HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 263K 16.9K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 53

37.6K 3.7K 1.2K
By ay_ayinnn

Mobil yang Gavin kendarai sampai di dalam garasi luar rumah Vanya. Di depan gerbang tadi sudah ada orang suruhan Berlin untuk menjemput Gavin.

Keluar dari mobil, Gavin langsung bergegas membuka pintu samping kemudi. Terlihat Vanya sedang memangku Elen yang tertidur karena lelah.

"Sini aku aja yang gendong."

Pelan-pelan Gavin mengambil alih Elen supaya anak itu tidak terbangun. Elen sedikit menggeliat. Takut kalau tiba-tiba bangun, Gavin menepuk-nepuk pelan punggung putrinya.

"Gak ada yang ketinggalan kan?" Ucap Gavin melihat Vanya sibuk memasukkan barang-barang yang sempat keluar dari dalam tas.

"Enggak," Jawabnya sembari keluar. Mobil pun kembali Gavin kunci.

"Sini, Elen sama aku aja. Kamu udah ditunggu kan?" Tangan Vanya terulur siap menggendong Elen.

"Jangan, berat. Kamu juga pasti capek seharian ini nurutin Elen jalan-jalan," Gavin merengkuh pinggang Vanya lalu membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.

Ternyata mereka sudah ditunggu oleh Charles di ruang tamu. Lelaki nyaris tua itu menunggu putri dan cucunya pulang sambil mengerjakan sesuatu melalui iPad yang ia genggam. Dihadapannya pula ada secangkir teh membuat Gavin yakin ini sudah menjadi kebiasaannya bekerja di malam hari.

"Papa? Belum tidur?" Ucap Vanya.

Charles menghentikan sentuhan layarnya. Ia mendongak, ada anak, cucu, dan calon mantunya di depan sana.

"Baru pulang?" Suara berat Charles terdengar menyeramkan.

Vanya mengangguk santai, "Kita ke kamar dulu ya, Pa. Elen udah tidur." Vanya mempersilahkan Gavin agar berjalan lebih dulu masuk ke dalam.

Tak ada sahutan atau bantahan dari Charles. Kakek-kakek yang tak mau dipanggil kakek itu hanya menggeleng penuh makna.

"Kalau takdirnya mereka bersama, aku bisa apa selain merestui hubungan mereka? Kasihan Gavin, habis ini dia pasti akan menyesal karena telah memutuskan pulang ke rumah."

Gumam Charles membayangkan apa yang bakal terjadi setelah ini. Dia terlanjur menyayangi Gavin seperti dia menyayangi Vanya, Adara, dan Acel sebagai anak.

•••••

"Pasti Elen makin berat ya?" Tebak Vanya menarik selimut sebatas dada anak itu agar suhu badannya tetap terjaga walaupun terkena AC semalaman.

Gavin terkekeh, berat? Berat Elen belum ada apa-apanya sama kehidupan yang putrinya dan Vanya jalani selama ini. Ayolah jangan meremehkan Gavin.

"Enggak," Gavin teringat sesuatu. Ia keluarkan sebuah blackcard dari dalam dompet. "Nih, Van."

Kening Vanya berkerut melihat kartu itu, "Buat apa?"

"Buat beli kebutuhan kamu sama Elen."

"Gak usah, Gavin. Papa selalu kasih aku uang bulanan kok."

"Jangan, nanti aku yang malu. Kalian berdua itu tanggung jawabku, masa masih ngerepotin Papa."

Gavin meletakkan kartu tersebut ke dalam genggaman Vanya. Tak peduli diterima atau tidak, Gavin harap Vanya mau menggunakan uang darinya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Kalau tak mau, setidaknya kebutuhan Elen, Vanya cukupi menggunakan blackcard Gavin.

"Tapi, kita gak ada hubungan apa-apa," Ujar Vanya polos.

"Ada Vanya... Kita kan, orang tua Elen dan sebagai orang tua aku mau kasih yang terbaik buat Elen. Sekalian bahagiain Ibunya."

Manik mata Vanya menatap wajah Gavin dalam. Dia mencari apakah ada kebohongan di wajah itu? Atau memang dia melakukan semua ini dari hati ke hati?

"Beberapa bulan lagi Elen masuk SD. Aku udah daftarin dia di England School."

"Kamu ngelakuin semua itu tanpa sepengetahuanku sebagai Ibunya? Vin, Elen belum lancar baca tulis. Gimana bisa kamu masukin dia ke SD?"

Kepala Gavin menggeleng. Kedua tangannya memegang bahu kanan dan kiri Vanya agar perempuan itu mau mendengarkan penjelasannya lagi.

"Sebelum aku pergi, aku udah siapin semuanya buat kalian. Mulai dari rumah, biaya hidup, sekolah Elen, semua udah aku siapin. Aku gak mau pergi dengan tangan kosong."

