Menunggu

By Ami_Shin

32.2K 4.7K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 21
Part 22
Epilog

Part 20

682 133 21
By Ami_Shin

Duduk dengan kaki bersilang, Arka menatap layar televisi yang menyala dengan tatapan kosong. Di sedang berada di apartemen Elena, tapi jiwanya seperti terbang entah ke mana.

Ini bukan hal baru bagi Arka. Ketika dia dan Alma tidak saling bicara dan bertemu, Arka merasa hidupnya terasa hampa. Dia tidak bisa fokus pada kehidupannya sendiri. Kepalanya terasa penuh, tapi tak ada satu pun yang bisa dia pikirkan dengan benar.

"Minum?"

Elena menyerahkan segelas wine pada Arka, gelas itu tidak langsung Arka terima karena kini dia sibuk memandangi Elena.

Gadis itu tersenyum kecil, membuat Arka menghela napas berat sebelum menerimanya. Arka menyesap minumannya sedikit, kemudian kembali melamun.

Hal itu menarik perhatian Elena, "Kamu kenapa?" diusapnya lengan Arka lembut.

"Nggak apa-apa."

"Bohong. Dari tadi kamu melamun terus. Makan juga nggak abis. Kenapa, Arka, kamu bisa cerita sama aku."

Benarkah? Apa Arka bisa bercerita pada Elena, sedangkan untuk memberitahu Adel saja pun Arka merasa takut. Ya. Arka takut kalau jawaban yang dia berikan pada Alma ternyata salah. Lalu pada akhirnya membenarkan tuduhan Alma tentang bagaimana Arka yang telah menghancurkan persahabatan mereka.

"Ya udah, nggak apa-apa kalau kamu belum mau cerita." Elena tersenyum menenangkan, tidak mau memaksa Arka yang malah terlihat semakin tertekan ketika Elena memintanya untuk bercerita.

Ketika Elena hendak menikmati wine miliknya, Arka bergumam pelan.

"Kamu nggak bakal tinggalin aku, kan?"

"Kenapa kamu tanya begitu?"

Karena Arka sudah memilih Elena, dan dia harus memastikan pilihannya adalah benar.

Arka sudah memikirkan segalanya sejak kemarin. Sendirian, tanpa meminta pendapat siapa pun. Tentang Alma dan sisi egoisnya, tentang persahabatan mereka, tentang kasih sayang Arka dan juga... cinta yang pernah Arka miliki untuk gadis itu.

Arka menyayangi Alma. Sungguh. Alma bahkan telah menjadi pusat hidupnya selama ini. Hingga tanpa sadar benih cinta itu muncul di hati Arka, dan dia harus melewati banyak hal membingungkan yang membuat hidupnya tersiksa hanya untuk melenyapkan cinta di hatinya.

Lalu Elena hadir, mengulurkan tangan, membantu Arka keluar dari perasaan tersiksa itu. Elena dan ketulusannya, Elena dan kasih sayangnya, semua itu... membuat Arka sembuh. Itu kenapa dia tidak terima ketika Alma mengatakan sesuatu yang tidak-tidak tentang Elena. Dan itu kenapa Arka tidak bisa memilih Alma.

Karena selama apa pun mereka bersahabat, pada akhirnya mereka akan memiliki kehidupan masing-masing. Arka menyayangi Alma, tapi dia juga tidak mungkin terus menerus menjadi Arka yang harus selalu menuruti apa yang Alma inginkan.

Arka membutuhkan cinta, dia ingin dicintai dan mencintai. Tapi Alma tidak bisa memberikan semua itu. Lalu ketika akhirnya Arka menemukan apa yang dia mau dari sosok Elena, bagaimana bisa Alma berniat menghancurkan semuanya begitu saja.

Maka Arka sudah memilih, jika Alma keberatan dengan hubungan yang Arka dan Elena miliki, maka Arka tidak keberatan untuk mengakhiri persahabatan mereka. Toh Arka tetap akan menyayangi Alma, tidak akan pernah mungkin bisa berhenti menyayangi gadis itu. Dan Elena... keberadaannya di hidup Arka bisa menyembuhkan rasa kecewa Arka atas persahabatannya dan Alma yang telah berakhir.

Arka menyentuh jemari Elena, menggenggam lembut sedang matanya menatap lirih. "Elena, di hatiku saat ini cuma ada kamu. If you can look into your heart and only see me, kamu pasti tahu kalau kita harus menghabiskan sisa waktu kita bersama."

Elena terdiam kaku dengan mata sedikit terbelalak. Apa yang baru saja Arka katakan... seolah-olah... sedang ingin...

"Will you marry me?" suara Arka terdengar sangat lembut dan tulus. "Aku benar-benar nggak tahu apa yang harus aku lakukan kalau kamu menolak." wajah Arka berubah muram. "So, could you save us both the trouble and say yes?"

Mata Elena yang kemerahan kini berkaca-kaca. Hatinya membuncah bahagia. Sangat bahagia. Dia tahu Arka pasti bisa mencintainya. Lelaki ini telah bersungguh-sungguh dengan janji yang dia ucapkan.

Tapi Elena tidak pernah menyangka akan secepat ini.

