Ever After

By Minaayaaa

3.5K 363 985

Apa yang terjadi dengan mereka setelah kisahnya selesai diceritakan? Inilah cerita lepas ringan pendek spin-o... More

Hai
1. Keranjang Sopi Hima (Hima, Garis Waktu)
2. Santa Monica Pier (Syeden and Tria from Trepidation)
3. What am I to You? (Axel, Garis Waktu)
4. J Citty Attack (Kenar,Ochi, Hagi, Imelda, from Tiga Babak)
5. In Blue (Bhia from Trepidation)
6. Be Your Manito (Ben dan Senja dari Garis Waktu)
7. Mami( Ochi from Tiga Babak)
Sepulang Kerja
8. Sweet Fifteen (Monica, from Tiga Babak)
10. Minggat (Ochi from Tiga Babak)

9. A Proposal (Sessi and Sena from Sepulang Kerja)

147 26 51
By Minaayaaa

Disclaimer, cerita ini merupakan sisipan sebelum ending Sepulang kerja. Series Series Sepulang Kerja, bisa teman-teman baca di laman Karya Karsaku : Wineminaya

***

Sessi menguap dan merentangkan kedua tangannya setelah berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya di hari itu. Dia kembali dipekerjakan di Culture Publisher, atas campur tangan Rene, tentu saja.

Sessi berada di dalam divisi buku fiksi di bawah kepemimpinan Sanda yang kini sedang hamil besar. Semua senang sebab badai sudah berakhir, tapi ada yang lebih senang di antara mereka semua, siapa lagi kalau bukan Sena.

"Ayo pulang!" Ujar Sena yang sepertinya agak tergesa-gesa dari ruangannya.

Sessi mengangguk sambil mengemasi laptop dan semua barang-barangnya. Sena sedikit membantu dengan memasukkan semuanya ke dalam tote bag Sessi yang sangat besar dan berisi berbagai macam barang seolah kantung Doraemon itu.

Mereka berdua pun berpamitan dengan beberapa orang yang masih tersisa, sementara yang lainnya sudah tunggang langgang sebab tak ingin terjebak dalam lautan manusia yang berebut kereta transit.

"Apa nggak lebih baik kalau kamu pakai ransel? Pasti lebih lincah waktu berebut naik kereta bisa set set set set!" Oceh Sena sambil menenteng totebag berat milik Sessi yang bergambar Durian itu.

"Iya sih, tapi aku nggak suka, bukan gayaku kan?"

"Oh jadi ini lebih ke arah bergaya alih-alih fungsinya?" Cebik Sena sambil masuk ke dalam lift yang cukup penuh, mengikuti Sessi.

"Bisa dibilang begitu, lagian tote bag ini dari Mbak Sofi kan? Aku suka aja"

"Suka karena Mbak Sofinya? Gambar duriannya? Atau adik ipar Mbak Sofienya? Ujar Sena setengah berbisik sebab orang lainnya hanya diam.

Sessi terkikik geli dengan pertanyaan tak bermutu itu, "Adik ipar Mbak Sofi? Nala maksudnya?" Balas Sessi mempermainkan Sena.

Laki-laki itu pun memutar bola matanya petanda kesal.

Akhirnya mereka saling diam sampai lift itu mencapai lantai dasar di mana Sena memarkirkan motornya. Setiap hari Sena mengantar jemput Sessi dari stasiun. Sessi tak tinggal lagi di kost nya yang dulu meskipun Sena memohon -mohon bahwa lebih baik dia tetap tinggal di Kota J, dari pada tinggal dengan tantenya di pinggiran kota yang jarak tempuhnya 2  jam dari kantor dengan dua kali transit kereta.

Sena benar-benar prihatin dengan hal ini. Tapi Sessi tak ingin tantenya sendirian, setelah Om nya dipenjara karena kasus KDRT, dia tak bisa membiarkan tantenya mengurus budhe dan kedua anaknya sendirian, apalagi Gray harus lebih sering ke kampus, dan tinggal di kota J agar kuliahnya semakin lancar.

Uang royalti ibunya tak bersisa, sebab dipakai untuk melunasi segala hutang pamannya yang penjudi gila itu. Sessi tak menyesal, dia memang yang membuat keputusan itu. Kini yang dia miliki hanya tante, budhe dan ketiga sepupunya saja.

Sessi masih memiliki sisa rasa bersalah itu, dia masih menderita kecemasan akan hal-hal buruk yang menimpa keluarga besarnya, meskipun nama ibunya telah dibersihkan, namun tak akan mengembalikan segala penderitaan yang keluarganya alami.

"Gimana kalau misalnya kamu tiga hari pulang ke rumah tante terus dua hari sampai weekend tinggal di Kota J, kamu bisa kos atau ikut tinggal di rumah Sanda, Lang kan balik lagi ke kebun sawit." Sena sedikit berteriak kepada Sessi yang sudah merangkul pinggangnya erat di atas kendaraan mereka.

"Kan aku udah bilang, ga bisa gitu, nanti siapa yang bantu urusin budhe, kasihan tante aku!"

Sena berdecih lagi!

Rasanya mulutnya sampai pegal setiap hari membujuk Sessi yang bahkan tak pernah memikirkan dirinya sendiri.

Bahkan hanya untuk sekadar makan atau potong rambut harus perlu Sena yang mengingatkan.

"Sini aja, aku pulang dulu ya, nanti aku telepon kalau udah sampai" Ujar Sessi sedikit buru-buru, Sena hanya menerima helm yang dikenalkan kekasihnya dan sebelum dia berucap gadis itu sudah tergopoh-gopoh ke dalam stasiun.

***

"Susu hamil perlu nggak?" Tanya Sena yang sudah berganti baju casual, sejak pulang kerja tadi dia pergi ke rumah Sanda yang meminta bantuannya untuk belanja bulanan. Usia kandungannya sudah mencapai 7 bulan, beberapa waktu yang lalu dia dan Elang mengadakan pesta baby shower kecil kecilan dan mereveal gender anak mereka yang ternyata laki-laki.

"Nggak deh, aku masih bisa makan ikan" Ujar Sanda kemudian memilih-milih beberapa camilan berdasarkan ingredient nya.

"Lang kapan pulang lagi deh?" Kata Sena dengan nada malas-malasan membuat Sanda sedikit mengernyit, sejak hamil dia memang lebih sensitif.

"Kenapa? Kamu udah nggak mau nemenin belanja?"

"Ya mau, eh tapi San kenapa nasib kita gini banget deh, selalu ditinggal berduaan kaya orang bego, makan berdua, belanja berdua, kerja berdua, mana Sessi sekarang rumahnya jauh, apa bedanya sama Elang yang di luar pulau!"

"Hush ngawur! Tempat tinggal Sessi nggak sejauh itu kali!" Ujar Sanda sambil mengambil beberapa gulung tissue toilet.

"Lebih jauh malah, kalau Elang tinggal di luar pulau, Sessi sekarang rumahnya di luar Galaksi Bima Sakti!"

Sanda tertawa mendengarnya dan mereka jadi heboh karena bayinya ikut menendang.

Sampai di depan kasir pun Sena masih memandangi ponselnya. Sudah empat jam lebih berlalu, tapi Sessi belum mengabarinya. Sebenarnya sudah sering seperti ini dan selalu saja Sena masih resah. Sessi akan mengiriminya pesan setelah setengah 10, di mana Budhenya yang menderita stroke itu sudah memasuki jam tidur sehingga Sessi bisa juga tidur.

Kini Sessi tak tidur di bawah ranjang budhe lagi, setelah Om Febri dipenjara, Tante Neneng memaksanya untuk menempati sebuah kamar yang dulunya adalah gudang peralatan. Tante Neneng juga merenovasi kamar itu, tentu saja dengan seleranya. Ruangan yang mulanya tak berjendela itu, kini memiliki jendela dengan gorden pink, dia juga khusus melapisi kamar Sessi dengan wall paper emas yang menurutnya bagus, jangan lupakan juga sprai bercorak LV yang meriah.

