RUMAH TUJUH ENAM [END]

By sasanrr

3.3K 1K 191

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA. PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa keenam... More

00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
-Kilas balik-
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
end

20

114 29 7
By sasanrr

Malam ini Alvaro dan Kenzie tiba di rumah salah satu sahabatnya. Daren. Alvaro memencet bel beberapa kali, namun tidak ada sahutan. Hal itu membuat mereka berdua dilanda kebingungan.

"Daren?" Panggil Kenzie. Biasanya tidak pernah seperti ini. Pun kalau misalkan Daren sedang tidur, Bi Yem pasti ada keluar untuk membukakan pintu.

"Dobrak aja nggak sih? Gue nggak mau lama-lama di sini."

Alvaro mengangguk, menyetujui saran Kenzie. Ia mundur beberapa langkah sebelum dengan keras membanting-kan tubuhnya pada pintu yang terkunci.

BRUK!

Percobaan pertama tidak menghasilkan apapun. Pintu itu hanya bergetar ketika mendapat serangan dari Alvaro. Melihat Alvaro tidak mempunyai cukup tenaga untuk mendobrak pintu itu sendirian, Kenzie menepuk pundak sahabatnya, mereka berdua mundur dua langkah.

"Gue bantu. Dalam hitungan ketiga, kita dorong sama-sama. Satu, Dua, Tiga!"

BRUK!

Sudut bibir Alvaro dan Kenzie terangkat membentuk senyuman kala pintu akhirnya terbuka. Kenzie menyeka keringat di pelipisnya.

"Kita pasti bisa kalau bareng-bareng!" ujar Alvaro.

Pandangan mereka teralihkan pada sekitar ruangan yang sunyi seperti tidak berpenghuni. Mereka berdua dengan perlahan memasuki rumah itu. Selangkah. Dua langkah. Keanehan terlihat jelas di setiap ruangan yang mereka masuki hingga di kamar Daren pun mereka tidak dapat menemukan keberadaan remaja laki-laki itu.

"Rumah kita."

Perkataan Alvaro membuat Kenzie terkejut. Ia dengan spontan mengalihkan pandangannya pada lelaki yang berdiri di depan cermin yang memantulkan setengah badan.

"Apa maksud lo?"

"Ada tulisan di cermin." Ucap Alvaro sambil menunjuk pada pantulan dirinya sendiri di cermin yang terletak di kamar Daren.

"Tulisannya mirip sama yang ada di sobekan kertas. Lo inget kan sama kata-kata, mau siapa lagi korban selanjutnya? Ini mirip banget! Daren juga ada nunjukin secarik kertas yang bertuliskan, Tidak bijaksana bermain api jika anda tidak dapat menahan panasnya."

"Terus, hal ini berkaitan dengan teror satu bulan lalu?"

"Mungkin aja, Ken! Gue takut Daren bakal jadi korban selanjutnya. Kita harus ke rumah itu sekarang!"

Alvaro melangkah keluar dari rumah Daren. Kenzie mengikutinya di belakang dengan wajah datar, bahkan bisa dibilang Kenzie santai-santai saja pada saat itu.

Mereka berdua masuk kembali ke dalam mobil dan melaju pergi menuju 'Rumah kita'.

••••

Alvaro mengeluarkan kunci cadangan untuk membuka pintu, karena kunci utama di pegang oleh Daren.

Pintu terbuka. Mata mereka berdua terbelalak kaget melihat orang yang sedari tadi mereka cari ternyata sedang terbaring lemas di lantai ruang tamu.

"Daren!" Alvaro dan Kenzie mendekat ke arah Daren yang matanya setengah tertutup. Mereka berdua berjongkok.

"Kok lo bisa kayak gini?" Kenzie panik, meletakkan kepala Daren di pangkuannya.

Nafas Daren terengah-engah, sulit untuk menjawab pertanyaan itu dan pasti juga susah bagaimana cara menjelaskannya.

Alvaro berlari ke kamar. Tak berselang lama, ia kembali dengan membawa inhaler.

"Tarik nafas pelan-pelan, terus hembuskan." Alvaro memerintah sambil meletakkan inhaler tepat di depan lubang hidung Daren.

Sahabatnya menurut. Daren dengan perlahan mengambil nafas dengan hidung untuk menyedot aroma inhaler. Terjadi keheningan sesaat selagi mereka diselimuti kepanikan. Tak lama kemudian, Daren mencoba untuk duduk, Alvaro serta Kenzie menghela nafas lega.

