Interweave

By fairyfarren

25.5K 2.3K 171

"Kamu tahu di usia berapa ibumu melahirkan kamu?" Thesa tahu. Namun, ia memilih untuk mengunci mulutnya rapat... More

PROLOG
01 | The Flowers Chorused
02 | When Eyes Meet
03 | Oddly Enough
04 | Flowers or Cigarettes
05 | Quietly, She Fell Apart
06 | Perfectly Imperfect
07 | Out Of The Blue
08 | Jinx
09 | Every Cloud Has a Silver Lining
10 | Lovebirds
11 | The Day Before
12 | A Perfect Storm
13 | Match Made in Heaven
14 | To Kick Oneself
15 | Ask For It
16 | Speak One's Mind
17 | All Good Things Come To an End
18 | Vanity of Existence
19 | The Insolent One
20 | Anything For Everything
21 | It's a Disaster
22 | More Than Blood
23 | lo and Behold!
24 | A Magnet For Trouble
25 | Now What?
26 | The One
27 | Getting On Her Nerves
28 | Double Trouble
29 | Checkmate!
30 | One Of A Kind
31 | The More She Know
32 | The Archer and the Prey
33 | Headache
34 | Nobody's Child
35 | In Between
36 | Reunion
37 | In One Day
38 | Home
39 | Solitude
40 | Connected
41 | Party
42 | Things Never Change

43 | A Breath of Fresh Air

385 42 6
By fairyfarren

43 | A Breath of Fresh Air

*ೃ

Thesa tidak menyangka akan menemukan pemandangan indah begitu Jaegar membuka pintu yang berada di sisi lain dari pintu masuk tadi. Dia memandangi gazebo di tengah-tengah taman di seberang sana dan ingin sekali mengunjunginya. Untuk menuju kesana Thesa perlu melewati jembatan kayu di atas kolam besar yang dipenuhi teratai air.

Lampu-lampu yang dipasang di jembatan dan menerangi sekitarnya memudahkan Thesa melihat seisi kolam dengan baik. Dia nyaris tersenyum senang kalau tidak ingat ada Jaegar yang berhenti di depannya. Pemuda itu berbalik dan Thesa mau tak mau menatapnya.

"Gue kesini pas kalian ngusir tadi," papar Jaegar tanpa mengubah ekspresinya yang datar. Biasanya ekspresinya membuat Thesa kesal, tapi kali ini Thesa tidak bisa menebak apa yang sedang Jaegar pikirkan hingga memasang tampang seperti itu.

"Maaf kalo lo ngerasa diusir," balas Thesa seadanya sambil berjalan melewati Jaegar untuk naik ke jembatan.

Thesa memandang ke danau sambil melangkah secara perlahan. Dia ingin menikmati pemandangan ini sebaik mungkin, tapi mendadak saja dia merasakan sesuatu menubruk pelan punggungnya. Thesa menoleh ke belakang dan menemukan sebuah jas hitam melingkupi pundaknya. Tatapannya beralih ke Jaegar di belakang yang memandang ke arah lain sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku.

"Pake. Masuk angin gua gak tanggung jawab," ucap Jaegar saat Thesa hanya diam memandanginya.

Thesa menurut dan membiarkan jas itu menghangatkan tubuh bagian atasnya. Tetap saja angin malam yang lebih sejuk dari biasanya itu membuat kakinya tidak nyaman. Tangannya beberapa kali menyingkirkan rambut yang mengenai wajah karena tersapu oleh angin. Thesa memutuskan untuk segera ke gazebo dan duduk di pinggirannya. Menyadari posisinya yang terlalu memakan tempat membuat Thesa bergeser kanan, membiarkan Jaegar duduk di sisi kirinya. Keduanya duduk dalam keheningan, memandangi danau yang permukaannya terpantul oleh lampu dari jembatan.

"Kalo ada ikan pasti lucu," celetuk Thesa asal.

