Boboiboy x Reader | Alternate...

Galing kay Goldilocks95

12.6K 2.2K 1K

Aku terjebak dalam putaran waktu melawan Nebula. Aku mengulagi dan mengulangi. Tapi aku tidak kunjung menang... Higit pa

Prolog
- 01
- 02
- 03
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09
- 10
- 11
- 12
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
Epilog
Xtra

- 13

388 79 44
Galing kay Goldilocks95

"Jadi," Kokoci berdeham, memulai pidatonya. "Dimana Kapten Kaizo?"

Setelah mengabsen satu persatu personil rapat, Komander Kokoci bertanya demikian. Aku menengok ke kursinya. Dia enggak ada. Padahal Kaizo disiplin sekali orangnya. Biasanya justru akulah yang langganan terlambat karena bangun kesorean.

"Di sini." Suara Kapten Kaizo datang dari pintu masuk. Pakaiannya kotor, berselimutkan tanah kering. Pakaiannya sobek sedikit di bagian pundak. Kalau diliat-liat, dari hari ke harinya, Kaizo makin ganteng. Aku bersiul menggoda keterlambatannya, sambil menyilang tangan. Shielda yang telah mengetahui tabiat kurang ajarku, segera menyenggol siku tanganku.

"Apa?" Aku mendelik pada Shielda. Aku membela diri. "Aku cuma menyapanya."

Shielda mendecak tak senang, sedangkan aku menyengir.

"Senyummu cerah sekali." Shielda berbisik-bisik setelah memastikan orang-orang lebih berkonsentrasi pada kehadiran Kaizo. "Setelah membabakbeluri anak orang, senyummu masih bisa merekah secerah itu."

Aku agak menundukkan kepala, agar volume suaraku terminimalisir dari radar pendengaran Laksamana Tarung, orang di sebelah kananku, "Boboiboy tahap satu itu bukan tandinganku. Aku nggak bermaksud menjadikannya begitu. Dia terlalu lembek."

Mataku tak sengaja menangkap pemandangan bagus. Kapten Kaizo duduk di sebrangku dan bicara, "aku dicegat lanun. Sisa-sisa tentaranya Kapten Separo."

"Mereka tidak bisa disebut tentara, loh." Aku angkat bicara. Mulutku bawaannya enggak sopan, sulit mengendalikannya agar tetap tidak mengacau. "Mereka cuma berandal kampungan."

"Lebih penting daripada itu, kenapa kamu bisa ketemu lanun di lajur yang ramai dilalui pesawat dari galaksi JADES? Mereka kan suka bolak-balik dari sana ke Andromeda. Urusan bisnis, katanya." Shielda justru memerhatikan aspek lain. Jujur, aku enggak kepikiran kenapa Kaizo bisa-bisanya ketemu organisasi begal kapal di jalur yang lalu lintasnya ramai. Angkasa itu mengerikan.

"Lanun-lanun itu tidak sedang dalam operasi perampokan power sphera. Setalah diamankan, mereka baru mengaku mereka hendak mengungsi, tapi sialnya malah bertemu aku di tengah jalan." Kaizo melebarkan perkamen yang ditemukannya di atas meja. Aku cukup terkejut seseorang masih mempergunakan media papirus untuk menggambarkan peta wilayah. Oh ya, aku ingat. Mereka bajak laut. Mereka memburu benda begituan dan berkelana mencari harta karun setua peradaban suku Maya biarpun harus menempuh jarak lima puluh lima tahun cahaya. Barangkali salah satu lokasinya ialah Rimbara.

Dan—mengungsi? Para bajak laut itu menyelamatkan diri? Dari apa? Kejaran polisi antariksa? Jeratan pinjol?

"Mereka mengungsi. Karena markas mereka berada di dekat kawasan H-II, daerah dimana Nebula lahir." Kaizo melanjutkan.

"Oh. Masuk akal." Aku menjawab cepat-cepat. Semua orang takut pada Nebula.

"Kita akan bahas itu nanti." Kokoci mengalihkan pembicaraan. Kukira aku dan para marsekal lapangan lain dikumpulkan hanya karena kami disuruh apel pagi. Nyatanya tidak. Komander Kokoci terlihat buru-buru mengubah haluan topik, sebab ia memiliki kepentingan mendesak lainnya.

