Apakah Kita Bisa Bertemu (Lag...

By JuwitaPurnamasari

47.4K 1.9K 115

Sebuah kisah sederhana tentang kisah cinta masa kecil, penantian, janji, rindu, juga... kebingungan. Semua r... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14

Bagian 15

5.1K 196 26
By JuwitaPurnamasari

Kami sampai di tempat yang Rama bilang spesial itu. Tanah lapang yang seperti perbukitan, dari sini tampak jajaran kota seperti miniatur. Ada beberapa kunang-kunang yang terbang di antara semak ilalang. Aku tak pernah tahu ada tempat seperti ini di sekitarJakarta. Dari sini bintang-bintang yang biasanya sembunyi karena lampu kota, tampak terang dan banyak. Rama berdiri di sebelahku. Sudah beberapa saat kami berdiri tapi tak satu pun yang memulai percakapan.

"Kenapa mengajakku ke sini?" Setelah menatap wajahnya dari samping aku memberanikan diri menyapanya duluan.

"Shinta... maaf." Wajahnya masih belum menatapku.

"Maaf?" Aku berusaha menangkap ekspresi di wajahnya.

"Selama ini pasti aku sudah banyak membuatmu susah."

"Memang. Tapi... sudahlah nggak apa-apa, aku coba mengerti keadaannya." Entah karena suasananya yang nyaman dan tenang, pikiranku yang tadi berantakan tiba-tiba merasa lebih dingin saat menghirup aroma tanah dan rumput basah di sini. "Ah, Falia apa kabar? Kandungannya sehat?" Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat lemah.

Yang sejak tadi dia terus menatap lurus ke depan, kini dia memalingkan pandangannya dan menatap ke arahku. "Katanya, kalau perempuan bilang nggak apa-apa itu artinya dia ada apa-apa."

"Nggak kok, aku betulan nggak apa-apa." Aku tak berani menatapnya, dia menyentuh lembut pipiku, memaksaku memandangnya.

"Tanyakan apa pun yang ingin kamu tanyakan padaku. Aku akan menjawab semuanya sekarang."

"Eh? Aku...."

Dia menarik lenganku dan kami duduk bersebelahan beralaskan rumput yang sedikit basah. Matanya menatap ke arah langit. Aku menatapnya dari samping, pipiku terasa hangat. Apakah ini semacam perpisahan sebelum dia benar-benar menikah dengan Falia?

"Ng... aku bingung mau tanya apa?" Sebenarnya begitu banyak pertanyaan yang berdesakan hingga aku tak tahu pertanyaan mana dulu yang harus kutanyakan padanya. Pertanyaan yang paling mengganggu adalah, 'apakah kamu mencintai Falia?'. Tapi tentu saja itu pertanyaan paling konyol dan terlalu retoris.

Mata yang biasa menatap dengan tatapan dingin dan galak itu melembut dan menatapku beberapa detik, sebelum akhirnya dia bicara. "Saat umurku tiga belas tahun, aku mengalami kecelakaan di Austria. Aku berhenti sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Mbak Mawar dan ayah yang menemaniku sambil mengajarkanku bermain musik. Aku... buta."

"Buta?"

"Ya, selama... beberapa tahun. Bohong kalau aku nggak pernah mencoba mencarimu selama dua belas tahun, Bohong kalau aku nggak pernah memikirkanmu sedikit pun. Tapi saat itu, aku merasa lebih baik kita nggak saling berkomunikasi lagi, kamu pasti akan merasa aneh dengan aku yang saat itu bahkan melihat wajahmu saja tidak bisa. Suatu hari ayah dapat kabar dari ibumu kalau kamu mulai jadi penyanyi remaja. Aku sangat ingin bisa melihat wajahmu, melihatmu menyanyi, tapi tentu saja mustahil dengan keadaanku waktu itu. Mbak Mawar membantuku mencarikan beberapa lagu yang kamu nyanyikan, aku mendengarkannya beberapa kali setiap aku mengingatmu."

Jantungku terus berdegup semakin tak menentu mendengar penuturannya kata per kata. Wajahnya tampak serius meski tak sedang memandangiku. Aku membekap mulutku menahan tangis. Selama ini begitu aku sangat egois, menganggap diriku satu-satunya yang paling menderita.

