Silma Bridge

By aranindy

6.3K 1.1K 161

[The Capital #3] The Capital merupakan sebuah perusahaan jasa yang didirikan oleh keluarga Bastaraja. Namun... More

Prolog
BAB 1
BAB 3
BAB 4

BAB 2

1.1K 225 24
By aranindy

Why is the situation just getting worse and worse? Kembali berdiri di samping kursi Lakhan, Badi tanpa sadar mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Matanya bergantian melirik bosnya, kemudian Rinel yang duduk di seberang.

Hanya dengan sekali lihat, ia bisa tahu kalau Lakhan sedang kesal setengah mati. Raut muka yang biasanya dihiasi senyum jail itu tampak merengut. Di sisi lain, Badi sedikit mengagumi keberanian Rinel yang tidak terpengaruh dengan mood buruk Lakhan. Meski wajahnya memperlihatkan kebingungan atas sikap aneh calon atasannya, gadis itu masih mempertahankan senyum profesionalnya.

Astaga, first impression Rinel di depan Bos jelek banget. Terjebak dalam atmosfer berat itu, Badi sekali lagi memeriksa profil Rinel di iPad-nya. Riwayat pendidikan, pengalaman kerja, dan kemampuan gadis itu sudah memenuhi syarat sebagai kandidat penggantinya. Saat melakukan background check, ia juga tak menemukan catatan yang menunjukkan ketidaksukaan Rinel terhadap gim, oleh karena itu ia sama sekali tak menduga Rinel akan memasang ekspresi dingin saat melayangkan pandangan ke sekeliling ruang kerja Lakhan.

Sial! Seandainya tahu akan berakhir begini, Badi pasti tidak akan meloloskan Rinel, tak peduli sekompenten apa pun gadis itu. Sekarang, harapan gue tinggal kandidat terakhir.

Sementara sekretarisnya menggeleng-geleng pasrah, Lakhan masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Reaksi Rinel ketika melihat jajaran arcade games kesayangannya sungguh tidak bisa ia terima. Apa-apaan ekspresi lempengnya yang kayak talenan sayur itu? Apa dia nggak sadar sespektakuler apa koleksi gue?

Rinel yang tentu saja tak bisa membaca isi pikiran Lakhan terlihat mengerjapkan mata. Menyembunyikan rasa bingung dengan sambutan tidak bersahabat dari pria itu, ia memandang sekilas papan nama di atas meja.

Lakhan Labiru Bastaraja. Begitu mengetahui nama belakang Lakhan, Rinel spontan menarik napas pendek. Tidak ada satu pun orang di TC yang tidak mengenal nama Bastaraja. Keluarga konglomerat itu adalah pendiri The Capital dan beberapa kerajaan bisnis lainnya. Dengan menyandang nama Bastaraja, sudah bisa dipastikan bahwa orang itu adalah bagian dari pemangku kekuasaan tertinggi.

I have to be more careful. Berusaha mengabaikan tatapan tajam Lakhan padanya, Rinel perlahan melebarkan senyum. "Selamat pagi, saya Rinel Nawangi—"

"Rinel Nawangi." Memutus sapaannya, Lakhan mencodongkan tubuh sambil melebarkan kedua tangan ke udara. Ekspresinya tampak serius. "Bagaimana pendapat kamu tentang ruangan ini?"

Huh? Rinel otomatis menoleh ke belakang. Sesaat dipandanginya lusinan mesin permainan dengan lampu yang berkedip-kedip itu. I don't have any opinion though. Sejujurnya, itulah respons pertama yang terbesit di kepalanya. Namun, ini jelas bukan saatnya ia mengutarakan pendapat pribadinya dengan jujur.

"It's good, Sir." Kembali menatap Lakhan dengan anggukan sopan, Rinel memberikan pujian tanpa pikir panjang.

Ruangan Lakhan mungkin akan tampak normal seandainya pria itu bekerja di industri gim atau sejenisnya, tapi berhubung ia menjabat sebagai kepala divisi pengawasan dan pengendalian sebuah perusahaan jasa, penataan ruang kerjanya pun jadi terkesan mencolok sekaligus anti-mainstreamwell, itu hanya pendapat secara objektif. Namun, secara subjektif Rinel sama sekali tak menganggapnya sebagai sesuatu yang menarik.

