RUANGAN ini masih menjadi tempat mereka duduk berhadapan; menjadi tempat perempuan merapal pinta agar dalam menjalankan pekerjaannya, Jaehyun bersikap profesional, seperti biasa.
Cerita belum dirapal habis. Untuk mendengar kelanjutannya, Jaehyun diminta mengeringkan tangis.
Padahal, Jaehyun adalah pihak penuntut; setiap hari, menuntut perempuan itu untuk bercerita. Tapi, ketika hari ini telinganya benar-benar disuguhkan cerita, Jaehyun seperti tak memiliki cukup kapasitas untuk menampung seluruhnya.
Dadanya tak cukup lapang, terasa sesak. Matanya berangsur-angsur padam, terasa panas.
Maka, sebagai manusia yang agaknya masih menjadi yang paling mengerti Jaehyun di dunia ini, perempuan itu katakan,
"Akan aku lanjutkan lain kali."
Ruang rehabilitasi mental ditinggalkan. Sehari kemudian, didatangi lagi, tetapi semua orang tahu lain kali adalah masa yang tak pasti.
Tidak ada sambungan cerita keluar dari mulut Rose hari itu, dua hari, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan enam bulan setelahnya.
Jaehyun pikir, sampai kapanpun, ia tak akan pernah mendengarnya lagi.
Sekalipun mendengar itu sama seperti membuka buku lama bersampul dosa-dosa, Jaehyun masih tetap menantikan harinya.
Dan, hari itu tiba.
Di ruangan yang sama, yang tak banyak berubah, Jaehyun kembali duduk untuk mendengar perempuan itu merapal sudut pandangnya.
"Sebentar lagi, aku sampai. Ini agak macet. Sabar, ya, Cantik."
"Kepulangannya adalah hal yang paling kunantikan. Saat di mana aku bisa melihatnya, memeluknya, dan merasakannya, tidak ada yang lebih membahagiakan dari saat-saat yang hanya punya masa sesaat itu. Satu tahun sekali, dia pulang ke rumahku. Menghabiskan seminggu waktu liburnya untuk menemaniku. Karena seminggu terlalu sedikit, rasa-rasanya aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan bersenang-senang dengannya. Aku tidak ingin mengacau dengan berkeluh kesah padanya. Aku benar-benar hanya ... ingin berbahagia dengannya."
"Berjalanlah pelan-pelan! Tetap waspada dan jangan lengah! Jangan matikan GPS-mu! Tekan tombol satu kalau kamu dalam kondisi darurat! Dan, satu lagi, tenang dan percayalah, karena aku akan selalu ada di sekitarmu."
"Malam itu, aku mengajaknya menonton kirab budaya dan pesta kembang api di pusat kota. Rasa-rasanya sudah lama tidak ke sana. Kami datang dengan cara berjalan terpisah. Kendati demikian, aku masih tetap bahagia. Saking bahagianya, ketika menatap langit yang megah malam itu, aku lengah. Orang-orang di sekitarku tiba-tiba saja menjadi sangat banyak. Dan berada di antara desakan mereka, aku menjadi panik."
"Ponselku terjatuh. Ketika hendak mengambilnya, kacamataku kemudian ikut jatuh. Keduanya terinjak-injak kaki orang-orang dan aku bingung mana yang mesti kuselamatkan. Aku berhasil menyelamatkan ponselku, tapi tidak dengan kacamataku. Dan, aku semakin panik, takut apabila orang-orang akan mulai mengenaliku. Jadi, aku menjauhi kerumunan. Kupikir, aku berhasil menyelamatkan ponselku, tapi ternyata tidak. Itu rusak, jadi aku tidak bisa menghubungi siapa pun."
"Dan, tahu apa yang lebih mengerikan dari dikenali orang-orang? Ah, aku lupa jalan pulang. Bangunan-bangunan tiba-tiba saja menjadi sangat asing. Aku sudah coba berulang kali, menyusuri jalan yang kuyakini akan membawaku pulang, tapi percuma, aku tetap tersesat pada akhirnya.
"Hanya ada satu bangunan yang aku ingat. Kafe belajar. Aku duduk di sana, tanpa harapan apa-apa. Itulah mengapa, ketika melihatnya berlari padaku, aku merasa sangat bahagia."
"Aku bahagia diajak dan digendongnya pulang. Tapi, kemudian, keributan terjadi. Aku yang terlalu lelah, mengira ia yang khawatir mencari-cariku ke mana-mana bahkan sampai mau melapor ke polisi itu sedang marah. Dan, hari itu, berujung dengan aku yang menumpahkan banyak kesah. Menjadi aktris besar, membuatku tidak sempat mengingat jalan karena aku terlalu sibuk membaca naskah atau membayar jam tidurku setelah kejar syuting."