"Itulah kenapa aku bisa mengenalimu. Bukan dari wajahmu tapi dari suaramu. Di bandara, aku melihat seorang gadis yang sedang menelepon temannya. Aku merasa suaramu nggak asing, dan saat itu juga aku yakin kalau kamu adalah Shinta. Maaf karena selama ini terus-terusan menyalahkanmu soal ini. Seandainya aku nggak pernah buta mungkin aku juga nggak akan semudah itu mengenalimu. Kamu tahu indra seseorang akan semakin peka saat yang satunya rusak? Ya, aku bisa mengingat suara dengan sangat baik sejak aku tak bisa melihat selama kurang lebih sembilan tahun."

"Apa kamu kembali ke Indonesia untuk menemuiku?"

"Menurutmu untuk apa lagi?" Dia menatapku sekilas, "Aku ingin melihatmu langsung dengan mataku, nggak cuma mendengar rekaman suaramu saja. Itu alasan pertama. Alasan kedua aku dan Mbak Mawar memutuskan membuka kembali sekolah musik ayah yang sempat tutup selama kami di Austria."

"Bertemu denganku alasan yang pertama? Kalau seperti itu ceritanya... kenapa... kenapa akhirnya kamu memilih menikahi wanita lain? Bukankah itu artinya kamu juga mencintaiku?" Aku mulai terisak. "Bukannya harusnya kisah cinta kita bisa berakhir bahagia jika saling mencintai?"

"Setahun yang lalu aku mendapat donor mata. Ibunya Falia, dia memberikan matanya untukku saat dia meninggal. Tanpa mata ini pasti saat ini aku nggak bisa melihatmu. Dan untuk bisa melihatmu aku menggadaikan perasaanku. Aku berjanji akan menikahi Falia untuk membalas kebaikan ibu Falia." Rama mengusap lembut air mata yang mengalir di pipiku.

Aku menepis tangannya, "Apa maksudnya? Hhh... kepalaku pusing dengar ceritamu. Aku nggak bisa mencernanya dengan baik. Kenapa harus membuat janji sekonyol itu?"

"Aku nggak punya banyak pilihan, Ta? Tolong mengerti keadaanku saat itu." Tatapannya membuat hatiku seperti kena runtuhan salju.

"Daripada... daripada aku harus melihatmu menikah dengan wanita lain, lebih baik aku saja yang mendonorkan mataku...." Aku menangis sejadi-jadinya, "Kenapa kamu nggak bilang dari awal. Kenapa nggak meminta mataku saja waktu itu? Aku benci sama kamu!"

"Mengambil matamu? Kamu pikir aku tega? Dan kamu nggak bisa melihatku setelah itu selamanya, kamu mau?"

"Ng... seenggaknya aku akan mendonorkan satu mataku untukmu, aku nggak masalah melihat dengan satu mata asal kamu nggak perlu menikah dengan gadis lain."

"Ahaha..." Rama yang sejak tadi tampak serius, kini menatapku dan tertawa. Dia merapatkan tubuhnya ke arahku, menyentuh lembut ujung kepalaku, danaku bersandar di pundaknya sambil masih sesekali terisak.

"Kamu masih bisa ketawa. Apa karena Falia cantik kamu mau menikahinya? Kamu pasti nggak tahu gimana aku tersiksa selama ini membayangkan kamu akan menikah dengan wanita lain. Kamu pasti nggak tahu!"

"Falia mengalami depresi, beberapa kali dia mencoba bunuh diri. Saat aku kembali ke Indonesia dia coba menyayat urat nadinya di kamar mandi. Beruntung dokter masih sempat menyelamatkannya. Kedua orang tuanya pun membawanya ke sini agar aku lebih dekat dengannya. Jika aku nggak menikahinya, aku akan merasa bersalah seumur hidup."

"Bersalah? Dan kamu nggak merasa bersalah padaku?"

"Ta, kalau aku nggak menikahinya aku akan merasa sudah membunuh dua nyawa sekaligus. Falia dan bayinya. Saat itu aku benar-benar nggak bisa berpikir dengan baik. Aku merasa berkat ibu Falia aku bisa bertemu denganmu lagi, melihatmu, meski saat itu aku tahu nggak boleh memilikimu. Itulah mengapa aku memilih tinggal di sebelah apartemenmu supaya aku bisa mellihatmu lebih sering. Tapi di satu sisi aku juga nggak ingin membuatmu mencintaiku, karena aku tahu aku harus meninggalkanmu dan menikahi Falia."

