Sang Pelita

By yudiiipratama

763 60 17

Blurb Cerita: Azmi menatap sendu ke arah jendela kamar. Di balik jendela itu, masih bisa terlihat awan hitam... More

Episode 01: Hidup Seperti Anak Panah
Episode 02: Anak Panah, Doa, dan Surga

Episode 03: Jendela Rindu

133 13 3
By yudiiipratama

[Cerita ini dilindungi undang-undang Akhirat, jika melakukan plagiat akan dicatat oleh malaikat]

1000 vote + 100 komen tercepat kita adakan giveaway di akun instagram (@)ceritasangpelita

SYARATNYA:

- Cukup ramaikan cerita Wattpad Sang Pelita di IG Story kalian

- Ramaikan juga AU Instagram Sang Pelita di official instagram, jangan lupa tag IG Author (@)yudiiipratama (@)tekad.universe & (@)ceritasangpelita serta follow instagram ketiganya!

- Hadiahnya diumumkan di hari Raya Idul Fitri

Happy reading ....


"Hujan di balik jendela menyisakan rindu yang takkan pernah mereda pada Rasulullah. Pertanyaannya, benarkah jiwa dan raga sepenuhnya telah tulus mencintainya, atau semua semata-mata hanya karena mengharapkan surga dari Allah."
🕊🕊🕊

Mobil yang dikemudikan oleh Yossy melaju menuju pulang, bertolak ke Blitar. Akhirnya setelah drama kehilangan sorban, Azmi bisa bernapas lega serta Yossy bisa melihat wajah berseri-seri keponakannya itu lagi setelah beberapa jam dibuat pangling. Terlebih yang menemukan sorbannya adalah Randi, sosok pemanah kelas asia yang telah membagikan ilmunya pada Azmi, bahkan mereka bertukar nomor WhatsApp agar satu waktu ketika ingin bertemu atau keduanya berada di kota yang sama, mereka akan atur jadwal untuk kembali bersua atau sekadar kopdar.

Yossy yang hanya menunggu sepanjang hari di mobil terus terang penasaran bagaimana mereka bisa berkomunikasi dengan begitu akrab, karena Yossy tahu betul bagaimana karakter dari keponakannya itu. Azmi sendiri tipikal anak yang pemalu, jika di sosial media mungkin ia cukup aktif tapi saat bertemu langsung, cenderung lebih banyak diamnya.

"Atlet ini ternyata benar-benar hebat, loh, Om. Harusnya dia dapat medali emas kemaren. Usaha dan doanya sebanding." Azmi memperbesar foto profil Randi Pangestu yang berdiri tegak di atas tribune memegang medali dan karangan bunga, sang atlet muda berbakat yang kini telah menjadi teman barunya.

Sedari tadi di perjalanan, tak henti-hentinya Azmi memamerkan kenalan barunya itu pada Yossy. Belum begitu akrab tapi Azmi seperti ada kepuasan tersendiri oleh karena bertemu dengan sosok atlet panahan yang sudah pernah memenangkan kejuaraan internasional.

"Tahu dari mana, Dek?" Bibir bawah Yossy menjulur ke depan, wajahnya terkesan meremehkan. "Baru juga ketemu."

"Serius, Om. Azmi tuh nyimakkk. Dia bercerita seakan-akan sudah melewati banyak hal dalam proses memanah. Ibarat kehidupan, dia sudah tahu pahit manisnya hidup."

Yossy mendehem panjang sambil ngangguk-angguk. "Oh gitu. Om kalah dong berarti ya?"

"Oh jelas," ucap Azmi spontan tanpa ragu.

Sesaat kemudian, Azmi menoleh ke Yossy lalu tertawa gelagapan. "He he, maksudnya soal manah, Om. Dia lebih unggul dong pastinya," timpalnya lagi membenarkan.

"Alah, kamu baru pertama kali kenal si Atlet itu, Dek. Namanya siapa? Ra—Randi? Jangan cepat tersanjung dengan tampilan seseorang."

"Iya, Om. Tapi Azmi juga harus husnuzon dong. Buktinya dia yang nemuin sorban Azmi dan ada etikat baik ngembaliin ke pemiliknya."

"Iya iya, Om tahu itu. Tapi tetap, kamu harus pandai mawas diri. Hati-hati aja sama dia. Atau siapa pun itu. Kita nggak pernah tahu baik buruknya orang, maksud dan tujuannya, apalagi kamu Azmi banyak yang tertarik dengan kepribadian polosmu itu."

