya pun ikut berubah. Meski perusahaan ini cukup ternama dengan proyek-proyek megah, bosnya seringkali marah-marah.

Tak jarang perempuan itu mempertanyakan keputusan hidupnya. Namun akal sehatnya membantah, katanya ini untuk perkembangan diri. Berkembanglah ia dengan memakan hati, menelan kedongkolan dari congkaknya bos seksis yang bokong kliennya lihai ia jilati. Tak bisa dipungkiri, klien dan ilmunya banyak yang bisa dipelajari. Meski banyak anak buahnya tidak suka dengan moral bosnya, mereka juga menahan diri; berharap bisa memetik buah yang tak kunjung ranum itu.

Jika hanya disuruh membelikan kopi dan menotulensi rapat saja mungkin Claire tidak akan merasa serendah ini. Sudahlah pekerjaannya lebih temeh dibandingkan kantor sebelumnya, acap kali bosnya itu menganggapnya murah dan perempuan itu tidak punya kuasa untuk melawan.

Pria brengsek itu selalu bilang sebentar lagi kamu akan bisa mengemban tanggung jawab lebih besar. Katanya, lihat dan perhatikan saja dulu. Tetap saja ia tidak naik derajatnya melebihi remah-remah roti.

Beberapa minggu terakhir semangatnya untuk pergi bekerja bagaikan senja. Tanaman-tanaman di balkon apartemennya mulai kering dan menguning. Nick beberapa kali meninggalkan dering yang tidak terangkat, Claire tak sanggup menghadapinya dengan kondisi seperti ini. Pun, ia tidak tahu harus bercerita ke siapa; membiarkan segala kegundahannya terpendam sendiri.

Tak jarang ia melongokan lehernya dari teralis balkon, melihat ke lantai terendah, mendengar sayup-sayup kebisingan kota. Tak jarang ia membayangkan diri untuk melayang tanpa melawan gravitasi, berpikir tuk akhiri semua ini. Namun, apa yang membuatnya menahan diri?

Malamnya kerap dihabisi sembari meringkuk frustasi. Ponselnya berdering dan tak kunjung ia indahkan, entah sudah berapa puluh kali Nick menelponnya. Hati kecilnya senang, meskipun dirinya yang muram hanya berpikir bukankah Nick harusnya tidak menjadikan dirinya prioritas?

Claire memalingkan wajahnya dari pemandangan itu. Mereka kembali berada di apartemen namun sosok mereka tak melebihi bokcoy yang tertanam di pipa hidroponik balkon. Apa ini maksud pesan yang ingin sang gagak sampaikan? Bahwa hidupnya menyedihkan?

"Tidakkah kau ingin kembali?" tanya sang gagak kemudian, memudarkan Claire dari lamunannya. Tapi, Claire tidak menjawab. Takut, lebih tepatnya. Kembali di kehidupan menyedihkan itu, kembali dipermalukan, dan diperlakukan sebagai barang.

Dalam hening sang gagak memutar tubuhnya menghadap jalanan. Dia mengepakkan sayapnya, menukik ke bawah. Memegang punuk sang gagak erat, Claire merasakan sekitarnya kembali ke ukuran normal dan terdengar pekikan seseorang.

Pekikan itu disusul dengan kerumunan yang meramaikan jalanan di depan apartemennya. Rona wajah mereka hilang, beberapa menutup mata juga mulut mereka. Bisik, cibir, dan iba mengudara. Terdengar seseorang meminta dipanggilkan ambulans. Claire masih bisa mendengarnya ketika sang gagak bertengger di batang lampu jalanan, mengabaikan hukum fisika yang bisa membengkokkan tiang besi.

Kerumunan itu bergerak lambat dalam penglihatan Claire. Terdapat darah di jalanan itu, namun ia tidak bisa melihat dari mana asalnya. Rambut pada tengkuknya meremang, dadanya berdebar hebat.

Dalam kerumunan itu, Claire menyadari adanya sosok pria yang tak asing. Entah sudah berapa lama mereka tak bersua dan perempuan itu selalu mengabaikan panggilannya. Mungkin dia khawatir, mungkin dia hendak menjenguknya; entahlah. Ponsel pria itu bertengger di telinga namun tak terdengar nada dering dari kerumunan. Claire sedikit lega, meski hanya sementara.

Sirkulasi darah pria itu turun ke kaki ketika ia mendekati kerumunan. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. Ponselnya jatuh ke tanah ketika dia berlari mendekati sumber keramaian, memaksa masuk ke barisan depan. Claire merasa suhu tubuhnya turun sedingin es ketika Nick meneriakkan namanya.

"Kau masih mau terbang bersamaku atau ingin kembali?" tanya sang gagak lagi.

// Geez, another grim story. GIMANA DONG (frustasi sendiri ga bisa bikin cerita happy ending). Jujur ya, tadinya tuh mau bikin ceritanya si gagak jatuh cinta sama claire tapi kek apaan sih lu dikata sinetron. Jadi ya udah gini aja realistis dan nangis. Hope you enjoy reading this piece!//

Continue Reading

You'll Also Like

970 161 17
Kota yang indah dengan banyak obyek pariwisata, Jiza, memiliki banyak rahasia gelap. Issad mulai menyadari orang di perusahaannya terlibat dengan pen...
472 77 26
serizawa yuna menyukai nagare ryou selama enam tahun. tapi di tahun terakhir sekolah dasarnya, yuna mulai membenci ryou.