Rumah Kedua Season 2 : The St...

By iwannaseeursmile

921 109 207

⚠️Warning : story contains sex scenes, violence, harsh words, suicide, anxiety. Sabita dan Niko kembali melan... More

Tokoh.
Tokoh II.
Prolog
Bab 1 - Lembaran Baru
Bab 3 - Kamu Itu Semestaku

Bab 2 - Rindu Tak Berujung

137 16 44
By iwannaseeursmile

Selamat Membaca...

Sebelum menyambut kedatangan Sabita kembali ke Jakarta, Ken memilih untuk menyempatkan waktunya mengunjungi makam seorang gadis yang selalu mampir ke dalam mimpinya. Ia sedang merindukan kehadiran sosok gadis berambut sebahu yang memiliki manik mata berwarna cokelat. Mata yang indah dipadukan dengan senyuman khas seorang Salma, selalu berhasil membuat orang lain tersenyum dan tertawa. Sejak gadis itu pergi, kebahagiaan yang semula terukir dengan indah seketika lenyap dan hilang tak bersisa. Tak ada lagi teriakan nyaring, tak ada lagi celotehan riang, tak ada lagi sapaan hangat, dan tak ada lagi senyuman ceria khas Salma di sore hari.

Kepergian Salma membuat hidupnya menjadi berantakan dan kehilangan arah. Meskipun Ken menemui banyak manusia di belahan bumi Eropa kala itu, tetap tak bisa menghilangkan rasa sedih yang sedang dirasakannya karena telah kehilangan sosok sahabat terbaik. Demi menutupi kesedihannya, Ken memilih untuk berdiam diri di Amerika selama 3 tahun lamanya. Ia kira dengan cara melarikan diri ke negara lain bisa menghilangkan jejak kenangan pahit tersebut. Ternyata sampai saat ini, rasa ikhlas atas kepergian Salma masih menjadi hal yang paling sulit untuk dijalani.

Mobil berwarna silver yang dikendarainya telah berhenti tepat di depan tempat pemakaman umum. Bukannya turun dari mobil, Ken malah sibuk menyelami pikirannya sendiri sembari menggenggam keranjang berisi bunga tabur dan 2 buket bunga mawar putih. Padahal ia sudah lebih dari 30 kali bertandang ke rumah terakhir Salma, tetapi rasanya sangat sulit untuk menyembunyikan luka yang kembali menganga. Kedua mata yang bersembunyi di balik kacamata hitam, seolah menjadi saksi atas perihnya hati Ken saat ini.

Sebelum keluar dari mobil, Ken menghembuskan napas berulang kali. Berusaha menyiapkan hati dan perasaannya, agar tak ada tangis yang keluar seperti kedatangannya di hari sebelumnya.

Ia mulai menapaki setapak jalan panjang yang mengantarkannya menuju makam Salma. Suasana TPU cukup sepi dan senyap, hanya ada segelintir orang yang sedang melakukan ziarah kubur. Langkahnya semakin mendekati salah satu makam yang berada di dekat pohon kamboja kuning.

Kakinya mulai berhenti tepat di depan makam bernisan hitam, begitupun arsitektur yang mengelilingi makam tersebut. Makam Salma dipenuhi oleh bunga warna-warni dan 3 buket bunga mawar putih serta merah. Ken tahu betul siapa yang mengunjungi makam ini setiap hari dan menaburkan banyak bunga. Tak lain dan tak bukan ialah istri dari Niko, yakni Sabita. Wanita itu mengunjungi makam Salma hampir setiap hari. Memastikan agar makam sahabatnya tetap terawat dengan baik, merupakan salah satu alasan utama Sabita untuk berkunjung kesini.

"Assalamu'alaikum, Salma," ucap Ken sambil membuka kacamata hitamnya. "Maaf, gue baru bisa kesini lagi."

Ken menaruh kacamatanya di atas keranjang bunga, sesekali menyugar rambut blondenya ke belakang. Kemudian ia mulai berjongkok untuk mengusap lembut permukaan batu nisan yang terasa dingin.

