PENGASUH

By Cratelius

150K 13.9K 1.2K

[Completed] Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu caba... More

Note;
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
End

42

1.4K 161 18
By Cratelius

Pembebasan

*

"Papa kamu sudah menunggu didepan." Seorang petugas polisi membukakan pintu sel sementara Flora dan menyuruhnya keluar, menemui sang ayahanda yang sudah menebus dirinya.

Flora mengangguk, berjalan perlahan sambil menunduk menuju ruang tunggu kantor polisi. Disana ia melihat seorang laki-laki jangkung duduk dan menatapnya dengan tatapan datar. "Papa," lirih Flora sedikit gemetar, menahan rasa takutnya pada sang ayah yang kini berdiri menghadap dirinya.

"Mau ngikutin jejak Radipati?" Sarkas Rinaldi pada anaknya yang ikut terlibat dalam kasus narkoba ini. "Sudah papa bilang 'kan?! Jauhi hal-hal seperti ini! Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga kita, sama seperti paman mu, Oniel!" Rinaldi membentak Flora dengan kuat, membuat atensi orang-orang yang berada di kantor polisi itu beralih pada mereka berdua.

Telinga Flora memanas kala mendengar nama laki-laki yang Rinaldi sebut. Satu kegagalan yang membuat ia merasa malu pada ayahnya karena lalai mengurus Oniel dahulu. "Maafin Flora, Pa."

Tangan Flora mengepal dengan erat, kukunya melukai telapak tangannya sendiri hingga berdarah. Rinaldi yang melihat penyesalan yang amat mendalam dari putri satu-satunya pun memaafkannya, merasa bahwa anaknya ini hanyalah seorang gadis berusia 18 tahun pada umumnya.

Rinaldi telah menjerumuskan Flora terlalu dalam ke urusan politik keluarga. Bahkan diusia Flora yang masih terbilang cukup muda, Rinaldi sudah memberikan perintah untuk membunuh satu keluarga Radipati. Meski ada beberapa yang lolos, itu sudah termasuk perbuatan keji bagi seorang ayah untuk anaknya.

"Ayo pulang!" Rinaldi menggapai tangan anaknya, menyeret Flora keluar dari kantor polisi menuju mobilnya yang sudah hancur lembur karena ditabrak oleh mobil polisi yang ugal-ugalan.

Seorang perempuan dengan tampilan berdarah-darah keluar dari mobil polisi yang menabrak itu, membuat darah Rinaldi naik pitam saat seringai yang ditampilkan oleh wajah Azizi tertuju padanya.

"Selamat malam, Pak Rinaldi."

Azizi berjalan mendekat, berhadapan tepat didepan laki-laki paruh baya itu dengan tatapan menantang. Sedangkan Flora, ia melepaskan genggamannya dengan sang ayah dan melangkah mundur, ingin menghindari sesuatu yang buruk antara Rinaldi dan Azizi, pacar Marsha.

"Eits, mau kemana?" Tubuh Flora di tahan dari belakang, Raizan yang memegang kedua pundak Flora tersenyum tipis, membuatnya tak bisa berkutik dan kabur. "Kita butuh bantuan kalian," ujar Raizan sedikit berbisik ditelinga Flora.

Bulu kuduk Flora merinding kala mendengar bisik Raizan yang terdengar mengintimidasi. Pertama kali, seorang Flora merasa kalah oleh laki-laki yang bahkan terlihat lebih muda darinya.

Azizi yang masih bertatapan dengan Rinaldi langsung mengacungkan pisau miliknya, mengancam sang empu yang saat ini bisa dibunuh kapan saja.

Keributan yang terjadi diluar tentu saja mengundang polisi-polisi untuk keluar, menyaksikan kepala keluarga Rinaldi yang sedang ditodong sebuah pisau.

"Turunkan senjata mu! Atau kami tembak!" Seru seorang polisi yang sudah bersiap dengan pistol nya.

"Coba aja," tantang Azizi yang kemudian membalikkan tubuh Rinaldi dengan cepat, menyekapnya dengan pisau yang menempel dileher Rinaldi. Azizi menjadikan Rinaldi sebagai tahanan, membuat semua polisi jadi kebingungan karena tak ada celah untuk menembak.

Flora pun demikian, tubuh mungilnya juga di tahan oleh Raizan, menjadi tameng agar para polisi itu tidak menembakkan pistol mereka ke arahnya.

"Turunkan senjata kalian, atau Rinaldi akan mati malam ini!" Perintah Azizi merasa penuh kemenangan. Ia tahu, para polisi itu akan terus menjilat Rinaldi karena uang yang Rinaldi berikan.

Para polisi itu menurut, meletakkan pistol milik mereka dilantai dan mengangkat tangan mereka ke atas. Azizi yang melihat mereka sudah tak bersenjata pun langsung berbisik pada Rinaldi, meminta mereka untuk membebaskan Adel yang mereka tahan didalam sana.

"Suruh mereka membebaskan Adel!"

-

Sebuah mobil hitam melaju dengan cepat di jalan raya malam hari, memotong mobil-mobil yang melintas hingga hampir tertabrak.

Kathrina tak peduli. Pikirannya hanya tertuju satu, Feni. Ia menambah kecepatan mobilnya kala jalanan yang ia tempuh mulai melenggang, merasa bebas untuk melajukan kendaraannya lebih cepat.

