[Kumpulan] Trio Ori

By society-kun

2.4K 278 11

Ya, ini fanfic soal mereka bertiga dari entah tahun berapa, aku bikin buat personal sama beberapa orang aja y... More

dangdut
hantu?
suntik, atau...
berkat
mimpi buruk
98
sins

royal, royal au uwu

320 42 1
By society-kun

Guide:
"Bicara"
'Berpikir'
"Jurus/mantra yang diucap, ea"

.

TW!! blood, violence

.

.

"Tidak, tidak, tidak!" Gempa berlari di lorong istana yang di beberapa bagiannya dihiasi dengan mayat prajurit. Tombak yang diberikan Halilintar dibawa dengan tangan kanan begitu erat. Wajahnya panik tidak karuan setelah mendengar dari orang yang dia lawan tadi.

Kacau, semua kacau. Kobaran api dari kejauhan, teriakan perang oleh para prajurit lawan dan prajurit kerajaan yang mengorbankan nyawa mereka untuk mempertahankan istana. Gempa sangat yakin kalau di ibu kota suasana semakin tidak terkendali dengan pecahnya banyak kubu petarung.

Dan yang saat ini Gempa kejar, tak lain tak bukan adalah pertarungan dari otak segala hal dengan kedua kakaknya.

"Taufan!"

Yang terlihat di mata hanya si pemilik manik biru yang terengah di tempat dia berdiri sekarang. Tangan kiri yang penuh dengan darah diangkat ke arah Gempa, menyuruhnya berhenti di tempat. Gempa mengernyit tak suka dan khawatir melihat keadaan Taufan sekarang.

Di sisi lain Halilintar masih beradu pedang dengan seorang pria tinggi besar. Di belakang pria itu ada seseorang yang memakai jubah guna menutupi tubuhnya.

'Itu dia!'

Orang itu pastilah dalangnya. Raja dari kerajaan yang menyerang istana tengah berada bersama dengan ayahnya dan bertarung. Tapi yang dihadapi mereka saat ini pasti orang yang mengatur raja tersebut.

"GEMPA! JANGAN MELAMUN!" Taufan berteriak sambil mengarahkan angin miliknya di depan wajah Gempa. Menahan sebuah batu sebesar kepala pria dewasa yang hampir saja beradu dengan kepala Gempa.

Sontak teriakan dari Taufan mengalihkan perhatian Halilintar dan serangannya terjeda dengan mengambil jarak dari musuhnya.

"Apa yang kau lakukan di sini, bodoh!" geram Halilintar melihat Gempa yang harusnya sudah berada di camp bersama dengan ibunya untuk melakukan hal lain.

Si pria besar menyeringai dengan jeda yang diberi Halilintar. Dia segera mengambil kesempatan dan bergerak menerjang si pangeran. Taufan yang melihat segera mengambil tindakan untuk menahan serangan si pria besar namun di sisi lain orang yang dicurigai Gempa adalah dalangnya merapalkan mantra sihir untuk menyerang Taufan. Bersamaan dengan itu Gempa berlari ke arah Taufan sembari merapalkan mantra juga.

"Tanah tinggi!"

Kobaran api yang diberikan oleh penyihir pihak lawan terbelah oleh tanah setinggi dua meter yang diciptakan oleh Gempa. Taufan yang baru tahu adiknya bisa melakukan hal semacam itu bereaksi antara kagum dan terkejut.

"Bagaimana bisa kau-"

"Akan ku jelaskan nanti. Ini tidak akan bertahan lama ayo lari!" kata Gempa dan menarik tangan Taufan menjauh dari balik tanah tinggi.

Halilintar yang menahan serangan dari si pria besar melihat kedua adiknya dirasa cukup kuat untuk melindungi diri mereka sendiri, cukup lega. Dia bisa memfokuskan serangannya pada si pria ini.

"Hiya!" Halilintar menendang si pria tepat di ulu hati dengan kaki kiri yang diselimuti aliran listrik. Pria itu tidak terpental, hanya mundur beberapa langkah. Umumnya jika terkena serangan seperti itu dari Halilintar, orang akan terpental cukup jauh. Halilintar sangat mengakui kalau pria ini kuat. Apalagi dengan dukungan dari penyihir di belakangnya.

TRANG!

Halilintar melirik ke arah si penyihir. Gempa dengan tombak yang dia berikan tadi, menyerang si penyihir secara nekat. Halilintar ingin mengumpatinya namun mulutnya tertahan begitu melihat Taufan yang menembakkan belati angin di sela-sela Gempa menghujami si penyihir dengan mata tombak. Bagus, mereka berdua makin bisa diandalkan.