"Kamu yakin?"

"Hm."

"Nggak mau pikir-pikir dulu?"

Arka berdecak pelan. "Kalau dipikir-pikir lagi, nanti aku keburu jatuh cinta sama cewek lain. Memangnya kamu mau?"

"Nggak..." Elena tertawa serak. Lalu dia memandang genggaman Arka di jemarinya, tersenyum haru. "Cincinnya mana?" dia sedang berusaha bercanda.

Cincin? Astaga. Arka tidak mempersiapkan cincin karena ide untuk melamar Elena terbesit begitu saja di kepalanya.

"Hm... nanti menyusul." Arka tersenyum kaku. Elena menatap Arka tidak percaya lalu menggelengkan kepalanya gemas.

"Tapi aku butuh jawaban kamu sekarang," Arka menyentuh pipi Elena, mengusap lembut, memandangnya hangat. "Say yes, please..."

Elena tersenyum, membalas genggaman Arka, mengangguk malu-malu dan tersenyum semakin lebar ketika Arka mengecup bibirnya pelan.

Dadanya seperti hendak meledak saat ini karena dipenuhi ribuan kebahagiaan. "Terima kasih..." bisik Arka di bibirnya, sebelum mengubah kecupan menjadi lumatan.

Elena berpegangan di bahu Arka, memejamkan mata, menikmati lumatan lembut yang menghadirkan sengatan syahdu di sekujur tubuhnya.

Mata Arka juga terpejam, bibirnya melumat semakin dalam. Perlahan dia mendorong tubuh Elena hingga berbaring di atas sofa, menindih gadis itu sementara mulut mereka tak ada yang mau beranjak menjauh.

Arka membutuhkan ini.

Tersesat dalam buai kemesraan bersama Elena, agar bisa melupakan Alma dari ingatannya.

***

Alma menyadari perubahan dalam dirinya. Begitu pula orang-orang disekitarnya. Sejak pagi itu, Alma seperti bukan sosok yang mereka kenal. Alma menjadi lebih pendiam, menyendiri, dan mudah sekali marah.

Dia bahkan masih belum berbicara dengan Gisa. Alma tahu, Gisa tidak akan mau bicara pada Alma sebelum dia minta maaf dan mengakui kesalahannya.

Sayangnya, Alma memilih untuk membiarkan hubungan mereka merenggang. Begitu pula dengan Abi. Berkali-kali Abi mengajak Alma bicara, tapi Alma selalu menghindar.

Alma sedang tidak mau bicara dengan siapa pun. Dia hanya ingin menyendiri, meredam kemarahan dan kekecewaan yang belum benar-benar sirna.

Pikirannya berkecamuk. Kacau sekali. Tapi Alma tidak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya dia menarik diri dari siapa pun.

Satu-satunya tempat pelarian yang bisa Alma singgahi hanyalah tumpukan pekerjaan yang membuatnya kelelahan. Alma jadi sering kali lembur, lalu melanjutkan pekerjaan di rumah.

Insomnia membuat Alma semakin betah berlama-lama bekerja. Setiap kali sedang punya masalah, Alma memang cenderung kesulitan untuk tidur. Apa lagi sekarang sudah tidak ada sosok yang sering mengomeli Alma dan menyuruhnya istirahat.

Hidup Alma benar-benar kacau sejak saat itu. Tapi Alma memilih menyimpan kekacauan itu seorang diri.

Dua bulan tanpa kehadiran Arka, dua bulan tanpa berkomunikasi dengan Arka. Dan dua bulan... memendam rindu yang menyedihkan.

Alma nyaris gila, dia hanya sedang berusaha terlihat waras.

Sedang mengetik di atas keyboard, tiba-tiba saja Alma merasa sesuatu yang hangat mengalir dari hidungnya. Alma menyentuh hidungnya, memeriksa telapak tangan dan menemukan bercak darah.

"Ck!" decak Alma kesal sambil menengadahkan wajah ke atas. Dia mengambil beberapa helai tisu, lalu menahan darah dari hidungnya agar tidak keluar dari sana.

Ini bukan yang pertama kalinya Alma mimisan dalam kurung waktu dua bulan. Jadi dia sudah menganggap hal itu biasa. Hanya saja, sekarang Alma menyadari kalau kepalanya terasa pusing dan matanya terasa berair.

Alma meraba dahinya. Panas. Demam sialan.

Setelah menyumbat hidungnya dengan tisu, Alma pergi ke dapur untuk mengambil air hangat. Dia meneguk satu gelas air hangat dalam sekali teguk. Selalu saja merasa air hangat bisa membuatnya sembuh.

Kemudian, alih-alih beristirahat, Alma malah kembali melanjutkan pekerjaan. Tapi setengah jam setelahnya, Alma justru menggigil kedinginan. Dia bahkan sudah tiga kali minum air hangat tapi tidak juga menghasilkan efek apa-apa.

Lalu Alma memutuskan berbaring, meringkuk di bawah selimut, memejamkan mata. Tapi tubuhnya yang menggigil terasa semakin lemas.