"Tapi ternyata aku jatuh cinta padamu dan kamu tetap akan meninggalkanku?" Aku masih belum bisa memaksa mataku berhenti mengeluarkan air mata.

"Maaf... waktu itu...."

"Aku benar-benar pusing mencerna semua ceritamu! Lalu, apa maksudnya cincin yang kamu berikan tadi?"

"Aku ingin menikahimu."

"Apa? Tunggu! Itu artinya Falia nggak jadi menikah?"

"Dia tetap menikah."

"Terus ngapain kamu melamarku kalau tetap akan menikahinya?" Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya.

"Aku belum selesai... Falia akan menikah dengan ayah dari anaknya. Bukan denganku."

"Ka... kamu bukan ayah dari anaknya?"

Rama menarik lenganku lembut dan mengunciku dalam pelukannya.

"Berkat bantuan Gio tunangannya Nala kami menemukan kekasih Falia. Mbak Mawar dan Nala terus mendesakku hingga aku menceritakan semuanya beberapa minggu lalu dan mereka membantuku menemukan kekasih Falia. Dulu Falia dan kekasihnya sempat ingin kawin lari. Cinta mereka nggak dapat restu orang tua Falia, kekasih Falia bukan dari keluarga terpandang. Dalam keadaan hamil dan tertekan Falia pun mengalami depresi, tapi sekarang berangsur membaik. Aku nggak bisa menginggalkannya dalam keadaan seperti itu. Dia berkali-kali mencoba bunuh diri. Dia mulai tenang saat aku bilang akan menikahinya. Tapi syukurlah sekarang semuanya sudah beres."

"Jadi, kamu dan Falia nggak jadi menikah?" Aku merasa nggak percaya dengan semua yang kudengar dan rasanya tak pernah cukup untuk kembali menanyakan hal yang sama sampai hatiku benar-benar yakin.

"Aku dan Falia tetap menikah. Falia menikah dengan kekasihnya, dan aku akan menikah denganmu."

Aku memeluknya dengan erat sambil masih menangis, meski sekarang tangisan sedih berubah jadi tangisan bahagia.

"Maaf, karena keegoisanku aku selalu membuatmu cemas." Dia berbisik ditelingaku.

"Kalau aku nggak pernah merasa cemas karenamu, namanya bukan cinta. Karena cinta terbuat dari kecemasan dan rindu."

"Wah, kamu ngutip dialog dari filmmu ya? Aku nonton filmmu itu loh!"

"Menyebalkan!!" Aku pura-pura kesal dan memasang wajah cemberut.

"Ahaha.... Kamu tahu, setiap melihatmu aku selalu ingin memelukmu seperti ini?"

"Nggak tahu. Yang aku tahu kamu selalu pasang wajah galak setiap ketemu aku."

##

Aku duduk di belakangnya, sambil melingkarkan tangan di pinggangnya. Udara malam menyentuh dengan lembut. Rama meminggirkan motornya sejenak di pinggir jalan, ada penjual jagung bakar. Kami duduk menikmati sepotong jagung bakar dulu. Udara dingin membuat kami sedikit lapar setelah melepas banyak emosi dari menangis sedih sampai menangis bahagia.

"Habis ini kita mau ke mana?" 

"Pulang."

"Aku kan tinggal di rumah Nala, sekarang. Kita salah jalan, harusnya tadi belok kiri."

"Sudah jangan berisik!"

"Pulang ke mana? Salah jalan nih!"

"Pulang ke apartemen kita. Ke mana lagi?"

"Apartemen kita? Apartemenku itu sudah kujual sejak beberapa bulan lalu."

"Kamu nggak tahu siapa yang beli?"

"Nala yang urus penjualannya. Memangnya kamu kenal pembelinya?"

"Yang beli apartemenmu itu aku."

Setelah jagung bakarku habis, kami kembali melanjutkan perjalanan pulang. Menempuh perjalanan beberapa menit kemudian kami sampai di apartemen kami. Gedung yang sangat kurindukan. Banyak kenangan kami tertinggal di sini.

"Ini kunci apartemenmu, aku pinjamkan sementara."

"Pinjam?"

"Iya, nanti kalau sudah menikah baru jadi milikmu lagi dan kita tinggal sama-sama."