Sena pernah kaget ketika pertama kali melihat penampakan kamar Sessi yang menurutnya seperti kerajaan ratu siluman ular di sinetron kolosal Indosiar pada saat mereka video call, namun Sessi tak pernah mempermasalahkannya, dia justru merasa tersanjung sebab tante Neneng memasukkan seluruh elemen yang disukainya untuk menghormati Sessi.

Itu sebabnya juga Sessi tak tega jika harus meninggalkan tantenya yang kini hidup dari hasil catering hariannya itu.

Sena sedikit kesal, mengapa Sessi lebih memperhitungkan perhatian Tante Neneg di atas dirinya, padahal kalau dipikir-pikir apalagi kekurangan Sena.

Sena pun mengutarakannya kepada Sessi , tapi malah gadis itu terpingkal tak habis-habis dan berkata bahwa Sena hanya sedang cemburu.

"Hanya sedang cemburu dia bilang, dia bilang begitu San!" Kini Sena sedang mengadu kepada induknya, siapa lagi kalau bukan Sanda yang mengajaknya makan malam di sebuah restoran steak di tengah mall itu.

Sanda juga hanya terpingkal sambil menikmati steak well done nya yang super kering itu sebab Sena melarangnya memesan medium rare kesukaannya. Sena memang over protective terhadap bayi yang dikandungnya. Dia benar-benar menjalankan apa yang Elang amanatkan kepadanya sementara laki-laki itu pergi ke kebun kelapa sawitnya yang mulai menunjukkan hasil.

"Aku benar-benar nggak ngerti lagi sama cara hidup Sessi, bayangin tiap hari dia butuh 2 jam untuk sampai kantor, pulangnya 4 jam, kalau banjir malah lebih, dia itu ngapain sih San?"

"Dia juga punya kehidupan kali Sen, sabar lah!"

"Kadang aku mikir, kapan sih Sessi bisa prioritasin aku di antara keluarganya itu?" Laki laki bongsor itu mulai curhat ngalor ngidul setelah tenderloinnya habis, sehingga Sanda perlu memesan puding agar membuatnya sedikit diam.

"Kamu udah bicarain ke Sessi?"

Sena mengangguk

"Aku udah pengen nikah aja sama dia, tapi kok sepertinya dia nggak siap ya San"

"Dia yang nggak siap atau kamu juga takut harus nerima Sessi dengan paket komplit keluarganya itu?"

Sena terdiam, kemudian menghela nafas dan menyandarkan bahu lebarnya di kursi kayu yang dudukannya berlapis busa nyaman itu.

"Emang gimana sih, caranya orang bisa nikah? Gimana sih caranya biar dua orang yang saling mencintai tu bener-bener nikah karena sadar saling membutuhkan dan menerima satu sama lain?" Kata Sena sambil melirik tajam kepada Sanda.

"Don't look at me, aku nikah karena Elang udah telanjur nidurin aku kan?"

"Ah orgil!" Sena meremat tissue yang sedari tadi dia pegangi dan melemparkannya kepada Sanda yang masih menampilkan wajah sok polos menjengkelkannya.

***

"Belum tidur Ses?" Tanya tante Neneng yang sedang menjahit celana seragam anak bungsunya yang sobek gara-gara bermain bola tempo hari.

"Haus tante, mau ambil minum" Ujar Sessi lantas ke dapur yang terletak di seberang TV plasma yang sedang menampilkan acara kompetisi dangdut yang sangat digemari tante Neneng.

Karena belum mengantuk dan Sena belum membalas pesannya, Sessi memutuskan untuk duduk di samping perempuan sederhana yang sewaktu muda sangat cantik dan trendi di kampungnya itu.

"Kamu nggak teleponan sama pacar kamu, biasanya kalau malem tante denger kamu suka cekikikan di kamar!" Ujar Tante Neneng setengah menggoda, tapi nyatanya dia memang sering menguping pembicaraan Sessi dan Sena karena saking keponya.

Beberapa kali Sena memang menyambangi rumah itu, tante Neneng tentu saja senang, sebab Sena sangatlah tampan, dia juga baik, Tante Senang anak muda itu bisa mengembalikan senyum Sessi yang bertahun-tahun selalu tampak memiliki hidup penuh tekanan.

"Ih tanten nguping ya?"

"Emang!" Kata Tantenya membuat Sessi tertawa.

"Ses, jadi kapan pacar kamu itu ngelamar kamu, tante siap masak-masak deh siap repot!" Tante Neneng bersemangat.

"Kalau tante masak nanti yang nerima tamu lamarannya siapa donk tante" Ujar Sessi sendu.

Tante Neneng terdiam, sejenak berpikir. Dia jarang berpikir kompleks tapi kali ini dia mencoba memaksakannya.

"Sessi udah nggak punya keluarga kan tante, itu juga yang jadi ketakutan Sessi selama pacaran sama Mas Sena"

"Kenapa?" Sudah berusaha keras pun Neneng masih belum menemukan kesimpulan dari pikirannya.

"Mas Sena memang hanya punya ayah dan ibu tiri, tapi keluarga mereka lengkap, ada bapak, ada ibu, ada adik, kakak, kakak ipar, keponakan, lengkap, sementara Sessi ... sendiri"

"Kan ada tante!" Ujar Neneng percaya diri

"Kan tante masak!" Ujar Sessi spontan, mereka terdiam, sesaat kemudian tertawa cekakakan seolah baru menyadari hal super lucu, padahal aslinya sangat tragis.

Tante neneng mau pun Sessi mengusap air mata mereka , entah air mata sedih atau karene dark joke nya benar-benar lucu.

"Tante bisa bayar orang buat masak, nanti tante dandan cantik deh, biar kamu nggak malu, nanti Gray, Arman , sama Arden, tante suruh bersihin rumah sampai kinclong, biar dikata nggak kayak rumah orang kampung, budhe nanti juga biar dimandiin suster, disuruh diem dulu di kamar supaya nggak ngaco" Ujar tante Neneng dengan bergetar , kini air matanya tak kuasa lagi untuk jatuh.

Sessi juga sedih melihat kenyataan ini, selesai dengan perkara ibunya dan Om Febri ternyata tak membuat segalanya berjalan baik dan hidup normal seperti orang-orang lainnya.

"Tante tenang deh, hehehe kita kenapa sih, Mas Sena juga belum ngelamar Sessi kok, ya kan Sessi juga ga tau kan Mas Sena mau atau enggak sama Sessi, tapi apapun itu tante nggak usah mikir terlalu jauh, Sessi nggak pernah malu sama keluarga ini, meski Sessi juga tidak bohong kalau terkadang aneh juga dilihatnya"

"Aneh gimana?"

"Ya aneh kayak tante"

Keduanya bercanda sampai tante mengantuk dan Sessi masuk ke kamarnya.

12 panggilan masuk

Kiamat

Desis Sessi menyadari bahwa panggilan terakhir Sena adalah 30 menit yang lalu.

Sessi mencoba menghubunginya, namun ponsel Sena sepertinya sudah dimatikan. Akhir-akhir ini Sena sedang tertib melaksanakan jam tidur, jadi Sessi memahami, dia pun harus segera tidur juga.

***

Gadis itu sudah terbiasa berdesak-desakan di KRL di pagi dan sore hari, demikian juga pagi ini. Tapi Sessi selalu bersemangat, sebab tahu Sena pasti akan menjemputnya. Bukan karena hemat ongkos, tapi Sena selalu memberikan cahaya pada hidupnya, harapan kalau dia akan baik-baik saja.

Tepat waktu

Laki-laki itu sudah duduk di atas motornya, pasti sejak 5 menit sebelum kedatangan KRL Sessi. Membutuhkan 10 menit untuk berjalan ke kantornya, tetapi Sena memilih memperlakukan Sessi seperti putri. Dia menggunakan fasilitas parkir jabatannya hanya untuk Sessi, jika tak punya pacar, Sena lebih senang naik bus trans atau nebeng Sanda saja.

Sessi tersenyum melihat pacarnya yang cemberut, dia tahu itu juga salahnya. Semalam dia terlalu asyik mengobrol dengan tante Neneng sampai lupa menelepon Sena.

