TAKEN YOUR DADDY [SEGERA TERB...

By ZahraAra041

610K 26.4K 2K

Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly A... More

01. Broken Heart!
02. YOUR DADDY!
CAST
03. Siapa yang Salah?
04. Ide Gila
05. Gue Nggak Sudi!
06. Tinggal Bareng?!
07. Patah Hati Satu Kantor
08. Saingan Sama Tante!
09. Ada Rasa Lama?
10. Tidur Berdua?!
11. Mata-Mata Dena
12. I Want to be Your Wife
13. Simulasi Jadi Mommy
14. Serigala yang Bangun
15. Giliran Dibalas Takut!
16. Cemburu nih, ceritanya?
17. Nyaman (?)
19. Jadian, nih?
20. Pesta Pernikahan Theo (FIRST KISS)
21. Insiden Pesta Malam
22. Penghangatan
23. Kompor
24. Terhalang Restu
25. Nge-date
26. Senjata Makan Dena
27. Alergi
28. Ngurus Bayi
29. Dilamar?!
30. Bongkar Identitas
31. Ellen Kepanasan
32. Para Pengganggu
33. Pearly vs Dena
34. Sentuhan
PENGUMUMAN
35. Sakit Hati Berjamaah
36. Kejutan Besar
37. Gerald
38. Mengulik Kasus
39. Pearly vs Nalika

18. Mempertanyakan Status

14.9K 608 56
By ZahraAra041

Haii, aku balikk!!

Siapa yang udah nggak sabar nungguin kelanjutannya?

Aku bawain ini untuk nemenin kalian di malam Minggu! Semoga malam Minggu kalian menyenangkan, ya!

YU BACA YU!!

_-00-_

Nyanyian denting jam mengalun bersama waktu yang terus berlari tanpa mau beristirahat sejenak. Kehidupan berjalan normal layaknya hari biasa. Setidaknya normal sebelum semesta menghadirkan sosok anak kecil datang mengusik hidupnya. Gara meralat, memberi warna, bukan mengusik. Pearly itu layaknya sinar mentari yang memaksa masuk dan menyinari ruang hampa dalam hati jika didefinisikan. Hangat, ceria, dan seluruh warna yang dibawa gadis itu benar-benar membuat Gara merasa seperti terlahir kembali.

Terlalu lebay memang, tapi seperti itulah penggambaran Gara setelah Pearly masuk ke dalam hidupannya. Kalau boleh jujur, Gara tidak pernah merasa jatuh terlalu dalam pada wanita lain setelah kepergian sang istri. Berpacaran dengan Dena pun rasanya hambar, tetapi sakit saat dikhianati. Gara sendiri pun bingung bagaimana cara mendefinisikan kondisi hatinya.

Namun, seringkali Gara berpikir apakah ia pantas memiliki hubungan dengan anak remaja seusia Pearly? Seperti malam ini, surat undangan dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja. Theo bilang, Gara harus datang bersama dengan seseorang. Dengan siapa lagi ia pergi jika tidak bersama Pearly? Wanita yang sedang dekat dengannya saat ini hanyalah anak itu.

Gara mendesah frustasi, lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi.

"Saya tidak mungkin membawa anak itu ke pesta pernikahan Theo. Mereka akan menganggap saya apa nantinya jika melihat saya membawa anak kecil?"

Tanpa disadari rupanya Pearly mendengar keluhan Gara. Tak dipungkiri ia ingin jika Gara membawanya ke pesta itu. Pearly ingin dianggap istimewa oleh Gara. Pearly mau semuanya yang berkaitan dengan Gara. Dengan keberanian yang dimiliki, lantas Pearly menghampiri pria itu.

"Eh, Pie sudah bangun?"

Pearly tidak menjawab. Ia mengambil surat undangan tersebut lalu duduk di sebelah Gara.

"Pie dengar semua ucapan Om," ujar Pearly, fokusnya masih tertuju pada surat undangan.

Gadis itu menoleh, mempertemukan netranya dengan milik Gara. "Pie mau kok kalau diajak ke pesta ini."

Gara mengulum bibir sebentar, kemudian membenarkan posisinya. "Acara itu tidak terlalu penting. Saya punya urusan lain yang lebih penting untuk dikerjakan."

Pearly mengulas senyum simpul, lalu tangannya meraih ujung kerah kemeja Gara dan mengusapnya. Perlakuan kecil seperti itu membuat Gara diam sejenak, mengamati wajah Pearly yang berubah teduh.