Aku tersenyum sambil menahan tawa. Aku menatapnya dengan penuh haru, wajahnya memancarkan ekspersi asing yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mungkin dia sedang malu sekarang. Rasanya mataku tak mau lepas dari wajahnya yang malam ini entah mengapa tampak begitu manis.

"Kenapa mengikutiku?"

"Oh, aku mau mampir ke apartemen calon suamiku."

"Jangan centil begitu!" Dia menjitak keningku. 

Aku menarik lengannya dan menahannya kuat-kuat dengan kedua tanganku, "Nggak akan aku lepas sampai kamu bilang, 'iya'."

"Ah, senjatamu belum berubah? Menarik lengan orang lain? Baiklah, sebentar saja." 

"Ah, aku benar-benar kangen suasana di sini. Terakhir kali ke sini aku mendapat kabar buruk." Aku menatap sekeliling apartemen Rama, masih seperti dulu tempatnya tertata rapi.

Rama membuka jasnya dan melemparnya sembarangan di sofa. Bersamaan dengan itu beberapa bungkus permen mint jatuh ke lantai. Aku sedikit kaget, dan mendekat untuk memastikan. Sejak kapan dia suka permen mint? Biasanya di saku pakaiannya hanya akan ada bungkus rokok.

Aku mengikutinya ke arah dapur, dia menuang susu dingin dari kulkas, dan memberikan segelas padaku.

"Kamu sudah nggak merokok?" Aku menunjukan beberapa bungkus permen mint dari jasnya tadi.

"Sudah nggak butuh rokok."

"Betul-betul sudah nggak merokok?"

"Nggak."

"Yang benar? Kalau tiba-tiba pengin merokok gimana?" Aku setengah tidak percaya.

Dia menarik lenganku, mata kami hanya berjarak sekitar satu jengkal, matanya membiusku.

"Kalau tiba-tiba ingin merokok..." Rama menempelkan bibirnya ke bibirku dengan lembut. Per sekian detik aku merasa limbung, ada sesuatu yang hangat seolah mengaliri darahku dengan aliran listrik yang manis, "Tinggal cium kamu aja!" Dia tertawa jahil sambil menjulurkan lidahnya.

"Yang seperti itu bisa buat berhenti merokok? Kalau yang seperti ini bagaimana...."

Aku menarik ujung kemejanya hingga tubuh kami merapat, melingkarkan lenganku di lehernya, dengan sedikit berjinjit aku memberikannya ciuman yang kedua. Rama membalasnya dengan lembut, kedua lengannya mengunciku dalam pelukannya.

##

Rasanya aku sangat merindukannya, sudah dua pekan kami tidak bertemu. Aku ada syuting video klip di Bali, aku sempat mengajaknya dan Nala pun setuju. Tapi dia tidak mau. Katanya, "Kamu mau syuting bukan mau piknik kenapa harus ramai-ramai?" Huh! Menyebalkan! Dan lebih menyebalkannya lagi bahkan hari ini pun dia tidak menjemputku di bandara.

"Benar-benar deh! Aku baru abis pulang syuting video klip di Bali dia bahkan nggak jemput aku di bandara. Malah ngajak ketemuan di kafenya Nala. Nyebelin!"

Aku duduk di kursi belakang, di kursi depan ada Nala dan Gio. Padahal aku sudah memintanya dari jauh-jauh hari untuk menjemput, tapi katanya nggak bisa karena sibuk. Untung Gio sedang libur jadi bisa jemput kami di bandara. Meski sudah pacaran kadang sifat nyebelinnya masih ada aja.

"Udahlah nggak usah ngambek, berkat Rama tiap malam Minggu kafe aku jadi ramai yang datang, terutama cewek-cewek remaja. Hehe...." Nala terkikik jahil.

"Justru karena itu aku sebal!"

"Duh Ta, baru gini aja kok sudah sebal. Gimana kalau akhirnya Rama jadi artis betulan? Kamu bisa cemburu terus setiap hari sama fans-nya. Aku dengar, semenjak publik tahu tentang Rama, banyak label musik yang rebutan Rama loh!"

"Duh, kalau Rama jadi penyanyi terkenal pasti banyak cewek-cewek yang deketin dia. Aku nggak bisa ngebayangin!! Aku bisa emosi terus!!"

"Ahaha..." Gio dan Nala kompak tertawa.