Alma sangat keras kepala, tapi dia juga takut kalau-kalau harus mati secepat ini. Jadi, setelah merasa kalau tubuhnya membutuhkan pertolongan, Alma kembali keluar dari kamar.

Alma memang jarang beribadah, tapi dia percaya tentang azab anak yang durhaka. Dan sekarang dia sedang menerima azab sialan itu.

Karena saat ini, Alma sedang berdiri di depan pintu kamar orangtuanya dan mengetuk-ngetuk pintu sampai terbuka.

Gisa yang muncul dari balik pintu, menaikkan satu alisnya malas. Meski tampak baru bangun, tapi Gisa masih saja mengibarkan bendera peperangan padanya.

"Aku sakit." ketus Alma, namun setelah itu dia menundukkan kepala. Sebenarnya dia malu, tapi gengsinya juga sangat tinggi.

Alma mendengar Gisa berdecih. Tapi setelah itu telapak tangan hangat Gisa menyentuh dahi Alma, dan sentuhan itu membuat perasaan Alma semakin kacau.

Kenapa harus ada rasa bersalah di dunia ini?! teriaknya kesal di dalam hati.

Gisa menyuruh Alma kembali ke kamar. Saat dia menyusul, ada sebuah mangkuk dan kotak perlengkapan obat di tangannya.

Masih tanpa bicara, mula-mula Gisa mengukur suhu tubuh Alma. Tiga puluh sembilan derajat. "Hidung kamu kenapa?"

"Mimisan." Jawab Alma.

Gisa langsung melirik ke meja kerja Alma, lalu menipiskan bibirnya tajam saat melihat laptop yang masih menyala. "Kalau mau cepat mati, nggak gitu caranya, Al." sindirannya benar-benar mengerikan.

Alma hanya memalingkan muka.

Gisa kembali diam. Dia menyuruh Alma makan beberapa keping biskuit, lalu memberi beberapa butir obat. Kemudian, dia mengompres dahi Alma dengan air hangat.

"Besok nggak usah kerja."

"Nggak bisa. Ada sidang."

"Di undur aja sidangnya kalau gitu."

"Aku Pengacara, Ma, bukan Hakim."

Dua wanita yang mempunyai karakter serupa itu saling mendengus malas.

"Ya udah, tidur sana."

"Mama?"

"Nggak usah nanya-nanya."

Sebenarnya Alma ingin tertawa mendengar rutuk kesal Gisa. Tapi saat tahu Gisa akan menemaninya di sana, Alma merasa senang. Dia dan Mamanya memang begini, saling sayang tapi menolak mengaku. Sama-sama keras kepala dan tidak mau kalah.

Alma sudah memejamkan mata saat mendengar Gisa kembali bersuara. Lengkap dengan nada sinis yang menyebalkan. "Azab anak durhaka itu beneran nyata ya, Al."

"Kalau orangtuanya kaya Mama, anak mana coba yang nggak bakal durhaka." Balas Alma mencibir. Tapi setelah itu dia mengaduh dan membuka matanya dengan kesal karena baru saja mendapatkan jitakan di kepala.

"Tidur." Omel Gisa.

Salah mulu gue di mata si Gisa!

***

Sekarang Alma percaya kalau tidak ada obat yang paling mujarab di dunia ini selain sentuhan hangat seorang Ibu. Buktinya saja, pagi ini dia bangun dalam keadaan segar bugar. Sama sekali tidak merasa seperti seorang pasien penyakitan.

Ini sangat bagus, karena Alma butuh tetap baik-baik saja untuk menjalani sidang hari ini.

Selesai bersiap-siap, Alma bergegas turun untuk bergabung dengan keluarganya di meja makan. Tapi ketika dia hampir sampai, tiba-tiba Ashila menghampiri sambil tersenyum manis padanya. Ada sebuah cake ulang tahun di tangan Ashila.

Ashila tidak menyanyikan lagu ulang tahun mengingat Alma benci sekali mendengar lagu ulang tahun kekanakan di hari ulang tahunnya.

Abi mendekat, memeluk dan mengecup dahi Alma. "Happy birthday, Al." ucapnya. "Mau hadiah apa dari Papa?" Abi mengerling dengan sorot mata geli.

"Kasih tiket dan akomodasi buat liburan aja. Biar anak kamu nggak usah belaga sok sibuk sampai sakit kaya tadi malam." Gisa sama sekali tidak beranjak dari kursinya. Mengunyah makanan di mulut sambil memandangi ponsel.

"Kamu sakit?" Abi yang tidak tahu apa-apa, kini memeriksa dahi Alma.

"Udah sembuh..." Alma menepis tangan Abi.

Gisa menyahut. "Dia demam, mimisan, dan hampir mati."

"Nggak usah berlebihan deh, Ma."

"Coba bilang gitu waktu kamu ketuk-ketuk pintu kamar Mama."

Alma memutar matanya malas.

Abi mendekati istrinya, meminta penjelasan. Lalu Alma menghampiri Ashila yang berdecak kesal karena lilin di atas cake itu nyaris habis. Meniup lilin malas-malasan, Alma memukul pelan dahi Ashila. "Doain sidang gue berjalan lancar hari ini."

