[Kumpulan] Trio Ori

By society-kun

2.4K 272 11

Ya, ini fanfic soal mereka bertiga dari entah tahun berapa, aku bikin buat personal sama beberapa orang aja y... More

dangdut
suntik, atau...
berkat
royal, royal au uwu
mimpi buruk
98
sins

hantu?

336 34 2
By society-kun

"...Aku dengar kalau pulang di jam segini itu bakal muncul..."

Halilintar niatnya mau meninju muka sok serius dari adik kembarnya yang luar biasa ini. Tapi pikirannya teralihkan dengan kondisi lingkungan mereka sekarang. Suasananya cukup tidak nyaman bagi Halilintar.

Tadinya mau pulang cepat. Tapi cecunguk di hadapannya merengek seperti bayi minta pulang bersama.

Halah, penipu ulung!

Dia itu cuma mau melancarkan isengnya setelah nonton film horor dengan teman sekelasnya dan menakuti Halilintar. Sudah dibilang kan, jangan melihat orang dari penampilan saja. Setampan-tampannya Halilintar dia itu punya kekurangan.

Selain maniak cabai dan punya trauma dengan suara ledakan, Halilintar itu kagetan. Jadi dia adalah salah satu makhluk bumi yang takut --maksudnya tidak bisa menikmati hal-hal mistis apalagi nonton film horor. No way! Gak mungkin.

Mungkin Halilintar nanti sewaktu punya pacar dia bakal milih film princess blink-blink daripada adu sensasi tegang dan sok gentle di depan kekasih. Sudahlah gagal gentle, kayaknya kekasihnya bakal mutusin dia juga.

"Singkirkan wajahmu sekarang atau kupatahkan tanganmu," ancam Halilintar.

Taufan berdecak sebal. Sepertinya pertahanan kakaknya sedang dalam mode maksimal. Iya sih, dia memang iseng mau menakuti Halilintar tapi sepertinya bakal susah dari biasanya.

"Cih, Hali gak seruu..."

"Jangan membuang waktuku dengan cerita tidak bergunamu itu. Sekarang sudah petang, Gempa bisa saja memotong jatah makan malam kita karena pulang terlambat," kata Halilintar.

"Woah, keren. Kalau di sekolah kayaknya Hali gak bakal ngomong sepanjang itu deh. Awh senengnya," ujar Taufan tidak nyambung. Halilintar mengepalkan tangannya berusaha sabar.

"Tapi emang ya, suasananya agak... Gak enak," kata Taufan mengusap tengkuknya. Halilintar mengiyakan hal itu. Kalau sampai Taufan yang biasa acuh tak acuh (padahal peka sekali dia itu) bilang begitu, berarti perasaan Halilintar benar.

"Ayo cepat pulang," ujar Halilintar. Taufan dengan senyum-senyum tidak jelas mengekori kakaknya.

Sampai di depan rumah mereka rasanya seperti di depan pemakaman saja. Tidak ada tanda kehidupan. Ini sudah jam enam sore tapi Gempa bahkan tidak menyalakan lampu depan. Kalaupun dia pergi pasti selalu laporan pada Halilintar atau Taufan layaknya prajurit lapor komandan. Tapi tidak ada hal seperti itu sampai mereka sampai depan rumah.

"Apa lampu depan rusak? Gempa jarang tidak menyalakannya," tanya Halilintar. Taufan mengangkat kedua bahunya.

"Sampai pagi tadi yang aku tahu lampu depan sehat walafiat. Ehmm... Gempa tadi miss call aku sih, tapi waktu kuhubungi lagi gak diangkat..." kata Taufan membuka pagar.

Tatapan Halilintar menelaah ke sekitar rumah. Perasaannya tidak enak kalau-kalau ada pencuri masuk ke dalam.

Taufan membuka pintu dengan mudah karena memang tidak dikunci. Halilintar sudah memberi pesan pada Gempa untuk tidak mengunci pintu depan hari ini karena Taufan lagi-lagi membuat masalah dengan menghilangkan kunci cadangan. Itu sebenarnya hanya pengalihan isu karena kunci Halilintar juga raib entah kemana.

