PENGASUH

By Cratelius

151K 13.9K 1.2K

[Completed] Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu caba... More

Note;
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
End

13

2.8K 260 14
By Cratelius

Perselisihan

*

"Heh anak haram! Lo mending diem, deh!" Eli mendorong pundak Ashel, membuat gadis itu sedikit melangkah mundur sambil menatap tak suka pada Eli. "Mentang-mentang Gita hari ini ga masuk, bertingkah lu!"

"Kak Eli, udah tenang." Muthe mengelus punggung Eli, mencoba menenangkan emosi perempuan berambut sebahu ini agar tidak menjadi lebih meledak-ledak. "Halah, lo juga gitu, kan?! Mentang-mentang hari ini Flora ga masuk, makanya lo berani datengin gue langsung. Biasanya cuma koar-koar ga jelas kayak kambing," balas Ashel sembari melipat tangannya di depan dada, menunjukkan bahwa ia juga bisa mendominasi pertikaian ini.

Marsha yang berdiri di belakang Ashel hanya diam, memperhatikan adu bacot antara mereka berdua. Tangannya menari-nari di atas layar ponsel, sibuk mengirim pesan pada seseorang.

You:
Acel gelud lagi

Flora:
Eli?

You:
Siapa lagi?

Flora:
Sorry ga bisa bantu kali ini

You:
Gapapa
Cuma mau laporan aja

Setelah selesai, Marsha memasukkan ponselnya ke dalam saku rok, dan kembali memperhatikan adu bacot yang ada di hadapannya. "Kak Eli, stop! Nanti rame," pinta Muthe seraya menarik-narik lengan seragam Eli. "Aku aduin ke kak Gita, nih!"

Eli mendengus kesal, lalu mendelik menatap ke arah Muthe. "Yaudah, iya," pungkas Eli dan kembali melotot pada Ashel dengan tidak ramah. "Beruntung lo hari ini!"

"Lo yang beruntung, dasar anak pungut," ketus Ashel, dengan tatapan tak suka ia menatap punggung Eli yang perlahan menjauh meninggalkan mereka berdua di koridor lantai satu. "Udah?" Tanya Marsha. Ashel mengangguk lalu membenarkan posisi tali tasnya yang sempat merosot. "Jangan aduin ke Flora."

"Terlambat," kilah Marsha.

"Meng?!"

"Gue ga mau ambil resiko."

-

"Badan kamu panas banget," ucap Kathrina setelah memegang tengkuk Gita yang berkeringat. "Apa karna kita keluar malem-malem itu ya?"

Gita menggeleng, ia meringkuk memeluk bantal. "Aku cuma kecapean." Kathrina menggeleng. "Jelas-jelas kamu panas begini, kayaknya mau demam," sanggah Kathrina. Tangannya dengan gesit membasuh tubuh Gita yang masih terbaring dengan kain basah.

"Kamu mudah sakit ya?"

Gita mengangguk. "Kata kak Beby—"

"Hm?"

Gita kembali menggeleng kecil. "Gapapa," kilahnya lalu memutarkan badannya, membiarkan Kathrina menggosok tubuh bagian belakangnya.

"Aku beneran ngerasa jadi pengasuh kamu, deh."

"Emang bukan?"

Kathrina tertawa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir jika Gita benar-benar menganggapnya sebagai seorang pangasuh. "Aku bisa lebih dari seorang pengasuh."

"Contohnya?"

"Harus aku jawab?"

Gita diam, tak menjawab pertanyaan Kathrina. "Kok diem?" Gadis itu menggeleng, lalu memeluk bantalnya dengan erat. "Dulu aku punya kakak," ucap Gita tiba-tiba.

"Dulu?"

"Dia udah meninggal."

Kathrina mengulum kedua bibirnya sembari mengangguk. Ia pikir, kakak Gita itu sedang kuliah diluar negeri, dan memang sengaja tidak di beritahukan kepada publik agar ia tak menjadi sorotan umum.

"Dia baik?"

"Baik," ucap Gita tanpa ragu. Dengan lembut ia menggenggam jemari Kathrina yang duduk di sebelah tubuhnya, mencari kehangatan dari jari-jari panjang milik perempuan yang kini mengisi hidupnya. Perlahan, Gita menutup matanya, lalu tertidur.