"Ya elah, Kak, lo yang ulang tahun juga. Kenapa nggak lo aja yang doa."

"Males." Alma menarik kursi untuknya. "Tapi makasih ya, udah repot-repot beli cake buat gue."

Ashila mengernyit. "Gue nggak beli. Ini Mama yang buat."

Alma ternganga. Dia sampai menoleh cepat pada Gisa yang memelototi Ashila. Gisa membuat cake? Astaga! Dunia pasti akan segera kiamat.

"Mama buat cake sebagai permohonan karena udah marah-marah sama kamu." Abi menjelaskan.

"Nggak usah ngarang!" Gisa protes tak terima. "itu cuma biar kita nggak usah repot-repot beli. Sayang duitnya."

Abi tersenyum jail. "Bukannya lebih repot lagi kalau buat sendiri, ya, sayang? Siapa coba yang semalam teriak-teriak hampir stres karena cake buatannya selalu gagal."

"Bisa diam nggak?!"

Abi menggelengkan kepala dengan gelagat menggemaskan dan Gisa langsung menjambak rambutnya sampai suaminya itu berteriak kesakitan meski sambil tertawa.

Gengsian banget lo, Gis. Cibir Alma di dalam hati, meski sejujurnya dia nyaris menangis terharu. Alma tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, Gisa pasti merasa bersalah karena sudah menuduh Alma yang tidak-tidak. Sama seperti Alma yang mengatakan kalimat kasar padanya kemarin. Dan karena mereka bukan jenis keluarga harmonis yang penuh kehangatan, maka Gisa melakukan cara itu untuk minta maaf.

Ashila menyikut lengan Alma. "Bilang apa kek lo sama Mama." Bisiknya mengomel.

Alma menghela napas, "Thanks, Ma." Ucap Alma pelan. Tapi saat dia melirik cake itu, tubuhnya bergidik ngeri. "Untung belum gue makan."

Siapa pun tahu betapa payah Gisa dalam urusan memasak. Apa lagi itu adalah cake. Bisa-bisa Alma keracunan saat mencicipinya.

Dan Gisa menghadiahi ucapan Alma itu dengan melempar potongan roti bakar dari piringnya.

Selesai makan, Alma sudah akan bergegas pergi.

"Al!" panggil Abi.

"Ya?"

"Arka mau menikah, ya?"

Alma mengerjap lambat. Arka... mau... menikah?

"Tadi malam Om Leo telepon Papa, kasih kabar soal rencana pernikahan Arka. Kok kamu nggak pernah kasih tahu Papa soal itu."

Kini Alma menelan ludahnya susah payah.

"Bang Arka mau menikah, Pa?" Ashila menyahut heboh.

"Iya."

"Sama Kak Elena?"

"Iya lah sama Elena, jadi mau sama siapa lagi." cebik Gisa.

Sementara itu, Alma hanya diam terpaku di bawah sorot mata Abi yang menunggu.

"Al?" desak Abi.

Alma menarik napas panjang dan menghelanya susah payah. "Iya kali. Udah, ya, takut telat. Bye semua."

Kemudian dia pergi dengan langkah cepat meski kedua lututnya terasa lemas.

Setelah sekian lama tanpa kabar, hari ini Alma akhirnya mendengar kabar lelaki itu. Sebuah kabar yang membuat hati Alma kembali retak.

Kabar pernikahan Arka.

***

"Udah mendingan, Arka?"

Arka sedang menikmati teh jahe hangat di kitchen island ketika Rere datang menghampiri.

"Udah, Mi. Cuma masih flu aja kok." Jawabnya.

Tadi malam sepulang bekerja, Arka merasa tubuhnya tidak seperti biasanya. Saat dia mengadu pada Maminya, ternyata Arka demam dan juga flu.

Maminya langsung memanggil dokter untuk memeriksa Arka. Padahal Arka hanya demam dan flu, tapi Maminya tidak bisa merasa tenang sebelum ada Dokter yang menyatakan Arka baik-baik saja.

Rere duduk di sebelah Arka, memandangi putranya lekat lalu tersenyum kecil. "Anak Mami udah gede ya ternyata," gumam Rere sembari mengusap kepala Arka. "sebentar lagi mau menikah."

Arka tersenyum malu. "Padahal dulu aku masih sering nangis di pelukan Mami kalau abis dimarahin sama Papi ya, Mi."

Rere tertawa. "Rasanya baru aja kemarin Mami gendong kamu, ajarin kamu jalan, suapin kamu makan, antar kamu pergi sekolah..." mata Rere berkaca-kaca.

"Mami jangan nangis, ah. Nanti aku marahi sama Papi kalau tahu Mami nangis."

"Nggak nangis kok..."

"Mami sama aja kaya Elena."

"Hm?"

"Dikit-dikit nangis. Elena juga gitu, tiap bahas pernikahan, matanya berkaca-kaca, terus minta peluk biar nggak nangis. Katanya masih nggak percaya bakal menikah sama aku."

Rere tertawa, teringat masa lalu yang menggelitik. "Mami juga gitu kok waktu menikah sama Papi kamu."

"Bukannya waktu itu Mami nggak tahu apa-apa, ya? Lagi sakit, kan?"