"Etdah, sumpah ini rumah beneran Gempa udah pulang?!" karena Taufan yang jalan duluan dia membuat Halilintar mengernyit tak suka sebab berhenti begitu saja tanpa aba-aba.

Whussshh

Angin lembut menerpa keduanya. Baik Halilintar dan Taufan merinding bersamaan. Pintu padahal sudah ditutup oleh Halilintar. Tapi,

"Li.... Kau sengaja niup tengkukku buat balas dendam ya?" tanya Taufan terbata.

"Enak aja! Gak ada kerjaan bange-"

KROMPYANG!!

"APAAN TUH?!"

Taufan refleks mencengkram lengan Halilintar. Sementara Halilintar terkaku tidak bisa bergerak selama lima detik.

"Ka-ka-ka-ka-kau itu ngapain sih?! Lepasin! Kucing kali!" ujar Halilintar menampik tangan Taufan yang meremat lengannya ganas.

"Kita. Gak. Melihara kucing! Kau yang ngelarang sendiri kan!" balas Taufan. Napasnya sampai terengah.

"Cih merepotkaaannn!!! Kau jalan duluan ayo kita cek!"

"Kok aku?!"

"Katamu kau pemberani!"

"Sejak kapan aku bilang git- GYAAAA!!"

"APAAN SIH?!"

"IT-IT-IT-ITUUU-"

"ITU APAAN?!"

"HALI, LIAT ITU! ASTAGFIRULLAH WAJAHMU DI FOTO MAKIN NYEREMIN!"

"TOPIKNYA JANGAN MELENCENG JAUH-JAUH GITU DONK!"

Halilintar memukul lengan Taufan, kesal setengah mati. Saking tidak jelasnya situasi sekarang bahkan Taufan kehilangan akal sehat. Eh tunggu dulu. Dari dulu anak itu memang sudah tidak waras.

"Yang penting sekarang kita harus tau dimana Gempa. Coba telepon. Aku takut kalau ada pencuri masuk rumah," kata Halilintar. Taufan mengangguk patuh. Dengan agak tidak tenang dia mencari ponselnya dan setelah menemukan di sakunya langsung mencari nomor Gempa.

Mereka menunggu beberapa saat untuk mendapat jawaban. Panggilan itu berhasil masuk, tapi-

"Gem kau dimana--"

"....ssrrr... kuh... hhhh... hhh... "

"Ge-Gem? Gem-Gempa?"

Panggilan itu hanya mengeluarkan suara tidak jelas seperti orang susah napas. Yang pada akhirnya membuat kedua anak kembar itu ikut kesulitan bernapas saking tegangnya.

"...gh... khaakk... hau.... hfann..."

"GYAAAAAA APAAN SIH?! GAK JELAS BANGET!!!!!"

Dengan panik Taufan melempar ponselnya. Halilintar sudah pucat pasi setelah mendengar dengan telinganya sendiri mereka mendapat penerima telepon misterius seperti di film yang Taufan lihat tadi siang.

Taufan menarik tangan Halilintar dengan ganas dan berlari masuk lebih dalam ke rumah. Mereka baru berhenti di depan pintu dapur setelah Halilintar sadar dari mati kutunya dan menyadari mereka bergelap gulita di depan dapur mereka.

"GILA KAU MEMBAWAKU MASUK KE MARI SAAT BELUM MENYALAKAN LAMPU!" maki Halilintar.

"APA SEKARANG ITU PENTING!! AKU KAN REFLEKS!!" balas Taufan tidak kalah kencang.

Krompyang!

Lagi-lagi keduanya terjingkat karena mendengar suara barang jatuh itu lebih dekat. Ternyata, asal suara tadi dari dapur.

"Ka-ka-ka-ka-ka-kau ma-ma-ma-masuk dulu, Fan," kata Halilintar mendorong Taufan.

"Gak mau! Kan kau abangnya! Kau dulu lah!" ganti Taufan yang mendorong Halilintar dan mengganti posisi mereka. Halilintar kesal tapi juga takut. Dia sudah lupa apa itu harga diri, sepertinya.