Salahkan dua adik laki-lakinya yang suka sekali memainkan berbagai jenis gim video, Rinel jadi merasa jenuh dengan pemandangan di ruangan Lakhan. Bukan hanya melihat, sejak kecil dua adiknya bahkan selalu memaksanya ikut bermain bersama. Dan, berbeda dari saudaranya yang merupakan gamers sejati, ia hanya mau menemani mereka bermain saat benar-benar tidak memiliki aktivitas lain untuk dikerjakan.

"Good? That's all?" Seolah dapat melihat ketidaktulusan Rinel, manik mata terang Lakhan menyiratkan kedongkolan. Baru beberapa menit berinteraksi dengan gadis itu, ia sudah merasakan banyak ketidakcocokan di antara mereka.

Bukan hanya perkara respons asal-asalan terhadap ruang kerjanya, karakter Rinel sendiri cukup menjadi masalah baginya. Saat dulu Lakhan memilih Badi menjadi sekretarisnya, ia tidak hanya menilai dari kemampuan mumpuni pemuda itu, tapi juga melihat dari kepribadian Badi yang terbuka dan ekspresif. Lakhan lebih suka bekerja bersama dengan manusia bertipe open book*—terutama untuk seseorang yang akan menjadi tangan kanannya.

(*Orang yang transparan, mudah mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakannya.)

Membayangkan dirinya menghabiskan sebagian besar waktu dengan orang yang terlalu tenang dan minim ekspresi seperti gadis di hadapannya, Lakhan sontak bergidik. Nope. Not possible. It must be really boring!

"Ehm, ehm .... Bos?" Di sampingnya, Badi berdeham sedikit keras. Meski tampak canggung, si sekretaris berusaha mencairkan suasana kaku di antara dua orang itu. "Can we start the test now?"

"Oh, you still here?" Lakhan melirik sekilas. Gara-gara sibuk memikirkan kekesalannya terhadap Rinel, ia sampai mengabaikan sekelilingnya.

Ya, Tuhan. Badi menahan diri untuk tidak mengelus-elus dada. Bagaimana bisa Lakhan melupakan keberadaannya begitu saja?

"Yeah, let's get it done quickly."

Nada bicara Lakhan yang tak serius membuat Badi sontak memandang Rinel. Ia yakin gadis itu juga bisa merasakan keapatisan Lakhan yang cukup frontal. Namun, kekhawatiran Badi langsung berganti menjadi kekaguman saat menyaksikan Rinel yang tetap duduk dengan bahu tegak. Whoa, she's strong.

What a dull person. Berlawanan dari sekretarisnya, Lakhan tak memiliki hasrat untuk bercakap-cakap lebih jauh. Lebih dari itu, ia sama sekali tak menyukai cara Rinel memandangnya.

Sambil menyandarkan punggungnya dengan hempasan kasar, Lakhan mengingat-ingat profil kelima peserta yang ditunjukkan Badi saat mereka berada di dalam lift. Menurut data yang dibacanya, Rinel baru menginjak usia 27 tahun sekitar tiga bulan lalu. Bukankah itu berarti Rinel empat tahun lebih muda darinya? Jadi, kenapa Rinel malah menatapnya dengan ekspresi penuh kesabaran dan pemakluman, layaknya wanita dewasa yang sedang menghadapi bocah tantrum? Hah, yang benar saja.

Tak mau mengulur-ulur waktu, Lakhan segera memutar salah satu monitor komputernya, lalu mengajukan pertanyaan seperti yang ditanyakan ke peserta sebelumnya. "What do you think about this?"

Alih-alih menjawab, Rinel justru terpegun dalam diam. Sepasang manik mata gelap itu dengan cepat bergerak ke kanan dan kiri, nyaris tak berkedip saat memandangi puluhan aktivitas yang terekam di CCTV. Meski tak mengharapkan apa pun dari si kandidat, Lakhan tak melewatkan setiap ekspresi yang terlukis di wajah itu.

Detik demi detik berlalu, sampai akhirnya Rinel buka suara. "This is amazing, Sir."

Kalimat bernada takjub yang meluncur dari bibir Rinel berhasil memicu reaksi tak biasa dari sang penguji. Dengan mata memicing, Lakhan menghentikan kegiatannya memutar-mutar kotak permen di tangan kanan. "What's amazing?"

