Apakah Kita Bisa Bertemu (Lag...

By JuwitaPurnamasari

47.4K 1.9K 115

Sebuah kisah sederhana tentang kisah cinta masa kecil, penantian, janji, rindu, juga... kebingungan. Semua r... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 14
Bagian 15

Bagian 13

2.3K 107 6
By JuwitaPurnamasari

Tidak bisa dibilang aku sudah benar-benar melupakan Rama, tidak. Benar kata Nala, melupakan adalah tidak mungkin untuk sesuatu yang pernah hidup dalam harapan dan kenangan kita sekaligus. Tapi setidaknya setelah enam bulan berlalu, aku mulai bisa kembali melakukan semua rutinitasku dengan baik lagi. Aku mulai pelan-pelan terbiasa dengan ketidakhadiran Rama, meski rindu sialan itu masih sering menggedor-gedor hatiku. Kini aku tinggal bersama Nala di rumahnya.

Aku seperti menghilang, aku mengganti nomor ponsel dan mewanti-wanti bunda dan ayah untuk tidak memberikan nomor ponselku pada Rama dan Mbak Mawar. Bunda dan ayah pun sudah tahu Rama akan menikah dengan wanita lain, dan mereka mengerti keadaanku sekarang. Bahkan beberapakali mereka mengenalkanku dengan anak laki-laki teman mereka. Beberapa kali aku sempat melakukan kencan buta dengan beberapa anak pengusaha kenalan ayah, tapi tak satu pun yang bisa membuat hatiku bergerak seperti saat Rama mulai memasukinya.

Aku memutuskan untuk hidup seperti ini dulu. Menyendiri, bukan hal buruk sambil terus berusaha menata hatiku. Mungkin sekarang Rama sudah bahagia dengan Falia. Aku sungguh ingin ikut bahagia, seperti kebanyakan karakter dalam film-film romantis atau novel-novel percintaan. Merelakan sepasang kekasih yang saling mencintai hidup bahagia, dan sebagai orang ketiga yang ditakdirkan takkan merasakan cinta yang terkabul aku menerimanya dengan hati terbuka. Aku tidak bisa! Aku tidak bisa pura-pura bahagia membayangkan mereka bersama.

"Ta! Kalau wallpaper dinding yang ini dan yang ini lebih bagus mana?"

"Ah, apa?"

"Ih, kamu ngelamun ya? Ngelamunin apa sih?"

"Nggak... aku cuma lagi mikir... mau makan siang apa nanti. Hehe... sudah hampir jam dua belas nih. Belum selesai juga milih-milih perlengkapan buat kafe baru kamu?"

"Oalah... makanan mulu! Makanya bantu aku pilih wallpaper buat di kafe. Abis ini kita makan siang. Aku traktir!"

"Oke, aku pilih yang ini! Ini lebih keren, nuansanya terasa adem. Cocok buat kafe kamu yang bergayya vintage."

"Ah, selera kita memang sehati. Aku juga lebih suka ini!"

Nala sedang sibuk mempersiapkan kafe barunya. Dia dan Gio berencana membuka sebuah kafe di daerah Jakarta Selatan. Sejak dulu selain sebagai penggemar Drama Korea Nala memang terkenal kutu buku. Dia punya satu kamar sendiri di rumah yang isinya novel dan buku-bukulainnya. Punya sebuah kafe buku adalah impiannya sejak masih di SMA. Beruntung calon suaminya, Gio, sangat mendukung keingannya untuk membuat kafe buku sendiri. Kisah cinta Nala benar-benar sudah happy ending dia bertemu laki-laki yang baik, yang mencintainya, dan selalu mendukung mimpi-mimpinya.

"Jangan lupa Ta, nanti kamu nyanyi ya di pembukaan kafe baru aku."

"Iya, siap Bu Manajer!"

"Duh, aku hampir lupa. Aku harus mampir ke rumah sakit."

"Eh, ngapain? Siapa yang sakit?"

"Nggak ada yang sakit. Aku cuma mau ambil tes laboratorium. Kan sebelum nikah ada beberapa tes kesehatan. Nah, tadi pagi aku dapat telepon dari rumah sakit hasil lab sudah keluar."