Jaegar meregangkan tangannya sebelum membawanya ke belakang untuk menopang tubuh. "Gue tidur bentar."

Thesa melirik Jaegar, lalu menarik sedikit kasar bagian lengan kemeja pemuda yang nyaris menutup matanya itu. "Tanggung jawab udah bawa gue kesini. Jangan tidur."

Hening mendominasi sesaat setelah Thesa bergerak impulsif.

"Gak nyangka lo suka pakai kekerasan gini," celetuk Jaegar akhirnya sambil memandang tangan Thesa yang masih tepat di lengannya.

Akhirnya Thesa melepaskan cengkraman pada pakaian Jaegar, lalu berdeham sambil menghadap ke depan kembali. Dia rasa kalau hanya bicara pasti Jaegar akan tetap memejamkan mata, jadi Thesa sertai dengan menarik kemejanya. Tak disangka perbuatannya malah membuat dirinya malu sendiri dan menyesal.

"Jam berapa sekarang?" tanya Thesa setelah melihat Jaegar mengenakan jam.

"Setengah delapan," jawab Jaegar setelah memeriksa jam di tangan kirinya.

"Oh, bentar lagi..." gumam Thesa.

Jaegar masih dapat mendengarnya. "Apaan yang bentar lagi? Lo pulang?"

Tidak ada alasan untuk berbohong. Maka Thesa menjawab, "Iya."

"Gue anter," ucap Jaegar yang akhirnya menegakkan tubuh. "Nanti gue anter lo pulang," ulangnya.

Thesa menaikkan salah satu alisnya dan memandang Jaegar curiga. "Masih penasaran gue tinggal di mana sekarang?"

"Iyalah. Ngilang, gak masuk sekolah, hp gak aktif. Siapa yang gak penasaran lo kemana?" tanya Jaegar yang akhirnya terlihat seperti dirinya, cerewet. "Lo terlibat yang aneh-aneh?"

"Sembarangan. Orang yang punya persentase lebih besar terlibat aneh-aneh itu lo, ya!" semprot Thesa tidak terima.

Ada satu topik yang ingin sekali Thesa bicarakan. Tapi, gadis itu berharap Jaegar yang memulai duluan. Meski tidak ada tanda-tanda Jaegar akan mengungkit tentang Gama.

"Setelah gue selamatin lo sebelum jadi patung plonga-plongo di depan tadi, lo masih bisa ngatain gue gitu?" tanya Jaegar penuh drama.

"Oh, ya... ya... thanks udah selamatin gue sebelum jadi patung." Thesa berkata sarkas tanpa menatap Jaegar.

"Kenapa lo kayak gak bisa joget gitu? Perasaan pas senam bareng nenek nenek—"

Thesa reflek menyikut Jaegar pelan ketika pintu yang mereka lalui tadi terbuka. Seseorang keluar dan sepertinya berlagak aneh. Thesa dan Jaegar sama-sama terdiam sambil memandangi orang aneh tersebut. Keduanya menebak-nebak apa yang akan dilakukan orang itu selanjutnya. Tak disangka orang itu malah berjoget seolah dunia milik sendiri dan tidak sadar ada sepasang manusia yang tengah memandanginya dengan aneh.

Beberapa detik kemudian orang itu berhenti dan kembali masuk ke dalam. Detik itu juga tawa Jaegar dan Thesa pecah bersamaan.

"Kenapa sih dia?" Thesa berkata sambil memegang perutnya yang sakit karena tertawa.

Jaegar menjauhkan tangannya yang menutup wajah tadi, lalu menggeleng. "Gue rasa dia malu kalau joget di dalam."

"Introvert mungkin," imbuh Thesa.

"Mungkin mabok?"

"Atau lagi latihan nari."

"Biar gak malu-maluin pas ditampilin, ya."

Thesa mengangguk. "Tapi, keren juga tadi gerakannya. Gue tantang lo peragain ulang gerakannya tadi."