"Sai baru kembali dari puing-puing markas TAPOPS A." Kata Kokoci. Sai duduk tepat di sebelah Shielda, wajahnya tak terlihat khawatir. Posisi duduk aku dan Sai dipisahkan oleh Shielda. Aku melirik Sai. Informasi apa yang dibawahnya kemari, sehingga Kokoci repot-repot memanggilku? Kokoci jarang melibatkan aku di misi bercanda-bercandaan.

"Dan dia bertemu dengan Nebula." Kokoci menyambung.

Oh well. Aku membuang pandangan pada Laksamana Tarung. Dia sama bingungnya denganku. Baiklah, oke! Sai bertemu Nebula. Anggaplah benar, itu Nebula. Lantas, jika ada Nebula, mengapa? Nebula memang berkeliaran seperti pengangguran lontang-lantung di semesta, dan sehari lalu ia dikabarkan kentut sembarangan hingga menyebabkan redupnya luminositas bintang-bintang. Enggak aneh.

Berita itu kurang eksklusif untuk dibuatkan rapat khusus begini.

Kokoci menarik remot dari meja, dan ia memunculkan hologram di atas meja digital kami. Di depan sana, tersaji hasil rekaman dari satelit buatan kami. Semacam voyager, tapi dengan mesin alien. Satelit berkamera teleskop inframerah itu dibiarkan mengambang di angkasa dan mereka objek acak.

Rekamannya dibuat dalam struktur tiga dimensi. Alangkah canggihnya teknologi alien. Aku jadi bisa menikmati panorama Alpha Centauri. Itu Alpha Centauri, bukan?

"Rigil Kentaurus, bintang paling cerah pada rasi bintang Sentaurus. Kemarin." Kaizo membaca keterangan pada metadata rekamannya. "Ada apa dengan Alpha Centauri?"

Sedetik setelah mulut Kaizo bertanya begitu, rekaman itu menunjukkan distorsi padahal magnitudo gabungannya enggak diubah sama sekali oleh pemegang servernya. Seperti ada yang merusak lensa kameranya, sampai jangkauan rekam kamera itu menyurut, dan kualitas pixelnya jadi mirip kamera SLR jadul.

"Apa itu barusan? Kayak ada yang lewat?" Shielda mengulang video tiga dimensinya lewat hologram touchpad di ambang meja. Aku tak seteliti Shielda. Aku baru menotis ada bayangan hitam di sudut atas kamera, di dekat atmosfer pelindung dari proxima centauri.

Bintang sirkumpolar itu tampak dilalui sesuatu.

"Nebula." Putus Laksamana Tarung.

"Di tanggal yang sama, Nebula muncul di dua lokasi berbeda." Komender Kokoci memperjelas. Ia terlihat tegas. Tangannya tertaut di belakang punggung. Kacamata hitamnya juga masih terpasang dengan kokoh di mukanya. Tapi dia ketakutan. Dagunya tidak lurus menatap audiensnya. Dia juga seringkali menghela napas, terutama saat video itu diputar.

"Aku ... curiga." Kata Kokoci lagi. "Ada dua Nebula."

"Ada Nebula lainnya? Mustahil." Kaizo menggeleng. "Nebula tidak lahir semudah itu. Pasukan galaktik selalu mengawasi kawasan H-II, arena kelahiran Nebula. Mereka tidak melaporkan keberadaan Nebula lain. Pembentukan plasma tidak praktis, butuh waktu tahunan."

"Kamu salah lihat, Sai?" Giliran Shielda yang mencari pembenaran.

"Sayang sekali. Aku yakin itu Nebula. Aku justru meragukan pencitraan satelitnya. Siapa tahu kameranya memang rusak." Sai membalas sengit.

"Itu tadi enggak jelas. Cuma bayangan." Aku mengelus dagu.

"Makanya aku mengundang kalian kemari. Sai, Shielda. Periksa lagi kawasan reruntuhan TAPOPS A, laporkan eksistensi Nebula bila ada. Laksamana Tarung, tolong pantau langsung kinerja tentara galaktik di area H-II. Pejabat-pejabat Gur'latan tidak bisa dibiarkan mengendalikan segalanya sendirian. Kapten Kaizo, Laksamana (Nama), pergi ke Alpha Centauri. Pastikan pengelihatan satelit itu salah."

Ya. Kuharap satelitnya salah. Semoga cuma ada satu Nebula, entah Nebula di satelit itu, atau Nebula di kesaksian Sai yang benar-benar asli.

-

"Halo, Kapten Kaizo! Kudengar, kamu orang hebat. Wah. Senang sekali rasanya bisa bepergian denganmu." Daun berceloteh.

