Menunggu

By Ami_Shin

31.1K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Epilog

Part 22

919 162 21
By Ami_Shin

Alma berada di sana, di tengah kerumunan orang-orang yang tersenyum bahagia memandang sepasang kekasih yang sebentar lagi akan mengikat hubungan mereka dengan sebuah pertunangan.

                Alma berada di sana, menatap dengan tatapan kosong pada senyuman manis Elena ketika dia dan Arka saling bertatapan satu sama lain. Alma pun masih tetap berada di sana, menatap Arka yang meraih jemari Elena untuk menyematkan cincin di tangannya ke jari manis Elena.

                Dan Alma masih di sana ketika wajah Arka berpaling, menatap sekitarnya seperti sedang mencari-cari. Kemudian, Arka menemukannya. Menemukan Alma di tengah kerumunan yang kini menatapnya dengan senyuman bahagia.

                Lalu apa lagi memangnya yang bisa Alma lakukan selain memperlihatkan senyuman terbaik. Alma tahu, Arka pasti tak mempercayai senyumannya. Setelah apa yang Alma katakan padanya kemarin malam, setelah betapa hebatnya Alma menangis ketika mengakui perasaannya pada sahabatnya itu. Tapi, bersedih di hari bahagia Arka bukanlah sesuatu yang baik menurut Alma.

                Arka masih terus menatap Alma, hingga Maminya menghampiri, menyentuh lengannya, seperti ingin menyadarkan. Dan setelah itu, Arka benar-benar menyematkan cincin itu di jari manis Elena.

                Riuh tepuk tangan terdengar, bahkan Alma pun salah satu orang yang melakukannya. Bertepuk tangan sambil tersenyum bahagia bukan perkara sulit. Iya, kan?

                Alma mendengar bisikan orang-orang di sekitarnya. Memuji keserasian Arka dan Elena. Yeah, tentu saja, pikirnya yang perlahan-lahan melangkah mundur, beranjak pergi dari kerumunan itu.

                Kemudian Alma menyambar segelas minuman dari meja, sampanye yang mungkin bisa menjadi penghibur lara. Lalu dia bersembunyi di balik sebuah pilar, menyandarkan punggung di sana, dan meneguk minuman sembari melamun dengan wajah sendu.

                Sejak kecil, Alma dididik dengan sangat baik oleh orangtuanya. Dia tak pernah diajarkan menjadi pengecut. Itu kenapa hari ini, meski hatinya sedang remuk redam, meski dadanya terasa penuh sesak, Alma tetap menginjakkan kedua kakinya di sana.

                Arka tidak bersalah. Hanya karena dia tidak memiliki perasaan yang sama seperti Alma, dia tidak bersalah. Jadi Alma tidak akan lagi bersikap tolol seperti sebelumnya. Menghukum Arka dengan cara menghilang begitu saja, membuat sahabatnya itu kebingungan.

                Dan Alma sendiri pun tak ingin menyalahkan dirinya. Hanya karena dia mencintai sahabatnya, yang tak memiliki perasaan yang sama sepertinya, bukan berarti Alma melakukan kesalahan.

                Dia hanya butuh melewati semua ini dengan kesabaran yang lebih banyak. Mungkin juga dengan tangisan yang akan semakin parah. Tapi setelah itu, Alma percaya, dia akan kembali baik-baik saja.

                Benar. Patah hati itu bukan apa-apa. Dunianya tidak akan berakhir hanya karena dia patah hati, kan?

                "Lagi sembunyi?"

                Teguran seseorang terdengar, Alma menolehkan wajahnya. Dia menemukan Bara berjalan menghampiri. Adik kecil Arka dan Adel itu terlihat tampan dengan setelan batik formal di tubuhnya. Kulit putih, rambut cepak, serta sorot matanya yang tajam dan seolah selalu menahan amarah, membuat Bara terlihat sangat menyilaukan.

                Alma bahkan bersiul senang menatapnya. "Tumben lo ganteng banget, Bar." Bara mendengus malas. Dia berdiri di depan Alma, memegang gelas yang sama seperti Alma.  "Gue nggak tahu kalau Om Leo bolehin lo minum." Ujar Alma.

                Bara menggedikkan bahunya. "Dia nggak bakalan tahu."

                Itu artinya remaja yang mulai beranjak dewasa dan memiliki tatapan sedingin es ini sedang melakukan kecurangan. Alma terkekeh pelan sembari meneguk minumannya.

                "Nangis aja kalau memang mau nangis." Gumam Bara lagi. Alma mengernyit memandang Bara. "Gue udah tahu. Semua orang udah tahu. Seenggaknya semua orang yang ada di rumah gue."

                Tentu saja. Alma benar-benar membuat drama murahan kan saat itu? Dan sekarang Alma merutuk air matanya yang tidak bisa diajak berkompromi ketika melewati keluarga Hamizan.