"Om nggak boleh gitu. Acara pernikahan itu adalah acara sakral yang sangat penting. Apalagi ini teman Om, kan? Apa iya Om tega nggak datang ke hari spesial teman Om hanya karena nggak ada pasangan?"

Malam ini suara cempreng khas Pearly berubah drastis. Suaranya lembut, melandai, sangat menenangkan layaknya angin sore yang menemani saat lembayung memamerkan warnanya. Alih-alih kagum, Gara justru merasa ada yang aneh sama Pearly berbicara lembut seperti itu.

Entah sejak kapan kelopak mata ceria milik Pearly berubah teduh nan sayu. Jemari lentiknya setia melepas ikatan dasi pada kerah kemeja Gara.

"Om nggak boleh ngecewain temen Om sendiri. Dia pasti menunggu kehadiran Om di hari spesialnya."

Gara mencekal tangan Pearly, membuat gadis itu tersentak. "Kamu yakin mau ikut dengan saya?"

Pearly mengangguk, lalu menarik dasi tersebut hingga lepas dari kerah kemeja Gara. "Sure. Mulai sekarang Pie akan turutin kemauan Om."

Gadis itu menjeda ucapannya, lalu mengusap bahu Gara. "Hitung-hitung latihan jadi istri yang baik."

Sikap lembut nan feminine Pearly dan ucapan-ucapan bijak yang keluar dari mulut anak itu sukses membuat Gara menahan tawa sejak tadi. Ia tak menyangka anak tengil dan konyol seperti Pearly mampu mengeluarkan ucapan yang berbobot. Tawa yang sudah susah payah dibendung pun akhirnya pecah. Hal itu membuat Pearly mengernyit heran.

"Lho, kok Om malah ketawa? Ada yang lucu?"

"Tumben sekali nada bicaramu seperti itu!" Gara tergelak. Ujung matanya bahkan sampah mengeluarkan air saling kuatnya ia tertawa.

Pearly memicing sebal, sudah susah payah membangun suasana romantis malah dijatuhkan begitu saja. Ia kira dengan bersikap sedikit dewasa bisa membuatnya disanjung oleh Gara, kenapa malah diledek begini?!

Anak remaja itu pun bersedekap dada, lalu memutar tubuh membelakangi Gara. Mulutnya mengerucut, persis seperti topi ulang tahun anak-anak. Beberapa gerutuan keluar dari mulutnya, bahkan tingkah labilnya sekarang ini membuat Gara lega karena ternyata yang sedang dihadapinya sekarang ini betulan Pearly. Sejujurnya Gara sedikit takut tadi saat Pearly mendadak bersikap dewasa, ia takut anak itu dirasuki.

"Ih, padahal Pie lagi serius malah dibercandain! Pie nggak suka tauk kalau kayak gitu!" Gadis itu mendengkus kesal, yang mana membuat Gara semakin gemas.

Gara menghentikan tawanya, lalu mencolek bahu Pearly yang otomatis membuat Pearly menjauhkan tubuhnya dari Gara.

"Saya minta maaf, ya? Habisnya kamu bikin saya ketawa aja karena sikap yang mendadak serius gitu."

"Nggak tau, ah! Pie nggak suka, Pie sebel, Pie ngambek! Pie ngambek sama Om Aya!"

Lihat, mood remaja memang masih labil dan sangat rentan mengalami perubahan. Padahal tadi terlihat jelas bagaimana Pearly mengeluarkan sikap dewasanya, tetapi sekarang sudah kembali ke setelan awal hanya dalam waktu beberapa detik.

Gara mengusap wajah. Ia bingung sekaligus tertawa. Mungkin seperti ini cara semesta memberitahu bagaimana riwehnya ketika memiliki anak perempuan. Sejak dulu ia memang mengidamkan sosok anak perempuan. Saat mendiang sang istri mengandung Gerald, hasil pemeriksaan USG bahkan menunjukkan jika anak mereka berjenis kelamin perempuan. Namun, buyar sudah harapannya saat ternyata yang lahir adalah anak laki-laki. Meski begitu, ia tidak pernah menyerah untuk mendapatkan anak perempuan sampai sang istri akhirnya berpulang.

"Maafkan saya, ya? Saya kaget aja kamu tiba-tiba berlagak kayak tadi."

"Pie ngambek sama Om!"

Gara memutar otak untuk mencari tahu bagaimana cara menenangkan anak perempuan jika sedang merajuk. Namun, ia baru teringat jika malam ini ia memiliki sebuah jadwal yang tidak boleh dilewatkan. Melirik ke arah jam, rupanya sudah terlambat lima menit.