Sepanjang jalan aku terus ngomel. Pesan singkatku tak satu pun yang dia balas. Apa dia tidak kangen sedikit pun? Padahal kami sudah tidak bertemu selama lebih dari dua pekan. Setiap malam pun biasanya lebih banyak aku yang menelepon duluan. Katanya dia sibuk di sekolah musik dan kalau malam menyanyi di kafe milik Nala.

Sesampainyadi kafe aku buru-buru turun dari mobil mencari Rama. Tapi tiba-tiba aku tertegun saat melihatnya duduk dengan gitar di tangannya, dia menyanyikan sebuah lagu yang tak asing untukku. Lagu pertama yang dia buatkan untukku dan dia unggah di youtube. Lagu favoritku. Liriknya manis seperti tatapan matanya saat ini padaku. Melodinya menyihir perasaan, pantas saja meski belum jadi artis betulan fans-nya di kafe Nala sudah bejibun. 

"Lagu tadi untuk... Shinta!" Dia mengucapkannya sambil menatapku lalu tersenyum.

Alih-alih ingin marah, aku justru tersenyum menatapnya dari jarak beberapa meter darinya. Di atas panggung mungil itu Rama tampak sangat keren. Saat lagu berakhir tepuk tangan menghujaninya. Aku pun tak tahan untuk tidak ikut bertepuk tangan. Dia selalu saja punya cara untuk membuatku makin mencintainya.

"Shinta ngomel sepanjang jalan karena kamu nggak jadi jemput." Nala menepuk pundak Rama yang baru saja turun dari panggung dan menghampiri kami. Aku pura-pura memasang wajah kesal meski sebenarnya sudah tidak marah padanya.

"Loh, ngapain aku jemput? Kan Gio sudah jemput. Memangnya mau konvoi?"

Aku mendorong tubuhnya kebelakang, "Kamu nggak bisa nggak nyebelinya?"

"Duh ini pasangan baru kerjaannya berantem terus." Suara Mbak Mawar membuat kami menoleh bersamaan.

"Iya, pusing aku, setiap ketemu Rama Shinta ada aja yang bikin heboh."Nala pura-pura mengeluh, "Tapi terserahlah, asal kalian mau menyanyi di hari pernikahanku dan Gio nanti."

"Bagaimana kalau ternyata kami yang menikah duluan?" Rama menarik punggungku dan merangkulku.

"Pernikahan Nala tinggal beberapa Minggu lagi, mana mungkin kita duluan? Lagi pula Mbak Mawar...."

"Tenang saja Mawar juga akan menikah nggak lama lagi." Suara lembut yang terasa familiar.

Aku menoleh ke arah sumber suara, "Dokter Janu?"

"Loh, itu kan cowok yang di toko baju denganmu tempo hari." Rama pun tak kalah terkejut.

"Hehe... akhinya aku berhasil jadi mak comblang." Nala tertawa bangga.

"Jangan bilang kalian sekarang pacaran?" Aku terkejut, menatap penasaran ke arah Mbak Mawar dan Dokter Janu bergantian.

"Begitulah, ceritanya panjang sampai akhirnya aku jatuh cinta dengan gadis pemain biola ini." Dokter Janu memeluk pinggang Mbak Mawar dari samping sambil menatapnya dengan tatapan penuh cinta.

"Buat merayakan berita bahagia ini gimana kalau kita nyanyikan satu lagu cinta buat Mbak Mawar dan Dokter Janu, Rama?"

Rama mengiyakan, kami duduk bersebelahan di atas panggung kafe, memetik melodi-melodi manis dari gitar kami, menyanyikan satu lagu cinta untuk kami semua. Semoga selamanya kisah cinta kami akan happy ending.

##

-selesai -


*PS : Dan semoga kisah cintamu juga akan happy ending. Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai selesai. Bagian terakhir, tapi mungkin bukan cerita yang yang terakhir. :)


Continue Reading

You'll Also Like

819K 37K 48
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
5.7M 307K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
37.8K 6K 52
Lu pernah naek Ojek Online? Berarti lu adalah satu dari sekian HUMAN JAMAN NOW
KOMEDI PUTAR ✔ By dals

General Fiction

193K 7K 7
[COMPLETED] || Sebuah cerita tentang cinta lama yang ingin menjadi baru 🎠🎡 A story by: Kadallilah Publish Start: 25 november 2017 End: 20 Desember...