"Kenapa lo bisa sampai ke sini?" tanya Alvaro.

"Ng-gak tau. Tadi di rumah, gue lagi tidur dan pas bangun ternyata gue udah ada di sini. Gue juga ngeliat ada sosok berjaket hitam itu. Dia nodongin pisau ke arah gue.." Jujur Daren dengan suara parau.

"Seno." Kenzie bergumam. "Sekarang, dimana sosok itu?"

Daren menelan saliva nya dengan susah, ia memejamkan mata, merasa sulit untuk berkata-kata.

Belum sempat Daren menjawab, ketiga lelaki di sana terkejut ketika mendengar suara tapak kaki yang perlahan mendekat ke arah mereka.

"Kalian nyari aku, ya?"

Kenzie dan Alvaro yang sedari tadi berjongkok, sekarang mereka langsung berdiri saat menyadari siapa pemilik suara itu. Seno. Salah satu remaja yang sudah menjalin persahabatan dengan mereka dalam waktu yang cukup lama.

"S-Seno?" Daren ikut berdiri dengan tertatih-tatih.

"Yah... ketahuan deh!" Seno membuka maskernya, memperlihatkan sebuah seringai serigala pada tiga orang dihadapannya. Cahaya rembulan mengkilapkan rambut hitam legam milik Seno. Sambil melangkah mendekat, Ia mengambil sebuah pistol dan pisau tajam yang tergantung di celananya. Mereka melihat dengan jelas bahwa Seno sedang mengenakan jaket hitam milik Narel.

"JANGAN MACAM-MACAM, SEN! SADAR!" Teriak Alvaro.

"Shut the fuck up. Gue udah tau siapa korban selanjutnya." ujarnya sambil melirik ke arah tiga temannya secara bergantian.

"Alvaro—pakai pistol ini."

"Sen—"

DOR! DOR! DOR!

Kata-katanya belum selesai terucapkan, namun tiga peluru sudah menembus tepat di jantung nya lebih dulu. Tubuh Daren bergetar hebat melihat kejadian itu tepat di depan matanya.

"Alvaro..." Air mata mengalir deras di pipi merah muda milik Daren saat ia melihat Alvaro tergeletak tak bernyawa.

"Sakit ya, Ren?" Seno mendekat, seringai masih terlihat di wajahnya. "Mau nyusul?"

"Seno, gue mohon jangan!" Kenzie mencoba melakukan perlawanan dengan menjauhkan Daren dari Seno, tapi Seno dengan cepat mendorong tubuh Kenzie hingga termundur ke sampingnya dan terjatuh, Kenzie memekik kesakitan.

Nafas Daren semakin sesak. Melihat itu, Seno mengeluskan ujung pisau yang lancip pada pergelangan Daren.

"say goodbye," Seno menikam pisau itu pada bagian jantung Daren, lalu dia dengan mudahnya menurunkan posisi pisau menuju perut sahabatnya sendiri. Lantas, cairan berwarna merah lekat langsung muncrat ke depan dan mengenai dibeberapa titik wajahnya.

Kenzie bangkit saat melihat Daren sudah tidak lagi bernyawa dengan luka sayatan di sepanjang garis jantung hingga perut.

"Jahat lo, brengsek!" Kenzie menampar wajah Seno.

"Aduh, sakit.." ucap Seno yang diakhiri dengan tertawa kejam.

"Sekarang yang tersisa cuma lo sama gue. So, who wants to die first?"

"Apa alasan lo ngelakuin ini semua?!! Gue pikir lo beneran orang baik, Sen, ternyata lo BUSUK!"

Seno menganggukkan kepalanya. "Alasan? Mau tau apa alasannya? Oke, dengerin sini dan gue harap lo ga kaget." Seno menghela nafas, dia melangkah menuju jendela, kakinya menginjak lengan Daren yang terkapar bersimbah darah. Di jendela, ia menatap keadaan di luar sana sebelum memulai penjelasannya.

"Gue anak yang terlahir kembar. Namun sialnya gue mendapat perlakuan berbeda seperti layaknya seorang ibu pada anaknya. Saat berusia dua bulan di dunia, gue udah dititipkan ke panti asuhan. Di sana gue tumbuh menjadi anak yang pendiam sampai gue menginjak umur sebelas tahun. Pada umur segitu, ada pasangan suami istri yang datang ke panti buat ngadopsi anak yang masuk kriteria mereka. Di sini gue bingung, entah gue pendiam atau apa, ternyata gue yang dipilih untuk menjadi anak dari pasangan suami-istri itu."