"Udah 5 tahun gue nggak pernah liat muka lo, udah selama itu juga gue nggak pernah denger suara teriakan lo lagi," gumam Ken sembari mengusap nisan hitam itu. "Perasaan waktu cepet banget berlalunya. Nggak kerasa ternyata lo udah pergi 5 tahun yang lalu. Gue aja belum bisa ikhlas nerima kepergian lo, tapi waktu malah berputar secepat itu. Rasanya nggak adil, kalau gue harus jalanin kehidupan di dunia ini tanpa kehadiran manusia bawel kayak lo, Sal."

Kedua sudut bibirnya tertarik, menciptakan segaris senyum penuh luka yang sama seperti terakhir kali Ken datang ke tempat ini. Dadanya mulai terasa sesak dan berat seiring bibirnya mengucapkan kalimat menyakitkan.

Kalimat penuh kenangan yang pernah terjadi antara dirinya, Sabita, dan Almarhumah Salma di masa lalu.

"Biasanya kita curhat bareng sama Sabita, nonton film bertiga, jalan-jalan nggak jelas kayak orang bego, main sepeda keliling taman sampe pengap, makan samyang sampe perut mules, dan liatin matahari terbenam dari atas rumah pohon. Emangnya lo nggak kangen, Sal? Gue mah kangen, cuma sekarang jalan ceritanya udah beda. Bukan tentang kita lagi, tapi cuma gue sama Sabita doang."

Tangannya menyusuri rumput hijau yang membalut makam Salma. Mengusapnya secara perlahan sembari terus menggaungkan kalimat penuh pengharapan. Sebelum itu, Ken menyisipkan senyum tipis kala mengingat harapan dan rencana besar yang pernah ada di dalam kepalanya.

"Asal lo tau, ya, Sal. Gue pernah punya rencana buat jodohin anak kita, anak gue, anak lo, dan anaknya Sabita pas udah gede nanti. Kapan lagi kita jadi besan terus anak-anaknya juga pada sahabatan kayak orang tuanya? Keren, kan? Iya, keren. Tapi sayangnya, itu cuma sekedar rencana gue aja. Soalnya rencana Tuhan beda lagi."

Matanya mulai memanas, bersamaan dengan bulir-bulir air mata yang mulai turun membasahi pipi putihnya. Ken kembali mengusap batu nisan bertuliskan nama panjang Salma. Menyentuhnya dengan lembut seakan-akan sedang membelai surai pendek gadis itu.

"Lo liat sekarang, penampilan gue makin keren dan kece gini. Senyum gue nggak pernah luntur kalo di depan orang lain. Tapi nggak ada yang tau, kalo ternyata gue lagi berusaha buat nyembunyiin rasa sakit karena kepergian lo bertahun-tahun lalu. Gue nangis sendirian, gue ngeluh sendirian, gue ngomong sendirian kayak orang gila, gue ketawa sendirian, dan gue nyesel sendirian sambil mandangin foto kita."

"Selama ini gue berusaha terlihat kuat dan baik-baik aja di depan Sabita, di depan semua orang. Padahal hati gue udah hancur sampe berantakan dan memilih buat hidup sendirian di negeri orang. Gue udah lakuin berbagai macam cara supaya bisa sembuh. Tapi, sampe sekarang gue belum berhasil sembuh. Selama ini gue cuma berusaha buat mengubur dan ngelupain semuanya. Berusaha menutup rapat-rapat semua kenangan tentang kita, tapi sampe sekarang gue nggak pernah sanggup lakuin itu. Semua usaha yang udah gue lakuin gagal, Sal."

Air mata yang berusaha ditahan mati-matian, akhirnya mengucur dengan deras di permukaan wajahnya. Ken meremat kencang rumput hijau yang membalut makam sahabatnya. Ia menumpukan dagunya di batu nisan Salma, sembari menciumi permukaan dingin batu nisan tersebut.

Sejak Salma pergi, menangis tanpa suara seperti ini telah menjadi kebiasaan Ken sehari-hari.

"Kalo gue tau lo bakalan pergi jauh, gue nggak akan pernah marahin lo, Sal. Kalo gue tau lo bakal pergi jauh, gue nggak akan pernah ngebentak sambil ngomong kasar ke lo. Kalo gue tau kita bakal pisah kayak gini, gue bakal rebut lo dari Rafi waktu itu. Kalo gue tau kita nggak bakal pernah ketemu lagi, gue bakal lakuin apapun supaya lo seneng, supaya lo ketawa, supaya lo bahagia. Gue bakal jadi sahabat yang baik buat lo, gue bakal kasih semua kasih sayang gue buat lo, gue bakal kasih semua perhatian gue buat lo, supaya lo nggak perlu nyari kebahagiaan dari makhluk bajingan itu."