"Katamu kau pemberani, cepat masuk dulu sana. Aku jaga belakang!"

"Alasan! Jalan di depan aku jaga belakang!"

"Gak! Kau depan!"

"Kau dulu!"

"Tauf--"

"...aaahh... hbanhhgg..."

"ALLAHU AKBAR! LAILAHAILLALLAH! ASTAGFIRULLAHALADZIM!"

"BANG BANG BANG SETAN BANG ASTAGFIRULLAH! JANGAN MAKAN TAUFAN YANG GANTENG INI MAKAN AJA BANG HALI!"

"TAUFAN!"

"BUKAN ITU BANG SAATNYA, BACA SURAT! CEPET BACA SURAT!!!"

"AUDZUBILLAHIMINASYAITONIRROJIM! BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SYAITON BE GONE!!!"

"AYAT KURSI HALII!!"

"KURSI! KURSI!"

"BUKAN KURSINYA YANG KAU BAWA! TURUNIN ITU CEPET BACA AYAT KURSII AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA KAKI UPAN DIPEGANG ASTAGFIRULLAH UPAN GAMAU MATI MUDAAA!!!"

"TAUFAN!!! BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM ALLAHUMA LAKASUMTU!"

"INI BUKAN BULAN RAMADHAANN!!!"

"Abang Hali!!"

"Eh Gempa?!"

"GEMPA?! DI MANA?!"

"...bhaa...whahhh... lhaambbphfuuu... thohhloonhhg..."

Sejenak suara napas Halilintar dan Taufan yang berat setelah berteriak-teriak membuat mereka linglung. Tapi kemudian erangan Gempa menyadarkan mereka berdua.

"LAMPU!" teriak Halilintar. Taufan langsung terbirit mencari saklar lampu sementara Halilintar berjongkok dan meraba lantai mencari tepatnya Gempa.

"Kau kenapa!?" tanya Halilintar setelah menemukan anak itu. Halilintar menyangga punggung Gempa. Napas anak itu tidak beraturan dan berat sampai terdengar olehnya.

Tiba-tiba lampu dapur menyala terang. Halilintar akhirnya bisa melihat Gempa dengan jelas dan menemukan adiknya kesulitan bernapas.

"Gempa!"

"Hhhh.... Hhh... Khahh... chhaanng..."

"Apa?!" tanya Taufan karena ucapan adiknya tidak jelas.

"JANGAN TANYA DAN PANGGIL AMBULAN CEPAT!!!" bentak Halilintar. Taufan yang khawatir bercampur panik makin tidak karuan pikirannya.

"Hah? Eh? Ah? A-AMBULAN!!!"

"TELEPON GOBLOK! ADIKMU SEKARAT! CEPAT!" Halilintar melempar handphone dari sakunya. Taufan gelagapan menangkap handphone hitam itu dan langsung mengetik nomor darurat.

.

.

Ninuninuninuninu

.

.

"Haaaahhhhhh......." helaan napas keluar dari dua anak kembar yang penampilannya sekarang sudah mirip gelandangan. Karena tidak sempat berganti baju, seragam sekolah mereka tidak rapi dan sangat berantakan.

Masih membekas jelas kalimat dokter ketika selesai menangani susah napas Gempa tadi.

"Saudara kalian alergi. Telat sedikit lagi saja hal yang tidak diinginkan bisa terjadi."

Dan mereka malah berpikir tentang hantu ketika saudara mereka meregang nyawa begitu.

"Astaga.. Astagfirullah..... Tadi itu.... Hampir saja......" hela Taufan panjang. Almamaternya compang-camping dan wajahnya kusut sekali.

Halilintar sudah tidak punya tenaga untuk mengiyakan atau menanggapi ucapan Taufan. Emosinya terkuras habis. Tenaganya juga. Mereka berdua kini duduk di depan ruang darurat menunggu Gempa selesai ditangani. Dipasang infus sepertinya.