Sena masih tetap cemberut, meski Sessi yang memakai setelan blazer warna crème itu memeluknya. Sena kecewa dengan ini semua, rasanya kesal tak menjadi prioritas utama kekasihnya. Sessi sibuk menjelaskan keadaanya, Sena hanya diam meski dia sejatinya menyimak dan mencoba mengerti.

Sena tak menggandeng Sessi untuk masuk ke lift, jadi gadis itu yang berinisiatif toh akhirnya jemarinya digenggam juga, membuat hati Sessi bersorak.

"Nanti siang makan bareng ya, di cafetaria atas!" Ujar gadis itu.

"Bukannya kamu bilang hari ini ada meeting maraton?" Jawab sena berbisik di antara orang-orang yang masuk ke dalam lift.

"Jam 12 ada jeda 30 menit, aku bisa makan kan?"

"Nanti nggak keburu, kita suka ngobrol panjang lebar"

"Bisa!" Kata Sessi yang lantas keluar dari lift.

***

Sena masih berkutat dengan pekerjaannya sewaktu Bimo mengunjungi cubiclenya,

"Sen! Jam 12 meeting divisi!"

"Bukannya jam makan siang ya?" Ujar Sena yang mengetik sambil memperhatikan jam dinding di ruangannya yang menunjuukan pukul 11.50.

"Kita meeting di mall depan sanalah, sambil makan"

"Ah biasanya nya itu sih bukan meeting, cuma akal akalan kalian nongkrong ke luar gedung!" Ujar Sena menghapali kebiasaan teman-teman kerjanya.

"Ya tetep meeting satu dua bahasan lah!"

"Nggak ikutan, mau makan sama Sessi!" Tolak Sena

"Dih, orang divisinya Sessi juga makan siang bareng di luar!"

"Kok tahu?" Tanya Sena keheranan

"Tya ulang tahun!"

"Tya yang itu?" Ujar Sena mengacu pada seorang it girl di kantor mereka.

"Yoiii" Udahlah ayo ikut aja, nanti pasti ketemu gengnya Sessi, Bimo menyeret Sena yang kemudian didorong oleh teman-teman lainnya.

Mereka menuju sebuah restoran yang menyediakan privat room dengan smooking area, sehingga bisa menghabiskan 45 menit merusak paru-paru bersama. Mereka memang membicarakan beberapa hal terkait divisi tetapi selebihnya hanya haha hihi.

Tepat 5 menit sebelum jam istirahat makan siang berakhir, Sena dan teman-temannya keluar dari ruangan tersebut dan benar saja , mereka bertemu dengan divisi Sessi yang memiliki jumlah perempuan banyak, berbanding terbalik dengan team Sena.

Dasar para buaya, para laki-laki itu sibuk menyelamati Tya, gadis cantik ramah yang sedang berulang tahun. Diam diam Sena memperhatikan rombongan gadis-gadis itu, dia coba menemukan Sessi di tengah keributan ucapan selamat ulang tahun itu, tapi tak ditemukannya.

"Cari Sessi Mas?" Tanya seseorang di antara mereka,

Otomatis Sena mengangguk.

"Tadi nggak mau ikut, lho katanya janjian sama Mas Sena?"

Mencelos hati Sena mendengarnya, dia pun sadar bahwa dia tak membawa ponsel, tanpa babibu kembalilah Sena ke kantor, sayangnya jam istirahat sudah habis, mau tak mau Sena kembali ke ruangannya dengan kesal, dia hendak menggapai ponselnya ketika menemukan sebuah mika berisi nasi rames dengan stiker katering di bagian tutupnya. Sena tahu itu katering milik Tante Neneng dan pasti Sessi yang menaruhnya di sana.

Sena hendak minta maaf kalau perlu bersujud di hadapan Sessi namun lagi – lagi segerombolan orang sudah menyeretnya ke ruang meeting.

Sena sungguh kesal, tapi dia tak bisa apa-apa.

Sampai jam pulang, Sena belum keluar dari ruang meeting itu. Barulah satu jam setelahnya dia keluar dan langsung bersiap-siap pulang, Sena benar-benar kacau. Dia sendiri yang menuduh Sessi tak memprioritaskannya tapi lihat apa yang terjadi.

Sena baru memikirkan cara agar Sessi tak marah, dislempangkannya tas kerja berisi laptop itu ke bahunya setelah memakai jaket kulit warna hitam itu sambil keluar ruangannya, Sena segera berjalan cepat ke kiri menuju lift saat seseorang memanggilnya.

"Mas Sena!"

Sena kaget sebab suara itu sungguh familiar, dia pun berbalik dan alangkah bahagianya dia ketika tahu siapa yang menunggunya duduk di kursi tunggu di depan departemennya.

"Sessi!" Sena tak ragu merentangkan tangannya dan menyambut senyuman gadisnya dengan senyuman.

"Eh wait! Kok nggak marah sih?" Tiba-tiba Sena melepaskan pelukannya.

Sessi malah terkekeh,

"Enggak lah, emangnya aku Mas Sena, marah-marah melulu!" Kata Sessi sambil mendongak membuat Sena gemas.

"Yuk, pulang!" Ajak Sena

"Mau jalan-jalan dulu!" Balas Sessi

"Boleh" Kata Sena sambil merangkul Sessi dan berjalan ke luar kantor.

***

Kota J kala senja,

Hanya sebagian orang yang bisa meromantisasi seluruh keindahan ini. Semua sibuk di jalan, ingin segera pulang, entah untuk sekadar rebahan, mengelus kucing, bertemu keluarga, atau mencuci piring kotor sisa tadi pagi.

Tapi kali ini ada sepasang muda-mudi yang masih asyik menjelajah pasar modern, sekadar mengomentari aneka dagangan, sesekali berhenti untuk membeli bahan makanan dan beberapa jajanan.

Mengagumi senja di trotoar, sambil menunggu jalanan sedikit lengang untuk dapat pulang.

"Udah izin tante Neneng kalau hari ini ngiinep di sini?" Tanya Sena ketika sampai di apartemennya sebab Sessi ingin makan malam di sini.

"Aku nggak nginep di sini Mas, aku kan udah bilang aku nginep di tempat Mbak Sanda, bajuku udah ada di dia kan?" Kata Sessi sambil mencari michiko dan kucing itu langsung tanggap dan melompat di pelukannya, membuat Sena mendengus.

"Bukannya Elang mau datang ya?" Tanya Sena segera menggelar belanjaannya dan siap memasak untuk Sessi.

"Besok siang katanya baru landing ...Michiko siniiii" Sessi memainkan tongkat giring-giring yang membuat Michiko Si Kucing Abu itu melompat ke sana ke mari dengan antusias.

"Ngomong-ngomong ini kamu nggak mau bantuin aku?" Rengek Sena

"Enggak, aku mau main sama michiko ... michikooo ayo siniii!!" Gadis itu malah mengajak Michiko masuk kamar untuk berguling-guling dengan leluasa.

Sena hanya menghela nafas dan melanjutkan memasak, tapi ada senyuman terselip di ujung bibirnya.

***

Setengah jam selanjutnya mereka sudah berhadap-hadapan sambil menyantap grilled chicken buatan Sena yang menyenangkan lidah Sessi, sementara Michiko sudah tenang menyantap pakan kucing mahalnya.

"Enak?" Tanya Sena ragu-ragu

Sessi tak menjawab, hanya mengacungkan kedua jempolnya sambil terus mengunyah masakan Sena yang selalu menjadi comfort foodnya itu.

"Kalau menikah nanti kamu mau pindah ke sini?" Tanya Sena tanpa aba-aba sehingga membuat Sessi tersedak.

Sena berdecih, dia tak suka penolakan meskipun bukan penolakan resmi, tapi tentang Sessi yang tak siap menikah sebab banyak alasan itu selalu membuatnya gusar.

"Minggu depan aku mau ke Kota Y, mau pulang, ayah kan ulang tahun"

"Oh ya, hati-hati kalau gitu" Ujar Sessi membenarkan duduknya dan mulai makan dengan tenang.