Di hutan belantara, gelap serta menyeramkan pun tetap Kathrina terobos, menghampiri sebuah gudang reyot yang ada di tengah hutan.

Mobil itu berhenti mendadak, tepat didepan seorang perempuan berambut panjang yang menyipitkan matanya karena silau lampu mobil.

Kathrina menekan tombol klakson, menyuruh Shani yang menghalangi jalannya untuk menabrak Feni minggir. Mata Kathrina panas, melotot ke arah Feni yang duduk santai di depan gudang sambil tersenyum bersama Gracia.

"Maksud kakak apa?!" Teriak Kathrina setelah turun dari mobilnya, berseru keras pada Feni yang masih berada di tempatnya.

"Apa, ya?" Tanya Feni pura-pura bodoh. "Oh, Aku tahu! Gita apa kabar?" Sarkas Feni sambil terkekeh menghampiri Kathrina yang sudah mengepalkan kedua tinjunya.

"Kami bertiga dan kamu sendiri, Tin." Shani membuka suaranya, menjelaskan bahwa Kathrina tak akan menang jika ia nekat melawan mereka bertiga malam ini.

Gracia yang sedang berjalan mendekat, terkekeh kecil mendengar sahutan dari Shani. "Betul, Tin. Panggil dulu squad mu, baru lawan kami!" Kompor Gracia membuat darah Kathrina makin mendidih.

Kathrina, walau sedang di rundung emosi tidaklah memiliki akal pendek. Ia tidak seperti Adel yang selalu menggebu-gebu tanpa berpikir terlebih dahulu. Yang Kathrina butuhkan saat ini adalah dua saudarinya, Azizi dan Adel.

Shani dan Kathrina beradu tatap, bicara lewat mata dan menyatakan perang diantara mereka.

Kacau.

Hanya karena kesalahan kecil, kumpulan yang mereka bentuk seperti keluarga malah menjadi  begini.

"Eits, tunggu dulu!" Sahut Feni menahan tangan Kathrina yang baru saja ingin kembali masuk ke dalam mobilnya. "Bawa dia." Feni menoleh belakang, mengajak Kathrina untuk ikut melihat ke arah perempuan yang di bawa Gracia dari dalam gudang.

Tanpa alas kaki, bajunya sangat berantakan dan wajahnya pun terbakar dibagian kiri.

"Dia—,"

"Marsha, anak menteri yang dikira hilang," imbuh Shani menyela kalimat Kathrina.

"Properti rencana," kekeh Feni sambil menyerahkan perempuan yang ia sebut properti itu pada Kathrina. "Bilang sama Azizi kalau ini perbuatan kami bertiga," sambung Feni yang ingin menjadikan Marsha sebagai alasan kuat Azizi untuk membunuhnya.

Kathrina menahan pundak Marsha, memapah tubuh lemas perempuan itu lalu membawanya masuk ke dalam mobil. "Ada lagi?" Kathrina menatap sinis ke arah tiga perempuan yang telah membesarkannya. Tak ada rasa benci, melainkan hanya amarah.

Kathrina tak ada hasrat untuk membunuh, tapi ia ingin sekali meremukkan tulang-tulang kakak seniornya, Feni.

"Itu aja, pergilah dalam damai," pungkas Feni dengan senyum mengesalkan.

"Semoga berhasil membunuh kita," imbuh Gracia memprovokasi Kathrina untuk semakin gencar mengincar mereka bertiga.

"Kalahi aku!" Shani menatap ke arah Kathrina, seakan memberi amanat pada anak didiknya untuk mengalahkan dirinya. "Serius, kalahin aku!"

Kathrina mengecap bibirnya sendiri lalu melenggang masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan tengah hutan.

Sorot lampu mobil mulai menghilang, membuat suasana di gudang itu kembali gelap, hanya di terangi satu lampu minyak yang di gantung di depan gudang.

"Ini yang terbaik 'kan?" Tanya Gracia yang kemudian melemaskan otot wajahnya. Intimidasi yang ia berikan pada Kathrina tadi hanyalah akting, mana mungkin ia sanggup menyuruh anak-anak kesayangannya untuk membunuh dirinya sendiri. Gracia memang gila, tapi Feni dan Shani lebih gila darinya.

"Tenang aja, Gee." Shani menoleh, tersenyum untuk menenangkan kegelisahan hati Gracia yang masih ragu menjalankan rencana mereka. "Kita akan ambil alih pusat organisasi dan menjalankannya seperti yang kita kehendaki."

"Aku harap kita berhasil," lirih Gracia lalu menghela napasnya.

"Pasti, kok! Kita pasti berhasil."

.
.
.
.
.

Gambaran Marsha yang wajahnya terbakar

Continue Reading

You'll Also Like

153K 14.1K 71
"Lebih baik menyakiti satu hati dari pada kedua nya" -L
147K 13.1K 42
kepala pundak, delshel lagi delshel lagi.. mohon untuk tidak dibawa ke rl guys! apalagi sampe ke member ya. terimakasih🫰🏻 ❕H A P P Y R E A D I N G...
58.7K 3.5K 21
Salah satu dari kakak beradik tiri ini sulit menerima kenyataan bahwa hidupnya berantakan. Gadis ini menaruh kesal pada adik tirinya. Namun seiring b...
Soulmate By ✌🏻

Teen Fiction

279K 23.5K 31
"What is soulmate?" "Well.. it's like a best friend but more.."