"Ah, nggak terasa ya pernikahanmu dan Gio sudah di depan mata."

"Iya. Deg-degan. Tapi berkat kamu aku nggak kerepotan ngurus macam-macam. Enam bulan ini kamu banyak banget bantuin aku. Dari pilih gaun pengantin, cari seserahan, sampai kasih rekomendasi gedung resepsi. Belum lagi soal kafe. Duh, makasih banget ya Ta!"

Aku tersenyum. Melihat wajah Nala yang selalu berbinar-binar setiap membahas soal pernikahan dan kafe barunya, aku tentu ikut bahagia.Tapi kadang ada sedikit rasa sakit menyelinap dalam hati. Hati yang tak tahu malu ini, masih saja kadang terbersit soal Rama.

"Pembukaan kafenya kapan sih?"

"Bulan depan tanggal 14. Tepat pas hari ulang tahun kamu."

"Wah, ini kebetulan atau apa? Aku jadi merasa terharu."

"Ehehe... ini idenya Gio, katanya kamu yang paling sibuk ngurusin pembukaan kafe daripada kami, pemiliknya. Ya, maklum kami juga kan lagi sibuk urus pernikahan. Makanya hari pembukaannya kami pilih di hari ulangtahun kamu sebagai hadiah sekaligus ucapan terima kasih." Nala merangkul hangat punggungku.

"Duh, nggak usah segitunya La, kamu tuh udah kayak kakak kandungku. Jangan sungkan. Aku malah senang bisa bantu-bantu sampai akhirnya kafenya buka."

Aku memang sengaja menceburkan diri ke persiapan pembukaan kafe Nala dan Gio sejak beberapa bulan lalu. Mungkin ini bisa disebut pelarian. Ya, pelarian dari Rama. Aku berusaha menyibukan diriku sesibuk mungkin agar tidak punya banyak waktu untuk memikirkan Rama. Meski tetap saja tidak semudah yang aku kira. Tentu saja, aku masih cukup sering memikirkannya bahkan hingga saat ini. Tapi setidaknya dengan kesibukan yang cukup banyak aku tidak perlu menghabiskan waktu untuk melamun ataupun menangisi kisah cintaku yang menyedihkan ini.

##

Menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, kami sampai di rumah sakit yang Nala tuju. Setelah memarkir mobil, Nala dan aku menuju ke ruang pemeriksaan. Dokter yang memeriksa Nala ternyata masih sangat muda dan tampan. Aku sempat melirik papan nama di jas putihnya. Januari. Nama yang manis. Meski namanya sedikit terasa feminin tapi dokter ini sangat gagah. Para perawat sibuk menyapa dokter tampan dan muda itu saat dia melewati lorong rumah sakit.

"Selamat siang Dokter Janu." Begitu para perawat menyapanya dengan riang dan mata penuh cinta. Dokter Janu membalasnya dengan senyum singkat satu milimeternya.

"Oi! Terpesona gitu. Dokternya ganteng ya?" Nala menyenggol sikuku.

Aku nyengir sambil sedikit menjulurkan lidah, Nala terkikik.

Dokter tampan ini menghampiri kami di kursi tunggu, "Halo Nala. Hasil lab sudah ada di saya. Mau dibahas sekarang?"

"Oke, Dok. Oh ya Dok, kenalin ini adik saya. Shinta."

Dokter Janu mengulurkan tangannya padaku, aku menyambutnya sambil tersenyum."Halo Shinta." Dia menyapaku dengan senyum yang lebih manis daripada sapaannya pada para perawat. Ah, atau mungkin hanya aku yang sedikit terpesona? Ahaha... Tapi mau bagaimana lagi, dokter muda ini memang sangat karismatik. Gadis mana pun akan mudah tersihir oleh senyum dan tatapannya.

"Aku tunggu di sini aja deh." Aku memilih menunggu di luar saat Nala mengajakku ikut masuk ke ruangan dokter. Aku kurang suka aroma ruangan tertutup di rumah sakit.