"All of this." Tak menyadari tatapan ganjil Lakhan yang kini terpaku padanya, Rinel masih memandangi monitor dengan senyum yang semakin mengembang. Wajahnya pun tampak lebih bersinar dibanding sebelumnya, seakan ia telah menemukan sesuatu yang membuatnya antusias. "Saya mulai memahami kenapa departemen ini dinamakan Silma* Bridge. Tempat ini merupakan 'mata' The Capital. Badan pengawas yang memiliki kontrol penuh dalam memantau perusahaan—how can that not be considered amazing?"

(*Silma: Mata/indra penglihatan (Bahasa Finlandia))

Penjelasan Rinel disambut oleh keheningan. Hanya sekilas, sebelum tawa Lakhan tiba-tiba berkumandang keras. Dengan penuh semangat ia menepuk-nepuk tangan kursi yang didudukinya. "I love plot twists in movies, but in real life, this kind of plot twist sucks."

Hah? Tawa hambar layaknya penjahat di film-film itu sempat membuat Rinel kaget. Is he crazy? Tampaknya itu satu-satunya kesimpulan paling masuk akal setelah memperhatikan tingkah aneh laki-laki di depannya. Well, it doesn't matter. Beruntung, Rinel cukup cepat menguasai dirinya lagi. Ia toh sudah terbiasa direpotkan oleh kebandelan adik-adiknya. Berhadapan dengan Lakhan mungkin tidak jauh berbeda.

Selagi Rinel berusaha memantapkan hati, Lakhan pun tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Dilema yang ia rasakan sejenak membuatnya membisu. Kenapa orang yang paling tidak diharapkannya justru memberikan jawaban yang paling ingin didengarnya?

Teringat lagi saat ia menunjukkan kamera pengawas Silma pada para kandidat dan menanyakan apa pendapat mereka, tiga orang pertama langsung fokus mencari problem untuk dipecahkan. Well, karena ini adalah sebuah tes, respons mereka tentu bisa dimaklumi. Namun, satu hal yang luput dari perhatian mereka adalah fakta bahwa sejak awal pertanyaan yang Lakhan ajukan hanyalah, "What do you think?" dan bukan pertanyaan sulit seperti, "Is there anything strange about it?" atau "Have you noticed any unusual things caught on security cameras?"

Kemampuan memang sangat diutamakan di Silma, tapi poin lain yang tidak kalah penting adalah loyalitas dan sense of belonging terhadap perusahaan. Sampai detik ini, Rinel adalah satu-satunya kandidat yang dengan lugas memperlihatkan ketertarikan pada departemennya. Gadis itu memahami esensi Silma Bridge dan menganggap otoritas yang dimiliki Silma sebagai sesuatu yang mengagumkan.

Harus diakui, Rinel sudah melalui tes pertama dengan sempurna. Yah, tapi ini belum cukup. Sambil mengedikkan bahu, seringaian kembali mencuat di bibir Lakhan. Tanpa ia sadari, ekspektasi yang telah terkubur perlahan-lahan mulai tumbuh.

"Rinel Nawangi, sebelumnya kamu bekerja di sebuah perusahaan start-up selama lima tahun sebagai assistant marketing manager. Kamu punya performa cemerlang di perusahaan yang reputasinya juga bagus, jadi kenapa kamu memilih melamar ke Silma?" Dengan melipat kedua tangan di depan dada, Lakhan memasang tampang heran. "Sedikit banyak kamu sudah mendapat informasi kalau job desc departemen ini berbeda dengan pekerjaan lama kamu, 'kan?"

Melihat Lakhan dengan lancar memaparkan pengalaman kerjanya tanpa membaca dokumen apa pun, mata Rinel sempat menyipit, sebelum ia cepat-cepat menganggukkan kepala untuk merespons pertanyaan itu. "Job desc yang sangat berbeda menjadi pertimbangan utama saya mendaftar ke Silma, Pak Lakhan." Rinel dengan mantap mengatakan ketertarikan pada Silma, tanpa mengungkapkan bahwa demotivasi* adalah alasan terbesar ia memilih resign dari kantor lamanya. Rinel tidak sebodoh itu untuk mengekspresikannya secara gamblang. Bisa-bisa ia malah dianggap kurang berdedikasi dan mendapat nilai minus di mata Lakhan.

(*Keadaan di mana seseorang merasa lelah dan kehilangan motivasi untuk melakukan suatu pekerjaan.)

"Keep talking."