"Maksudku, gimana kalau kamu ikut?"

"Buat?"

"Buat jagain Michiko!"

"Oh Michiko mau dibawa? Kirain mau dititip ke hotel kucingnya dokter Wisnu!" Jawab Sessi polos.

Sena memandangi kekasihnya dengan gusar, dia sedikit menghela nafas.

"Kamu itu kerja di bagian fiksi tapi nggak ngerti kalimat satir ya?"

"Eh tunggu! Gimana maksudnya aku jadi bingung!" Sessi jadi tantrum sediri.

"Ya kali buat jagain Michiko! Udah seharusnya sebagai calon mantu kamu datang kan?!" Sena sedikit membentak.

Kemudian situasi hening, hanya Michiko yang mengeang ngeong akan ke tidak nyamanan ini.

Dia terus mengeong membuat Sena mau tak mau mengangkat dan memindahkannya ke cat corner lagi.


***

Akhirnya Sena mengantar Sessi ke rumah Sanda. Mereka masih diam selama perjalanan. Sena merasa sedikit aneh, dia benar-benar takut ditolak Sessi kemudian perempuan yang suka berpikir rumit itu akhirnya malah pergi meninggalkannya. Sementara Sessi diam, dia sadar sejengkal lagi Sena akan melamarnya, bukannya dia tak suka, tapi dia bingung harus menghadapi ini seperti apa. Dia tak pernah benar-benar melihat bagaimana seorang anak perempuan berlaku setelah dilamar pacarnya. Ya tentu saja orang normal akan langsung rapat keluarga, tapi ini masalahnya dia tak punya keluarga, jadi harus bagaimana?

Sanda sudah memakai cream malam dan sedang mengoleskan cream di perutnya yang membuncit besar itu. Sesekali dia tersenyum ketika bayi di dalam perutnya bergerak. Sessi sedang melihatnya, bayi itu sungguh semakin aktif menjelang bulan kelahirannya.

Sessi sudah berganti baju tidur dan duduk di sebelah Sanda yang berselonjor sambil memperhatikan perutnya.

"Hai Ucho ini Bibi Sessi" Ujarnya di depan perut Sanda yang berisi bayi laki-laki menurut USG terakhirnya.

"Awalnya aku kesel kalau Sena bilang gitu, tapi lama -lama suka juga" Ujar Sanda tersenyum memperlihatkan gigi rapinya.

"Ih Ucho gerak lagi, sabar Cho, papi kamu lagi otewe ke bandara, kangen yaa..." Ujar Sessi lagi.

"Iya tante, kalau tante kangen siapa?" Sanda malah balas menggoda perempuan di depannya itu yang kini menarik wajahnya dan ikut-ikutan bersandar di headboard sepertinya.

Sessi terdiam memngingat pikirannya yang berkecamuk tentang Sena.

Namun kemudian dia juga teringat, seseorang yang mungkin memiliki nasib tak punya keluarga sepertinya, tak lain adalah Sanda.

"Ehm, Mbak, aku boleh nanya nggak? Tapi ini sensitif, tapi aku harus tanya, sebab aku nggak ada orang lain yang bisa ditanyai"

Sanda mengernyit, dia bukan orang yang gampang tersinggung, apalagi untuk adik kecil seperti Sessi.

"Tanya aja, kapan sih aku sensi sama kamu?" Balasnya bijak dan menenangkan.

"Dulu, waktu Mas Elang ngelamar Mbak Sanda kan papanya nggak setuju, terus gimana itu?" Jujur Sessi tidak tahu harus merangkai kalimatnya seperti apa.

Sanda mengernyit lagi

"Sena ngelamar kamu?" Cecarnya

"Ya enggak, belum, tapi kayaknya!" Ujar Sessi kebingungan.

Sanda juga jadi bingung "Ini maksudnya gimana, sih?"

"Ya Mas Sena tuh terus-terusan bilang nanti kalau kita nikah, kamu kan calon mantu dan yang gitu-gitu deh, auk ah pusing!" Sessi merebahkan dirinya dan menutup wajahnya memakai bantal.

Sanda tak kuasa tergelak sampai badannya terguncang.

"Ya ampun Sessi, bedalah Ses, aku kan nikahnya karena emosional, bukan hal yang baik, jangan dicontoh, mending kamu tanya yang lain lah!" kata Sanda yang dulu masih menikah sewaktu kuliah, itu pun nikah siri dan tak ada yang tahu. Beruntung segalanya menjadi semakin baik.

Tapi sessi tidak menjawab, dia malah pura-pura menangis di balik bantal, membuat Sanda keheranan.

"Ses, Sessi!" Sanda kemudian menarik bantal itu dan menemukan kalau Sessi benar-benar menangis sampai mengeluarkan air mata.

"Lha kok nangis sih? Kenapa?" Ibu hamil itu pun kebingungan.

"Aku bingung Mbak!" Gadis yang bertahun-tahun hidup di panti asuhan, sebelum Om Febri membawanya ke rumah, itu pun kembali duduk.

"Lah apalagi aku! Emang bingung kenapa? Kamu nggak siap nikah atau gimana?"

"Gimana Mbak?" Sessi malah balik bertanya

"Lah gimana? Kamu cinta nggak sama Sena?" Tanya Sanda seperti menanting anak kecil mau mandi atau tidak.

Sessi mengangguk dengan mata yang sembab.

"Belom siap nikah?" Tanya Sanda lagi

Kali ini Sessi menggeleng.

"Lha terus? Apa yang bikin bingung?"

"Nggak tahu caranya nikah" Ujar Sessi polos

"Lha, kan tinggal ke KUA bilang, Pak kami mau nikah, tanda tangan, udah udah sah! Sah! Udah gitu pulang kan, makan-makan sama keluarga, terus abis itu kalian bulan madu, nah di hotel nih misalnya, ntar Sena dulu deh yang buka baju terus kamu, bisa ciuman dulu atau ..."

"STOP MBAK STOP!" Sanda terkekeh kekeh ketika Sessi sibuk menutup mulutnya yang ingin semakin meracau itu.

"Habis aneh, apa yang dibingungin dasar orgil! Eh ga boleh ngatain, ah Ucho kamu ga bobok kan ga denger tadi mami bilang apa" Kata Sanda mengelus perutnya.

"Aku bingung Mbak, aku nggak punya keluarga, Om Febri di penjara, dia pasti benci banget sama aku juga kan, Budhe demensia, stroke pula, Tante Neneng, juga bukan benar-benar keluargaku, sementara keluarga Mas Sena, seramai itu, senormal itu kayak orang orang, bisa diceritain, meski bunda ibu tiri, mereka benar-benar keluarga yang terkoneksi, aku sedikit nggak nyaman dengan ini Mbak" Akhirnya Sessi bicara tentang kekhawatirannya.

Sanda terdiam mengelus perutnya, dia mengerti mengapa Sessi menanyakan hal itu kepadanya. Keluarga Elang , meskipun kakak kakaknya sedikit brengsek tapi mereka keluarga yang lengkap dan utuh, beda dengan keluarganya yang tercerai berai entah kakaknya sekarang di mana, ibunya sudah tak ada, ayahnya juga tak tahu lagi sebab sudah mencoret nama Sanda dari keluarga secara resmi, waktu dia nekat meninggalkan rumah demi menikah dengan Elang.

Tiga harian nasional selama tiga hari berturut-turut sebagai syarat legal memutuskan hubungan antara ayah dan anak, Sanda masih ingat dan akan selalu menjadi batu di hatinya.

Sanda menghela nafas.

"Kamu nggak sesendirian itu, Tante Neneng kamu dan anak-anaknya , juga Budhe yang sedang sakit juga keluarga Ses, keluarga Sena keluarga yang baik, mereka sudah tahu semua yang terjadi, dan so far aku rasa mereka menerima kamu tanpa syarat, jangan sekhawatir itu"

"Nanti siapa yang jadi wali nikahnya Mbak?"

"Pakai wali hakim lah, Om Febri kamu kan juga nggak berhak, papa kamu ..."