"Kamu pasti sayang banget sama kakak kamu." Monolog Kathrina sambil mengelus kepala Gita

...

Git?

...

Gita, Kamu dimana?!

...

Gitaa!!

...

Tahan napas Gita! Kakak disini.

...

Gita!!

...

LARII, GITA!!

...

Gita membuka matanya dengan cepat. Ia menoleh, menatap Kathrina yang sudah tertidur di sebelahnya. Ia menghela napas dengan lega, lega karena semua tadi hanya mimpi.

Mimpi buruk yang sangat teramat buruk, sampai jantung Gita masih berdegup tak beraturan.

Gita mengusap wajahnya lalu duduk di pinggir ranjang, menatap isi kamar yang mengingatkannya pada kejadian pedih di masa lalu.

"Udah bangun?" Gita menoleh, melihat ke arah Kathrina yang  terbangun dan ikut duduk di sebelahnya. "Demam kamu udah turun," ucapnya sembari memegang kening Gita.

Gadis itu mengangguk, lalu memeluk Kathrina tiba-tiba. "Aku takut api," lirihnya saat mendekap tubuh Kathrina dengan sangat erat.

"Hey, kamu—"

Kathrina terdiam, ia mengelus pundak Gita yang mulai bergetar. Jujur, ia tak handal dalam urusan menenangkan seseorang yang tengah bersedih. Ia memilih diam, menunggu Gita selesai menumpahkan segala beban yang ada di hatinya.

"Gapapa, nangis aja dulu," ucap Kathrina seraya membalas pelukan Gita. "Bukan suatu dosa untuk merasa sedih," sambungnya lalu mengecup pucuk kepala Gita.

Tangis Gita pecah, suara isak tangisannya kini berubah menjadi tangisan yang perih untuk di dengar. Gadis itu menangis, air matanya dengan cepat membasahi wajahnya dan pundak Kathrina.

Kathrina tetap diam, membiarkan Gita melepas semua beban di dalam pelukannya. Ia tahu pasti bahwa Gita tak pandai mengungkapkan perasaannya sendiri, maka inilah waktu terbaik agar gadis kesayangannya ini meluapkan semua beban hingga tuntas.

"Gapapa, nangis aja."

-

"Ini orangnya," ucap Ian menyodorkan sebuah foto buram hasil screenshot dari kamera CCTV di rumahnya. "Harusnya lo ketemu sama dia hari itu," imbuhnya.

Ara mengangguk memperhatikan foto Kathrina. "Kathrina, umurnya sekitar 20 tahun, bekerja sebagai seorang penjaga bayaran yang di sewakan pada orang-orang kaya," urai Ara lalu menatap Ian yang duduk di depannya.

"Cuma itu? Alamat? Tanggal lahir? Atau riwayat pendidikannya?"

Ara menggeleng pelan. "Sayang sekali, para pekerja di organisasinya menutup rapat tentang identitas mereka. Bahkan, kabarnya mereka membakar akta kelahiran dan kartu identitas asli milik mereka." Ian mendengus kesal mendengar penjelasan dari laki-laki yang ada dihadapannya, tak terima bahwa informasi yang ia terima hanyalah sebuah informasi tak penting.

"Organisasi mereka, ada hal yang menarik?" Tanya Ian lagi, mencoba mengorek informasi tentang Kathrina lewat organisasi mereka. Ara terdiam sebentar, mengingat hal yang mungkin bisa ia sampaikan pada klien yang sudah menyewa jasa informasi darinya.

"Organisasi mereka dulu bergerak sebagai pembunuh bayaran."

"Jackpot!" Seru Ian sembari menjentikkan jarinya, senang karena mendapatkan sebuah informasi yang mungkin akan berguna baginya. "Ada lagi?"

Ara menggeleng. "Cuma itu saja informasi yang saya tau."

"Rekan kerja Kathrina?"

"Setahu saya, organisasi mereka memperkerjakan enam orang. Yang pertama Kathrina, yang kedua Azizi Azabriel, yang ketiga ada Radipati Aldo Fajridanu, yang keempat Sello Abigail, yang kelima Raizan Shaka Giovanni—"

"Yang ke enam?" Tanya Ian tak sabar karena Ara seperti sengaja mengantungkan kalimatnya. Laki-laki itu menggeleng pelan, lalu melirik kearah foto Kathrina yang tadi Ian tunjukkan padanya.