"Pada awalnya gue bahagia karena mikir dengan adanya keluarga, gue bisa hidup nyaman. Tapi pikiran itu langsung ditepis saat gue pertama kali menginjakkan kaki di rumah mereka. Baru aja mau duduk di sofa, ternyata gue di suruh duduk di lantai. Emang gue nya yang nggak sopan, udah mau jadi yang bertahta. Sekitar dua tahun menjadi anak angkat, selama itu juga gue dijadikan pembantu di rumah itu. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika, mencuci mobil, menyapu, mengepel dan masih banyak lagi."

"Kalau gue nolak atau bahkan cuma ngeluh, mereka berdua nggak segan-segan ngurung gue di gudang. Bukan itu aja, gue pernah hampir mati karna di pukul bertubi-tubi sampai kepala gue dibenturin ke dinding. Dan tibalah masanya gue udah nggak kuat lagi sama semuanya. Akhirnya gue ngelakuin hal nekat. Lo tau apa? Iya, gue membunuh mereka berdua dan jasadnya gue buang ke sumur dibelakang rumah. Untung aja nggak ada yang curiga dengan kondisi rumah yang sunyi. Gue udah menjadi pembunuh sejak berusia tiga belas tahun."

"Sampai sini lo pasti bertanya-tanya siapa kembaran gue, kan? Biar gue kasih tau. Gue dapet info ini dari panti asuhan, nyari informasi tentang identitas keluarga yang naroh gue ke panti."

Kenzie mendekati Seno, berdiri di belakang remaja itu. "Siapa kembaran lo?"

"Lo."

Kenzie terkejut, menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Nggak percaya? Gue Seno, kembaran lo, tapi kita nggak seiras. Lo lebih tua tiga menit dibanding dengan gue. Nama ibu—Asmi dan nama ayah—Hilmi. Ibu punya golongan darah O, sama kayak kita berdua. Gue tau semuanya."

"T-tapi, ulang tahun lo sepuluh Oktober. Sedangkan, gue tiga belas Maret."

"Aduh... Kenzie, Kenzie," Seno bertepuk tangan dan berbalik untuk menatap Kenzie.

"Tanggal, Bulan dan Tahun bisa dipalsukan. Terus, wajah gue juga mendukung kok buat jadi muda dan.... polos. Dan untuk jaket ini, ya.. kalian salah bakar karena di dalam kotak, jaket ini udah gue ganti dengan kain lain saat kalian tidur pulas." ucapnya lalu tertawa meremehkan.

"Katanya lo mau jadi detektif, tapi kenapa lo yang jadi pelakunya, Sen?! Munafik!"

"Oh, hai? Siapa yang munafik di sini? Lo sama Renan. Bukan gue. Pada saat kita di pantai, kalian berdua jelas menyaksikan gue lagi membunuh Narel, tapi kenapa kalian terus tutup mulut dan nunggu sampai ada korban-korban lain? Jelas, kan, kalau kalian berdua yang munafik? Lagipula, gue udah jadi detektif kok. Gue tau masalah-masalah hidup kalian berenam yang nggak pernah kalian ceritain ke kita, palingan cuma cerita ke salah satu aja. Mulai dari Alvaro yang hampir bunuh diri karena di fitnah mengotori seorang gadis, Daren yang mengidap Asma dan panic attack sejak kecil, Renan terkena kanker otak, Rafka mendapati gangguan kesehatan karena saat kecil selalu di tindas oleh ayahnya, Narel yang sempat mengalami stress berat karena ditinggal kakaknya ke luar negeri dan ibu sama ayah lo meninggal yang disebabkan kecelakaan mobil saat umur lo berusia 14 tahun."

"T-ternyata Daren.."

"Iya. Daren penyakitan."

Hati Kenzie sakit saat mendengar pengakuan dari Seno tentang sahabat-sahabatnya. Dia pikir sekama ini mereka selalu bahagia. Tapi ternyata mereka bertujuh memiliki masalah hidup yang berat.

"Gue sakit pas tau ibu sama ayah udah meninggal, Ken. Dua orang yang oengen gue temui dan gue peluk, dua orang yang merawat gue walaupun cuma dua bulan lamanya, ternyata udah nggak ada." Seno meneteskan air mata, ia menundukkan kepalanya. "Sekarang, cuma tersisa kita berdua. Gue boleh meluk lo untuk yang terakhir kalinya?" Seni mendongak, menatap kembarannya yang hanya lebih tua tiga menit.