"Hm. Tapi tetap aja sering nangis setiap kali ingat gimana perjuangan Mami sampai bisa menikah sama Papi kamu."

"Mami sih... jatuh cinta sama laki-laki kaya Papi."

"Ya kalau Mami nggak jatuh cinta sama Mami, kamu juga nggak bakal ada di dunia ini, Arka..."

"Oh, iya..."

Rere dan Arka saling tertawa geli. Kemudian Arka memeluk Maminya, mengecup puncak kepala Maminya penuh kasih sayang. "Mami jangan sedih, ya... walaupun nanti aku udah menikah, aku tetap anak kesayangan Mami kok, yang butuh pelukan Mami, yang bakal kangen Mami terus-terusan kalau lagi dibawa kabur sama Papi."

Rere tersenyum sendu dalam pelukan putranya.

Namun situasi haru itu harus berakhir ketika dari arah belakang, Leo memukul kepala Arka pelan. "Kamu flu, jauh-jauh dari Mami. Nanti nular." Omel Leo. Dia langsung memisahkan Arka dari istrinya.

Arka ingin mendengus malas, tapi saat menyadari keberadaan Abi dan Gisa bersama Leo, dia langsung mengulas senyum tipis. "Hai, Om, Tante."

"Nggak kerja, Ka?" tanya Gisa.

"Nggak dibolehin sama Mami."

Abi tertawa jail. "Pernikahannya masih lama, Re. Buru-buru banget anaknya di pingit."

"Arka sakit tadi malam. Bukan dipingit." Sahut Leo.

"Eh," Gisa menggumam seperti terkejut. "emang lagi musim kali, ya... tadi malam Alma juga sakit, sampai mimisan lagi."

"Alma sakit, Tante?" Arka tidak bisa menahan pertanyaan itu. Bahkan wajahnya sudah terlihat panik,

"Iya. Dia kerja terus-terusan akhir-akhir ini. Sering lembur, sampai di rumah juga lanjut kerja. Nggak tahu lah abis kerasukan di mana."

"Padahal hari ini lagi ulang tahun anaknya." Kekeh Abi.

Arka mendadak bungkam, sorot matanya berubah nanar. Sudah lama sekali dia mengabaikan Alma, bahkan saat nama Alma di sebut seseorang pun, dia berusaha melarikan diri dari percakapan itu. Dan baru saja Arka mendengar kabar tentang Alma. Gadis itu... sakit, di hari ulang tahunnya yang terlupakan oleh Arka.

Cemas menyergap Arka, rasanya dia hendak segera berlari mencari Alma dan memastikan gadis itu baik-baik saja. Tapi... dia sudah tidak bisa melakukannya bukan? Dan kenyataan itu membuat Arka merasa terpukul. Lo nggak apa-apa, kan, Al?

***

Sidang hari ini berjalan sangat kacau. Bahkan rekan tim Alma sampai tak habis pikir dengan apa yang Alma lakukan hari ini. Dia tidak fokus, mudah sekali marah dan berkali-kali di tegur oleh Hakim sampai nyaris di usir dari ruang sidang.

Begitu keluar dari ruang sidang, sambil menenteng tasnya, Alma berjalan tergesa-gesa. Dia butuh menghirup udara segar lebih banyak karena rasa-rasanya, napas Alma tercekik di tenggorokan. Alma berdiri diam di depan pengadilan dengan satu tangan di pinggang. Lalu dia mengusap wajah gusar, menenangkan napas yang sedikit memburu. Pikirannya kacau balau. Alma tidak benar-benar tidak bisa berpikir dengan benar hingga mengacaukan semua pekerjaannya. Lalu satu botol minuman muncul di hadapannya. Saat menoleh, Alma menemukan Indra yang menatapnya tanpa ekspresi. "Minum dulu."

Alma menurut, bahkan menghabiskan hingga setengah botol minuman itu. "Thanks."

"Lo kacau banget tadi."

"Lo lihat memangnya?"

"Hm."

"Ngapain?"

Sejak kejadian di hotel beberapa bulan lalu, Indra tidak pernah muncul di hadapan Alma.

"Iseng aja. Kangen sama pengadilan."

Seringai Indra membuat Alma mencebik. Lalu mereka hanya membiarkan waktu bergulir begitu saja tanpa ada obrolan apa pun.

"Apa kabar?" tanya Indra pada akhirnya.

"Buruk."

"Masih patah hati?"

"Diam lo!"

Indra terkekeh. "Santai kali, Al..."

Alma ingin beranjak pergi, tapi saat teringat sesuatu, dia memandang Indra lekat. "Soal kemarin itu... lo serius?"

"Tentang gue suka sama lo?"

"Hm."

Indra mengangguk santai, membuat Alma menahan napas.

"Tapi sekarang udah nggak, kan?"

"Masih."

"Bohong gue tabok lo ya, Ndra."

Indra tertawa. "Memang masih. Lagian kenapa sih, gue yang patah hati tapi lo ribet."

"Ya kan gue jadi merasa bersalah."

"Biasa aja, Al. Kaya lo nggak lagi patah hati aja."