"Kenapa kamu mengajak orang yang diperban di seluruh kepala ini?" Kaizo menatap Daun. Entah ia sedang mengasihaninya, atau menghujat pelaku atas diperbannya kepala Daun.

"Mereka meminta ikut." Aku memandang pada Daun, Angin, dan Api. Tiga begundal ini kebelet ingin jalan-jalan. "Kaizo."

Dengan ekor mata, aku mengajak Kaizo bicara, "dilarang jahat ke Daun, ya."

Belum sempat Kaizo menjawab, Daun sudah berulah lagi, "apa pesawat ini lebih besar dari pesawatnya Laksamana (Nama)? Kenapa dingin sekali, ya? Apa tidak ada pemanas ruangan?"

"Siapa yang mengizinkannya ikut?" LoopBot ikut-ikutan protes. Loh, loh, loh. Bukannya LoopBot kerjanya membela Boboiboy melulu? "Terutama kombinasi tiga berandal ini."

"Aku enggak bisa pake seatbeltnya, Laksamana. Ini berbeda dengan seatbelt di pesawatmu." Angin mengeluh.

Aku memutar kursiku ke tiga orang Boboiboy yang entah mengapa berpecah itu. Aku berdiri, dan memasangkan kaitan seatbelt bangkunya Angin, "Api. Jangan jalan-jalan di lorong. Pintunya mau ditutup, supaya sebaran oksigennya enggak meluap ke ruang hampa. Duduk."

Aku menghembuskan napas dan menarik tangan Api, lalu aku juga menangkap lengan Duri. Aku mendudukan mereka di bangku masing-masing, dan mengunci mereka di sana dengan seatbelt.

"Jangan kemana-mana sebelum pesawat mendarat." Aku mewanti-wanti.

Setelah ketiganya setuju untuk tidak main-main dengan tombol pemanas bunsen dan tetap duduk manis, aku pergi ke bangku depan.

"Jujur saja." Kaizo memulai pembicaraan, "reaksimu akan kembalinya Boboiboy lumayan mengejutkan."

"Reaksi orang juga mengejutkan." Aku mendesah tak nyaman. "Kupikir karena kalian menggembor-gemborkan kisah kepahlawanannya padahal dia sudah terkonfirmasi mati, kalian menganakemaskannya. Tapi tidak. Dia diperlakukan biasa saja."

Kaizo melepaskan api pada mesin turbo pesawat ini. Aku merasakan g-forces menganggu adrenalku. Aku tak begitu menyukai perjalanan angkasa. Bikin mabuk kendaraan, apalagi kalau supirnya Kaizo. Makanya aku prefer berpergian dengan Sai, meskipun kami selalu berakhir adu mulut karena perbedaan gagasan.

"Menurutmu aku mesti bagaimana ketika Boboiboy kembali?" Kaizo melirikku sekilas.

"Kupikir kalian akan melupakan aku, dan fokus menyambut kepulangan pahlawan generasi pertama itu." Kataku. Aku mengungkapkannya sejelas-jelasnya. Kebingungan yang kurasakan selama empat hari belakangan. Aku selalu berfantasi buruk sebab stigma masyarakat TAPOPS.

Kaizo tertawa sebentar, "sebaiknya kamu tahu. Kamu tak dibicarakan sebanyak Boboiboy sebelumnya sebab kamu belum dianggap meninggal."

Aku lekas cemberut. Tapi Kaizo ada benarnya. Ketakutanku enggak berdasar. Tapi ketakutan akan tersingkirkan ini bukan salahku sepenuhnya. Lingkunganku memupuk ketakutannya.

Aku enggak begitu mempermasalahkannya lagi. Boboiboy bukan seseorang yang layak dibenci.

"Hang Kasa ada perlu dengan Tanah. Sebagai sesepuh, kupikir dia merasa bertanggungjawab atas salah satu pecahan itu." Aku menyinggung soal kloningan lain selain trio tukang bikin onar titipannya Pak Amato di pesawatnya Kaizo, "Air tidur seharian. Mau bedrest, katanya. Petir dan Cahaya dalam pemulihan. Keduanya menolak bicara padaku. Masih marah, kayaknya. Aku mengajak Api, Angin, dan Daun karena Pak Amato lagi sibuk mengatur ekspedisi antar bintang buat mengusir Nebula dari dekat bumi. Kuharap kamu mengerti. Api, Angin, dan Daun memang sebaiknya dibawa. Nggak ada yang mengasuh mereka."