Perkataan Yossy membuat Azmi tertegun sejenak, sikap Yossy padanya sedikit berbeda dari biasanya. Seperti ada sesuatu. Mata Azmi menyipit, keningnya mengerut. "Om kenal Atlet itu?"

"Hah?! Siapa? Dia?" Respon Yossy membuat Azmi agak tersentak. "Nggaklah, namanya aja baru om tahu dari kamu, Dek."

Beberapa kali Yossy melempar tatapan sumringah pada Azmi yang sedang menatapnya, sepertinya Azmi mencurigai Yossy. Tak berlangsung lama, Azmi megembuskan napas kasar, lalu menggigit-gigit bibir bawahnya.

Pandangannya beralih ke depan. "Iya juga, sih. Tapi, Om. Azmi sepertinya pernah lihat dia di acara hajatan. Hanya saja, Azmi lupa itu kapan dan di mana."

Ia mengangkat kepala, lalu menyeringai. Azmi meletakkan tangannya di bawah dagu dan berusaha mengingat-ingat kembali di mana ia bertemu Randi untuk pertama kali dalam sebuah hajatan. Sedang Yossy tiba-tiba saja tidak peduli dengan apa yang Azmi ucapkan dan pikirkan sekarang, ia kembali fokus menyetir dengan baik melewati jalan besar, menembus perbatasan kota, menyusuri lorong-lorong yang berkelok hingga tiba di kediaman Azmi di Blitar.

***

Malam itu tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya mengguyur Blitar, jalan setapak penuh genangan air. Kendaraan roda dua banyak menepi untuk berteduh, sedangkan sebagian pengemudi roda empat menyalakan lampu hazard mobil untuk berjaga-jaga di tengah cuaca buruk yang berisiko menimbulkan kecelakaan.

Jauh di pinggiran kota, tepatnya daerah perbatasan kabupaten blitar, sebuah pondok masih ramai dengan suara santri yang tengah mengaji, setelah selesai melaksanakan salat isya berjamaah mereka kembali tadarusan. Suara rinai hujan dan lantunan ayat-ayat Allah saling sahut-sahutan, keduanya adalah anugerah, sebuah kesyukuran yang sayang jika dilewatkan.

Dari syaf paling depan, Azmi terlihat menatap syahdu para santri yang begitu semangatnya meski hujan bisa saja membuat mereka kantuk dan terlelap di dalam masjid yang udaranya kian malam kian dingin menusuk sampai ke tulang-tulang. Ditambah lagi, yang membuat Azmi senyum-senyum sendiri di sana melihat para santri melilit-lilit sarungnya dari kaki ke tangan sampai kepala bahkan ada yang membungkus dirinya dengan sarung. Hal itu pernah Azmi rasakan sewaktu masih menjadi santri di tingkat kedua.

—-
Melihat suasana yang penuh bahagia itu, Azmi teringat masa dimana semuanya penuh dengan ketulusan. Dari teman sebaya yang kerap mengajaknya main, sampai dengan yang lebih tua darinya.

Jika dulu hanya orang-orang di sekitarnya yang mencintainya dengan tulus, sekarang jutaan mata tertuju padanya; banyak dari mereka melihat sosok Azmi dari tampang, dan dari kalangan mana dirinya berasal. Karena itu juga, belakangan ini, keluarga Azmi banyak didatangi orang-orang baru yang sebenarnya tak mereka kenal, mengaku sebagai kerabat dekat tetapi saat keluarganya pernah berada pada kondisi terpuruk, uluran tangan dari orang-orang itu hanya bisa dihitung jari saja.

Sekarang, siapa yang tak mengenal sosok Azmi? Seluruh penjuru negeri tahu oleh karena kepiawaian Azmi berselawat yang selalu menghipnotis para penikmat selawat baik di majelis maupun di sosial media.

Azmi mengembuskan napas pasrah, berusaha keluar dari pikiran yang tak harusnya ia bentangkan dalam benaknya. Azmi kemudian berdiri lalu beranjak dari dalam masjid, ia keluar menyeberang ke rumah yang ternyata bersebelahan dengan masjid dalam pondok milik abahnya itu. Tak peduli ia harus basah kuyup menerobos hujan, Azmi cukup akrab dengan hujan. Seperti orang lain pada umumnya, saat rintik hujan turun perasaan-perasaan melankolis kembali bermunculan. Seakan kerinduan akan sesuatu hal menyeruak dalam hati dan pikiran.