Diingatkan Indra lagi, Alma jadi merunduk muram. "Gue sama Arka udah nggak sahabatan lagi."

Oke, Indra baru tahu soal ini dan dia tertarik. "Lo bilang soal perasaan lo?"

Alma menggeleng pelan. "Tapi gue paksa dia putusin pacarnya. Gue kasih dua pilihan, gue atau pacarnya. Dia... lebih memilih pacarnya." Alma tersenyum getir. "Dan gue baru aja dapat kabar tentang pernikahan mereka."

Itu kabar yang buruk menurut Indra. Apa lagi jika dia perhatikan, Alma nyaris seperti seseorang yang sedang tersesat. "Duduk dulu, yuk." Dia genggam jemari Alma, kemudian dia bawa Alma duduk di salah satu bangku.

Mereka duduk berdampingan dalam keheningan.

"Gue capek banget begini," keluh Alma. "hidup gue jadi kacau, setiap hari gelisah dan nggak pernah ada ketenangan. Padahal... gue cuma buang satu orang di hidup gue."

"Satu orang yang selama ini berharga buat lo."

"Dan nggak lagi menganggap kalau gue juga berharga di hidupnya." Alma tersenyum patah. Lalu dia memandang Indra lekat. "Kok lo bisa sih?"

"Apa?"

"Kelihatan baik-baik aja walaupun patah hati."

Indra mengernyit, tampak berpikir. "Nggak sebaik yang lo lihat juga. Gue masih sering kangen sama lo, hari ini juga gue lagi kangen makanya mampir ke sini." Dia tersenyum miring. "Tapi dari awal, sejak gue naksir sama lo dan tahu kita ini nggak mungkin, gue udah tegasin ke diri gue sendiri kalau gue nggak harus marah atau menjadikan lo musuh cuma karena perasaan gue nggak bisa lo terima."

Alma mendengar dalam diam.

"Gue nggak bisa memaksakan perasaan orang lain, Al. Dan sesuatu yang dipaksakan itu pasti nggak akan berakhir dengan baik. Kaya yang lo lakuin sama Arka. Lo paksa Arka memilih, dua pilihan dari lo, dan saat Arka memutuskan pilihan, tetap aja lo terluka."

Indra benar, Arka memang terluka.

"Lo udah buang Arka, tapi ternyata hidup lo semakin kacau, kan? Itu kenapa gue nggak mau buang lo dari hidup gue. Walaupun gue harus merangkak untuk melupakan perasaan gue ke elo, seenggaknya gue bisa tetap ada di samping lo. Soal perasaan gue... paling juga bisa sembuh dengan sendirinya." Indra melihat Alma yang menunduk dalam dengan wajah menyedihkan. Kemudian dia mendekat, meraih Alma dalam pelukannya. "Masih belum terlambat untuk memperbaiki apa yang udah lo rusak, Al." Bisiknya.

Hati Alma terasa sangat sesak sekarang, matanya memerah dan berkaca-kaca. Kemudian isak tangisnya mulai terdengar, untungnya Alma bisa meredam tangis itu di pelukan Indra.

Indra tidak mengatakan apa pun lagi, dia hanya terus memeluk Alma yang terus menangis. Lalu ketika tangis Alma mereda, Indra kembali berujar. "Ngomong-ngomong... selamat ulang tahun, ya, Al."

Sembari membersit ingus di hidungnya, Alma melerai pelukannya. "Lo masih ingat ulang tahun gue?"

"Masih lah. Gue mana pernah lupa." Indra menyeringai.

"Ya udah, hadiahnya mana?" tanpa tahu malu, Alma mengulurkan tangannya.

Indra menatapnya tidak percaya, lalu menepuk telapak tangan Alma kesal. "Baru aja nangis-nangis, sekarang malah minta hadiah.

"Kan gue lagi ulang tahun, Ndra... lo nggak kangen memangnya?"

"Sama lo? Tadi kan gue udah bilang—"

"Bukan. Lo nggak kangen traktir gue? Gue kangen banget loh..."

Indra ingin marah sejujurnya, tapi melihat Alma yang dengan sengaja memasang wajah merayu, Indra jadi merasa lega hingga terkekeh pelan. Setidaknya dia berhasil menghibur Alma, kan?

***

Alma duduk seorang diri di sebuah taman. Saat dia datang, taman itu masih sangat ramai. Namun semakin larut malam, satu persatu orang-orang telah pergi, dan hanya menyisakan Alma di sana.

Alma masih betah duduk diam di sana bersama satu plastik besar yang berisi banyak sekali makanan. Dia berhasil merampok Indra tadi, hadiah ulang tahun kata Alma.

Dan sekarang Alma menikmati hadiah ulang tahun yang Indra berikan seorang diri. membuka satu persatu bungkus makanan, menghabiskan tanpa sisa, sambil merenung.

Sepi banget ulang tahun gue kali ini, kekeh Alma hampa di dalam hati.

Biasanya ada Arka di sisinya, menemani Alma, meluangkan seluruh waktu yang dia miliki untuk menuruti apa pun yang Alma mau.