.

Serang, tangkis, tangkis. Penyihir ini pintar ilmu pertahan diri dan serangan melalui tongkatnya. Gempa bisa mengimbangi dengan baik semua itu, tapi staminanya memang sama sekali tidak bagus dari awal.

"Guh!" Gempa menutup mulutnya yang memuntahkan darah. Efek mengeluarkan sihir tanah yang benar-benar menguras umur itu sangat menyakitkan.

"Gempa! Kau baik-baik saja?!" tanya Taufan.

'Menurutmu?!' Serangan si penyihir datang lagi dan Gempa menangkisnya dengan badan tombak.

Gempa mendorong bagian tombak yang tidak menahan serangan ke arah si penyihir, mengenai kepalanya. Jarak mereka sedikit melebar dan Gempa segera mengarahkan mata tombaknya ke arah dada, namun ditahan dengan sihir. Taufan yang sedari tadi sibuk dengan rapalan mantra menyelesaikan rapalan itu lalu muncul benda besar transparan di atas di penyihir. Benda mirip jangkar itu dijatuhkan ke bawah namun si penyihir lagi-lagi menahan dengan sihirnya. Bersamaan, Gempa bergerak maju untuk menyerang si penyihir. Tusukan dan gerakan diagonal.

Setiap dua detik sekali jangkar yang dirapal oleh Taufan terus dijatuhkan dan si penyihir di serang dari dua arah. Gempa tidak membiarkan ada jeda di antara serangannya dan itu sangat merepotkan bagi si penyihir.

"Cih!" si penyihir berdecak dan menatap ke arah Taufan. Matanya seketika berganti warna menjadi merah menyala dan Gempa tahu itu adalah tanda bahaya.

"Taufan jangan ditatap!"

Terlambat, tubuh Taufan menjadi kaku dan rapalan sihirnya terhenti begitu saja. Belum selesai terkejut dengan serangan pada Taufan, Gempa terkejut untuk kedua kalinya saat tombaknya ditarik dan ulu hatinya dipukul keras-keras oleh si penyihir.

Tombaknya dirampas, tangan kanan Gempa digenggam erat dan dengan mudah, sama sekali tidak terlihat kesulitan, Gempa dihempaskan ke tanah. Lantai menjadi retak dengan jatuhnya tubuh Gempa.

Brak!!

Gempa terbatuk keras. Taufan yang tidak kehilangan kesadaran menatap ngeri ke arah Gempa.

Tangan Gempa ditarik kembali, lalu tubuhnya dihempaskan lagi. Tiga kali tubuhnya dibanting ke tanah seperti boneka dan kepalanya saat ini sangat pening, tubuhnya ngilu semua.

"Lepas...kan...dia..." Taufan susah payah untuk bicara di bawah kendali si penyihir.

"Yah, memang itu rencanaku," kata si penyihir lalu kembali menarik tangan Gempa lagi. Namun kali ini tidak dibanting, tubuh Gempa dilempar jauh-jauh. Terhenti dengan punggungnya menabrak pilar sampai pilar itu retak, kemudian jatuh ke lantai.

Taufan membelalak. Mulutnya terbuka untuk memanggil nama adiknya tapi sekali lagi, belum sempat dia bicara, kali ini tubuhnya melayang ke arah Gempa. Tidak menabrak pilar seperti Gempa, Taufan terhempas ke lantai, berguling dan berhenti di samping Gempa yang kesakitan.

"Agh..." Tubuh keduanya remuk redam, Gempa bahkan sudah tidak kuat menggerakkan jemarinya. Taufan yang dilepas kendalinya oleh si penyihir masih bisa bergerak dan mencoba untuk bangkit lagi.

"Merepotkan saja. Nih kukembalikan senjatamu," penyihir itu melemparkan tombak milik Gempa ke arah pemiliknya. Tombak yang dialiri sihir itu melesat dengan cepat ke arah Gempa. Anak itu sudah tak bisa lagi bergerak dan hanya bisa pasrah kalau tombak itu akan mengenainya.

Taufan yang tidak ingin Gempa terluka langsung memeluk adiknya dan melapisi punggungnya dengan angin sebelum tombak itu mengenai mereka. Namun karena kekuatannya yang sudah melemah, tak sampai satu detik perisai yang dia buat pecah dan tombak itu tetap melesat ke arah mereka. Menembus keduanya.

Gempa membelalak tidak percaya, Taufan juga melebarkan matanya dengan sakit yang nyata. Dan si penyihir juga tidak percaya apa yang dia lihat.

Dia mendengus geli, mulutnya menyeringai jahat. "Tidak usah susah payah aku membunuh mereka satu persatu," gumamnya sambil berlalu.