"K-kamu..."

"Aku udah tau sampai rumah nanti akan ada apa. Makannya aku minta sama Mama buat antar jemputan ke sini karena aku mau langsung nyerahin diri."

Air mata Vanya tiba-tiba menetes mendengar ucapan Gavin malam ini. Dia bergerak memeluk erat tubuh Gavin.

Gak munafik, sebenarnya Vanya nyaman dengan Gavin versi ini. Tapi kalau sedang sendirian, kadang Vanya teringat masa-masa buruknya kala itu.

"Kenapa nangis?" Gavin membalas pelukan Vanya. Bibir Vanya bergetar. Ia tak sanggup mengucapkan kata-kata lagi.

"Maaf," Isak Vanya dalam pelukan Gavin.

"Yang minta maaf harusnya aku. Gara-gara aku hidup kamu berantakan. Gara-gara aku kamu jadi harus besarin anak dari laki-laki brengsek. Gara-gara aku mental kamu rusak. Aku minta maaf, Vanya. Bener-bener minta maaf."

Gavin mengecup pucuk kepala Vanya cukup lama. Ia juga menangis dan tak mau Vanya melihat air mata itu sebab tidak sepantasnya seorang bajingan mengeluarkan air mata.

Merasa isakan Vanya tak kunjung reda, Gavin berinisiatif mengelus punggung perempuannya. Ia bawa Vanya ke sofa yang berada di dalam kamar itu dan memangkunya. Ia biarkan Vanya menyandarkan kepala di ceruk leher Gavin sendiri.

"Van, kamu masih cinta sama aku?" Bisik Gavin tiba-tiba. Bulu kuduk Vanya merinding seketika.

"Ka-kamu tau?" Gavin mengangguk.

Flashback.

"Van! Ada cowok yang kamu suka gak di sekolah ini??" Tanya Acel berjalan di sebelah Vanya. Saat ini mereka akan menuju ke lapangan basket untuk olahraga.

"Em... Kalau kamu ada yang kamu sukai gak?"

"Kok malah tanya balik sih. Jawab dulu pertanyaanku."

Sembari menunggu jawaban dari Vanya dan teman-temannya yang lain sampai di lapangan, Acel membawa Vanya duduk di tribun samping lapangan basket. Ada anak dari kelas lain yang juga sedang olahraga di sini. Itu kelasnya Gavin, jadwal olahraga mereka berbarengan.

"Ada," Jawab Vanya dengan pandangan mata menatap salah satu murid yang tengah pemanasan di barisan sebrang sana. Herannya, hanya ada dia di barisan itu, teman-temannya yang lain kemana?

"Siapaa?? Spil! Spil!"

"Nggak deh, Cel. Aku takut. Dia banyak yang suka di sini. Anak sekolah lain juga pada mengincar dia."

"Ck gak apa-apa. Cuma aku doang yang tau," Paksa Acel agar dia dan Vanya saling terbuka.

"Yakin gak apa-apa?"

"Kamu gak percaya aku?"

Wajar saja kalau Vanya ragu. Dia dan Acel baru berteman beberapa bulan lalu mengetahui mereka baru saja menduduki kelas 10 SMA.

"Itu, Gavin ganteng banget," Celetuk Vanya bertepatan keempat teman Gavin yang lain melewati depan tribun.

Spontan dia membekap mulutnya sendiri. Pasti empat orang itu dengar karena mereka terkekeh mendengar Gadis culun menyukai Gavin yang notabenenya teman mereka dari orok.

"Jir si Kriwil suka sama Gavin," Bisik mereka sambil melewati Vanya dan Acel yang tiba-tiba akward di tribun.

"Ngucap terus gue jadi Gavin," Balas temannya.

Acel melirik ke arah Vanya tidak enak. Gara-gara dia sekarang Vanya jadi di omongin.

"Maaf, Van," Ucapnya setelah empat laki-laki itu mendatangi kelas mereka yang sedang baris di sebrang sana.

"Acel aku takut, mereka denger," Bisik Vanya was-was.

"Gak apa-apa, toh sebagai manusia kita juga punya rasa terhadap lawan jenis."

Sedangkan disisi lain, empat orang itu tiba sambil membuat kegaduhan. Tentu saja berawal dari si cerewet Marvel yang caper.

"Pemanasan apa ini cok!"

"Dateng-dateng sewot anjing," Sahut Gavin melakukan pemanasan seperti yang gurunya suruh.

"Eh Vin, lo di sukain tuh sama si Kriwil kelas sebelah," Ledek Juna membuat siapapun yang mendengar ini tertawa. Sekarang saja seisi kelas menertawai Gavin.

"Si Kriwil?" Gumam Gavin diangguki Farel.