"I believe I was good at my job before, tapi saya berani mengambil risiko untuk switching career setelah mendengar kehebatan departemen Silma Bridge, yang belum pernah saya temukan di tempat lain."

Rinel sama sekali tak berbohong perihal keinginan pindah jalur karier. Semenjak masih duduk di bangku kuliah, ia sudah sering mendengar sepak terjang TC dari beberapa kenalan yang akhirnya berhasil meniti karier di sana. Dan, sudah menjadi rahasia umum kalau karyawan TC memiliki kewajiban 'mengabdi' kepada para klien dengan jam kerja gila-gilaan.

Bagi Rinel yang menghabiskan setengah dekade bekerja di bagian pemasaran, bekerja di TC sama sekali tak menggugah minatnya. Ia sudah terlalu kenyang melayani konsumen sekaligus menjadi ujung tombak kesuksesan perusahaan, sehingga tak pernah tebersit sedikit pun di pikirannya untuk melamar ke TC yang sistem kerjanya 11-12 dengan pekerjaannya selama ini.

Namun, pandangan itu berubah setelah ia bertemu dengan teman baik Ayahnya yang berkunjung ke restoran Asia milik keluarganya di bilangan Senopati, kira-kira dua bulan lalu.

"Nel, TC ada rencana buka lowongan kerja, kamu nggak tertarik nyoba?"

"Makasih Om Daduk, tapi kayaknya aku kurang cocok kerja di industri jasa." Menempati kursi di depan Daduk—manajer di salah satu departemen TC yang berhubungan dengan HumasRinel menggeleng dengan sopan.

"Janganlah kalau The Capital. Tekanannya terlalu tinggi." Raden, sang Ayah yang duduk di sisi kanannya ikut menimpali, "Wong di perusahaannya yang sekarang aja Rinel udah dua kali opname gara-gara jam kerjanya nggak keruan."

"No, no, it's different from usual. Departemen yang mau buka loker ini nggak melayani klien sama sekali." Meletakkan sumpitnya di atas meja sambil mengelus-elus perut tambunnya, Daduk kemudian melanjutkan, "Saya nggak bisa menjelaskan dengan detail, singkatnya Silma Bridge itu semacam unit khusus yang melindungi perusahaan dari serangan luar. Bisa dibilang, mereka satu dari sedikit departemen di The Capital yang nggak perlu tunduk pada klien."

Kegiatan Rinel mengunyah mantou mendadak terhenti. Melindungi perusahaan? Nggak perlu tunduk pada klien? Entah karena cara bercerita Daduk yang persuasif atau ada alasan lain, ia tanpa sadar mulai mendengarkan pria itu dengan penuh konsentrasi.

"Bekerja di belakang layar dan memiliki wewenang untuk mengakses segala informasi demi menjaga The Capital—poin-poin itu yang membuat saya tidak ragu melamar ke Silma Bridge, Pak."

"Hmm." Lakhan menggoyang-goyangkan kursinya sambil memejamkan mata sejenak, terlihat sibuk mencerna penjelasan Rinel. "Jadi, intinya kamu tertarik dengan cara kerja Silma karena sudah muak beramah tamah dengan klien?" Lalu menaikkan satu alis, seakan menantang gadis itu untuk menyanggah pendapatnya.

Rinel memamerkan senyum kecil tanpa memberikan respons dalam kata-kata. Tampaknya si bos yang kelihatan kekanak-kanakan itu memiliki taring tersembunyi. Bahkan dengan secercah senyum polos yang menyilaukan, pria itu tak segan menyerang langsung ke titik yang justru ingin ditutupinya.

Meski tebakan Lakhan bisa dibilang tepat sasaran, Rinel tetap berusaha agar tak terpancing. Terlepas dari rasa lelah dan jenuh pada pekerjaan sebelumnya, pengalamannya menghadapi berbagai macam orang bisa membantunya menghadapi situasi seperti ini dengan kepala dingin.

"Mudah beradaptasi dan beramah tamah merupakan salah satu skill yang saya miliki. Tapi, saya tidak cukup merasa puas dengan itu. Masih ada keterampilan lain yang ingin saya asah. Dan ...." Rinel menggantung kalimatnya sejenak, lalu menatap Lakhan tepat di manik mata. "Saya yakin Silma Bridge adalah tempat paling ideal untuk mengembangkan skill saya tersebut."