"Sip, sip. Aku masuk dulu ya!" Nala mengerling jahil sambil ekor matanya menuju ke arah Dokter Janu, aku hanya menggeleng lucu.

Aku menatap Nala dan dokter tampan ini memasuki ruangan. Aku duduk bersama pasien lain. Sesekali terdengar celotehan genit para perawat tentang dokter Janu. Dengar-dengar dia masih single. Duh, laki-laki sesempurna itu biasanya memang sulit dapat pendamping karena standar mereka cukup tinggi. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri saat mencuri-curi dengar obrolan para perawat.

Sudah hampir dua puluh menit, ternyata konsultasinya cukup lama. Aku mengambil ponsel dan memainkan salah satu game di sana. Hingga seorang perawat wanita menghampiriku, "Shinta yang penyanyi itu, kan?"

"Ah,iya." Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata seorang perawat wanita cantik menyapaku.

"Duh, saya nge-fans banget. Dari tadi pengin nyapa tapi takut salah orang. Boleh minta foto bareng?"

Aku tersenyum ramah, "Boleh."

"Aku benar-benar suka lagu-lagu Shinta. Aapalagi kisah cinta yang romantis dengan cowok misterius itu. Apa sudah ketemu dengan... Rama?"

Aku menggeleng lemah, "Belum."

Kami mengambil beberapa foto selfie. Saat beberapa perawat lain ingin ikut selfie, kepala keamanan rumah sakit datang membubarkan kerumunan para perawat di sekitarku. Aku kembali duduk tenang sambil memainkan ponsel. Sesekali menoleh ke arah ruangan yang dimasuki Nala dan Dokter Janu tadi, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan keluar. Tahu begini, lebih baik aku ikut masuk. Setidaknya tidak merasa bosan di luar sendirian begini.

Di depanku adalah ruang dokter kandungan. Tampak di kursi tunggu banyak wanita-wanita dengan perut sedikit menggelembung. Ada pula dengan perut yang masih tampak normal. Kebanyakan mereka datang dengan suaminya. Wajah-wajah cerah mewarnai obrolan mereka seputar kehamilan dan calon anak mereka. Pintu ruang dokter kandungan terbuka. Seorang perawat dengan pakaian biru muda keluar, diikuti sepasang suami istri yang saat aku memandang wajah mereka aku tertegun....

Rama....

Dadaku sesak. Rama keluar sambil menuntun seorang wanita. Ya, aku yakin wanita itu adalah Falia. Wanita yang sama dengan yang kutemui dikedai kopi dulu. Meski aku memaksa mataku untuk berhenti memandang ke arah sana. Seolah syaraf otakku menolak perintahku, aku terus menatap ke arah dua orang itu. Mataku panas, air mata yang tiba-tiba hampir menyeruak ini terus-terusan berdesakan di kelopak mataku.

Mata kami bertemu, Rama menatapku seklias, aku membeku. Falia melingkarkan lengannya di lengan Rama. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan meninggalkan ruang pemeriksaan. Perawat memanggil nama pasien selanjutnya untuk segera memasuki ruang perawatan. Mataku terus mengekor mereka yang berjalan berdampingan melewati lorong rumah sakit. Hingga bayangan mereka benar-benar hilang. Dan saat itu juga air mataku tumpah. Aku buru-buru mengambil tisu dari tas dan menghapus air mataku.

Selesai pemeriksaan, Nala dan aku memasuki mobil dan bersiap pulang. Sepanjang perjalanan Nala menceritakan soal hasil pemeriksaannya. Intinya semua bagus dan tidak ada gangguan kesehatan yang membahayakan. Nala juga banyak membahas tentang dokter Janu. Aku tidak terlalu fokus dengan apa yang Nala bicarakan, aku lebih banyak melamun menatap ke luar jendela mobil. Bayangan Rama dan Falia terus berkelebatan di benakku.

Wanita itu benar-benar hamil....

Membayangkannya dadaku kembali seperti dihimpit dua batu besar. Setelah beberapa bulan mati-matian menghindari Rama, mengapa harus ada pertemuan seperti ini? Rasanya takdir benar-benar ingin menyadarkanku bahwa aku memang harus melepaskan Rama.