Langit perlahan menyembunyikan mentari yang sedang menyinari bumi sore ini. Gumpalan awan mendung bergerak menutupi langit yang semula berwarna biru. Tetes demi tetes air hujan mulai turun menyapa bumi, tumbuhan, tanah, dan seorang lelaki yang masih terisak di depan makam sang sahabat. Tak peduli hujan yang turun semakin deras, Ken tetap berjongkok sembari memeluk nisan Salma.

Tanpa ia sadari dan tanpa dirinya melihat, ada seorang gadis berambut sebahu yang berdiri tepat di sampingnya. Ken tak mungkin bisa melihat keberadaan gadis itu, karena mereka hidup dalam dimensi yang berbeda. Gadis berambut sebahu itu tampak seperti bayangan yang tembus pandang. Wajah cantiknya yang pucat menampilkan ekspresi sedih karena melihat Ken menangis. Tangannya berusaha menggapai bahu lebar Ken untuk dipeluk, ia ingin sekali menenangkan sahabatnya. Namun, Salma tak bisa berbuat apapun selain memandangi Ken yang seluruh bajunya telah basah.

"Pulang, Ken," gumam Salma pelan. Tak tega melihat Ken hujan-hujanan seperti ini. "Lisa nungguin lo di rumah sendirian."

Sementara itu, lelaki berambut blonde yang masih terdiam di tempatnya, seketika terhenyak kala mendengar suara seseorang di sekitarnya. Suara yang sangat familiar di telinganya dan suara yang baru pertama kali ia dengar lagi setelah 5 tahun lamanya. Ken celingukan ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan seseorang. Tetapi hasilnya nihil, di pemakaman itu tak ada siapapun selain dirinya. Ia yakin, kalau suara itu ialah suara gadis yang dirindukannya selama 5 tahun ini.

"Sal, lo ada di sekitar gue, ya?" gumam Ken sambil mengusap air hujan yang mengalir di wajahnya. "Gue nggak mungkin salah denger atau halusinasi. Itu jelas-jelas suara lo, kan? Lo nyuruh gue pulang ke rumah, kan? Lo bilang kalo Lisa lagi nungguin gue di rumah, kan? Sal, bener kan gue?"

Salma semakin terpukul melihat keadaan mental Ken yang berantakan seperti ini. "Mau sebanyak apapun gue ngomong, lo nggak bakalan bisa denger suara gue. Apalagi ngeliat keberadaan gue disini."

Ken terdiam sejenak, kemudian ia mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Ia hampir lupa, tujuan utama dirinya datang kesini adalah untuk membuat Salma tenang dengan kiriman doa. Setelah selesai berdoa, Ken menaburkan seluruh bunga yang ada di dalam keranjang, beserta menaruh buket mawar putih di dekat nisan.

"Gue pulang dulu, Sal. Kasian Lisa sendirian nungguin gue di rumah. Assalamu'alaikum."

Ia segera membalikkan badannya dan berjalan menuju mobil yang terparkir tepat di depan gerbang pemakaman. Tanpa menoleh lagi, Ken membawa dirinya kembali pulang ke rumah untuk beristirahat. Seluruh baju dan celananya pun sudah basah kuyup, bahkan badannya mulai terasa mengigil.

Gadis berambut sebahu yang berwujud seperti bayangan itu, langsung menerbitkan senyum tipis sambil memerhatikan Ken dari kejauhan. Tubuhnya mulai memudar dan menghilang dalam waktu sekejap.

***

Ken menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang hitam yang tinggi menjulang. Tak perlu menunggu lama, gerbang itu langsung terbuka lebar secara otomatis. Ia kembali melajukan mobilnya untuk memasuki halaman rumah mewah bernuasa putih. Pekarangan yang dipenuhi oleh tumbuhan berbunga lengkap dengan rumput hijau di area tamannya, membuat suasana rumah tersebut semakin terlihat asri dan menawan.