"Tapi sesungguhnya aku sendiri tidak yakin apakah benar begitu. Apakah hanya itu yang membuat otakku terganggu? Atau ... ada pengaruh lain."
"Kamu sering kesulitan tidur?"
"Tidak juga. Aku hanya mengkonsumsi itu agar bisa segera tidak ketika besoknya ada syuting."
"Aku sudah menkonsumsi obat sejak lama. Awalnya memang hanya untuk itu, tapi kemudian tidur menjadi hal yang bertambah sulit untuk dilakukan seiring waktu berjalan. Pada saat di mana seharusnya aku beristirahat, mataku justru enggan diistirahatkan. Ketika berhasil tidur pun, aku tidak tidur dengan nyenyak. Ada banyak hal di pikiranku yang mengangu."
"Kamu dengan ibumu baik-baik saja, bukan?"
"Tidak. Kami tidak baik-baik saja. Aku dengan ibuku kacau. Rasa-rasanya aku ingin menjawab begitu ketika dia bertanya. Aku ingin bercerita tapi, aku bahkan terlalu malas hanya untuk mengingat. Dan, lebih daripada, alasan aku menutupi ini adalah karena aku ... tidak ingin mengacaukan pikirannya. Aku hanya ingin dia tetap fokus dengan kuliahnya."
"Sedikit lagi, studiku akan selesai sedikit lagi. Setelah selesai, aku janji akan langsung kembali. Bertahanlah sebentar lagi, Rose! Susahmu, sedihmu, sakitmu, aku berjanji akan membayar semuanya."
"Tapi, mungkin, sekalipun aku diam, dia tetap bisa merasakan bahwa aku tidak baik-baik saja. Dia mungkin tahu aku susah, sedih, sakit sehingga bicara begitu. Sedikit lagi, katanya. Dia akan membayar semuanya. Dan, aku tahu, dia pasti akan menepati itu. Akan tetapi ...."
"... andai dia tahu, manusia yang tidak cukup sabar ini bahkan sudah menyerah atas segalanya sedari awal. Aku bertahan, tapi sebenarnya ... melarikan diri."
"Dulu mungkin cukup hanya dengan berkunjung ke bar sekali waktu. Tapi, aku merasa alkohol sama sekali tidak membantu. Dulu mungkin bisa hanya dengan obat tidur, tapi aku juga merasa itu tidak berbeda. Malah justru terasa merepotkan karena harus mendengar ceramah dokter tiap kali dosis bertambah."
"Lalu aku mengenal Ko Junheo, pemilik bar yang sering kukunjungi. Aku ... membeli morfin darinya, sejak tahun kedua ku menjadi aktris. Saat itu namaku sedang melejit-melejitnya, tawaran main drama sedang banyak-banyaknya."
"Kamu tahu apa yang lebih sulit dari pada meraih? Benar, mempertahankan apa yang kamu raih. Setiap kali menerima penghargaan, ucapan selamat bagiku hanya terdengar seperti 'jangan jatuh, teruslah naik lebih tinggi!' dan itu membuatku takut. Tepuk tangan bukan berarti 'aku bangga padamu' tapi itu hanya ... 'jangan kecewakan kami!' dan aku menjadi cemas, setiap saat."
"Benar bahwa aku berbohong tentang Junheo pada kekasihku. Aku bicara kalau aku hanya sesekali mengundangnya ke rumah untuk meracik minuman untukku ketika aku terlalu malas untuk pergi ke bar. Kami lebih akrab dari itu. Kami berbagi cukup banyak cerita. Tapi ...."
"Kamu tidur dengannya?"
"... mendengar tudingannya hanya karena dia menemukan Junheo mengantarku pulang setelah aku mabuk di bar, rasa-rasanya aku hancur. Aku berlutut pada kekasihku dan memohon agar dia percaya bahwa aku sama sekali tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuhku sebanyak dia. Benar-benar hanya dia, satu-satunya. Tentang Junheo, aku tidak sepenuh berbohong, aku hanya berbohong soal narkotika karena aku yakin dia pasti akan kecewa apabila mengetahuinya."
"Kamu pikir sudah membayar semuanya?! Tidak! Sampai kamu mati pun, hutangmu padaku tidak akan pernah lunas terbayar."
"Kemudian, hari itu tiba. Saat di mana dia melihat Roseanne Park sangat berantakan."
Pandang yang sedari tadi berpendar ke banyak arah, kini hanya mengarah pada satu laki-laki yang punya lautan muram di kedua matanya.
[]
Em11
\\ he was the one who saw her so messed up \\
[SERENADE IN E MINOR]
by
linasworld
***
notes:
kebiasaan nih, tiap work menjelang ending
suka ngadat update-nya
thankyou sudah setia menunggu :v