"Laksamana." Api berteriak memanggil. "Aku mau ke toilet. Boleh?"

"Toiletnya ada di samping ruang generator. (Nama), beritahu dia." Kaizo tidak mau ambil pusing, dan cuci tangan. Aku merasa akulah yang mengizinkan mereka ikut. Aku pembimbing pramuka mereka. Jadi aku mendesis marah pada Kaizo, karena dia tidak ingin membantu.

Aku beranjak berdiri dan membantu Api melepas seatbeltnya. Pesawat sudah berangkat, tapi dalam percepatan normal, soalnya tujuannya linier. So, nggak ada guncangan yang berarti. Pesawat luar angkasa cuma ngebut dengan meroketkan banyak mesin turbojet engine ketika medannya mesti ditransmisikan secara aksial di arena berarus.

"Dimana toiletnya?" Sembari berjalan, Api bertanya lagi.

"Aku bukan ayahmu." Aku melayangkan sindirian itu padanya. Aku tidak sedikit pun menoleh ke belakang, aku nggak berani menyaksikan reaksi Api. "Aku enggak menyuruhmu berdikari dengan mencari toiletnya sendiri."

Pesawat Kaizo tidak lebih besar dari pesawatnya Sai. Pesawatnya dirancang baru-baru ini dan diperbaharui oleh bengkel belum lama. Aku jadi lupa susunan-susunan ruangannya. Padahal sebelumnya, aku cukup hapal denah kapal ruang angkasa Kaizo sebab aku sering menumpang. Niatnya sih ingin dekat-dekat Kaizo.

Setelah sampai di depan toilet, aku berhenti. Api sampai di samping pundakku, ia bengong dulu.

"Jadi kamu beneran udah bisa jalan-jalan tanpa tongkat." Aku menatap lurus ke pintu kamar mandi. Posisinya tertutup rapat. Aku mendorongnya, supaya Api tak perlu repot-repot mencari kenop dan memutarnya.

"Aku mau menjadi mandiri, Laksamana." Api terlihat tersinggung ketika aku memperlakukannya terlampau baik.

"Hah?" Aku mendelik. "Kalo gitu nanti jangan minta anter ke toilet lagi."

"Eh," Api gelagapan. "A-aku nggak mau jadi mandiri."

Api pergi ke dalam dan menutup pintunya lagi. Tak lama kemudian, aku mendengar tombol flush yang dinyalakan, dan suara kunci terbuka. Api menyelesaikan panggilan alamnya, kemudian ia keluar.

"Laksamana. Kalau dipikir-pikir. Aku mau jadi mandiri aja." Api mengukuhkan pikirannya. Apa yang mendoktrinnya sampai sejauh ini.

Kepalaku sampai bertumpu pada pundak kananku, aku mempertanyakan kenapa Api begitu plin-plan dan siapa yang mengajarinya bersikap mandiri.

"Oke." Aku pura-pura percaya. "Siapa anak pinter, soleh, ganteng?!"

Api mendongak, dia mikir sebentar, tapi dia kontan menjawab, "aaku,"

"Siapa bayii?" aku bertanya lagi.

"Aku! Akuu!" Api berseru.

Aku lekas merangkul pundaknya. Hari ini pun, aku memakai high heels, jadi aku mampu membentangkan tanganku di belakang lehernya.

"Ya udah. Ayo ke kokpit." Sesungguhnya itu kalimat samaran dari 'ya udah, jangan sok-sokan lagi'.

Kami berjalan kembali ke kokpit, melalui lorong terang yang panel cahayanya bertenaga listrik.

"Laksamana. Jangan bilang-bilang ke ayah, ya." Api berkata khawatir. "Kalau aku minta diantar."

"Iya, Api." Aku membalasnya segera.

Ketika sampai di kokpit pesawat, aku disambut oleh dua orang kloningan Boboiboy lainnya yang merengek di bangku mereka.

"Laksamana, aku mau muntah ..." Daun mengeluh.

"Laksamana. Aku ... ngantuk banget." Angin menyahut.

Aku membiarkan Api meraba-raba bangku duduknya di antara mesin pemanas dan area kosong. Ketika Api sudah duduk, aku pergi ke bangku Kaizo dan menepuk pundaknya,

"Dimana letak kabin istirahat?" Aku menyunting senyum. Ini kesabaran terbesarku.