"Pie ...." panggil Gara, tetapi hanya dibalas gelengan kepala oleh gadis itu yang masih setia membelakanginya.

"Temani saya ke gym mau nggak?"

_-00-_

"Jangan lupa datang, ya! Gue udah bilang ke Gara juga untuk datang."

"Okay, thanks Theo."

Dena mematikan teleponnya secara sepihak. Theo baru saja menelponnya dengan tujuan memberitahu jika lusa dirinya akan menikah. Theo memang bukan teman sekolah atau kuliahnya, tetapi mereka sempat kenal karena ia pernah menyandang status sebagai pacar dari Gara. Ya, walaupun sudah kandas, tetapi para teman Gara masih mengenalnya dengan baik.

Dena tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memastikan apakah anak kecil itu---Pearly---benar-benar calon istri Gara. Pasalnya Theo berkata bahwa lusa Gara akan datang dengan membawa pasangan. Sudah dipastikan bukan dirinya, siapa lagi jika bukan anak kecil itu. Tawanya mengudara begitu membayangkan bagaimana labilnya anak remaja itu ketika nanti dihadapkan dengan pesta yang penuh orang dewasa. Memalukan. Anak itu pasti akan mempermalukan Gara di depan semua orang dengan tingkah konyolnya.

Dena bisa membayangkan seperti itu karena Kalea sempat bercerita jika anak itu pernah menangis saat Gerald menyelingkuhinya bersama Kalea.

Lirikan mata Dena berpindah secepat kilat ke arah pintu yang baru saja dibuka. Kalea, anak itu sudah pulang rupanya.

"Gimana? Sukses sama pacar lo hari ini? Udah ngapain aja kalian?"

Kalea memicing ke arah Dena, lalu melempar tasnya di samping wanita itu. "Boro-boro mau ngelakuin hal lebih, bapaknya aja tiba-tiba datang pas kita baru mau mulai."

Dena menghela napas, lalu mengusap bahu Kalea. Keponakannya yang satu ini benar-benar mengikuti gaya hidupnya yang tidak jauh dari dunia malam dan seksual. Menurut mereka, hidup ini hanya sekali. Percuma jika tidak digunakan untuk melakukan kesenangan. Kendati demikian, mereka tidak pernah menyadari jika surga dunia adalah penyebab neraka di kehidupan abadi. Namun, mau seindah dan sepuitis apa pun kalimat larangan tersebut, mereka tetap masa bodoh dan tidak rela meninggalkan dunia gelap tersebut.

"Ajaklah dia ke club."

Kalea menaruh tas selempangnya di sisi pinggang, lalu mengibaskan rambutnya yang sudah harus dicuci.

"Malam ini dia nggak enak badan, dan besok juga kayaknya ada jadwal basket. Dia tuh, sibuk, Tan!"

"Lagian lo mau aja pacaran sama orang sibuk. Nggak seru pacar lo!" dengkus Dena.

"Ya gimana, habisnya dia menarik banget. Gue juga penasaran sebenarnya. Mau cicipin sedikit."

Dena mengangkat salah satu kakinya. Sepertinya ada kesempatan bagus untuk sang keponakan dengan pacarnya itu berhura-hura. Lusa adalah pesta pernikahan Theo, mungkin itu bisa menjadi alasan bagi Kalea untuk meminta Gerald menemaninya ke pesta pernikahan. Dia tidak akan menolak, bukan?

"Lusa besok gue ada acara ke pesta pernikahan teman. Gimana kalau lo minta temani pacar lo itu untuk datang ke pesta pernikahan---"

"Itu, 'kan acara lo, bukan acara gue," sela Kalea.

"Ish, dengerin dulu! Lo pura-pura aja minta temani ke pesta pernikahan itu, tapi kalian nggak ke sana. Kalian ke club atau ke mana, yang jelas kalian bisa menikmati malam itu.  Gue yakin dia nggak nolak. Cowok mana nolak sih, dikasih badan?"

Kalea menolak mentah-mentah ide gila yang diberikan Dena. Gerald itu tipikal orang yang membenci sebuah kebohongan. Bisa kandas hubungan mereka jika Gerald dibohongi. Lagi pula, untuk apa berbohong? Lebih baik jujur saja, bukan?

"Pacar gue nggak suka dibohongi. Bisa habis gue kalau dia tahu gue cuma nipu."