##

"Ta, udah cek youtube?"

"Kenapa?"

"Rama posting video lagi. Masih dengan gaya sok misteriusnya. Dia mainin piano sambil hadap belakang. Tapi cuma instrumen piano aja nggak ada lagu atau liriknya. Hm... apa sih maksudnya itu orang? Apa mungkin kangen sama kamu?"

"Nggak mungkin. Itu pasti buat istrinya."

"Istri? Duh, hopeless gitu. Kayak bukan kamu deh!"

"Aku ketemu mereka di rumah sakit beberapa hari lalu, waktu antar kamu ketemu Dokter Janu."

"Masa?"

"Iya, Rama dan Falia, cewek yang kita lihat mencium pipi Rama di kedai kopi itu. Mereka keluar dari ruang pemeriksaan dokter kandungan."

"DOKTER KANDUNGAN? SERIUS?"

Aku mengangguk pelan, "Itulah kenapa aku menyerah."

"Si Rama betul-betul brengsek ya!"

"Aku yang bodoh atau dia yang brengsek? Aku nggak tahu deh, La."

"Eh, daripada bahas ini, gimana kalau bahas soal lagu yang mau kamu nyanyikan di hari pembukaan kafe? Tinggal sebulan lagi loh, hm... kurang malah. Tinggal 24 hari lagi! Baju kamu udah aku siapin juga. Pokoknya sip deh!"

"Iya, aku akan nyanyikan tiga lagu nanti." Aku tiba-tiba jadi murung.

"Duh, sori ya aku jadi bikin kamu sedih lagi."

"La, apa kamu dapat kabar dari Mbak Mawar kapan pernikahan Rama? Apa mereka sudah menikah?"

"Entahlah, aku sudah lama nggak ada komunikasi dengan Mbak Mawar. Kayaknya dia agak kesal karena aku nggak mau kasih tahu nomor ponsel dan alamat baru kamu."

"Oh... mungkin mereka udah menikah ya...."

"Udahlah Ta. Gimana kalau kamu aku kenalin aja sama Dokter Janu. Kemarin dia sempat tanya-tanya soal kamu loh. Kalau kamu mau, aku akan undang dia ke acara pembukaan kafe."

Aku cuma tersenyum seadanya.

Malam harinya, meski aku berusaha tidak peduli dan tidak penasaran dengan lagu yang Rama unggah di youtube baru-baru ini, tapi sepertinya hatiku tidak setuju. Diam-diam di kamar tanpa sepengetahuan Nala aku mulai membuka youtube dan streaming video yang Rama unggah tersebut. Benar kata Nala, hanya ada instrumen piano. Rama pun masih menghadap ke belakang untuk memainkan pianonya. Video itu baru diunggah tiga hari lalu. Apakah itu bertepatan dengan hari aku bertemu dengannya di rumah sakit. Apa maksudnya membuat ini semua?

Melodi yang Rama mainkan di pianonya entah mengapa terasa dingin dan sepi. Rasanya seperti mendengarkan suara angin sambil duduk di tepi pantai malam hari. Aku mengulang-ulang musiknya beberapa kali. Tiba-tiba wajah yang begitu kurindukan itu semakin nyata dalam pikiranku. Rindu ini, lagi-lagi aku gagal membunuhnya justru muncul semakin dalam. Aku membaca komentar-komentar yang bertebaran di sana. Banyak komentar yang memintanya untuk segera muncul. Banyak fans yang penasaran dan menyukai permainan musiknya. Aku hanya tersenyum getir, saat kembali terlintas wajah Falia yang berseri-seri hari itu sambil menggandeng lengan Rama. Tak terasa air mata ini mengalir lagi....



- Bersambung -



Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 84.1K 42
• Obsession series • [ SELAMAT MEMBACA ] Romeo akan menghalalkan segala cara demi mendapati Evelyn, termasuk memanfaatkan kemiskinan dan keluguan gad...
1.1M 42.9K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...
31.6K 3.7K 32
"gimana kalo kamu beneran suka sama saya?"
806K 37.2K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...