Tidak diketahui jelas bagaimana Gempa bisa berakhir mengenaskan seperti tadi tapi sepertinya Halilintar tau sedikit. Adiknya yang satu itu alergi kacang. Agak aneh karena baik Halilintar atau Taufan bisa memakannya tanpa gejala apapun. Tapi kalau Gempa yang makan maka gejala alergi cukup parah akan menyerangnya. Riwayat terakhir dia kumat adalah kelas empat SD saat karya wisata. Makanya keluarganya sangat protektif dengan apa yang dimakan si bungsu kembar.

"Aku... Sepertinya dia... Makan selaiku yang kusimpan di lemari atas. Aku punya selai kacang di sana dan belum bilang ke Gempa. Ini salahku, maaf," kata Taufan. Wajahnya murung dan menatap lantai dengan sayu. Halilintar meliriknya. Tanpa kata dia menepuk kepala Taufan dan mengusapnya.

"Maaf..."

"Diamlah."

Taufan diam. Keduanya diam. Sampai kemudian seorang perawat keluar mencari mereka.

.

.

Halilintar tersentak bangun begitu saja. Jantungnya berdetak cepat karena kaget. Ruangan itu gelap. Dan bahunya berat.

"Ughh..."

Pandangannya teralihkan pada Taufan yang duduk di sampingnya dan tidur berbantal tangan di ranjang pasien. Keningnya berkerut. Sepertinya tidak nyaman juga seperti Halilintar barusan.

Mata Halilintar bergulir pada Gempa yang tidur di ranjang pasien. Tapi dikejutkan dengan Gempa yang membuka mata cukup lebar dan pandangan mereka bertemu.

"Astagfirullah Gem! Kaget aku," entah sudah berapa kali jantung Halilintar dipermainkan hari ini. Dia mengelus dadanya, meredam sedikit jantungnya yang seperti naik wahana tornado.

Gempa mengernyit sedikit.

"...Bang Hali?"

"Hm?"

"Oh..." kemudian anak itu kembali memejamkan matanya. Halilintar terdiam.

"Ngigau?" tapi kemudian Halilintar terkantuk dan lanjut tidur lagi.

.

.

.

"....li."

"....Hali."

"Hali."

"Halilintar! ABANG!"

Halilintar tersentak lagi ketika bangun. Wajah Taufan yang juga kaget dengan cara bangun Halilintar sontak mundur.

"...ish, apa?" Halilintar mengusap wajahnya lelah. Istirahatnya sama sekali tidak nyaman karena tidur duduk di kursi semalaman.

Taufan mengernyit. "Gak papa? Capek ya?" tanya Taufan. Halilintar menggeleng sambil memijit pelipisnya.

"Gempa?" dia teringat satu hal.

"Dia ke kamar mandi. Katanya buang air, kayaknya muntah deh. Kau sarapan aja dulu. Ku beliin sarapan di kantin tadi. Aku udah kasih kabar ke sekolah kalau kita ijin absen. Aku lihat Gempa dulu," kata Taufan dan berlalu begitu saja. Halilintar masih memproses semuanya.

Dia membuka bungkusan plastik yang Taufan berikan padanya. Hanya ada roti dan susu kotak. Taufan belum keluar, jadi sepertinya memang Gempa muntah. Sambil menggigit roti yang dibelikan Taufan, Halilintar menelepon ibunya.

.

.

.

"Jadi kok bisa kayak gitu kemarin kenapa?" tanya Halilintar. Gempa meringis kecil.

"Uhhh... itu... aku... makan coklat," kata Gempa yang semakin mendekati akhir semakin tidak jelas.

"Apa?" tanya Halilintar lagi.

"Aku makan coklat."

"Coklat apa?"

"Ehhh ituuu... coklat... coklat...." Gempa kesulitan membuat jawaban. Halilintar mendelik tidak suka.

"Jawab."

"Ini ya?" tanya Taufan yang tiba-tiba mengeluarkan coklat batangan. Sudah habis setengah. Dan Gempa pucat pasi sambil memilin ujung selimutnya. Matanya bergerak menghindari tatapan kedua kakaknya yang seperti mau melubangi tulang.

"Ehh... itu..."