"Jujur aku nggak pernah mau cari tahu"

"Kenapa?"

"Aku nggak mau punya hubungan dengan lebih banyak orang, aku takut kalau mereka terganggu akan kehadiranku Mbak,sudah cukup Budhe dan Om Febri yang menderita gara-gara aku dan Mama, ya kan?"

"Why still keeping that burden? Bukannya semuanya sudah selesai?"

Sessi menghela nafas

"Om Febri masih di penjara, b'budhe masih sakit, nggak semua orang mendapat haknya, dulu mereka hidup baik-baik saja dan mungkin kalau Ibu nggak memilih jalan itu , mereka masih hidup baik sampai sekarang" Sessi mulai menangis, Sanda mendekat dan mengelus rambut panjang gadis itu.

"Sessi, ibu kamu perempuan hebat, satu negara kagum dan bahkan ribuan perempuan terispirasi sampai kini, mungkin ratusan bisa dia selamatkan kala itu"

Sessi mengusap air matanya dan menatap nanar,

"Apa guna menolong segitu banyak orang, tapi mencelakai keluarga sendiri" Katanya bergetar.

"Ses, kita nggak akan pernah tahu jalannya takdir, seperti kita nggak bisa menentukan jalan pikir seseorang, probabilitas Om Febri jadi orang baik dan Budhe tidak gila gara-gara batal menikah itu selalu ada, nyatanya probabilitas lain yang terjadi. Rene pernah bilang kalau semua orang lahir dengan monyet di punggungnya, mencakar membebani menyakiti, jadi jangan tumpangkan monyetmu ke punggung orang lain atau menaruh mereka ke punggungmu, since it's not fair!" Kata Serius menutup malam itu.

***

"Lang lama bener sih datangnya! Pesawatnya delay kah?" Tanya Sena yang tak sabar sedari tadi, padahal Sanda , Sang istri saja menunggu dengan tenang.

Laki-laki itu baru diam setelah Sessi menyodorinya roti bun rasa kopi khas bandara itu.

"Makasih" Katanya lantas makan dengan tenang, tentu saja setelah mencuci tangannya dengan handsainitizer, mengingat Sena punya issue higenitas.

Sessi duduk di antara Sena dan Sanda, dia menutupi mata sembabnya dengan kaca mata milik Sanda. Sena sebenarnya menyadari keanehan itu tetapi dia tak ingin bertanya. Dia terlalu gugup dan takut Sessi akan terluka hatinya dan pergi lagi.

"Itu Elang!" Sanda berdiri dengan tergopoh-gopoh namun sangat riang. Dengan daster biru cerahnya, perempuan itu memancarkan sejuta kebahagiaan untuk bertemu suaminya lagi.

Sena dan Sessi pun ikut berdiri, menyambut Elang yang keluar dari gate kedatangan dengan wajahnya yang cerah. Sanda sudah maju untuk menyambutnya, namun wajahnya berubah pias danmemundurkan langkahnya melihat sosok yang berjalan berdampingan dengan Elang.

Rasanya mual dan pusing, mungkin tekanan darahnya naik.

Elang masih tersenyum dan mendorong troley yang sepertinya terlalu banyak barang itu. Sena bahkan mengenali kalau sebagian bukan barang milik Elang.

Laki-laki di samping Elang masih menunjukkan kegagahan dan wibawa, orang itu memakai syall dan jas yang membuatnya terlihat serius juga dengan kaca mata bacanya yang tanpa bingkai itu.

"P'papi" Kata Sanda menahan diri.

"Sanda, anakku"

Sena dan Sessi terpaku melihat pemandangan itu, sementara Elang mengangguk kepada istrinya dan meyakinkan semua sudah baik – baik saja.

"Maafin Papi, maafin papi ya, Nak!" ujar laki-laki yang pernah mengusi Sanda dan mengancam Elang dengan pistol beberapa tahun yang lalu itu, saat semua huru hara terjadi.

Sanda tak mampu membendung air matanya, dia ingin memohon ampun sambil berlutut, meski tak semua adalah kesalahannya tetapi dia hanya menginginkan itu. Papinya yang jahat itu pasti lama kesepian, papinya yang jahat itu pasti hanya tak mampu mengendalikan diri, papinya yang jahat pasti punya rasa kasih sayang yang besar dan takut ditinggalkan sebagaimana perasaan Sanda.

Kedewasaan telah mengajarkannya, bahwa tak ada yang benar-benar gelap dan terang di dunia, hingga kita harus saling peka dan bijaksana dalam memandang sesuatu.

Acara maaf maafan pun berlanjut di sebuah restoran yang dipilih Elang.

Elang tahu Sanda memang sebenarnya selalu khawatir tentang ayahnya, beberapa kali dia diam-diam memeriksa keadaan orang tua itu. Namun beberapa waktu terakhir seiring banyaknya permasalahan yang terjadi Sanda pun kehilangan jejaknya. Papi telah menjual rumah di Kota J dan entah pergi ke mana.

Elang mengetahui keresahan Sanda, jadi sejak beberapa bulan dia mencari keberadaan ayah mertuanya itu, ditemukannya di Kota P yang jauh di luar pulau di mana beliau mencoba memulai kehidupan yang baru.

Ayah Sanda sudah sepuh, dia hidup sendiri, Elang tahu mungkin akan sulit dia diterima, tapi nyatanya tak sesulit itu, berhari-hari dia tinggal dengan ayah mertuanya. Mereka berdua saling bertukar cerita. Bermalam di hutan berburu, bercocok tanam di ladang, mereka punya beberapa interest tentang benci ibu kota padahal ibu kota adalah hal yang disukai Sanda.

Akhirnya ayah tetaplah ayah yang merindukan putrinya. Dan di sinilah dia sekarang.

"Bolehkah papi tinggal sementara sambil menunggui kamu melahirkan, papi juga ingin melihatnya, kata Elang kamu punya satu kamar di rumah tapi kalau keberatan papi bisa ..."

"Papi bisa selamanya tinggal di rumah Sanda, Sanda mau denger papi ngomel, Sanda mau lihat papi yang menyebalkan setiap hari.."

"Papi nggak akan ngomel, nanti Si Uchok takut!"Ujar ayah yang telah berubah watak dan usia itu.

"Papi tahu Uchok?" Tanya Sanda

"Itu saya Om yang kasih nama!" Usul Sena yang baru saja menyantap potongan steak terakhirnya.

"Ah, kamu pasti Sena ya? Terimakasih sudah jaga Sanda selama Elang pergi"

Sanda menatap Elang dengan tatapan "You told him apa aja?"

Sena hanya tersenyum dan menyiratkan "Almost all"

"Dan kamu Sessi kan, jadi kapan kalian menikah?" Ujar Om itu

Sessi mendadak pusing tapi untung Sanda dan Elang tertawa.

***

Sepulangnya dari acara makan itu, Sena dan sessi memutuskan untuk pamit duluan, mereka ingin memberikan kesempatan kepada Sanda dan ayahnya untuk berekonsiliasi seperti yang direncanakan oleh Elang.

Sessi dan Sena berjalan di trotoar Ibu Kota dengan santai di hari Sabtu, Sena hendak mengantar Sessi ke stasiun sebab gadis itu memang tadinya berencana untuk pulang.

"Mas Sena tahu rencana Mas Elang?" Sessi bertanya tanpa melepaskan genggaman mereka.

"Tahu"

"Kok nggak bocor ke aku?"

"Janji laki-laki"

"Dih!" Ujar Sessi sambil mendorong Sena yang memakai jeans dan tshirt hitam serta cap hitam itu pun terkekeh.

Mereka terdiam sampai hampir sampai ke stasiun kota.

Sessi berhenti membuat Sena juga menghentikan langkahnya.

"Mas Sena, kalau misal aku mau cari keluarga papa aku, itu salah nggak ya?" Tanya Sessi

"Kenapa salah? Nggak pernah salah dengan yang namanya cari silsilah!"