"Gak dulu." Jaegar menolak. Kemudian dia memandang wajah Thesa yang sedikit merah karena tertawa barusan. "Kalau mulai panas lepas aja," ujarnya, merujuk pada jas yang tadi dia berikan, ketika merasa udara malam ini berubah jadi lebih gerah.

Thesa menurut dan akhirnya dia melepaskan jas milik Jaegar. Dia hendak menyerahkannya kembali ke Jaegar, tapi pemuda itu malah mendorongnya menuju paha Thesa hingga kali ini jasmya menutupi bagian kakinya yang terbuka.

"Gak usah pake yang pendek-pendek kalau gak nyaman," komentar Jaegar tanpa melihat Thesa.

"Siapa bilang gak nyaman?" tanya Thesa yang tidak sadar bahwa sejak tadi tangannya terus menarik bagian bawah roknya agar bisa mencapai lutut.

"Kelihatan. Berhenti ngelawan kalau perkataan gue bener."

Thesa langsung bungkam. Hari ini Jaegar tidak membalas setiap perkataan dengan candaan menyebalkan. Hari ini kebanyakan malah ditanggapi dengan serius. Seharusnya Thesa lega. Namun, sisi Jaegar yang itu membuat Thesa selalu tahu apa yang harus dia balas.

"Kenapa lo ajak gue keluar kesini?" tanya Thesa penasaran.

"Mata gue sakit liat lo kebingungan di depan kayak anak ngilang."

Thesa lagi-lagi diam. Dia memikirkan sesuatu sebelum melotot ke arah Jaegar.

"Kenapa?" tanya Jaegar bingung.

"Ngapain lo liatin gue?!" tuding Thesa.

"Karena gue punya mata lah?"

"Ya, maksudnya kenapa gue? Lo kan bisa liat yang lain."

Jaegar tampak berusaha keras mencari alasan. Namun, akhirnya dia membalas, "Posisi gue lagi liat ke depan kebetulan, sih. Lo kepedean kalo mikir gue cuma liat ke arah lo. Sebelum itu banyak orang yang udah gue liat. Kebetulan aja nemu lo yang lagi kayak patung."

Thesa tidak bisa percaya. Posisinya tadi bukanlah di tempat yang bisa dilihat dari segala arah. Dia berada di tengah-tengah dan yang hanya bisa melihatnya adalah orang di sekelilingnya saja. Kalau begitu sudah berapa lama Jaegar berada di belakangnya tadi?

Sebelum Thesa mengungkitnya lagi, Jaegar langsung berkata, "Kemarin berhasil."

Topik yang diganti oleh Jaegar berhasil membuat Thesa melupakan segala hal yang mereka bahas sebelumnya. Gadis itu memosisikan tubuhnya sedikit miring untuk menghadap ke arah Jaegar. Namun, pemuda itu tetap pada posisinya yang tegak menghadap depan.

"Kalian kasih kejutan di mana?" tanya Thesa antusias mendengar.

"Rumahnya."

"Gimana dia sekarang? Baik-baik aja, kan? Kemarin dia senyum banyak, gak? Lo ada foto?"

"Satu-satu bisa?" tanya Jaegar yang akhirnya melirik sekilas ke arah Thesa dan hanya menemukan raut bahagia terpancar dari wajah gadis itu.

Dengan malas-malasan Jaegar membuka ponselnya. Saat itu juga Thesa tak sengaja melihat jam yang terpampang saat ini. Gadis itu langsung berdiri panik sambil meletakkan jas milik Jaegar ke sebelah pemuda itu.

"Gue harus pulang sekarang," ucapnya kepada Jaegar. "Duluan, ya."

Tanpa basa-basi lagi Thesa langsung melangkah menuju jembatan dan melewatinya. Dia buru-buru mendekati pintu untuk masuk ke dalam lagi dan membukanya.