"Dasar Alma bego!" rutuk Alma lalu kembali meneguk minumannya. Ekor matanya melirik Bara, yang meski masih menatapnya sama seperti sebelumnya, namun Alma bisa menemukan tatapan iba yang diperuntukkan baginya. "Nggak usah belagu. Lo juga pernah patah hati, kan?"

                Bara menghela napas malas, kemudian si bungsu Hamizan itu menggoyang-goyangkan gelasnya sejenak, mengamati air yang berguncang di dalamnya, sebelum menyesap sedikit.

                "Gimana rasanya?" tanya Alma tiba-tiba.

                Bara menaikkan satu alisnya ke atas. "Apa?"

                "Patah hati."

                "Bukannya sekarang Kakak juga patah hati, ya?"

                "Tapi lo duluan, kan. Gue lihat lo baik-baik aja sekarang."

                Bara tersenyum dingin. Matanya tampak menerawang seperti sedang berkelana. "Patah hati itu bukan penyakit, Kakak nggak harus sembuh dari patah hati. Tapi, berdamai."

                Tidak jauh beda seperti yang Indra sampaikan padanya beberapa waktu lalu.

                Alma menatap Bara lekat. Berdamai, ya... Kemudian dia tersenyum tipis sembari menghela napas. "Sulit nggak?"

                "Apa?"

                "Berdamai dengan patah hati. Lo berhasil?"

                Bara mengedikkan bahunya malas. Dan Alma tahu jawabannya. Yeah, patah hati sialan ini memang menyebalkan sekali. Membuat hidupnya berantakan saja.

                "Oke. Gue akan memulai perdamaian itu sekarang." Alma menegakkan tubuh, melirik gelasnya yang sudah kosong, lalu mencebik pelan. Tapi saat ekor matanya melirik gelas milik Bara, Alma menyambar gelas itu dan meneguk seluruh isinya. "lo nggak boleh minum banyak-banyak." Ujar Alma padanya, kemudian mengembalikan gelas itu pada Bara, dan beranjak pergi.

                Alma melangkah pasti menuju di mana Arka dan Elena berada. Dari tempatnya, dia bisa menemukan mereka, sedang menyalami dan tersenyum pada para tamu yang menghampiri.

Alma semakin mendekat dan jantungnya semakin berdegup tak karuan. Namun yang pasti, semakin dia mendekat, maka semakin berhasil pula dia mengulas senyuman terbaik miliknya yang penuh kepalsuan.

                Elena yang lebih dulu menyadari kedatangan Alma. Gadis cantik yang memiliki senyuman manis itu menyentuh lengan kekasihnya, mengangguk ke arah Alma hingga kemudian... Alma dan Arka kembali saling memandang.

                Arka kehilangan senyuman yang tadi terpatri di bibirnya, menatap Alma dengan sorot mata lekat yang penuh arti.

                "Congratulation!" ujar Alma. Riang, seperti biasanya. Bahkan dia bisa menghadirkan binar bahagia di kedua matanya saat ini. Benar-benar akting yang sungguh menawan. Dan kini, Alma semakin mendalami aktingnya dengan memeluk Elena, mengatakan sebuah omong kosong mengenai betapa bahagianya dia bisa melihat Arka bertunangan dengan Elena.

                Bahagia? Oh, shit. Alma bahkan ingin sekali mendengus malas saat ini.

                "Makasih, Al." ucap Elena. "Semoga kamu juga cepat nyusul, ya."

                Alma tertawa renyah, meski memaki di dalam hati. Menyusul mereka berdua? Bisa move on saja Alma tidak yakin. "Tenang, Elena... tahun depan gue nyusul."

                "Oh, ya? Sama siapa? Kok aku nggak tahu." Elena melirik Arka yang sejak tadi hanya diam, seperti meminta penjelasan.

                Sama tunangan lo kalau kalian nggak jadi nikah, Alma tertawa sinis di dalam hati. Astaga, kenapa sulit sekali menjadi gadis patah hati yang sabar dan ikhlas. Umpatan di dalam hati Alma sulit sekali dikendalikan.

                Arka mengedikkan bahu sebagai jawaban dari tatapan bertanya kekasihnya.

                "Becanda gue..." Alma terkekeh pelan. Capek juga ya pura-pura bahagia, rutuknya di dalam hati. "Pokoknya, gue doain semuanya lancar sampai pernikahan. Jagain sahabat gue, ya. Cowok baik-baik kaya Arka langka loh di dunia ini." Alma berbisik pelan dengan satu telapak tangan yang menutupi sebelah pipinya. "Dia masih perjaka tahu."

                Elena tertawa geli, namun wajahnya merona malu.