"Silahkan," Kenzie merentangkan kedua tangannya, memberikan akses bagi Seno agar bisa memeluknya. Seno berjalan cepat, memeluk tubuh itu dan membenamkan wajahnya di bahu Kenzie.

"Kakak.." lirih Seno.

Kenzie menangis tak terkendali. Hatinya terasa sakit bagai ditusuk oleh ribuan jarum ketika mendengar Seno memanggilnya 'kakak'.

"Iya," jawab Kenzie.

"Maaf... aku orang jahat.."

"Orang jahat tidak pernah menyadari kesalahan serta meminta maaf."

"Sakit banget ya? Sampai-sampai lo harus minum obat penenang dalam enam kali sehari?"

Kenzie membenamkan wajahnya di bahu Seno, dia menangis dengan terisak, pelukannya semakin erat. Kenzie menggeleng-gelengkan kepalanya. Sakit. Dia ingin sekali berteriak seperti itu ke hadapan dunia.

"Gue merasa obat itu membantu, Sen. Semenjak mengonsumsi obat penenang, hidup gue jadi lebih baik..."

"Tapi lo mudah berhalusinasi karenanya."

Kehidupan Kenzie menjadi hancur setelah kepergian kedua orangtuanya. Kenzie terpuruk, sering sekali meminum obat-obatan untuk menenangkan pikirannya. Namun obat juga memiliki efek samping, yaitu membuatnya menjadi sering berhalusinasi bahwa ibu dan ayahnya masih ada bersamanya. Kerap sekali Kenzie selalu izin pada ibunya yang dia lihat sedang duduk di sofa ruang tamu, padahal di rumah itu ia hanya tinggal sendiri. Tidak ada apa-apa selain beberapa gram emas milik ibunya yang ditinggalkan di dalam lemari kamar. Emas itu ia jual untuk kelangsungan hidupnya selagi belum mempunyai pekerjaan.

Seno melepas pelukan tersebut, ia melangkah menuju dua raga yang tergeletak tak bernyawa di lantai untuk mengambil pisau yang tertancap di perut Daren dan juga pistol yang berada di samping Alvaro. Kenzie tersenyum, tahu bahwa sekarang adalah akhir dari hidupnya.

Seno kembali menatap Kenzie, dua tersenyum sambil berlari ke pelukan saudaranya dan menusukkan pisau itu ke jantung Kenzie.

"Maaf, Ken, tujuh harus tetap tujuh. sehidup semati." Seno menangis merasakan bahwa tubuh Kenzie melemas dipelukannya. Seno menatap raga tak bernyawa di depannya sebelum mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri dan tangan kiri yang memegang pisau mengarah ke perutnya.

"Stars Us," ucapnya pelan lalu menembakkan peluru pistol tepat ke kepalanya dan menancapkan pisau ke perutnya secara bersamaan. Air mata terakhir menetes ke lantai saat Seno juga terbaring tak bernyawa di samping tiga sahabatnya, dengan pistol dan pisau ditangannya.

••••

"Jadi gitu ceritanya." ucap seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun setelah selesai bercerita.

"Oh, jadi gitu, ya?" lawan bicara mengangguk paham.

"Iya, makanya rumah itu diberi nama 'Rumah Kita' Karena dulu mereka nyebutnya gitu."

"Pantas aja serem, ternyata rumah itu udah terbengkalai selama sepuluh tahun..."

"Yup! Kalau malam tiba, nggak ada yang berani lewat di depan rumah itu, hawa nya beda!" timpal pemuda tersebut pada temannya sambil melirik ke arah rumah di seberang sana, kisaran dua puluh meter ke kanan.

"Ish, Merinding!"

"Sstt! Mending kita kasih doa buat kepergian mereka bertujuh biar mereka tenang."

"Iya.."

—————————————————
—————————————————

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 448 71
Laksa, Stopan lampu merah udah nungguin kita.
1.7M 68.2K 43
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
9.6K 1.6K 36
[Na Jaemin] -Aku pikir kamu yang terbaik-
9.5K 2K 36
[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Tidak Ada Deskripsi. Penasaran? Kuy Mampir. WARNING!! Belum revisi, typo bertebaran, ada kata kasar. Don't Copy...