Sembari berdzikir dalam hati, Azmi terus menerobos hujan sampai depan rumah.

Kepulangan Azmi dari masjid disambut gembira oleh Dek Ahmad, ia berlari dari pintu keluar teras dengan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi agar Azmi bisa meraih anak mungil nan menggemaskan itu. Saat Dek Ahmad sudah semakin mendekat, Dek Rara justru langsung menghadangnya. "Dek, jangan ke Mas Azmi. Masnya lagi basah kuyup."

Azmi mengibas-ngibaskan rambutnya yang sedikit basah sambil sumringah. "Opo toh, Dek Rara. Cuman basah dikit, kok," ucapnya menepuk-nepuk pundaknya memastikan bajunya tidak terlalu basah oleh air hujan.

Melihat Rara yang menggendong Dek Ahmad berlarian masuk ke dalam rumah, Azmi menyusul mereka. Kilat menyambar langit, pertanda hujan akan semakin deras. Udara malam kian dingin sebab rinai hujan yang tak kunjung reda membasahi kota pusaka. Di ruang tamu setelah Azmi menghabiskan waktu bersama keluarga, ia kini sendiri merebahkan diri di atas sofa. Sementara itu pintu rumah dibiarkan terbuka lebar. Karena merasa menggigil, Azmi meraih gagang pintu lalu menutup pintu rapat-rapat lalu menuju kamarnya.

Memasuki kamar, menutup pintu rapat-rapat, ia kembali merebahkan tubuhnya, tapi kali ini di atas tempat tidur. Suaranya langsung terdengar mendengkus, perasaannya kembali terusik oleh sesuatu hal.

Ia menatap sendu ke arah jendela kamar sambil melipat kedua tangannya ke samping, lalu ditarik ke atas dan diimpit ke bawah kepala. Di balik jendela masih bisa terlihat awan hitam sedang menggumpal di langit, Azmi menatapnya dalam. Begitu dalam, sampai tak terasa air matanya mengalir dengan deras, sederas air hujan yang mengalir di luar sana.

Dari rintik gerimis sampai hujan lebat telah mengundang perasaan Azmi yang begitu rindu dengan kekasih Allah, Rasulullah. Tak ada alasan lain Azmi tiba-tiba meneteskan air matanya. Ia memang selalu merindu baginda nabi, tapi untuk pertama kalinya seumur hidup rasa gundah di dada bercampur aduk dengan rindu yang menari-nari dalam kecemasan; Azmi merasa kesepian dalam menunggu penantian panjang, dan ada rasa cemas jika penantiannya bertemu dengan sang pelita tidak terwujud—naudzubillah. Hatinya berharap penuh bahwa kelak ia bertemu dengan baginda nabi dalam keadaan suci dan benar-benar termasuk hamba Allah sejati.

Malam itu, hujan di balik jendela menyisakan rindu yang takkan pernah mereda pada Rasulullah. Pertanyaan yang tergambar pada Azmi sudah jelas, benarkah jiwa dan raga sepenuhnya telah tulus mencintainya, atau semua semata-mata hanya karena mengharapkan surga dari Allah?

Azmi menarik tangan kanannya menutupi kedua matanya. Ia terus menangis, hingga merasakan kalau kerinduannya malam itu tidaklah sendiri, ia berusaha membuat dirinya tenang meski tak lagi bisa menahan tangis yang pecah. Azmi berusaha percaya, bahwa Rasululllah sedang menemaninya saat ini juga.

***

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

565K 15.3K 8
[Hanya TULISAN dari SEORANG PENULIS BIASA, TIDAK SEMPURNA, BANYAK CACATNYA. TANDA BACA TIDAK SEMPURNA. MASIH BANYAK KESALAHAN] Romance - Spiritual [B...
222K 22.1K 12
Update setiap hari Sabtu & Minggu Blurb: "Prinsipku, hadiah terbaik adalah apa yang aku miliki dan takdir terbaik adalah apa yang aku jalani." Siapa...
374K 31.9K 36
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
80.2K 5.2K 15
TELAH TERBIT VERSI TERBARU DI BUKUNE! TERSEDIA DI SELURUH GRAMEDIA ⚠️ HATI-HATI BAPER!!! Blurb: Begitu indah Allah memainkan takdir antara Rifly dan...