                "Ngomongin gue ya lo." Arka mencebik. Sejujurnya dia hanya sedang berusaha meladeni usaha Alma untuk membuat dirinya terlihat baik-baik saja. Meski Arka sendiri pun tidak bisa baik-baik saja setiap kali memandangnya.

                Alma menyengir lebar. Tapi setelah itu dia menghela napas lalu memeluk Arka. "Selamat, ya." Bisiknya pelan.

                Hati Arka mencelos lirih. Matanya sampai memerah dan berkaca-kaca. Gadis ini... pasti sangat terluka. Tapi dia berusaha mati-matian untuk terlihat bahagia di atas lukanya.

                Arka membalas pelukan Alma, erat, sembari memejamkan mata sejenak. Mulutnya terkunci rapat, tidak bisa mengatakan apa pun. Namun melalui pelukan itu, Arka berharap Alma bisa menyadari kasih sayang Arka yang begitu besar untuknya.

                Arka ingin Alma tahu kalau dia tidak akan pernah meninggalkan Alma, sekali pun saat ini ada Elena yang juga menetap di hatinya. Tapi Alma masih tetap ada di sana, di hati Arka, di tempat khusus yang Arka sisihkan untuk Alma. Hanya Alma.

                Alma tidak mau berlama-lama menikmati pelukan hangat Arka yang membuatnya terlena. Maka dia segera melerai pelukan mereka, saling memandang, tersenyum sendu, lalu memutar tubuh dan beranjak pergi.

                Arka terus mengamati punggung Alma yang semakin menjauh, tatapan matanya terlihat sangat sendu, menyimpan kesedihan yang ternyata Elena sadari.

                Elena tidak tahu mengapa Arka harus bersedih di hari yang seharusnya membuat mereka bahagia. Kemudian Elena melirik punggung Alma dan wajah Arka bergantian.

                Entah apa itu, Elena tidak tahu, tapi yang pasti... ada sesuatu yang telah terjadi di antara Arka dan Alma. Sesuatu yang menyakitkan, yang hanya mau mereka simpan berdua, yang tidak bisa mereka bagi pada siapa pun. Termasuk... Elena.

                Sementara itu, Alma mencari-cari di mana keberadaan orangtuanya. Abi san Gisa sedang mengobrol bersama Leo dan Rere, membuat Alma meringis pelan.

                Alma malas sekali kalau harus berhadapan dengan orangtua Arka. Dia belum siap melihat tatapan kasihan dari para orangtua lainnya. Tapi dia harus pamit lebih dulu pada Gisa, karena Mamanya itu ingin memastikan sesuatu.

                "Ya udah deh, paling juga gue diceng-cengin!" rutuk Alma sebal. Alma menarik napas kuat dan menghembuskan perlahan, entah sudah sebanyak apa dia melakukan hal ini sejak tadi.

                Lalu dia memasang senyum sumringah seperti biasa sebelum menghampiri. "Ma," tegur Alma. Tapi ternyata bukan hanya Gisa yang menoleh. Ke empat orang itu serentak menoleh padanya, membuat senyum Alma terasa kering dan terlihat kaku. "hm, aku harus pergi, ada urusan kerjaan."

                Gisa tidak langsung menyahut, hanya memandangi Alma lebih lekat dari sebelumnya. Menyadari itu, Alma mencebik seraya memutar bola matanya malas. "Aku nggak nangis." Tadi malam, Gisa memanggil Alma dan menyuruhnya membuat perjanjian.

                Perjanjian yang menyatakan Alma tidak boleh menangis di hari pertunangan Arka.

                "Mama nggak mau besok kamu bersikap norak. Jangan nangis-nangis dan bikin semua orang ribet ya, Al!"

                Kejam sekali, kan?

                Kayanya cuma nyokap gue yang meskipun tahu anaknya patah hati, bukan di hibur tapi malah diomelin. Begini banget punya orangtua.

                Kekeh geli Abi terdengar saat dia merangkul Alma. "That's my daughter." Ucapnya bangga seraya melirik Leo dengan cara yang menyebalkan. Seolah ingin memberitahu Leo kalau Abi beserta keturunannya tidak akan sudi mengemis cinta pada Leo dan keturunannya.

                Leo mendengus, memutar matanya jengah.

                Berbeda dari Leo, Rere malah menatap Alma lirih. "Al," panggilnya pelan. "maafin Arka, ya. Tante udah dengar semuanya dari Arka. Dan Tante cuma bisa berharap, persahabatan kalian tetap baik-baik aja selamanya."

                Alma mengerjap lambat, menghela napas lirih. "Iya, aku maafin. Tapi..." seringai Alma muncul. "nggak gratis. Karena anak Tante Rere yang nyebelin itu udah buat aku patah hati, Tante Rere nggak mau kasih aku kompensasi gitu? Hati aku sakit banget loh, Tante." Alma bahkan menyentuh dadanya dengan cara yang berlebihan, persis seperti ekspresi sedihnya yang dibuat-buat.