Good. Very good. Seringaian di bibir Lakhan bertambah lebar, tak dapat lagi menyembunyikan antusiasmenya yang menggebu-gebu. Alih-alih berhasil memancing Rinel untuk mengakui kelemahan, kini justru dirinya yang dibuat penasaran dengan keterampilan lain yang diam-diam dimiliki gadis itu.

"So, what other skills do you have besides being a sweet-talker?"

"Frightening and threatening people in order to achieve a greater good, Sir."

Tarikan napas kaget Badi menjadi satu-satunya reaksi yang terdengar. Refleks saja ia memutar bola matanya ke arah Lakhan dan Rinel bergantian. Meski keduanya hanya saling beradu pandang tanpa ada lagi interaksi di antara mereka, Badi yakin pandangan Lakhan terhadap Rinel tidak seburuk di awal pertemuan. Si bos bahkan bersedia meluangkan waktu sekitar 20 menit—tiga kali lipat lebih lama dari durasi interviu sebelum-sebelumnya.

"Ok, Rinel Nawangi, you pass—"

"Bos!" Mengetahui Lakhan berniat meluluskan Rinel secara impulsif, Badi buru-buru menundukkan kepala dan berbisik dengan nada mengingatkan, "Kita masih punya satu kandidat lagi."

"Ooh."

Berusaha tak mengindahkan sorot kecewa di mata Lakhan yang seperti kehilangan mainan baru, Badi langsung mendatangi Rinel sambil melebarkan tangan kanannya, dengan sopan meminta gadis itu berdiri. "Oke, Rinel, terima kasih atas partisipasi kamu hari ini. Mari saya antar keluar."

"Terima kasih atas waktunya, Pak Lakhan." Beranjak dari kursi, Rinel lebih dulu membungkuk pada Lakhan, sebelum mengikuti arahan Badi untuk keluar ruangan.

"Rinel Nawangi." Baru berjalan beberapa langkah, panggilan dari arah belakang memaksa Rinel berhenti. Ia maupun Badi yang berjalan di depannya spontan menoleh ke sumber suara.

"Ya, Pak?" Kening Rinel berkerut samar, merasa heran karena Lakhan terus-terusan memanggilnya dengan nama lengkap. Tanpa sadar ia jadi teringat pada sang Ibu yang memiliki kebiasaan memanggilnya dengan nama lengkap saat ingin memberinya peringatan atau saat ia melakukan kesalahan.

Namun, berbeda dari Ibundanya, Rinel merasa alasan Lakhan memanggilnya dengan nama lengkap justru untuk menegaskan bahwa ia hanyalah orang luar di mata pria itu. Terlepas dari keceriaan dan perilaku absurd yang ditunjukkan Lakhan sejak awal, sepasang mata cokelat terang itu tak berhenti menatapnya dengan waspada dan penuh selidik, bagaikan raja hutan yang sedang menjaga teritorinya dari kawanan asing.

Nggak, sih. Raja hutan kayaknya terlalu garang. Rinel dengan cepat meralat pikirannya sendiri. Lakhan memiliki tipe wajah lembut dengan tatapan hangat yang menyejukkan hati, rasanya kurang tepat kalau menyamakan pria itu dengan singa. Kancil mungkin lebih cocok? Ia kemudian memperhatikan postur tubuh Lakhan dengan lebih saksama. Atau kancil raksasa?

"Kamu tunggu di luar sebentar."

Lamunan Rinel buyar begitu mendengar kalimat tak terduga dari Lakhan. "Baik, Pak." Meski benaknya diliputi rasa kaget bercampur penasaran, ia tetap mengangguk patuh. "Terima kasih."

Eh? Tak berhenti di situ kebingungannya, Rinel kemudian memergoki ekspresi ganjil Badi saat pria itu membukakan pintu untuknya. Oh, well, sepertinya bukan cuma dirinya yang dibuat terkejut dengan ucapan Lakhan barusan.

***

"Boss, why did you do that?" Setelah menutup pintu di belakangnya, Badi sedikit berlari menuju meja Lakhan. Ia bahkan tidak langsung memanggil peserta terakhir karena tak tahan ingin segera bertanya. "Seandainya nanti memang Rinel yang lolos, kita bisa menghubunginya secara mandiri—"

"Nggak ada salahnya dia nunggu sebentar," sela Lakhan sambil menopangkan kepala di tangan kanan. Pandangannya tertuju pada monitor kamera pengawas dengan malas-malasan. "Kalau dia lolos kita bisa langsung kasih tahu, kalau dia gagal, ya, tinggal suruh pulang."