"Karena lo lagi ulang tahun, hari ini lo bebas minta apa aja sama gue. Gue juga bakal nemenin lo ke mana pun yang lo mau. Dan ini juga berlaku untuk ulang tahun lo yang selanjutnya. Bahkan selamanya."

Saat itu mereka masih berusia belasan tahun. Alma tertawa senang mendengar janji Arka.

"Selamanya apaan," dengus Alma. "dasar tukang bohong." Alma membuka bungkus cokelat, menggigit batang cokelat yang terasa manis namun tidak berhasil membuatnya tersenyum.

Alma menarik napasnya panjang, membuang perlahan-lahan di tengah rasa mencekik yang menyebalkan. "Ya udah sih, nggak apa-apa, walaupun sendiri, gue tetap bisa merayakan hari ulang tahun gue yang nggak penting-penting amat ini kok." Alma merutuk pelan.

Masih sambil mengunyah cokelat, Alma mulai bernyanyi. "Happy birthday, Alma... happy birthday, Alma... happy birthday, happy birthday, happy birthday, Alma..." Alma terkekeh, namun setetes air matanya jatuh. "Seru juga ternyata nyanyi-nyanyi kaya orang tolol begini."

Alma lagi-lagi menarik napas, mengusap air mata dan kembali mengunyah. "Arka lagi apa, ya, sekarang..."

Lalu pikiran itu muncul begitu saja.

Andai ada Arka di sini... andai mereka masih bersahabat saat ini... Alma pasti tidak akan merasa kesepian di hari ulang tahunnya. Sendiri, kesepian, dengan perasaan hampa.

Kunyahan Alma melambat, dia menggigit bibir pelan saat desak air mata kembali menghujam. "Gue kangen..." bibirnya bergetar pelan saat menggumam. "Gue kangen Arka..." bahunya berguncang. "Gue kangen banget sama Arka. Gue mau ketemu... gue mau dipeluk sama Arka..." Alma seperti mengadu, entah pada siapa, namun dia hanya mau racauannya di dengarkan.

Beribu kali pun Alma berusaha menyangkal, berusaha melupakan dan meninggalkan, tapi hatinya tetap saja tidak bisa dipaksakan untuk tetap menyayangi Arka.

Arka sahabatnya, yang tidak pernah gagal menjaganya, yang selalu mengerti dirinya, yang selalu ada untuknya.

Alma menangis terisak-isak, seperti anak kecil, tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin melepaskan gundah yang bersarang di dada, dia hanya ingin melepaskan sesal yang telah membuatnya kehilangan.

Benar. Alma telah kehilangan Arka, dia telah kehilangan sahabat baiknya. Hanya karena cinta, hanya karena perasaan, hanya karena ego yang tak semestinya.

Harusnya Alma tahu, jika persahabatan mereka jauh lebih penting dibandingkan cinta yang baru saja muncul di hatinya. Harusnya Alma tahu, kebersamaan mereka selama ini lebih penting dari pada rasa cemburunya yang berlebihan.

Tapi Alma telah memilih jalan yang salah, Alma telah menghancurkan segalanya, menghancurkan persahabatan yang mereka miliki puluhan tahun lamanya. Dan sekarang dia hanya bisa meratapi kebodohannya sendirian, tanpa Arka, tanpa sahabat baiknya, yang barangkali telah berhasil melupakan Alma, dan tidak lagi peduli akan keberadaannya.

"Maaf... maafin gue, ya, Ka... maafin gue..." Alma masih terus menangis, tertunduk dalam, melepaskan semua sesal yang tak ada gunanya.

***

Arka tahu apa yang dia lakukan saat ini adalah hal yang tolol. Mengikuti Alma diam-diam, mengamati Alma yang sedang tertawa dan bercanda dengan Indra. Sejak Alma keluar dari pengadilan, Arka yang sudah menunggu cukup lama di sana, memutuskan untuk mengikuti Alma. Bahkan saat Alma dan Indra menghabiskan banyak waktu di sebuah kafe, Arka tetap menunggu dengan penuh kesabaran.

Hingga kemudian Alma berjalan sambil memeluk sebuah plastik besar, pergi ke sebuah taman, duduk sendirian. Dari dalam mobil, Arka bisa melihat punggung Alma dengan tatapan lirih.

Bahkan sejak dia melihat Alma berjalan seorang diri sambil memeluk plastik itu, hatinya sudah seperti tersayat-sayat.

Hari ini adalah ulang tahun gadis itu. Seperti kebiasaan yang mereka lakukan selama ini, Alma masih melakukannya. Membeli banyak sekali makanan, sayangnya, tanpa Arka yang menemani.

Arka melihat Alma duduk sendirian, menikmati satu persatu bungkus makanan. Lalu perlahan senyuman tipis terpatri di bibir Arka. Alma baik-baik saja ternyata. Padahal Arka pikir, dia akan kehilangan selera makannya karena sakit.

Arka masih terus memandangi punggung Alma dari tempatnya, hingga taman itu perlahan sepi, menyisakan Alma seorang diri.

Apa sih yang Alma lakukan di sana, pikir Arka penasaran.