                Rere mengerjap cepat, Abi dan Gisa sudah tertawa geli, sedang Leo berdecih kesal.

                "Matre. Sama kaya Mamanya." Sindir Leo.

                "Becanda... becanda..." Alma mengibaskan tangannya. "Udah sih, biarin aja ini jadi urusan aku sama Arka. Orangtua nggak usah ikut campur."

                "Al!" tegur Gisa atas ucapan tak sopan putrinya. "Ya udah, katanya kamu ada urusan penting. Pergi sana."

                Eh, tumben banget ini si Gisa mau bantuin gue.

                Alma yakin, Gisa tahu kalau alasan itu hanya mengada-ada, karena Alma ingin segera pergi dari sana.

                Alma berpamitan pada mereka semua. Saat dia sudah beranjak pergi, Leo memanggilnya.

                "Al!"

                Alma menoleh.

                "Kamu tahu kenapa di antara semua anak-anak menyebalkan yang sering main ke rumah Om, cuma kamu yang Om perbolehkan bersikap semena-mena sama Om?"

                Alma mengerjap bingung.

                "Itu karena Om merasa kamu berbeda. Kamu tangguh, tulus, apa adanya, setia, bisa menyayangi dan melindungi orang-orang di sekeliling kamu dengan keberanian yang kamu punya. Kamu spesial, Al, sama seperti Papa kamu."

Alma melirik Abi yang sedikit menunduk dan tersenyum kecil.

"Dan kamu... akan selalu punya tempat di rumah Om, di keluarga kami, bahkan di hidup Arka."

Padahal saat mengatakan kalimat panjang itu, wajah Leo sama sekali tidak berekspresi, tapi Alma justru merasa sangat terharu hingga matanya berkaca-kaca.

Alma tersenyum kecil. "Kalau gitu aku juga bakal dapat warisan dari Om Leo dong?" dia tidak lupa mengerling jail.

Leo mendengus, membuang muka. "Kalau begini kamu seperti Mama kamu. Matre."

"Ya kan emang anak gue." protes Gisa.

Gisa dan Leo mulai saling berdebat, Rere mencoba menengahi, sementara Abi hanya tertawa senang melihat perdebatan itu.

Alma masih berdiri diam di tempatnya, memandangi ke empat orang itu dengan senyuman kecil. Keempat orang yang berhasil menjaga persahabatan mereka begitu lama, tanpa pernah mencederai persahabatan itu.

Meski mereka pernah bersinggungan, pernah berselisih, salah paham, saling melukai. Tapi mereka tidak pernah pergi dan meninggalkan satu sama lain. Mereka tetap saling menggenggam, saling mendukung, melangkah beriringan bersama-sama, tertawa, menangis, mengarungi satu persatu bab kehidupan.

Di hidup Abi dan Gisa, selalu ada Leo dan Rere yang menemani, menjadi penyeimbang ketika mereka sedang gamang. Begitu pula sebaliknya.

Jadi, jika mereka saja pun bisa melakukannya, mengapa Alma dan Arka tidak?

Alma tahu itu tidak mudah, tapi pasti bisa dilakukan. Buktinya saja, Papanya yang dulu sangat mencintai Maminya Arka, bisa tetap hidup berdampingan dengan damai tanpa saling menyakiti, kan?

Kini Alma menarik napas panjang, melanjutkan langkah, tersenyum lebar dan lepas.

Gue bisa, pasti bisa, gumamnya di dalam hati.

Kemudian Alma mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menghubungi seseorang. "Halo... adik kesayangan Kak Alma," sapaan ramah yang penuh kepalsuan itu terdengar dari Alma. Dia terkekeh pelan, mendengar rutuk kesal di seberang sana. "Indra lagi apa? Sibuk nggak? Kak Alma lagi pengin minum nih... Indra mau temenin Kak Alma?"

Umpatan kasar terdengar sangat jelas. Alma sampai tertawa terbahak-bahak saat masuk ke dalam mobil.

[Ya udah, ke apartemen gue aja. Tapi, Al, lo bisa stop cosplay jadi Kakak gue nggak?! Gue jijik!]

                Alma hanya tertawa, kemudian memutuskan panggilan, lalu mulai mengendarai mobil menuju apartemen Indra.

                Alma sudah bilang, kan, pura-pura bahagia itu melelahkan. Dan sekarang saatnya Alma menangis sambil mabuk-mabukan.

***

Continue Reading

You'll Also Like

631K 59.3K 46
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

385K 3.6K 23
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
459K 3K 5
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
STRANGER By yanjah

General Fiction

295K 33.5K 37
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...