"Ya udah, kalian datang aja ke pesta itu. Nanti kalian bareng gue ke sananya," jawab Dena enteng sembari menyeruput segelas minuman jeruk.

"Gue yakin puncak pestanya sama kayak di club."

_-00-_

Ruangan penuh besi dengan alat-alat yang mampu membentuk otot dalam tubuh tertata rapi di setiap inci ruangan. Aroma khas pria dan suara-suara besi saling bergesekan serta teriakan puas mendominasi. Tidak ada banyak wanita di sini, sebagian besar diisi oleh para pria bertubuh kekar layaknya binaragawan. Nyali Pearly ciut melihat otot-otot besar yang entah bagaimana cara membentuknya itu.

Saat Gara menawarkannya untuk ikut ke gym, ia pun langsung menyetujui tawaran tersebut. Tujuan awalnya hanya ingin mencoba alat-alat berat yang ada di sini karena penasaran. Sebab dahulu Rei maupun Liam seringkali mengajaknya ke tempat ini, tetapi ia menolak lantaran malas dan menyangka jika tempat ini bau keringat. Rupanya, tidak ada bau keringat sama sekali di sini. Baunya justru memacu semangat untuk bergerak aktif.

Pearly mengekori Gara, lalu mereka berhenti di sebuah tempat. Gara menaruh tas kecil yang berisi ponsel, kunci mobil, dan tentunya botol minum.

"Om mau buka baju kayak Om yang di sana?" tanya Pearly, gadis itu menunjuk ke salah satu pengunjung yang tengah berolahraga dalam keadaan bertelanjang dada.

Gara mengikuti arah pandang Pearly, kemudian menggeleng sembari melepas jaketnya. "Nggak, saya pakai kaus ini."

"Kamu diam di sini selagi saya berolahraga."

"Ih, Om!" Pearly menarik tangan Gara yang hendak pergi meninggalkannya.

Gara terpaksa berhenti, kemudian menoleh ke arah Pearly yang tampak ketakutan sembari celingak-celinguk.

"Pie beneran sendirian di sini?" Gadis itu ketakutan, pasalnya di sudut sini tidak ada pengunjung wanita. Semuanya pria dan bertubuh kekar. Sebagai anak gadis, tentu saja Pearly merasa terancam.

Gara paham akan gerak-gerik Pearly, lantas ia melepas paksa cekalan tangan anak itu dan mulai menggunakan salah satu alat yang dekat dengannya.

"Saya mengawasi kamu."

Pearly mengangguk pasrah, lalu duduk diam di sana sembari menonton orang-orang yang tengah berolahraga. Tak jarang ia mendapat lirikan genit dari beberapa pria yang kisaran umurnya jauh di atasnya. Mungkin sekitar 45 sampai 50 ke atas. Dan tiap ia mendapatkan lirikan genit seperti itu, Gara pasti akan berdeham dan menatap orang tersebut dengan tatapan mengintimidasi tajam.

Pearly menghela napas, ia setia di sini dan hanya menonton bagaimana otot-otot Gara melakukan pekerjaan dengan baik. Namun, sangat disayangkan mata sucinya ini tidak bisa melihat langsung bagaimana bentuk dari otot-otot yang tercetak jelas dari luar kaus.

"Ish, kenapa Om nggak buka baju aja, sih? Emang nggak gerah keringetan gitu?" gerutu Pearly pelan.

Jengah di sini, lantas ia beranjak dan mulai menyusuri gym. Siapa tahu bisa cuci mata sekaligus mengetes kepekaan Gara terhadap dirinya. Di tempatnya tadi memang banyak pria kekar, tetapi mereka semua sudah berumur dan tidak menarik baginya. Mungkin saja di sudut lain banyak pria yang masih segar dan menarik, begitu pikir Pearly.

Setelah berkeliling kurang lebih lima menit, ia pun berhenti tepat di depan alat yang bernama bench press. Gadis itu duduk di sana sembari memandangi seseorang yang tengah memainkan alat lat pulldown machine dengan posisi membelakanginya. Matanya memicing untuk mencari tahu siapa orang itu. Jika tampak dari belakang sosoknya sangat familiar. Pearly seperti mengenal orang dengan kaus putih tersebut.

"Ih, itu siapa, ya? Gue kayaknya kenal."

Dengan rasa penasaran yang kian memuncak, lantas Pearly memilih untuk menghampiri orang tersebut.

"Lho, Iam?"

Liam, lelaki yang tampak familiar di pandangan Pearly barusan ternyata Liam. Lelaki itu menoleh untuk membalas sapaan Pearly.