"Yang ke enam, tidak di ketahui identitasnya."

-

"Kamu beneran pulang di jemput sama bodyguard mu?" Tanya Marsha seraya masuk kedalam mobilnya, lalu menatap Ashel yang berdiri di sebelah mobilnya.

"Iya, kamu duluan aja."

"Yaudah, kalau gitu aku jemput kak Zee ya. Dia udah bisa pulang hari ini." Lapor Marsha. "Titip salam ya," pinta Ashel sembari tersenyum tipis.

Marsha mengangguk lalu menutup pintu mobilnya. Tak lama, mobil hitamnya itu melaju keluar dari parkiran sekolah, meninggalkan Ashel yang masih berdiri menunggu kedatangan Adel.

"Lama!" Protes Ashel saat sebuah mobil putih berhenti di depannya.

"Macet," kilah Adel. "Buruan naik, panas."

Ashel menggeleng enggan. "Bukain pintunya," pintanya sambil merengek.

"Shel? Serius?!"

Ashel mengangguk. "Bukain, sayang."

Adel menghela napasnya dengan kasar lalu turun dari mobil, melangkah dengan buru-buru dan membuka pintu mobil untuk Ashel. "Masuk," titah Adel sambil menatap sinis pada gadis itu. Ashel terkekeh lalu mencium pipi Adel dan segera masuk.

Lagi-lagi Adel menghela napas dengan pasrah, mungkin Adel sudah mulai terbiasa dengan perlakuan Ashel yang selalu tiba-tiba mencium dirinya.

"Jajan dulu, yuk," ajak Ashel saat Adel baru saja masuk kembali kedalam mobil. Adel mengangguk. "Jajan apa?"

"Aku pengen es krim."

Adel mengangguk lagi, lalu menjalankan mobilnya keluar dari parkiran. Melaju pelan menuju toko es krim yang tak terlalu jauh dari sekolah.

"Kamu mau es krim apa?" Tanya Adel, seraya menaruh tas Ashel di atas meja tempat mereka akan makan es krim nanti. "Strawberry!" Seru nya dengan semangat. Adel mengangguk dan pergi mengantri memesan es krim untuk mereka berdua.

Mungkin karena sudah siang, hari ini toko es krim sangatlah ramai. Banyak para pelajar yang baru pulang sekolah, berkumpul disana untuk melepas penat sehabis sekolah. Antrian lumayan panjang, membuat Adel menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mengantri.

Tiba-tiba ponsel Adel berdering, membuat atensinya teralihkan pada panggilan suara itu. Adel menyatukan kedua alisnya saat melihat nama kontak yang tertera, dengan cepat ia menoleh pada Ashel, meminta penjelasan kenapa ia menelponnya.

Ashel hanya tersenyum sembari menunjuk ponselnya, meminta agar Adel menjawab panggilan telepon itu.

"Kamu masih lama ga ngantri?" Tanya Ashel dengan lembut, membuat Adel tersenyum gemas karena nadanya yang seperti anak kecil. "Aku laper, pengen es krimm."

Adel mematikan sambungan telpon itu, lalu kembali melirik Ashel yang duduk di ujung. "Ga jelas," ucap Adel dengan pelan. Meski demikian, Ashel paham dengan ucapan Adel yang tak ia dengar. Ia terkekeh, menatap Adel yang tampaknya salah tingkah di depan sana.

"Lucu banget sih, Fajira."

.
.
.
.
.
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA!

.
Loh, kok Ashel manggil Adel itu Fajira?

Apakah Ashel tau sesuatu soal Adel yang tak kita ketahui??

Continue Reading

You'll Also Like

154K 14.1K 71
"Lebih baik menyakiti satu hati dari pada kedua nya" -L
109K 11.3K 114
Sebagai Seorang Janda dengan Tiga Anak, Saya Mengendarai BMW pada Tahun 1980-an Cheng Li berubah menjadi seorang janda muda yang kehilangan suaminya...
157K 9.2K 28
Hanya cerita klise antara benci jadi cinta antara mba kulkas sama bokem
154K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...