Beberapa penjaga yang sedang duduk di depan teras, langsung berdiri saat melihat kedatangan atasan mereka. Ken keluar dari mobil sembari membuka kacamatanya, serta memberi kode pada 3 penjaga untuk kembali ke pos keamanan. Ia memang sengaja menyuruh beberapa penjaga untuk menjaga di depan teras selama dirinya pergi. Hal itu dilakukannya untuk melindungi sang istri yang sedang mengandung 5 bulan. Mengingat keluarga Ken bukanlah kalangan dari orang sembarangan, maka dari itu ia harus memiliki penjagaan ketat di sekitar rumahnya. Pekerjaan ayahnya memiliki resiko yang sangat besar, apalagi sekarang Ken telah berumah tangga dengan Lisa.

Lelaki itu tak ingin ada satupun orang yang berani mengganggu ketenangan dan ketentraman keluarga kecilnya.

"Loh, Sayang? Kamu kenapa basah kuyup gini?"

Ken tersenyum tipis saat Lisa menyambutnya dengan ekspresi khawatir. "Tadi aku abis jenguk Salma, terus pas disana langsung turun hujan."

Lisa menghela napasnya, sembari membuka satu-persatu kancing kemeja suaminya.

"Yaudah kalo gitu kamu buka baju dulu, ya. Aku ambilin handuk sama kaus, abis itu kamu langsung mandi pake air hangat. Sebentar ya, Sayang."

Ken hanya membalas ucapan Lisa dengan segaris senyum tipis, wanita itu langsung berjalan menuju kamar untuk mengambil kaus. Sementara Ken mulai membuka seluruh kancing kemejanya, serta mengambil segelas air putih di atas meja.

Matanya memandang taman belakang yang ditumbuhi berbagai macam jenis bunga. Pikirannya mulai menerawang jauh kembali ke masa lalu, lebih tepatnya saat dirinya masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah atas.

Masa dimana kenangan bersama para sahabatnya terukir dengan sangat indah. Tidak ada beban yang hinggap di kedua bahunya, meskipun keadaan rumah tangga orang tuanya kala itu sedang diambang perceraian. Ken masih dapat tersenyum lebar karena memiliki sahabat yang setia menemaninya. Namun, sekarang semuanya telah berbeda.

Kini ia merasa seperti ada yang hilang dari kehidupannya.

Lisa kembali menghampiri Ken sembari membawa kaus warna hitam, handuk, dan semangkuk sup panas. Ken langsung berdiri untuk mengambil alih sup itu dari tangan istrinya.

"Makasih, ya, Sayang."

"Sama-sama, Mas," jawab Lisa lembut. "Ayo ganti baju dulu. Kalo sampe kering di badan nanti kamu bisa masuk angin."

Ken menggangguk seraya menaruh sup di atas meja. Ia segera membuka kemejanya yang basah dan menggantinya dengan kaus warna hitam. Setelah itu, Ken mengajak Lisa untuk ikut duduk bersamanya.

"Pelan-pelan makannya, itu masih panas banget," peringat Lisa saat Ken mulai mencoba sup ayam buatannya.

"Aku lebih suka sup yang masih panas gini, Yang. Kalo udah dingin rasanya malah kurang enak," kata Ken. Ia menyuap potongan ayam ke dalam mulutnya sembari melengkungkan senyum manis. "Hmm, rasanya enak banget. Istri aku kok bisa pinter banget sih masaknya?"

Lisa tersipu malu mendengar pujian dari suaminya. Apalagi usapan lembut di pucuk kepalanya, membuat Lisa semakin salah tingkah. Ketika melihat kedua pipi Lisa yang bersemu merah, Ken langsung tertawa pelan sembari mencubit hidung sang istri.

"Ih, kamu salting gara-gara aku puji, ya?" ledek Ken dan langsung disusul cubitan maut dari Lisa pada pahanya. "ADUHHHH SAKITTT YAANGGG!!!"

"LAGIAN KAMUNYA BIKIN AKU KESEL! UDAH TAU LAGI SALTING KENAPA MALAH DILEDEKIN GITU?! HARUSNYA KAMU PURA-PURA NGGAK TAU AJAAAAA!!"

Ken memejamkan matanya saat mendengar suara nyaring Lisa. Wanita yang sedang mengandung 5 bulan itu memang seringkali mengomel karena hal-hal kecil. Sama seperti Niko, Ken juga hampir dibuat stress oleh istrinya sendiri.

Lelaki itu segera mengapit kedua pipi Lisa menggunakan tangannya. Alhasil, penampakan wajah cantik Lisa kini terlihat seperti ikan buntal.