"Ngapain lo di sini? Sendirian? Tumben amat mau ke gym. Manusia berhati malaikat mana yang berhasil bujuk lo untuk olahraga?" cerocos Liam tanpa henti.

"Gue ke sini bareng Om Gara."

Liam mengangguk-angguk sambil terus melakukan kegiatannya. "Cuma nemenin?"

"Iya."

"Percuma dong."

"Hah?"

Liam turun dari alatnya, lalu mulai menurunkan beban pada alat dan menyuruh Pearly untuk duduk di sana. "Duduk. Gue ajarin cara pakainya."

Pearly manggut-manggut. Ia menuruti kemauan Liam untuk duduk di sana. Liam begitu lihai memegangi beberapa bagian tubuhnya seperti tangan, bahu, dan punggung untuk membetulkan posisi Pearly agar tidak cedera saat memakai alat berat tersebut.

"Jangan kaku gitu, lemesin aja."

Pearly mulai menarik beban, lantas ia mengaduh pelan karena beban yang ditarik terlalu berat. Maklum, remaja jompo yang jarang sekali bergerak memang seperti itu. Gerak sedikit langsung encok, begitu slogan Pearly.

"Aduh, bebannya berapa sih, ini? Berat banget kayak dosa-dosa lo."

Liam mengangkat salah satu sudut bibirnya, lalu menunjuk ke arah jumlah beban. "Ya elah, itu baru 10 kilo."

"Turunin lagi! Nggak kuat gue!"

Liam berdecak, terpaksa ia menurunkan beban pada alat atas permintaan gadis itu. "Makanya punya badan buat gerak, biar nggak susu strawberry aja isinya!"

"Ih, body shaming!"

"Udah cepetan!"

Di lain sisi Gara merasa ada yang aneh tatkala Pearly tidak kunjung kembali. Ia mulai resah, takut terjadi sesuatu pada anak itu. Tidak mau Pearly celaka, lantas dirinya turun dari alat pull up dan mulai menyusuri gym untuk mencari keberadaan Pearly.

Hingga tiba di ruang depan, Gara akhirnya menjumpai Pearly yang sedang berolahraga bersama Liam. Entah mengapa ia jengkel sekali melihat keakraban mereka. Dengan perasaan yang sudah terbakar api cemburu, Gara pun lantang mendatangi mereka.

Gara berdeham, membuat atensi Pearly dan Liam otomatis tertuju padanya. Pergerakan pria itu tenang, tetapi tak dipungkiri tatapan tajamnya mampu menciutkan nyali Pearly detik itu juga.

"Eh, Om Gara. Udah selesai olahraganya?" tanya Pearly berbasa-basi.

"Saya kira kamu diculik orang, ternyata sedang ada di sini," ucap Gara dengan tatapan tertuju pada Liam.

Tak ingin berlama-lama melihat kedekatan Pearly dan Liam, Gara pun mencekal tangan Pearly untuk mengajaknya pergi dari sana. Melihat Liam dan Pearly yang semakin dekat membuat Gara jengkel. Entah sejak kapan ia menjadi sensitif seperti itu terhadap perempuan. Gara sendiri pun tidak mengetahuinya. Semuanya terjadi secara alami.

"Pergi dari sini."

Pearly melepas paksa cekalan tangan Gara, membuat pria itu mengerjap kaget.

"Pie mau di sini, Om. Ayo, kita latihan bareng! Kan, lebih enak kalau ramai-ramai gini." Pearly menolak mentah-mentah saat Gara kembali mengajaknya meninggalkan Liam begitu saja.

Bukan apa, dirinya hanya tidak enak hati pada Liam. Sejak kemarin ia sudah terlalu banysk merepotkan lelaki itu, bahkan dengan teganya meninggalkan Liam sendiri di restoran demi menuruti kemauan Gara yang sedang dibakar api cemburu. Dan sekarang dirinya harus kembali meninggalkan Liam? Pearly tidak mau egois dengan mementingkan salah satu dari mereka. Terlebih hubungannya dengan Gara belum jelas sampai sekarang.

Pearly bukan menganggap Liam sebagai someone special seperti Gara. Ia hanya tidak mau meninggalkan sahabatnya itu karena mentang-mentang sekarang pendekatannya pada Gara sudah berhasil. Pearly tidak mau dicap sebagai kacang yang lupa pada kulitnya. Karena bagaimanapun Liam lah yang membantunya selama ini.