Dengan gemetar Gempa mencoba meraih tombak yang menancap di tubuh mereka. Kekuatannya tidak ada sama sekali dan hanya bisa menggenggam tombak itu. Ditarik dengan bagaimanapun tidak akan tercabut. Mulutnya penuh dengan amis dan kentalnya darah. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Darah mulai menggenang. Entah itu darah miliknya atau milik Taufan, mungkin keduanya.

Napas kakaknya terdengar sangat menyakitkan di telinga Gempa.

"Gem..pa..."

"K-Kak Taufan... bertahanlah... Sedikit saja,... tolong..."

Taufan terbatuk darah. Pelukannya pada Gempa mengerat karena sakit yang diderita. Sakit luar biasa. Seumur hidup Taufan tidak pernah merasa seperti ini.

"Uhuk! Gempa... aghh... maaf... Aku tidak cukup kuat, ugh, uhuk! Untuk melindungimu..." Taufan tersenyum pahit. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan Gempa namun pikirannya dipenuhi rasa penyesalan. Kalau saja, kalau saja dia sedikit lebih kuat.

"Jangan banyak bicara... Kak..." Gempa masih mencoba menarik tombaknya, tapi percuma.

Taufan mendengus dengan nafas yang berat, ada senyum tipis di bibirnya.

"Senang... bisa mendengarmu... hhh... memanggilku kakak... sebe... sebelum aku mati..."

"Aku ...kan ...manggil... kakak ...banyak yang kau mau, ...adi bertahanlah," suara Gempa sudah sangat lirih untuk didengar. Taufan masih memperlihatkan senyumnya walau tidak bisa dilihat oleh Gempa dengan posisi mereka sekarang.

"Benar-benar... kalau saja... waktu... bisa diputar..." Taufan yang sedari tadi tanpa disadari oleh Gempa menepuk pundaknya mulai melemah. Ada sebuah senandung mirip lagu tidur yang terdengar lirih dan memilukan. Seperti refleks seorang kakak yang menenangkan adiknya. Makin lama, baik suara senandung atau tepukan itu makin tidak terdengar dan terasa.

Gempa yang frustasi dengan tombaknya juga mulai merasa mengantuk. Pada akhirnya, baik mereka berdua tidak ada lagi yang terlihat terbangun.

.

Di sisi lain Halilintar masih bertarung dengan si pria besar. Tiba-tiba ada serangan sihir dari arah kirinya. Beruntung walau Halilintar sudah cukup kewalahan, dia masih bisa menghindar.

"Wah, wah, masih cepat juga pangeran yang jadi target utama kita ini ya," kata si penyihir.

Halilintar mendesis tak suka.

"Kau... Kenapa kau di sini? Mana Taufan dan Gempa?!"

Si penyihir nampak sangat meremehkan. Dia bahkan dengan santai mengorek telinganya di tengah pertarungan.

"Hah? Siapa? Oh, dua orang tadi ya? Hm? Mati paling. Tuh," kata si penyihir tadi dengan nada sangat santai dan menunjuk ke arah tempat Taufan dan Gempa yang cukup jauh dari mereka.

Halilintar melihat itu dengan buram, jelas, buram. Ketika jelas dia mencoba mengartikan pemandangan di sana. Itu bukanlah hal yang ingin Halilintar lihat. Dua tubuh yang bersimbah darah. Sebuah tombak yang Halilintar kenali adalah milik Gempa, tertancap di tubuh orang yang di atas. Halilintar tidak tahu apakah tombak itu sampai ke bawah juga tapi, sepertinya, iya.

Manik delimanya mengecil, amarahnya melonjak. Halilintar berteriak, keras, lebih keras, sangat keras sampai memekakkan telinga. Amarahnya membuat awan terkumpul di atas istana tempat mereka bertarung. Gemuruh terdengar. Lalu, sebuah petir besar turun menyambar ke bawah. Menghancurkan atap, menyambar si pria besar yang berteriak kesakitan. Tak sampai lima detik pria itu gosong seluruhnya dan mati mengenaskan.

Si penyihir yang terkejut dengan kekuatan Halilintar yang tiba-tiba kembali dikejutkan dengan hilangnya si pangeran. Bulu kuduknya meremang merasakan ada sesuatu di belakangnya. Belum sempat dia menyadari apa benda itu, tubuhnya sudah terlepanting dengan tendangan bertenaga listrik.