Badi mengembuskan napas panjang. Alasan yang masuk akal sekaligus semena-mena. Bagi orang yang disiplin dan teguh dalam menjalankan prosedur, ia akan merasa lebih tentram jika Lakhan tidak memutuskan hal-hal penting dengan spontan seperti itu.

"Lo nggak manggil peserta kelima?"

Semua sanggahan dan keluhan yang ingin ditumpahkan oleh Badi lenyap ketika mendengar pertanyaan Lakhan. Tahu ini bukan waktu yang tepat untuk beradu argumen, ia bergegas membawa kandidat berikutnya.

"Saya sudah meneliti dengan cermat dan kesimpulannya adalah .... seluruh kegiatan di dalam perusahaan berjalan dengan baik tanpa ada masalah, Pak!"

Jawaban tegas diiringi senyum penuh percaya diri dari peserta terakhir membuat Badi sontak menggeleng-gelengkan kepala.

See? Meski tak mengeluarkan komentar apa pun, Badi seakan dapat mendengar isi hati Lakhan saat pria itu menoleh padanya dengan satu alis terangkat.

Dan, begitu kandidat terakhir—pemuda kurus berambut cepak—keluar dari ruangan dengan langkah gontai, Lakhan kembali menyantaikan punggungnya pada kursi. "Bad, tell her to come here."

"Yes, Boss."

Dan kini, hanya dalam kurung waktu lima menit, Rinel telah duduk di depan Lakhan untuk kedua kalinya.

"Congratulations, Rinel Nawangi. Kamu diterima." Lakhan membuka kalimatnya dengan mengulurkan tangan kanan di depan Rinel. "Welcome to Silma Bridge."

Membalas uluran tangan bos barunya, senyum Rinel merekah sempurna. "Terima kasih, Pak Lakhan."

"Oke." Sehabis melepas genngaman tangan mereka berdua, Lakhan melirik sekretaris yang berdiri di sisinya. "Bad, lo cek control room, deh."

"Yes?" Badi tak langsung merespons. Instruksi Lakhan yang mendadak itu membuatnya mengernyit. Setahunya tidak ada hal mendesak yang perlu ia periksa— "Oh, siap, Bos!" Seolah baru menangkap sebuah isyarat penting, Badi refleks mengangguk mantap. Meski biasanya ia tak segan-segan mengomel atau mengingatkan bosnya tentang berbagai macam hal, ada kalanya ia dengan tanggap melaksanakan perintah Lakhan tanpa berani bertanya apa pun.

Bibir yang tidak lagi menyunggingkan senyum serta sorot mata yang memandang lurus lawan bicaranya tanpa berkedip—jika Lakhan sudah menunjukkan ekspresi seperti itu, Badi yakin tidak ada seorang pun di Silma yang mampu membantahnya.

"So, Rinel Nawangi ...." Sesaat setelah Badi keluar ruangan, Lakhan memfokuskan seluruh perhatian pada gadis yang duduk di depannya. "Mulai hari ini kamu resmi menjadi Sekretaris saya. Tentang apa aja job desc kamu, nanti Badi yang akan menjelaskan lebih lanjut."

"Baik, Pak."

"Good. Now let's get down to the most important thing." Sambil menepuk kedua tangannya sekali, suara Lakhan terdengar satu oktaf lebih rendah. "Ada satu hal yang harus selalu kamu pegang teguh begitu bergabung dengan Silma Bridge."

Rinel refleks menegakkan punggung. Kedua bahunya sedikit menegang. Walau senyum yang terpatri di wajah Lakhan masih sama seperti sebelumnya, atmosfer seakan ikut berubah seiring kalimat yang keluar dari mulut pria itu.

"You must never, ever betray Silma Bridge." Dalam intonasi yang halus, Lakhan perlahan beranjak. "That's the basic rule here."

Untuk pertama kali sejak menginjakkan kaki di ruangan itu, Rinel akhirnya menyaksikan Lakhan berdiri dari kursi. Tanpa sadar matanya mengikuti setiap pergerakan bos barunya. Dengan bahu lebar dan sepasang kaki panjang yang melangkah keluar dari balik meja, Rinel dapat merasakan tekanan tipis yang mulai melingkupinya.