"Pie---"

"Pie nggak mau tinggalin sahabat Pie lagi. Selama ini yang bantuin Pie segala macam itu Iam. Kemarin Pie udah ninggalin Iam di restoran, padahal Pie yang ajakin ke restoran karena Pie lapar. Dan sekarang Pie mau ninggalin Iam lagi?"

Gara mengernyit, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Lho, kenapa sikap kamu mendadak berubah? Apa memang benar jika kalian memiliki hubungan?"

"Lho, Om kenapa, sih? Om nggak suka lihat Pie dekat-dekat sama Iam? Bilang yang jelas biar Pie ngerti! Lagi pula hubungan kita belum jelas, 'kan? Untuk apa Om cemburu?" Nada bicara Pearly berubah di sini. Aura yang tercipta pun semakin mencekam layaknya di tengah orang yang sedang berperang.

Aduh, masalah sepele kenapa bisa jadi besar gini, sih?

Liam menjadi merasa bersalah di sini. Mengapa dua orang ini malah bertengkar? "Eh, nggak apa-apa kok kalau lo ninggalin gue. Gih, sana ikut sama om Gara, Ly!"

"Nggak, Iam. Gue nggak boleh egois. Kalian berdua ini sahabat gue, jadi gue nggak boleh tinggalin salah satunya. Kalau mau, ayo kita bareng!"

"Ya sudah, kamu di sini saja bersama lelaki ini. Saya ingin pulang," ujar Gara cuek. Wajahnya semakin dingin sekarang. Terpampang jelas amarah menghiasi wajah tampannya.

"Kalau Om memang dewasa, seharusnya Om mengerti. Kita belum punya hubungan yang jelas, tapi kenapa Om larang Pie untuk dekat sama cowok lain? Iam ini sahabat Pie, Om!" Pearly mengatur napasnya yang memburu sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"Jangan Om kira Pie terima aja dilarang-larang kayak gini. Kemarin Pie memang merasa bersalah karena malah pulang bareng Iam padahal udah minta Om untuk jemput. Pie maklumi itu. Tapi untuk sekarang menurut Pie, Om udah keterlaluan."

Keduanya berada di ambang amarah, baik Gara maupun Pearly keduanya sama-sama tersulut emosi. Jika dilihat Gara memang egois karena sudah berani mengekang Pearly yang statusnya belum jelas.

Liam semakin kalang kabut. Ia mendorong pelan bahu Pearly agar lebih dekat dengan Gara. "Ly, serius deh gue nggak apa-apa. Ini kenapa jadi berantem sih? Udah sana lo sama om Gara!"

"Nggak Iam! Lo itu sahabat gue, bahkan gue lebih dulu kenal lo dari pada om Gara! Gue cuma nggak mau kalau hidup gue harus dilarang-larang kayak gini! Gue nggak bebas!" jerit Pearly, kini fokusnya kembali pada Gara yang tatapan tajamnya sudah berubah teduh.

"Harusnya Om nggak boleh seenaknya larang Pie untuk dekat sama Iam. Kita ini bukan siapa-siapa, Om."

"Pie? Saya minta maaf---"

"Pie kecewa sama Om."

_-00-_

HALOO AKU KEMBALI SETELAH WAR DENGAN PTS YANG SANGAT AKSJDHSIJAKEYDHE ITU!

Gimana sama part ini? Campur aduk banget ya, kayak es campur?

Kira-kira, gimana ya kelanjutan mereka? Apa pertengkaran ini masih berlanjut?

Kalian mihak siapa?

Waduuu, bingung nggak? Aku jujur bingung, hehe

Part ini panjang banget, ya? Semoga ngga gumoh deh ya kalian😭😭

SEGINI AJA YA! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!

vote dan komen kalian itu semangatku babe! 😚

Papaiii!!

Ayo, kenalan sama aku di akun Instagram bearlars_wp!

Continue Reading

You'll Also Like

526K 26.9K 28
Menikah dengan bapak-bapak? Siapa takut!! Felisa Anindira, gadis berusia 18 tahun itu tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan naksir dengan seorang...
49.6K 2.4K 23
Niran cewek problematik yang hobi bikin onar di sekolah tiba-tiba dijodohkan dengan CEO muda kaya raya yang lemah lembut dan penyayang. Apa jadinya? ...
993K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
47.2K 3.9K 28
"Kenalin, Ma. Ini Sasya, calon istri aku," ucap Marcell dengan santainya mengatakan bahwa Sasya adalah calon istrinya. What? Calon istri?! Oh, no! Sa...