"Tapi aku takut mengganggu, aku takut nggak diinginkan, aku juga nggak punya alasan kuat buat cari mereka, aku juga nggak mau jadi beban"

"Kamu cuma pengen tahu kan?"

Sessi mengangguk

"Aku tahu di mana mereka tinggal!" Ujar Sena santai

"Hah? K'kok bisa?"

"Rahasia laki-laki!"

"Sumpah ya Mas Sena, punya isu apa sih!" Sessi jadi kesal dan Sena terkekeh.

"Mau tahu nggak!"

"Mau!" Ujar Sessi nyaris mengeong seperti Michiko

"Tapi ada syaratnya" Kini Sena pura-pura jual mahal.

"Apa syaratnya?" Ujar Sessi serius sebab dia sangat penasaran.

"Menginap di apartemenku" Ujar Sena sambil berkacak pinggang di hadapan Sessi yang memiliki tinggi hanya sedadanya sehingga membuat pemandangan itu sungguh intimidatif.

"Oke!" Jawab sessi dengan cepat membuat Sena kaget sendiri.

"Eh beneran?" Tanya Sena keheranan.

"Benerlah! Tapi janji nggak ngapa-ngapain!"

"Janji laki-laki!" Ujar Sena mantap dan pasti meskipun sebenarnya dia tak yakin dengan godaaan ini.

Hasilnya jam 8 malam Sena sudah tertidur di sofa setelah meminum obat anti mabuk yang membuatnya segera mengantuk hingga tak sempat berpikir yang bukan-bukan.

Sementara Sessi semalam tak bisa tidur untuk membayangkan apa yang akan terjadi.

***

Namanya Yosef Garin Hernawan, teman-temannya biasa memanggilnya Garin. Dia seorang diplomat muda yang waktu itu bertugas di Inggris. Dia penggemar novel-novel Agustine Damairia. Mereka akhirnya bertemu, saat ada dialog mahasiswa di London. Agustine pun tertarik pada pemuda cerdas dan tampan kelahiran Kota J itu dan semakin terpikat ketika tahu bahwa Garin adalah kontributor anonim yang selama ini memiliki kolom tajuk rencana di sebuah surat kabar nasional yang selalu mengkritik pemerintah dengan keras kala itu.

Bisa dibilang, Garin adalah duri dalam daging pemerintah, itulah sebabnya dia "dibuah" ke luar negri alih-alih kecerdasannya dipakai untuk bidang lain.

Maka segalanya terasa mungkin dan cocok. Tine dan Garin pun menjalin hubungan serius selain kritik-kritik mereka yang tajam melalui tulisan dan berakhir di sebuah malam di Chelsea, sebuah wilayah di London utara, tempat favorit mereka untuk berkencan dengan liar dan bebas.

Keduanya berencana pulang secara terpisah ke tanah air untuk meminta restu pernikahan, Tine mendarat duluan, tapi Garin tak pernah sampai, tanpa pernah tahu bahwa ada individu yang mereka ciptakan saat berada di Chelsea.

Semua karena tulisan, kata-kata, rangkaian kalimat yang membara membakar penguasa.

Garin tak pernah pulang dan Tine seperti buronan, keluarganya hancur dan dia diasingkan di tepi laut, dan semua tahu cerita bertahun – tahun setelahnya.

"Mereka masih di Kota J? Mereka semua selamat?" Tanya Sessi ragu-ragu sambil mengamati sebuah alamat yang Sena dapatkan dari Rene setelah menjual jasanya untuk menemani perempuan gila itu ke sebuah pesta para bangsawan sebab laki-laki sewaannya yang bernama Muel mendadak izin untuk menikahi pacarnya yang hamil duluan.

Sena bahkan rela menggantikan pemuda bayaran itu demi mencari informasi tentang ayah Sessi yang dia prediksi akan penting untuk perjalanan cintanya kelak.

"Masih, nenek kamu namanya Ibu Soraya, dia baik dan punya sebuah komunitas untuk anak-anak disabilitas, kakak ayah kamu juga selamat, bahkan jadi anggota keluarga pilar perekonomian bangsa, jadi jangan khawatir" ujar Sena sombong akan hasil investigasinya.

"Siapa memangnya?"

"Wiranti Sumanjaya, istri Aditia Sumanjaya, SM Group, bayangin! Bibi kamu itu yang punya perusahaan tempat kita kerja!"

"What!" Sessi lega sekaligus menciut.

"Mas aku nggak jadi deh, pulang aja!"

"Loh kenapa?"

"Nanti aku dikira mau minta warisan, udah lah tahu mereka selamat aja aku udah seneng!" sessi benar-benar mau udahan dia berbalik dan Sena menahannya, sebab tempat yang mereka tuju jaraknya hanya beberapa meter lagi dari mereka.

Sena pun menarik tangan Sessi.

"Kamu nggak perlu memperkenalkan diri, Ibu Soraya sudah 80 tahun lebih, mungkin , ehm maksudku nggak semua manusia bisa berumur sepanjang itu dan nggak semua kesempatan langka bisa terulang, ayo!" Kata sena dengan teduh.

Gadis yang menguncir kuda rambutnya itu menarik nafas dan Sena menggandeng tangannya dengan lembut, menguatkan hatinya agar semua baik-baik saja.

Suasana sejuk sebab lingkungan ini memiliki pepohonan yang teduh. Hawa segar yang mahal di Ibu Kota, hanya orang-orang yang memiliki uang lebih memiliki privillige ini.

Salah satunya adalah Soraya Hernawan dan keluarganya yang tinggal di pusat kota. Rumah-rumah di jalan yang rindang itu sungguh besar-besar dan memiliki tembok yang tinggi seolah tak tersentuh dunia luar yang kejam dan asing.

Pajaknya begitu tinggi hingga banyak ahliwaris yang pura-pura melupakannya untuk menghindari pembayaran.

Namun Soraya tentu saja tak pernah khawatir. Putrinya, seperti yang diutarakan sena, kini sudah menjadi bagian dari keluarga terkaya di negara ini.

Namun bukannya dia tak pernah bernasib kelam. Putranya hilang dan tak pernah kembali, suaminya kehilangan jabatan. Putrinya dan keluarga kecilnya jadi bertahun-tahun tak bisa pulang sebab pasti akan mendapat berbagai permasalahan kalau tiba di tanah air, itulah sebabnya mereka lama menetap di Perth, meskipun menantunya dari keluarga yang sangat berpengaruh isue ini malah bisa menyulitkan semuanya. Keluarga itu kehilangan koneksi, dikucilkan dari pergaulan kaum yang tadinya selevel dengannya. Puncaknya suaminya harus menghentikan pengobatan ginjalnya sebab tak lagi memiliki uang. Dunia waktu itu boleh hancur, tapi seorang ibu tak boleh menyerah.

Soraya tetap bekerja sebagai dosen tanpa mempedulikan cacian, sedikit demi sedikit dia membangun kepercayaan diri putrinya untuk tetap fokus pada keluarga kecilnya, sementara dia di sini pun tak lepas dari teror dan dijegal apapun urusannya.

Namun,

Semua badai telah teratasi, meski luka tak pernah hilang.

Dia selalu bertanya, kapan akan bertemu putranya.

"Selamat sore, kami dari Culture Publisher" Kata Sena kepada seorang petugas yang duduk di meja sebelah satpam rumah besar itu.

Di rumah itu sedang ada acara rupanya.

Sessi hanya sedikit kebingungan ketika petugas itu memberikan id card untuk mereka berdua.

"Pengisi acara di sebelah sini" Kata seseorang yang sepertinya panitia.

"Ini acara apa?" Bisik Sessi tak mengerti

"Acara untuk anak-anak disabilitas Yayasan Soraya"

"Terus kita ngapain?" sessi tambah panik

"Kita ngewakilin Culture Publisher buat nampil di depan para tamu undangan dan menghibur anak-anak itu!"

"Hah! Mas Sena gila!" Sessi tambah panik "Emang kita mau nampil apaan?" Ujarnya gemetaran.

"Aku main gitar! Kamu nyanyi!"

"Eh... Hah gimana? Gimana nyanyi apa? Mas Gila ya!"