"Ututututu sayangku yang cantik dan imut ini lagi ngambek nih ceritanyaaa?" ucap Ken sambil mencubit hidung Lisa berulang kali. "Kamu tuh lucu banget sih? Anak siapa ini? Cucucucucu."

Lisa menabok pipi kanan Ken cukup kencang. "Apaan sih cucacucacu?! Punya anak aja belum udah cucu-cucu aja!"

Ken terkekeh geli melihat wajah istrinya yang cemberut. "Kita harus mempersiapkan diri untuk punya cucu dari sekarang, Yang. Sebagai kakek dan nenek kita harus kasih yang terbaik buat cucu kita nanti."

"Hahhh? Udah sengklek ya kepalamu itu, Mas?" kata Lisa sambil menatap heran Ken. "Bayi aja belum lahir masa udah mikirin punya cucu? Abis keujanan nih makanya kepalamu jadi agak sengklek dikit mikirnya!"

Ken malah tertawa lebih kencang dari sebelumnya. Ia tak bisa berkata-kata lagi melihat ekspresi dan mendengar celotehan Lisa. Kemudian ia mengusap pelan pucuk kepala sang istri, sesekali membelai pipi Lisa yang terlihat lebih berisi.

"Kepalaku sengklek juga karena mikirin kamu, bukan karena keujanan. Lebih tepatnya mikirin kamu dan calon bayi kita nanti."

"Kalo kamu mikirin bayi kita juga berarti kamu mau lakuin apa aja dong demi bayi kita?"

"Iya, kamu mau apa?"

"Aku mau naik kuda putih dong, Mas. Aku lagi pengen banget berkuda tau dari kemarin. Terus aku juga pengen megang bulu babi yang suka ada di laut itu loh. Boleh?" kedua mata Lisa berbinar seakan sedang merayu Ken untuk melaksanakan keinginan ngidamnya.

Ken yang semula tersenyum bahagia, seketika langsung mendatarkan wajahnya saat mendengar permintaan aneh dari istrinya. Tangan kanannya mengusap kasar bagian wajah hingga rambut, sembari menampilkan ekspresi frustasi menghadapi wanita di hadapannya itu. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Ken langsung meraih handuk yang ada di atas meja.

"Aku mau mandi dulu sekalian bertapa sebelum jawab permintaan kamu yang aneh-aneh itu," ucap Ken sambil berjalan menuju kamar mandi.

Lisa menekuk wajahnya lengkap dengan ekspresi kesal. Ia membuang napas kasar berulang kali sambil melihat punggung suaminya dari belakang.

"Ish, tadi katanya mau lakuin apa aja buat nurutin keinginan bayi. Kok malah gitu sih?" gumam Lisa.

Ketika Ken ingin melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi, terdengar suara teriakan anak kecil dari depan rumahnya. Anak kecil itu memanggil namanya berulang kali sampai berlari memasuki rumah besar tersebut.

Ken menengok ke arah pintu yang menampilkan sosok anak kecil berambut panjang sedang tersenyum lebar padanya. Di belakang anak kecil itu ada wanita cantik bertubuh ramping yang merupakan ibu dari anak kecil tersebut.

"OM KEENAAAANNNNN!!!" panggil anak kecil itu sambil berlari ke arah Lisa. "TANTEEE LICAAAAA!!!"

Lisa terkesiap mendengar dan melihat kehadiran Larissa yang merupakan anak dari sahabatnya, yakni Lila. Senyumnya terukir sempurna saat melihat Larissa yang tumbuh cantik jelita sedang berlari ke arahnya. Lisa merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk mendekap tubuh mungil Larissa yang beraroma khas minyak telon.

"TANTEEEE LICAAAA AKUUU KANGENN BANGETT SAMA TANTEE LICAAAA!!!" pekik Larissa sambil memeluk tubuh Lisa.

"Tante Lisa juga kangen banget tau sama Larissa yang cantik ini!!" jawab Lisa sembari mencubiti pipi tembam Larissa dengan gemas. "Kamu apa kabar cantik? Abis darimana aja kok baru main kesini lagi?"

Larissa melepaskan pelukannya sembari mencebik kecil. "Aku abis dari Singapura, Tante. Makanya baru bisa kesini lagi."