Sementara itu di belakang Jaegar menunduk sambil memegang kepalanya yang kembali berdenyut. Gejalanya mulai muncul ketika mendengar Thesa tertawa untuk pertama kali. Namun, karena penyebabnya sudah pergi sekarang maka rasa pusing itu sedikit memudar. Dia mengambil jasnya yang tadi dipakai Thesa, lalu menghentikan gerakannya ketika melihat clutch bag yang tadi Thesa bawa tertinggal.

Dia tetap terdiam tanpa ada niat mengejar si pemilik dan mengembalikannya. Justru Jaegar memutuskan untuk mengambil tas kecil tersebut dan membawanya bersamanya.

*ೃ

Thesa belum melihat Bella sejak gadis itu berkata ingin ke toilet. Bella hilang entah kemana tanpa jejak. Tapi, tidak ada waktu bagi Thesa mencari Bella sehingga dia menghampiri Rubina yang sedang beristirahat sejenak setelah mengeluarkan energi semaksimal mungkin di depan tadi.

"Wait, what? Pulang sekarang banget? Acara masih panjang, Thesa." Rubina mengeluarkan nada protes yang membuat Thesa merasa tak enak.

"Rubi, kita masih punya banyak waktu di acara minggu depan. Tapi, malam ini aku gak bisa ikut sampai selesai. I'm so sorry. Aku pastiin minggu depan kita bisa habisin waktu lebih lama ketimbang hari ini, okay?"

Rubina tidak menerima begitu saja meski Thesa sudah berhati-hati dengan kalimatnya.

"Opa, ya?" tanya Rubina. "Kamu masih takut banget sama opa?"

"Kita semua takut sama opa." Thesa menjawab enteng. "Lagipula itu normal. Beliau kepala keluarga, udah sepatutnya kita takut dan menghormati perintah opa."

Rubina tidak berkata lebih lanjut, tapi saat dia mengulurkan jari kelingkingnya, Thesa langsung tahu sepupunya itu sudah mengerti. Dengan senyuman tipis, Thesa melingkarkan jari kelingkingnya dengan milik Rubina.

Tidak ada penjaga lagi di sekitar pintu masuk. Maka Thesa membuka pintu yang menjulang tinggi itu dan menutupnya secara perlahan. Dia melangkahkan kakinya dengan pelan dan semakin pelan ketika menemukan sosok tak asing tengah berdiri sambil bersandar di salah satu pilar yang berdiri kokoh tepat di jalan masuk restoran.

"Lo dari mana aja?" tanya Thesa penasaran.

Bella menoleh, sedikit terkesiap. Dia berdeham sebelum melangkah mendekat ke Thesa.

"Kenapa sendiri di luar?" Thesa bertanya lagi karena Bella hanya diam di tempat dan bahkan tidak berniat membuat kontak mata dengan Thesa.

"Gue..." Bella membuang napas kasar. "Mau minta maaf. Gue sadar sejak hari itu belum ada kata maaf satu pun yang keluar dari mulut gue."

Untuk mencairkan suasana, Thesa terkekeh pelan. "Gue udah gak terlalu mikirin karena udah lewat juga. Bukannya yang penting sekarang kita bisa berdiri hadap-hadapan gini tanpa adu mulut?"

Bella mendesah pelan, lebih ke arah frustrasi. Kening gadis berambut pendek itu mengkerut seperti tengah memikirkan sesuatu yang sulit diutarakan. "Gue gak bisa terus-terusan berlagak baik-baik aja setelah ngebuat lo..." Matanya tertuju pada bekas cakaran di lengan kanan Thesa yang sudah memutih.

"Bel, lo tau gue gak pernah nyalahin lo untuk hari itu." Thesa menghela napas pelan. "Ya, mungkin gue sempat marah dan kesal. Tapi, ada satu hal yang gak akan pernah gue lupain setelah keluar dari ruang kepala sekolah. Orang tua lo... mereka gak terlihat kecewa dan menyesal atas perbuatan anak mereka."