"Mau lihat nenek kamu nggak!" Bisik sena penuh penekanan.

"Nanti lihat di Google aja , ayo pulang!" Sessi berkeringat dingin.

"Eh enak aja! Bisa bisa Bu Sisca marah, semalem aku sendiri yang ngotot buat gantiin Upi sama Brian , saking senengnya aku gantiin Upi sampai tranfer 500 ribu , kan lumayan habis ini kita jajan!"

"Masak Cuma 500 ribu!"

"Brian 300!" Ucap Sena cepat

"Nah Deal oke , kita masih punya waktu latihan kan?"

"Masih sejam! Ayo!"

Sena mengajak Sessi ke sebuah ruangan yang memang dipersiapkan untuk para penampil bersiap. Beberapa orang dari perusahaan lain juga ada di sana, mereka semua merasa dijebak oleh kantornya untuk hadir di acara kemanusiaan ini. Males banget hari Minggu seharusnya para karyawan medioker ini santai-santai di rumah atau jalan-jalan ke mall malah disuruh kerja tak dibayar demi nama baik perusahaan di mata para sosialita.

Sessi dan Sena mempersiapan beberapa lagu anak-anak bernotasi sederhana yang pasti bisa mereka mainkan. Sena pun tak terlalu jago bermain gitar, Elang sampai capai mengajarinya, sementara Sessi bisa melakukannya, dia belajar gitar lama di panti asuhan dulu.

Satu satunya alasan sena juga harus naik ke panggung adalah untuk menemani Sessi yang ingin melihat neneknya secara dekat dan langsung di hadapan muka tanpa mencurigakan.

Tapi tetap saja keduanya merasa nervous, apalagi setelah tahu tamu-tamu yang datang bukan orang sembarang. Tapi Soraya meminta mereka semua duduk di belakang sementara anak-anak disabilitas tadi duduk di depan dengan kursi-kursi mungil warna warni bersama dengannya.

"Berikutnya adalah persembahan dari Culture Publisher, semuanya teriak yang meriah ya, untuk Kak Sessi dan Kak Sena!" Teriak MC itu dengan ceria, Sessi sedikit takjub sebab MC itu juga selebriti ternama ibu kota.

Sena dan sessi duduk di kursi masing-masing di panggung yang didekor ceria itu.

Dia melihat ke bawah, dilihatnya anak-anak itu, beberapa ditemani ibunya, ada yang menangis dan disuapi juga.

Sena berbisik, yang memakai korsase bunga poppy merah, itu Ibu Soraya, nenek kamu, yang di belakangnya, yang berwajah tegas yang sedang berbicara dengan bahasa isyarat itu bibi kamu.

Sessi mencoba menatap mereka, neneknya sungguh anggun dan berwibawa, selain itu dia memiliki kasih sayang yang besar untuk dibagi, juga sikap kemanusiaan yang tinggi. Ibu Soraya mengadakan acara ini untuk menghibur anak-anak itu, dia tak membiarkan anak-anak disabilitas jadi objek tontonan belaka seperti sirkus, mereka juga butuh dihibur, semua manusia kedudukannya sama.

"Boleh nggak aku nyanyi lagu lain dulu!" Entah keberanian dari mana, Sessi memutuskan untuk mempersembahkan sebuah lagu yang didalam hatinya ingin dia persembahkan kepada neneknya.

Neneknya pasti sepertinya, punya perasaan ditinggalkan, hampa, dan satu rongga kosong untuk otang yang disayangi, yaitu Garin, ayahnya.

Sessi memutuskan untuk menyanyikan sebuah lagu tentang seorang anak yang hanya ingin membuat ibunya bahagia dan membuatnya seolah selalu berjalan di hamparan bunga.

Entahlah Sessi tak tahu, mungkin ayahnya membisikinya.

Oh rewind, the more I go back the more sorry I am

To not surrender, you surrendered your young and gorgeous seasons

Look here, since it has bloomed beautifully

Even if I were to fall on the floor

I'll make sure that you only walk on the flower road

Dentingan dawai selaras dengan suaranya yang merdu, sudah lama sekali gadis itu tak bernyanyi hingga Minggu sore ini dia memukau semua orang. Bahkan anak anak kecil itu berlarian di dekat panggung berusaha memberikan bunga yang mereka pegang untuk Sessi.

Sena tersenyum melihatnya, kini saingan pengagum Sessi jadi lebih banyak, tapi dia tak khawatir sebab mereka anak kecil. Sebenarnya penampilan mereka sampai di situ saja, namun tiba-tiba, Mas MC kenamaan ibu Kota muncul dan memiliki Ide.

"Wah, semuanya suka Kak Sessi ya? Gimana kalau kakaknya nyanyi sekali lagi di bawah!" Mas MC bernama Indra itu mengode Sena untuk memainkan gitarnya dan mengajak Sessi ke bawah untuk mendekat ke anak-anak yang ceria itu.

Sena yang sedikit gugup kemudian bodo amat memainkan gitarnya yang kadang-kadang kuncinya salah itu, namun berjkat keceriaan Sessi dan anak-anak yang bernyanyi bersama para hadirin, itu tak jadi masalah.

Sessi sedikit gugup ketika anak-anak menariknya ke hadapan Bu Soraya dan mengajak "Oma Yaya" demikian mereka memanggilkan untuk ikut bernyanyi.

Mereka sempat beradu pandang dan ibu Soraya yang tak canggung dengan para bocah itu pun tersenyum hangat kepada Sessi yang kemudian membalasnya.

Selesai tiga lagu anak, semua pun bertepuk tangan.

Sessi lega, keinginannya sudah terpenuhi. Teringat kata-kata Sanda sehari yang lalu, probabilitas itu selalu ada, bagaimana tentang nasib manusia. Ibu Soraya dan anak perempuannya sudah berhasil mengatasinya, mereka berhasil mewujudkan probabilitas nasib baik mereka dengan usaha dan jerih air mata.

Acara sudah usai, beberapa panitia membagikan souvenier untuk pengisi acara. Semuanya pamit, Sena sudah tak sabar untuk membelanjakan 800 ribu yang didapatkannya dari teman-temannya untuk mentraktir Sessi.

Mereka sudah hendak pergi ketika seseorang dengan wewangian mahal masuk ke ruangan itu, semua orang menaruh hormat.

Itu Ibu Soraya, didampingi putrinya, Wiranti.

Mereka nenek dan kakak dari ayahnya.

"Selama malam" ujar Soraya lembut

Sessi dan Sena menjadi kikuk.

"Selamat malam ibu, terimakasih sudah mengundang perusahaan kami" Ujar Sena sambil menyalami keduanya dengan sopan, diikuti Sessi.

"Harusnya saya yang berterima kasih, diantara semua penampil kalian yang paling disukai anak-anak" Ujar Bu Soraya dan diangguki putrinya yang sudah punya 4 cucu itu.

"Kalian dari Culture Publisher?" Tanya Wiranti yang tentu saja mengenal anak perusahaannya.

"Iya Bu" Jawab Sessi

Kemudian perempuan yang tegas itu mengangguk sambil terus memperhatikan Sena dan Sessi.

"Siapa nama lengkap kalian, nanti bisa saya kirimkan ucapan terimakasih ke kantor!"

"T'tidak p'"

"Antasena Satria, dan ini Chelsea Da .."

"Ah tidak perlu untuk saya sudah senang kok!" Sessi memotong

"Chelsea siapa?" Tanya Bu Soraya mengernyit ingin tahu

"Chelsea ... saja, saya dipanggil Sessi" Ujarnya gadis itu sedikit gemetar, dia sungguh takut dikenali.

"Ooh, kalian pacaran?" Tanya Bu Soraya sambil tersenyum membuat putrinya menyenggolnya sebab itu pertanyaan privat.

"Iya, mungkin kami akan segera menikah" Jawab Sena tak malu-malu membuat kedua perempuan kaya itu mengucapkan selamat dan ikut senang sampai pipi Sessi memerah.