"Ohh, kamu abis jalan-jalan ke Singapura ya sama mami papi?"

"Betul! Tante Lica kok pinter banget sih?" Larissa berlari ke arah ibunya untuk meminta sesuatu.

Setelah Lila memberikan paper bag berwarna merah, Larissa kembali menghampiri Lisa. Gadis kecil yang memiliki wajah imut itu menyodorkan bingkisan tersebut pada Lisa.

"Ini hadiah dari aku buat Tante Lica yang lagi hamil dedek bayi!" cicit Larissa dengan senyum lebar.

Lisa benar-benar gemas melihat perkembangan Larissa yang tumbuh dengan cerdas dan cantik. Bukannya mengambil bingkisan itu, Lisa malah menciumi kedua pipi Larissa secara bergantian. Kecupan tersebut malah membuat Larissa semakin memeluk erat tubuh Lisa.

"Loh, buat Om Keenan mana? Masa cuma Tante Lisa doang yang dikasih hadiah?" tanya Ken yang tak jadi mandi dan malah menghampiri Larissa.

Mendengar suara om-om yang selalu membuatnya kesal, Larissa mengerutkan keningnya sambil melihat Ken dengan tatapan tak acuh.

Larissa menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau kasih Om Ken hadiah. Soalnya Om Ken suka ngejahilin aku, udah gitu suka bikin aku kesel! Makanya aku cuma nyiapin hadiah buat Tante Lica aja!"

Ken melongo mendengar jawaban tak terduga dari Larissa. Ia melirik ke arah wanita berambut cokelat yang sedang menahan tawa di depan pintu.

"Lil, lo apain nih si Larissa? Kok dia jadi begini sama gue? Perasaan sebelum kalian berangkat ke Singapura, Larissa masih nurut-nurut aja sama gue," ujar Ken yang membuat Lila tertawa kencang.

"Lah, kok lo malah nyalahin gue?" sahut Lila masih dengan sedikit tawa. "Larissa begitu ya karena lo yang nyebelin, ngejahilin dia terus. Makanya kasih Larissa hadiah dong, Om Keenan. Minimal mobil porsche."

"Mana ada anak kecil pengennya mobil porsche. Itu mah emang kepengenan emaknya aja," cibir Ken.

"Ih, Om Ken kenapa bau banget sih?" ceplos Larissa sambil menutup hidungnya dengan tangan. "Om Ken belum mandi, ya?!"

Ken menghela napas pasrah mendengar celetukan Larissa. "Hadeh, ternyata dia 100 persen nurunin sifat emaknya yang sarkastik dan bikin darah tinggi."

Tiba-tiba saja Larissa menepuk tulang kaki Ken menggunakan tangannya yang mungil.

"Om Keenan nggak boleh ngatain mami kayak gitu!" omel Larissa dengan wajah cemberut. "Aku bisa cerdas gini karena didikan dari Mami Lila yang cantik tau!!"

Tentu saja Lila merasa bangga karena mendengar kalimat pembelaan dari putrinya. Sedangkan Ken hanya bisa pasrah sembari menggelengkan kepalanya.

"Buah emang jatuh nggak jauh dari pohonnya. Ini bukan mirip lagi, tapi emang ketiplek sama persis kayak emaknya," gumam Ken sambil memicingkan kedua matanya ke arah Lila.

"Udah deh, mendingan sekarang lo mandi dulu sana. Abis itu ajak anak gue jalan-jalan," kata Lila yang kemudian menggendong Larissa.

"Emang bapaknya kemana? Kenapa jadi gue yang harus ngajak anak lo jalan-jalan?" jawab Ken sambil sesekali menjahili Larissa dengan cara mencubit pipinya.

"Papi lagi tugas ke luar kota, Om. Terus papi bilang kalo aku mau jalan-jalan sama Om Keenan aja," sahut Larissa.

"Yaudah, om mau mandi dulu. Kamu sebelum jalan-jalan makan dulu sana, Tante Lisa udah masak sup ayam tuh."

Lisa yang namanya disebut langsung mengangguk senang. "Yuk Larissa makan dulu yuk? Sambil nunggu Om Keenan mandi, Larissa makan dulu bareng sama Mami Lila dan Tante Lisa. Mau?"

"MAU MAU MAUUU!!" jawab Larissa penuh semangat.