Halilintar menyeramkan, Halilintar yang sangat kuat. Rumor itu benar adanya dan si penyihir tertawa. Tawa yang keras. Tawa yang dibarengi dengan rapalan mantra di dalam kepala untuk menyerang Halilintar. Tawa yang bersandingan dengan suara gemuruh petir di mana-mana. Tawa yang menemaninya mati dengan terpisahnya kepala dengan badan. Halilintar mengakhiri tawa itu dengan tangan dan pedangnya yang bersimbah darah.

.

Sangat disayangkan oleh Raja Amato dan Komandan Tarung karena datang terlambat. Raja kerajaan yang menyerang mereka berhasil dikalahkan. Gemuruh di atas Istana Camellia mengundang atensi mereka. Pangeran mahkota yang mengamuk sampai mengundang malapetaka.

Ketika mereka sampai di sana dengan prajurit di belakang punggung keduanya, sebuah pemandangan mengerikan membuat semua yang melihat menahan napas.

Atap yang jebol dan tetesan hujan masuk tanpa halangan. Seorang pria yang gosong seluruh badannya dan diguyur oleh air hujan. Darah yang menggenang dari kepala dan badan yang terpisah. Pangeran Halilintar yang dengan raut muka kosong berjalan ke arah sebuah tiang.

Amato merasa perasaan tidak enak menghampiri dadanya. Di balik tiang itu rembesan darah dan beberapa bagian tubuh yang terlihat dari tempatnya nampak tak asing. Tidak memikirkan apapun lagi, Amato berlari menghampiri tiang itu. Dan dunianya seakan runtuh.

"Anakku..." Amato bersimpuh di samping Gempa yang ditindih oleh Taufan. Taufan menutup matanya, posisinya yang memeluk Gempa dengan erat sangat menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya.

Amato sudah berpuluh kali masuk ke ranah perang yang kejam. Dia tak pernah gemetar, namun saat ini kedua tangannya gemetar hebat saat ingin menyentuh tubuh salah satu anaknya. Otaknya tiba-tiba kosong, tidak, tunggu, ini bagaimana, apa yang harus dia lakukan sekarang- Tabib!

"PANGGIL PARA TABIB DAN PENYIHIR YANG PUNYA KEKUATAN PENYEMBUH SEKARANG!"

Seorang prajurit berlari secepatnya, sementara yang lain juga nampak syok dengan apa yang mereka lihat.

Halilintar terhenti di jarak dua langkah dari Gempa dan Taufan. Genangan darah keduanya tampak sangat merah, Halilintar menatap kosong ke sana. Dia kembali melangkah, tidak mempedulikan genangan darah itu dia berlutut di samping mereka.

"Hei, bangunlah," katanya. Tentu saja tidak ada jawaban baik dari Taufan ataupun Gempa.

"Bangun kalian berdua," ulang Halilintar. Matanya membelalak tiba-tiba dan sebuah emosi menguasai dirinya.

"Bangun aku bilang-!" Sebuah tangan menggenggam tangannya dengan lemah dan itu membuat Halilintar bungkam.

Gempa menatap ke arahnya. Suara Amato terasa senyap di telinga Halilintar. Gempa dengan banjir keringat, darah segar yang mengalir di sela mulutnya yang menyunggingkan senyum lemah mengatakan sesuatu padanya.

"...Kak, selamatkan, Kak Taufan..." Genggamannya jatuh begitu saja setelah mengatakan itu.

"Huh?"

Halilintar tidak sempat merespon apapun karena dirinya dibawa menjauh oleh seorang prajurit dalam keadaan linglung.

Rombongan tabib serta penyihir sudah sampai. Tombak yang tertancap dicabut oleh mereka. Suara arahan dari seorang penyihir dan seorang tabib, arahan dari raja, sinar biru dan kuning yang terpancar. Wajah kedua adiknya yang terlihat sangat damai. Bahkan ketika ibunya datang dan memeluknya, Halilintar hanya bisa merasa kalau dunia begitu abu-abu, berputar, dan gelap. Kesadarannya ikut terambil di pelukan sang bunda.

.

.

.

Author's note: gimana tanggapannya minna-san? Akhirnya aku merilis AU yang ini, lho! Ya... Ada sih lanjutannya, di otakku aja tapi, hehe. Dan tentu aja ada awalannya yang begini, begitu, gak tiba-tiba kerajaan diserang begini, tapi, itu di otakku aja sih, hehe.

Makasih dah baca :D

Bonus art konsep ini AU, tebaklah sendiri ini arahnya bakal kemana

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 81.4K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...
2.6K 347 6
fratres ; bermakna bersaudara - "berdikarilah nak, ayah titip adik adikmu" adalah kalimat terakhir yang gempa terima dari sang ayah sebelum tubuh kek...
103K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
80.8K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...