"Kamu juga mencolek selai yang kusimpan dengan banyak. Apa nih? Mau ngapain, hm?" tanya Taufan santai. Tapi kalau sudah begitu Gempa tau ini adalah sinyal bahaya dari kakaknya.

"Aku, itu, cuma, uhh... gatau-"

"Masa? Padahal gede lho tulisannya," kata Taufan. Gempa mau menangis saja.

"Iya... Gempa salah... Gempa gak baca komposisinya padahal ada. Coklat itu diberi temen Gempa. Katanya aman jadi Gempa coba..." dia harus menurunkan harga dirinya demi amukan kakaknya dengan memanggil namanya sendiri. Agak memalukan di usianya sekarang tapi mau gimana?

"GAK BACA?!"

"Weits! Weits! Eit eit! Sabar dulu Hali, jangan ngamuk ini rumah sakit. Gempa. Kami gak tau ya kamu punya masalah apa sampai bikin kayak gini. Tapi kalau sampai keulang lagi, aku bakal marah lho," kata Taufan. Gempa mengangguk paham.

"Jaga tubuhnya. Perhatiin makannya. Jangan asal aja. Kakak khawatir, Abang juga. Kalau sakit yang susah kamu, dan bukan kamu 'aja yang bakal ngerasainnya. Kamu tau kan? Bukannya memojokkan, tapi buat kamu sendiri juga. Kamu paham yang Kakak omongin?" ujar Taufan kalem.

Taufan kalau sudah membahasakan dirinya dengan 'Kakak' seperti tadi, tandanya memang sudah kelewatan sekali, Gempa hanya bisa mengangguk patuh seperti anak kucing. Kalau ini keadaan biasa, pasti Taufan sudah mengusel-uselnya.

"Jangan bikin khawatir."

"Ngomong apa, Li?"

"Gak."

.

.

.

Setelah itu Gempa harus dirawat dan menginap di rumah sakit sampai beberapa hari karena alerginya. Ibu dan ayah mereka pulang dan memarahi mereka bertiga selama satu jam tanpa jeda. Tapi setelah itu masing-masing diberikan makanan kesukaan mereka.

Masalah itu selesai cukup melegakan setelah Gempa sehat benar dan pulang ke rumah.

Taufan menyenggol Halilintar.

"Apa?" tanya Halilintar ketus.

"Rahasiakan saja kejadian saat menemukan Gempa. Itu akan menyelamatkan harga diri kita," bisik Taufan. Halilintar menatapnya sambil berkedip dan membuka mulut sedikit.

Ah benar juga. Hal memalukan seperti itu memang harus dirahasiakan. Bisa ada masalah kalau orang lain tahu. Ternyata Taufan masih bisa dipercaya. Halilintar tersenyum setipis kertas.

"Yah tapi setidaknya aku lebih berani dari Halilintar, heh," kata Taufan bangga.

Alis Halilintar berkedut.

Lupakan pikirannya tentang Taufan bisa dipercaya. Halilintar tarik perkataannya.

"Apa kau bilang?"

"Iya. Tentu saja-- eh, eh, mau ngapain? Kok kayak mau nyeruduk gitu-- EH!? EH!?! LI! HALI! JANGAN PATAHIN LENGANKU! ENGGAK ENGGAK AAAAAAAAAAAAA!"

.

.

Author's note: iyah yang ini udah ku upload ke fanfiction dulu, tapi ya gpp sih

Continue Reading

You'll Also Like

922 128 4
Ini versi lain untuk ending one-shot sebelumnya. Mungkin ada kesamaan dan perbedaan alurnya. Sang mentari yang berkorban untuk keluarga, mengulang w...
773 82 6
Ini adalah kisah Halilintar dan adik adiknya yang hidup tanpa kehadiran orang tua karena orang tua mereka yang pergi untuk bekerja namun belum kunjun...
933K 45.1K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
18.1K 1.8K 24
Dunia sekarang dalam bahaya! Para pengembara kini harus mencari ke tujuh putera dari berbagai kingdom untuk menyelamatkan dunia. "Selamatkan dunia de...