Lisa mengajak Lila dan Larissa ke dapurnya untuk makan bersama. Sedangkan Ken, telah berlalu memasuki kamar mandi untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena kedatangan Larissa. Namun, Ken cukup senang dengan kehadiran gadis kecil tersebut.

Kehadiran Larissa seolah bisa menyingkirkan kesedihan yang semula bersemayam di dalam hatinya.

***

Sudah lebih dari lima kali Niko menjahili dan berusaha membuat wanita di sampingnya kesal. Padahal kini Sabita sedang tertidur pulas di sampingnya, sembari menyandarkan kepala di bahu Niko. Namun tetap saja, Niko malah semakin senang menjahili Sabita sampai wanita itu mengeluarkan amarahnya.

"Emangnya ibu hamil kalo lagi tidur mirip kebo gini, ya? Kok susah banget bangunnya dah," gumam Niko sembari menatap wajah Sabita dari dekat.

Ia merasa bosan karena tak bisa tidur dengan nyenyak seperti penumpang lain. Sepasang suami istri itu sedang berada di dalam pesawat menuju tanah air mereka. Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Niko mengalah dan memilih untuk menuruti keinginan sang istri. Apalagi alasan utama Niko kembali ke Indonesia adalah untuk memenuhi keinginan Sabita yang sedang ngidam.

Bagi Niko, apapun akan ia lakukan untuk istrinya dan calon buah hati mereka.

Suara dengkuran halus berhasil memecahkan lamunan Niko. Sejenak ia kembali menatap Sabita yang masih memejamkan mata, sembari mengusap lembut surai hitam panjang milik wanita itu. Sedetik kemudian, Niko semakin mengagumi wajah cantik Sabita yang tetap terlihat anggun meskipun dalam keadaan tertidur. Ia tidak bisa membayangkan, betapa beruntung dirinya karena bisa memiliki dua bidadari yang sangat berharga.

Niko sangat menunggu kehadiran bidadari cilik yang sebentar lagi akan lahir ke dunia.

Kemudian ia menundukkan kepalanya untuk mencium perut Sabita. Usapan lembut itu mengiringi mantra kebahagiaan yang terucap langsung dari bibir Niko.

"Ayah tunggu kehadiran kamu ke dunia secepatnya ya, Tuan Putri."

Berkat usapan serta bisikan lembut yang diberikan Niko, mampu membuat Sabita terbangun dari tidurnya. Wanita cantik itu mengerjapkan matanya berulang kali untuk memperjelas penglihatannya. Keberadaan Niko yang sedang mengecup dan mengusap perutnya, membuat hati Sabita tersentuh. Bukan hanya kali ini saja, perlakuan hangat yang diberikan Niko hampir dilakukan setiap hari tanpa pernah terlewat. Sabita merasa beruntung karena bisa menjadi sosok yang bisa mendapatkan kasih sayang Niko.

"Kamu udah siapin nama belum buat Tuan Putri kita nanti?"

Pertanyaan Sabita membuat Niko sedikit terkejut. Kemudian ia kembali menegakkan bahunya yang lebar.

"Udah dong, aku udah siapin nama yang paling cantik buat Tuan Putri kita."

"Aku boleh tau nggak namanya siapa?" kata Sabita lagi.

"Rahasia dong," sahut Niko sambil mengecup singkat kening sang istri.

"Ih, kenapa gitu?" wajah Sabita langsung berubah masam. "Aku juga harus tau dong nama anak kita. Masa sebagai ibunya aku nggak boleh tau nama calon anak kita nanti?"

Niko menghela napas pelan. "Bukan nggak boleh tau, nanti juga kamu tau sendiri kok." ujar Niko sembari mengusap bahu Sabita.

"Yaudah kalo gitu inisialnya aja deh," pinta Sabita dengan mata berbinar.

"Inisialnya A."

"Loh, kenapa harus huruf A sih? Kasian kalo nanti urutan absen anak kita paling pertama di kelasnya."

"Emangnya kenapa? Malah bagus dong, jangan kayak kita yang urutan absennya pertama dari belakang."

"Ya kasian dong, Mas. Kalo misalkan dia disuruh maju sama gurunya ke depan kelas sesuai urutan absen, otomatis dia yang paling pertama maju ke depan kelas!"