"Belok ke kiri dari toilet. Pintunya besar." Kaizo menilik peta harta karun yang direbutnya dari sisa anak buah Kapten Separo. Ia menginformasikannya tanpa menengok. Seolah makhluk ini lagi bete, dan enggak begitu responsif padaku. "Kita akan sampai dalam sepuluh menit. Jangan keluyuran lagi. Mari tinjau langitnya, dam rampungkan misi."

"Aku mengerti, kok." Aku melirik pada layar peta digital pelancongan kami. Memang hampir sampai. Bahkan kalau tidak perlu memutar komet apapun, pesawatnya akan tiba lima menit lebih awal dari estimasi komputer.

Aku membalikkan badan dan menarik Daun dan Angin dari bangkunya. Aku membawanya ke bilik kamar darurat di pesawatnya Kaizo.

"Masih mau muntah banget?" Tanyaku, pada si penderita gejala mabuk g-forces, Daun.

"Enggak. Setelah berdiri, nggak begitu kerasa." Katanya.

Aku mengantarkan mereka ke kabin. Dalam satu kabin, ada empat dua kasur bertingkat. Artinya itu cukup.

Aku menuntun Daun tiduran di kasurnya. Dan begitu juga dengan bayi mengantuk satunya, Angin, supaya ia nyaman dengan pengaturan bantal dan selimutnya.

"Jangan bilang pada ayah kalau—" Angin mau meminta aku tutup mulut.

"Ya." Aku menjawab duluan. "Omong-omong, kemarin, kamu menyerang aku seperti kamu punya dendam kesumat padaku. Angin."

"M-maaf ya." Angin menyembunyikan setengah wajahnya dengan menarik selimut. "Aku enggak bermaksud begitu. Cuma, kata Petir, kalau kamu terkesima, kamu akan membantu training."

"Oh. Tentu saja." Kataku. "Akan kubuat kamu jadi Beliung. Tidur ya, Angin. Dan, Daun. Daun? Oh. Daun. Udah tidur."

Aku membetulkan selimutnya Daun, "aku tinggal dulu."

Rasa-rasanya, anaknya Amato lebih tua dariku. Tapi entah karena faktor apa, mereka jadi manja.

Aku menekan tombol masuk ke kokpit, dan bertemu dengan Kaizo tepat pada waktunya. Kurang dari sepuluh menit. Pesawatnya berhenti. Enggak ada gerungan mesin. Cuma ada kehampaan, dan desisan dari penyaring oksigen di ventilasi udara.

"(NAME), DIMANA—" Kaizo kupergoki sedang berdiri, dan ia begitu gelisah memanggilku.

"Wow, Kapten. Wow. Santai. Santai, Kapten. Aku ada di sini." Aku menepuk-nepuk lengan atas Kaizo ketika ia hendak berlari mencariku yang semulanya tidak ada di kokpit. "Ada apa?"

Aku iseng melihat ke langit. Ada pemandangan abnormal. Bukan Nebula. Namun semacam portal teleportasi buatan Ochobot.

"Apa itu? A-apa itu?" Aku meneguk ludah. "Kok mirip kawasan H-II? Ada dua kawasan lahirnya Nebula? Apa, sih?"

Sebidang kawasan itu berbentuk seperti kumpulan bercak warna-warni di antara hitam legamnya langit alam semesta.

Kaizo lalu melihat pada objek yang kutunjuk.

"Bukan." Kaizo menggeleng. "Lebih buruk daripada Nebula."

Aku mengerutkan dahi. Apa? Apa cahaya warna-warni itu? Aku nggak pernah mempelajarinya di fisika-manusia.

"Itu," Dalam suaranya, Kaizo menyembunyikan ketakutan. "Robekan waktu."

-

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

3.4K 440 8
HuLotSun Project BoBoiBoy X Tsundere Fem!Reader. Bagaimana rasanya berkahwin dengan perempuan yang tsundere dan garang macam singa? Pasti menakutkan...
363K 38.1K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
1.8K 259 6
Series Boboiboy Galaxy Character × Reader. 「My Weird Girlfriends」 || Apa jadinya kalau si pangeran tercuek seantero sekolah, jatuh cinta pada seor...
1.3K 143 4
𝙈𝙤𝙙𝙚𝙧𝙣 𝘼𝙪! [Name] hidup bersama kakak dan ibu tirinya hingga sekarang ini. Ibu kandungnya telah meninggal sejak ia berumur 5 tahun. Ia berha...