Karena jarak antara mereka cukup jauh, Arka mengambil ponsel, membuka kamera dan mengarahkannya ke arah Alma. Dia memperbesar layar ponsel hingga bisa melihat Alma sedikit lebih jelas.

Ucapkan terima kasih pada ponsel mahal ini.

Alma sedang membuka sebungkus cokelat, lagi-lagi Arka tersenyum memandangnya. Tapi senyuman itu tak lama, karena kini dia melihat Alma menunduk dengan bahu berguncang.

Alma menangis...

Wajah Arka berubah pias.

Di taman yang sepi itu, di mana hanya ada Alma seorang diri, di hari ulang tahunnya, Alma malah menangis terisak-isak.

Dan Arka tahu alasannya.

Dada Arka membuncah sesak, matanya merah berkaca-kaca, ingin rasanya dia datang dan memeluk Alma di sana.

"Jangan nangis, Al..." Bisiknya serak.

Mengapa semuanya jadi sangat menyedihkan seperti ini? Mengapa mereka harus berakhir seperti ini?

Alma pasti sedang merindukan Arka, seperti Arka merindukan dirinya. Tidak pernah Arka bisa membayangkan hari ini akan terjadi. Di mana ada jarak yang membentang jauh di antara mereka.

Arka memalingkan wajah, dan matanya bertemu pandang dengan sebuah kotak perhiasan di sampingnya. Meraih benda itu, Arka membukanya dan memandangi sebuah kalung yang tersimpan di sana.

Arka tersenyum patah. "Happy birthday, Al."

***

Meski sempat membuat kekacauan di salah satu sidang, akhirnya Alma dan timnya memenangkan persidangan. Namun meski begitu, saat Pak Regar memanggil Alma ke ruangannya, Alma merasa gelisah. "Pagi, Pak." Sapa Alma saat mengetuk pintu.

"Masuk, Al." Alma duduk di depan meja Pak Regar. "Selamat untuk kasus yang kamu menangkan."

"Yang tim menangkan maksud Pak Regar?" Alma mencoba bersikap rendah hati meski sebenarnya sedang tersenyum penuh kemenangan di dalam hati.

"Setelah hampir di usir dari ruang sidang, saya lumayan nggak menyangka kamu berhasil."

Alma menyengir kecil. "Berkat didikan Pak Regar makanya saya bisa begini."

"Kamu udah merasa puas dengan pencapaian kamu saat ini, Al?"

"Hm... dibilang puas sih, nggak juga, Pak. Tapi saya udah bangga kok bisa sampai di tahap ini." Alma merasa pertanyaan yang baru dilempar padanya itu terdengar janggal. Apa gue mau dipecat, ya?! Mati nih gue... cicilan mobil belum lunas lagi.

"Dengan potensi kamu yang sekarang, saya pikir kamu bisa bekerja di tempat yang lebih besar dari pada firma hukum saya ini."

Alma meneguk ludahnya berat. "Saya... mau dipecat, ya, Pak?"

Pak Regar tertawa terbahak-bahak. "Bukan."

"Terus? Kok kayanya Pak Regar mau tendang saya dari sini. Saya suka kerja di sini, Pak. Selain gajinya lumayan, saya juga udah nyaman. Lagian, Firma Hukum Pak Regar ini yang paling besar di negara ini."

"Iya, iya... saya tahu." Pak Regar memutar layar komputer ke arah Alma yang memperlihatkan balasan email berbahasa asing. "Firma Hukum M&M, bergerak di bisnis Internasional di Australia, punya teman saya. Kemarin saya iseng kirim CV kamu ke mereka, saya cerita banyak tentang kamu dan mereka tertarik."

Alma mengerjap lambat. Masih meraba-raba tentang apa yang ingin Pak Regar katakan.

"Kalau kamu mau, saya bisa mengurus kepindahan kamu ke sana. Dengan catatan, kamu harus melanjutkan S2 di Australia."

"Maksudnya... saya..."

"Sudah saatnya kamu mencari lebih banyak wawasan di luar sana, Al. Nggak tahu kenapa, saya merasa kamu punya potensi yang sangat besar, bisa-bisa beberapa belas tahun lagi, kamu membuka perusahaan sendiri seperti saya."

Pak Regar tertawa, tapi Alma merasa tenggorokannya tercekat. "Berarti saya bakal kerja di sana?"

"Iya."

"Harus tinggal di sana juga?"

"Menurut kamu?" Pak Regar mendelik kesal.

Alma menyengir kaku, namun ekspresi terkejutnya sama sekali belum menghilang.

"Kamu pikirkan aja dulu, Al. Tapi saran saya, jangan dilewatkan. Ini kesempatan emas, belum tentu bisa kamu dapat lain waktu."

***

Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

637K 71.9K 51
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
47.2K 2.4K 31
[Follow dulu untuk bisa membaca part dewasa 21++] Demi tak diminta keluarga besarnya untuk kembali ke tanah kelahiran hanya demi menikah, Narsilla An...
1.9M 45.9K 54
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
53.6K 8.4K 8
Jangan mengharap cinta dari kisah ini, sebab luka lebih banyak menemani sang pemilik kisah. Jangan ajarkan cinta pada sang pencinta, sebab cinta yang...