"Gapapa, Sayang. Anak kita kan nanti pinter dan cerdas, nggak masalah kalo dia disuruh maju yang paling pertama," ucap Niko santai.

Sabita mendelik kesal ke arah suaminya. "Meskipun nanti anak kita cerdas, tapi kan kasian kalo urutan absen dia paling pertama. Kamu tuh gimana sih?"

Perdebatan kecil antara Sabita dan Niko mampu mencuri atensi beberapa penumpang lain. Mereka melirik ke arah sepasang suami istri yang masih memperdebatkan hal sepele. Menurut mereka, kelakuan Sabita dan Niko malah memancing gelak tawa siapapun yang mendengarnya. Namun, mereka berusaha untuk menahan diri untuk tidak menertawai orang lain karena itu merupakan tindakan yang kurang sopan.

"Udah kamu nggak usah khawatir berlebihan, Yang. Pokoknya nama anak kita nanti secantik bunga."

Sabita melipat kedua tangannya di depan dada, lengkap dengan wajah cemberut.

"Dasar nyebelin, bikin orang penasaran aja. Masa harus nunggu lahiran dulu baru aku bisa tau siapa nama anak sendiri?!" gerutu Sabita yang membuang mukanya dari Niko. "Padahal nggak baik tau bikin bumil penasaran gini. Bisa-bisa nanti bayinya botak."

"Tinggal makan kacang hijau supaya nanti bayi kita rambutnya lebat, Yang."

"Ish, tau ah! Udah deh kamu mending diem aja! Aku tuh lagi pengen gerutu sendiri, kamu nggak usah jawab!" sentak Sabita yang langsung menutupi wajahnya menggunakan selimut.

Niko terkekeh pelan sembari menggelengkan kepalanya. Kalau bukan sedang berada di pesawat, mungkin Niko sudah mengunyel-unyel pipi Sabita sampai memerah. Sayangnya, saat ini Niko harus menahan rasa gemasnya kepada sang istri.

Tanpa memperdulikan Sabita yang tengah merajuk, Niko malah mendekap tubuh wanita itu dengan sangat erat. Tak mendapat respon apapun dari Sabita, Niko pun langsung membuka selimut biru muda yang menutupi wajah cantik itu. Kemudian ia mengecup kening, pipi, hidung, dagu, dan bibir milik Sabita dengan lembut.

Terakhir, Niko mulai membisikkan sebaris mantra untuk membuat Sabita kembali bahagia.

"Kamu satu-satunya kesayangan aku."

Sabita kembali melengkungkan senyum manisnya, lengkap dengan kedua pipi yang bersemu kemerahan. Itu merupakan bisikan dan kalimat maut yang selalu diberikan Niko disaat dirinya sedang merasa kesal.

Wanita itu menoleh dan menatap wajah tampan suaminya. Ia memangkas jaraknya dengan Niko, sampai hidung mereka saling bersentuhan.

"Kamu satu-satunya lelaki yang aku cintai, Mas."





















Bersambung...
.
.
.


Author's Note

Aku nyengir ngetik paragraf terakhir, maklum namanya juga jomblo hehehehe. Ohiya, minal aidzin wal faidzin yaa, mohon maaf lahir dan batin. Maaf kalo aku ngucapinnya telat 4 hari hehe

Terima kasih sudah mau membaca cerita ini, jangan lupa kasih vote dan komentar juga, ya! Aku suka bacain komentar kalian!♡

Continue Reading

You'll Also Like

79.2K 10.9K 24
Kyla dan Adrian bagaikan magnet yang berbeda kutub. Terlepas dari perbedaan yang mereka miliki, mereka tetap bersatu. Namun, ketika rahasia salah sat...
33.4K 2.9K 27
~mew suppasit atau biasa di kenal pangeran di kerajaan Winston. Memiliki wajah berparas tampan dan di kagumi oleh kalangan wanita. ~gulf kanawut atau...
19.5K 644 6
Hilang setelah bekerja, tidak pulang selama 34 hari, meninggalkan istri yang sedang hamil besar, Bagas akhirnya ditemukan dengan keadaan linglung, lu...
89.5K 7.9K 25
-Y/N Huαngle cewe bαckup dαncer SM Entertaiment yαng berhαsil mencuri perhαtiαn semuα orαng dengαn visuαlnyα yαng menαwαn Y.N x IDOL🖤 Jαdi kesαyαngα...