Berlawanan dari wajah Lakhan yang cenderung manis, postur tubuhnya yang mengintimidasi berhasil membuat Rinel mawas diri.

"Got it?" Berdiri menjulang di samping tempat duduk Rinel, senyum Lakhan kembali ke permukaan. "Rinel Nawangi?"

Rinel tak langsung merespons. Posisi Lakhan yang memaksanya mendongakkan kepala tinggi-tinggi menambah rasa tidak nyaman untuknya.

Berusaha tak terpengaruh oleh segala intimidasi itu, otaknya masih berusaha mencerna penjelasan Lakhan dengan hati-hati. Satu hal yang menarik perhatian Rinel adalah kalimat Lakhan yang memintanya untuk tidak pernah mengkhianati Silma Bridge.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari peraturan itu, tapi sedari awal Rinel melamar ke departemen ini adalah untuk bekerja sebagai sekretaris Lakhan, yang berarti ia adalah tangan kanan pria itu. Alih-alih memerintahnya untuk tidak pernah mengkhianati Lakhan yang merupakan bosnya langsung, laki-laki itu justru menekankan kesetiaan Rinel pada departemen mereka.

Why? Ketika pertanyaan tersebut tebersit di benaknya, Rinel tak ragu untuk mengungkapkannya. "Maaf, Pak. Sebelum menjawab pertanyaan Pak Lakhan barusan, bisakah saya bertanya satu hal?"

"Silakan."

"Apakah bagi Pak Lakhan, kepentingan Silma Bridge berada di atas kepentingan Bapak?"

Lakhan sontak terbahak kencang. Berkebalikan dari ekspresi serius Rinel, ia justru menunjukkan kegembiraan yang seketika mencairkan ketegangan di antara mereka. Seolah menyukai pertanyaan yang diajukan sekretaris barunya, senyum Lakhan tampak lebih tulus dibanding sebelumnya.

"Ya, kepentingan Silma berada di atas segalanya, Rinel Nawangi." Dengan kerlingan penuh arti, Lakhan lalu kembali ke topik awal. "So, what's your answer?"

Setelah mendapat kepastian dari si bos, Rinel mengangguk sekali. "Got it, Sir." Lalu bangkit dari kursi. Kini ia telah berdiri berhadapan dengan Lakhan. "I will never betray Silma Bridge."

Ditatap oleh mata gelap yang terlalu damai itu, Lakhan spontan menghela napas pendek. Sesaat ia mendongakkan kepala sambil memijat-mijat tengkuknya. Dilema itu kembali melandanya. Sampai detik ini, pendapat Lakhan tentang kepribadian Rinel yang terlalu datar dan tidak cocok dengannya masih belum berubah. Namun, ia tak bisa mengabaikan kelebihan yang dimiliki gadis itu.

Cara Rinel merespons pertanyaannya dengan penuh pertimbangan dan berusaha melihat gambaran dengan lebih luas sebelum memutuskan sesuatu—tak dapat dimungkiri, itu merupakan kualitas yang berharga untuk departemennya.

"Okay, then." Butuh waktu beberapa detik sampai Lakhan memutuskan mengulurkan tangan kanannya. "I look forward to working with you, Rinel."

Rinel mengerjap sekali. Ah, untuk kali pertama sejak pertemuan mereka satu jam lalu, Lakhan akhirnya bersedia memanggil namanya langsung. Dan, ketika membalas uluran tangan itu, Rinel seakan bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Genggaman kuat dan seringai kekanak-kanakan yang menghiasi wajah Lakhan bagaikan sebuah tanda bahwa pria itu benar-benar telah menerimanya di Silma Bridge.

***


Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 291K 96
RANKED #1 CUTE #1 COMEDY-ROMANCE #2 YOUNG ADULT #2 BOLLYWOOD #2 LOVE AT FIRST SIGHT #3 PASSION #7 COMEDY-DRAMA #9 LOVE P.S - Do let me know if you...
2M 112K 96
Daksh singh chauhan - the crowned prince and future king of Jodhpur is a multi billionaire and the CEO of Ratore group. He is highly honored and resp...
129K 689 3
22nd February 2017 [ COMPLETED] [NOT FULL EDITED] Married to a stranger is the story of Hubby.A University under graduate who fell for the wrong guy...
50.3K 641 12
One day, I was out with Jane on an expedition. The next, I was fucking a particular giant blue god. - Frost Giant Loki x FemReader (What If) Don't...