Akhirnya Bella punya keberanian untuk menatap Thesa.

"Sorry, seharusnya gue gak bicarain orang tua lo—"

"Gapapa," potong Bella, mengangguk. "Lanjutin aja. Mungkin aja gue butuh dengar ini."

Thesa menggigit bibir bawahnya, ragu dengan apa yang hendak dia ceritakan. "Waktu itu gue merasa gak nyaman dengan cara orang tua lo bicara tentang anak mereka sendiri. Mereka bicara seolah lo bukan anak yang mereka rawat dan besarkan sejak kecil. Masalah kita waktu itu bukan masalah yang sepele. Tapi, mereka kelihatan gak peduli sama sekali dan datang cuma sebatas formalitas. Gue tau mereka cuma mau masalah itu segera tuntas. Tapi, demi Tuhan—maaf Bella. Gue gak bisa diam aja lihatnya. Dari cara lo ngelampiasin emosi lo dengan kekerasan itu... gue tau ada yang salah. Ada yang salah dengan diri lo dan hal pertama yang buat gue kepikiran adalah hubungan lo dengan orang terdekat—"

Thesa berhenti melanjutkan celotehannya karena tiba-tiba saja Bella memeluknya. Gadis itu memendam wajahnya di baju kanan Thesa. Tangan Thesa terambang kaku, bingung harus bertindak apa. Namun, ketika dia merasakan basah di bahunya, tangannya langsung bergerak untuk mengusap punggung Bella.

Tidak butuh waktu lama untuk Bella mengurai pelukan mereka dan menghapus air mata yang nyaris jatuh lagi. "Thesa, kepedulian lo itu sangat berarti buat gue. Semua email dari lo udah cukup jadi alasan gue bertahan selama ini. Gue gak bisa ubah pandangan orang lain terhadap gue karena masalah waktu itu, tapi seenggaknya... seenggaknya lo masih menaruh kepercayaan sama gue. Itu udah cukup untuk saat ini."

Dan akhirnya Bella mengungkap apa yang selama ini dia pendam. Apa yang dia rasakan terhadap sikap orang tuanya dan perbuatan mereka yang menyakiti hatinya. Itulah yang Bella butuhkan selama ini. Seseorang untuk mendengar.

Jam 8 lewat beberapa menit, Thesa baru masuk ke dalam mobil yang dibawa pak Budi. Pria itu hanya memberi senyum ramah kepada Thesa meski cucu majikannya itu datang lewat dari jam yang sudah ditentukan sang opa. Tetapi, pria itu telah menyaksikan seluruh kejadian di depan restoran yang seperti film itu sejak awal.

Pak Budi tidak ingin berkomentar apa-apa ketika melihat Thesa berkali-kali menghapus air mata yang terus berjatuhan. Meski begitu gadis itu masih sempat tersenyum, artinya dia baik-baik saja. Thesa hanya lega karena Bella akhirnya benar-benar membuka hati kepadanya. Namun, yang membuat Thesa menangis bukan hal tersebut.

Gadis itu tidak menyangka sosok seperti dirinya masih diberi kesempatan untuk menjadi 'berguna' bagi orang lain. Thesa yakin dirinya tidak pernah merasakan hal semacam ini. Dan bukankah ini perasaan paling melegakan di dunia?

Continue Reading

You'll Also Like

955K 54.2K 37
Kisah Janelle tidak seberuntung kembarannya, Brielle, yang dapat merasakan kasih sayang dari Willie. Willie yang dikenal sebagai sosok yang hangat, b...
338K 51.2K 51
Silakan baca cerita 'Young Mother' lebih dulu. Claire terpaksa menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya, Nolan. Claire pergi ke Amerika untuk...
560K 27.1K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
40.5K 1.5K 38
"Jelek banget mukanya. Lagi mikirin apa, sayang?" tanya Galen pada perempuan disampingnya yang sebentar lagi menyandang status sebagai istrinya. Nam...