"Itu loh Cupu kelas samping kita," Terangnya sebab Gavin mengenalnya sebagai si Cupu bukan si Kriwil.

"Oh," Dia langsung mengabaikan semua teman-temannya.

"Cie Gavin, ternyata modelan lo gini disukai sama Kriwil kelas sebelah," Teman sekelasnya terus mengejek Gavin hingga kuping laki-laki itu panas.

Berakhir Gavin mendorong perempuan itu tanpa hati. Dia juga termasuk perempuan yang mengincar Gavin, tapi kenapa bacot banget?!

"Lo kok jadi kasarin dia karena Cupu?!" Tegas Alex menatap Gavin tidak percaya.

"GUE GAK SUKA SAMA SI CUPU BANGSAT! DIEM LO SEMUA! ENEG GUE DENGERNYA."

Dari situlah Gavin sangat amat membenci Vanya. Dia selalu jadi bahan ejekan teman sekelasnya karena Vanya menyukai dirinya.

Flashback end.

"Jadi? Kamu masih cinta gak sama aku?" Tanya Gavin yang kedua kalinya.

"Aku sempat benci banget sama kamu, Gavin. Waktu kamu ambil barang berharga aku. Semenjak Elen ada diperut aku, pernah suatu hari aku kepengen banget lihat muka kamu, tapi gak mungkin. Aku cuma ngebayangin terus sampai Elen merubah keinginannya."

Vanya sedih membayangkan hari itu. Dia ngidam ingin melihat wajah Gavin, hanya sekadar melihat tapi tuhan tidak mengizinkannya.

"Aku denial, aku gak tau perasaanku ke kamu kayak apa."

Gavin mengangguk paham. Terlebih mental Vanya belum sepenuhnya sembuh wajar dia bimbang.

"Kenapa kamu tanya gitu?" Tanya Vanya balik sambil mendongak menatap wajah Gavin dari ceruk leher laki-laki itu.

Gavin menunduk, menatap manik mata perempuan di pangkuannya, "Karena aku jatuh cinta sama kamu."

Blush.

Jangan munafik, perempuan mana yang gak baper diperlakukan kayak gitu? Apalagi selama bertahun-tahun hidupnya jauh dari kata pacaran dan dimanja oleh seorang laki-laki.

"Kalau kamu aku suruh nunggu beberapa tahun lagi mau?" Lanjut Gavin membuat Vanya terdiam seribu bahasa.

Maksudnya buat nikah? Tiba-tiba banget.

"Kita sama-sama perbaiki diri dulu. Nanti kalau udah selesai, aku janji bakal jemput kalian disini."

Entah apa yang harus Vanya jawab. Dia tidak pernah berada diposisi ini. Belum sempat terjawab, Charles mengetuk pintu.

"Van, Vanya? Gavin masih ada di dalam kan?" Tanya Charles dari luar.

"Masih, Papa."

"Boleh di suruh keluar? Dibawah ada pihak kepolisian yang datang."

Vanya menegakkan duduknya dan menghadap ke arah Gavin. Mereka saling mengunci pandang. Sampai tak sadar wajah mereka sama sekali tidak berjarak lagi.

Gavin mengecup pelan bibir Vanya membuat mata perempuan itu terpejam.

"Untuk yang terakhir kalinya, buka Van," Pinta Gavin berbisik.

Vanya yang paham apa yang Gavin maksud pun membuka mulutnya membiarkan lidah Gavin mengeksplor di dalam sana.

Lumatan itu berjalan hampir dua menit. Merasa kehabisan oksigen, Vanya pun memukul pelan bahu Gavin.

Oke, malam ini kisah mereka selesai.

Masih dengan nafas yang tersengal-sengal, Gavin mengecup singkat ujung bibir Vanya sebagai tanda perpisahan. Tatapan perempuan itu perlahan naik memandang wajah Gavin. Rupanya lelaki itu juga sedang menatap dirinya sambil senyuman manis.

"Sampai ketemu di sidang, Vanya."







End atau bersambung?🤨

Kenapa tiba-tiba Gavin sama Vanya romantis? Karena mereka juga manusia, gak melulu bisa hidup dalam lautan masalah.

Hehehe dah mo end😁🙏🏻

SPAM EMOT🦋🤍 plis???

Aku tunggu 3k votenya beb💋

7 04 24

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 262K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
514K 50K 48
Ardeo Mahendra. Wajah sempurna perpaduan Rio dan Tata. Cowok murah senyum yang terkesan genit dengan sejuta pesonanya. Remaja SMA yang suka sekali al...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.1M 241K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
15.6K 1.2K 59
Squel dari cerita : Vettara "Kalau penyesalan memang datang di akhir cerita,mungkin seharusnya dari awal gue ga sebodoh ini"Ucap Milo. "Tidak ada kat...