"Selamat ya, ah Nak Sena, pastikan kamu jaga Sessi, sebab sepertinya dia akan menjadi istri yang hebat" kata Ibu Soraya membuat Sena melirik jahil kepada Sessi yang malu.

"Kok ibu tahu ciri-ciri calon istri hebat?" Ujar Sena SKSD, tapi ibu itu sudah merasa nyaman dengan anak muda yang dinilainya baik itu.

"Lihat saja, dia cantik, seperti aku di waktu muda!"

"Mama percaya diri sekali!" Ujar Wiranti, anaknya.

"Hahaha selain itu dia sangat telaten dengan anak anak, kamu pasti penyabar"

"Dia juga tangguh dan tabah" Ujar Sena menambahi tanpa ragu.

"Sepertinya saya lega kalau kamu jadi suami gadis cantik ini" Tukas Ibu itu sambil tersenyum.

Keduanya pun berpamitan, Sena berjalan beberapa langkah di depan Sessi dan Wiranti meninggalkan ibunya untuk menerima telepon penting, saat itu hanya mereka berdua di ruangan itu.

"Sessi ..." Nenek itu memanggil, Sessi menoleh dan dipandanginya perempuan yang masih elegan meski menggunakan tongkat itu.

"A'anak saya ada satu lagi, namanya ... Garin, dia sangat suka lagu yang kamu nyanyikan tadi, dia juga sangat suka dengan Chelsea, y'yang di London sana, yang seperti namamu" Kata Nenek itu terbata.

"Ah, iya" Sessi tak bisa mengatakan apapun, dia rasa semua sudah lebih dari cukup, melihat anggota keluarga ayahnya baik-baik saja adalah cukup.

Keduanya tersenyum dan mengangguk, kemudian berpisah di ruangan yang sepi.

***

"Kenapa diam?" Tanya Sena dan mereka sudah berada di depan stasiun untuk mengantarkan Sessi pulang naik KRL, meskipun Sena sungguh tak ingin berpisah meski besok mereka akan bertemu lagi di kantor.

"Mixed feeling" Ujar Sessi setelah kenyang ditraktir makan all you can eat dengan uang dari Upi dan Brian.

"Mix fruit lebih enak!" Ujar Sena konyol

"Mas Sena! Komedi melulu deh!"

"Habisnya susah mau ngajak kamu serius, di NT in terus!" Kata Sena mencebik.

"Mas sena maunya apa sih!"

"Nikah sama kamu? Gimana mau nggak?" Ujarnya dengan nada kesal

"Ya amana ada orang ngajak nikah kayak ngajak tawur!"

"Terus harusnya gimana?" Sena tak mau mengalah

"Kalau di tutorial tik tok yang aku lihat, yang bener tuh ngomong ke keluarga dulu!"

Sena menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tiktok memang bodoh tapi kalau Sessi yang biacara itu bisa jedi sebuah aplikasi kebenaran untuknya.

"Ya kan tadi aku udah bilang ke nenek kamu! Beliau juga bilang kalau aku oke, denger sendiri kan!"

"Iya juga sih, tapi kan dia nggak tahu aku ini cucunya!"

"Ya anggep aja ngerti!" Sena balas mengeyelnya.

Kemudian mereka saling diam, sambil melihat papan yang menunjukkan kedatangan serta keberangkatan KRL.

"5 menit lagi keretanya datang, aku tap in dulu ya, sampai jumpa besok!" Ujar Sessi mengucapkan selamat tinggal.

"Ses!" sena meraih lengan Sessi dan meletakkan sebuah kotak hitam mungil di telapak tangan gadis itu.

"Aku sayang sama kamu, nggak harus sekarang kamu bilang iya, pakai aja kalau kamu udah siap nerima lamaran aku, hati hati ya!"

Sessi masih diam ketika Sena berjalan memunggunginya.

***

Butuh 45 menit untuk sampai di stasiun transit berikutnya.

Beruntung Sessi bisa menyembil dan duduk di antara kerumunan itu, maklum kereta terakhir.

Sessi membenahi letak ear pods nya, gadis itu mendengarkan lagu di sepanjang perjalanan sambil mengurai apa yang terjadi kepadanya hari ini.

Meskipun berkecamuk, dia lega setelah segalanya.

Dia lega sebab ada Sena yang membantunya melangkah menyusuri keraguan. Sessi jadi teringat, dengan kotak hitam tadi.

Dirogohnya kotak beludru itu dari dalam tasnya.

Dibukanya perlahan, sebuah cincin berlian dengan desain sederhana, namun indah, dilihatnya grafir di bagian dalam kotak cincin itu

"Journey End in lovers meeting"

Segala perjalanan akan berhenti jika kekasih bertemu.

Sessi tersenyum mengingat semua hal yang dilaluinya bersama Sena. Hal konyol yang mewarnai pertemuan awal mereka, kesalah pahaman aneh dengan teman kerja, ciuman rahasia di kantor, semua membuatnya terkekeh sendiri.

Sessi juga ingat bagaimana di saat saat yang buruk dan mereka harus berpisah tak baik-baik, dan hingga kini Sena masih bersamanya.

Bukankah mengakhiri perjalanan ini akan baik jika bersama Sena, sebab belum ada cinta yang dirasakannya sebesar itu sepanjang hidupnya.

Sessi memandangi cincin itu dan tanpa ragu memakainya.

Sessi memandangi jari manisnya dan membiarkan kilatan cahaya berlian itu berderak – derak seiring laju kereta yang akan membawanya pulang.

Sessi sedikit melamun hingga tertinggal orang-orang yang sudah mengejar kereta terakhir di stasiun transit berikutnya.

Dia hampir saja ketinggalan, sialnya gerbong sudah penuh.

Sessi pun sempoyongan mencari pegangan dan akhirnya berhasil menegakkan badannya, saat dia sedikit kaget dan memundurkan kakinya.

Laki laki itu kini berhadap-hadapan dengannya.

Tangannya juga memegang holder yang menjaga keseimbangannya.

Pemuda itu tersenyum cerah seolah hari masih pagi membuat jantung sessi berdebar-debar.

"Kalau ciuman di dalam KRL boleh nggak?" Bisiknya sangat pelan ke telinga Sessi.

"Ngapain Mas Sena di sini? Bukannya tadi udah pergi?"

"Ngikutin kamu! Aku taruhan sama Brian, kalau kamu mau pakai cincinnya di depan stasiun aku dikasih sejuta, kalau di dalam kereta 500 ribu!" Katanya serius, masih berbisik.

"Kenapa nggak bilang dari tadi, sekarang kita cuma dapat 500, sewa glamping buat honeymoon di gunung aja 750 sehari!" Balas Sessi.

"Yaudah lah, nanti kita camping aja!" Jawab Sena terkekeh sambil memandang kekasihnya yang sudah memakai cincin lamaran itu.

Sessi hanya memandangnya dengan senyuman dan wajah penuh syukur.

"Jadi out door apa indoor?" Tanya sena

"Apanya?" Jawab Sessi sok polos

"Camping di gunungnya!"

"Mas Sena!" Teriak Si Gadis dengan manja.

Malam larut, dua anak muda sedang dimabuk asmara di dalam KRL terakhir.

Pasti bukanlah akhir, tapi awal yang bahagia.

***

-Fin

Vomennya mana nih?

Baca cerita utuh Sessi dan Sena hanya di Karya Karsa @ Wineminaya

Dukung aku ya! Tengkyuuuu

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 126K 57
Ini tentang Jevano William. anak dari seorang wanita karier cantik bernama Tiffany William yang bekerja sebagai sekretaris pribadi Jeffrey Alexander...
50.2K 8.3K 23
lovers don't finally meet somewhere. they're in each other all along -rumi [jaehyun au]
38.8K 5.7K 23
Ketika hampir semua teman segenknya udah punya pasangan, sisa Joy dan 2 temen cowonya yg masih single. "Apa gw sama lo aja ya, Nu?" •96Line• Started...
106K 8.6K 36
Kisah seorang gadis cantik yang hidup penuh kasih sayang dari kedua orang tua nya dan kakak laki-laki nya,berumur 20 th pecinta Cogan harus bertransm...