Sepulangnya Marissa dari mall dia mengemudikan mobilnya menuju kediaman kakak kandungnya yaitu Marina, Marissa ingin menemui Miranda karena ada sesuatu yg ingin dia bicarakan pada Miranda setelah sebelumnya Marissa menghubungi ponsel Miranda tapi tidak aktif.
Dua puluh menit perjalanan mobil Marissa tiba di depan rumah Marina, Marissa segera turun dan tanpa mengetok pintu dulu Marissa langsung nyelonong masuk ke dalam. Saat Marissa sampai di ruang keluarga ternyata yg di dapatinya hanya asisten rumah tangga yg sedang bersih - bersih.
"Dimana Miranda?". Tanya Marissa angkuh.
"Nona Miranda belum pulang nyonya". Jawab sang asisten rumah tangga sambil menunduk hormat. Marissa mengernyitkan dahinya, tidak biasanya Miranda pergi tanpa pamit kepadanya.
"Kemana?, kalo kak Marina?". Tanyanya lagi menaikkan sebelah alisnya sambil melipat tangannya di depan dada.
"Tidak tau nyonya, kalo nyonya Marina beliau sedang berada di kamarnya".
Marissa berlalu begitu saja saat mendapat jawaban dari asisten rumah tangga Marina.
Marissa menaiki tangga menuju kamar Marina, saat sudah sampai di depan kamar Marina, dia mengetok pintunya sebentar sambil berbicara kalo yg di depan pintu adalah dirinya, Marina yg mendengar suara adiknya pun bergegas membukakan pintunya, Marina memang sengaja mengunci pintunya meski dia berada di rumah karena Marina tidak mau ada orang yg sembarangan masuk ke kamarnya.
"Tumben kamu kesini Sa, ada apa?". Tanya Marina sambil membuka pintunya lebar - lebar agar Marissa bisa masuk.
"Miranda dimana kak?". Tanya Marissa yg melangkah masuk dan duduk di sofa.
"Dia pergi jalan - jalan sudah seminggu lebih tapi belum kembali". Marina menghela nafasnya panjang, dia sedih memikirkan anak angkatnya yg tak kunjung pulang. Tidak biasanya Miranda seperti ini, jika memang dia bepergian pasti akan tetap mengabarinya meskipun telat, tapi sekarang sudah satu minggu lebih dia tidak bisa di hubungi dan Marina tidak tau dimana keberadaannya, Marina juga sudah menanyakan tentang Miranda pada teman - temannya tapi tidak ada satupun temannya yg tau dimana dia berada.
"Maksud kakak apa?". Tanya Marissa dengan nada tinggi, Marissa kaget dengan jawaban kakaknya.
"Seminggu yg lalu dia pamit mau keluar untuk jalan - jalan tapi biasanya kalo dia gak pulang itu mengabari kakak atau temannya yg memberi tahu dimana dia, kakak sudah mencoba menghubungi ponselnya tapi gak aktif, kakak tanyakan pada teman - temannya juga gak ada yg tau dimana dia pergi, bahkan kakak sudah mencarinya di tempat - tempat yg biasa dia kunjungi tapi nihil, dia tidak ada dimanapun". Jelas Marina dengan pasrah. Pasti setelah ini adiknya akan marah - marah gak jelas karena dinilai tidak bisa menjaga putri kandungnya, padahal dia juga yg sudah menyerahkan putrinya untuk di adopsi.
"Bagaimana bisa?, apa kakak tidak pernah bertanya padanya kemana dia pergi?, gimana kalo dia di culik dan jadi korban pelecehan di luar sana, apa kakak tidak mikir kalo seusia Miranda itu sangat rawan dengan kejadian seperti itu". Marissa langsung marah - marah pada Marina, padahal jika di telaah dari awal memang harusnya Marissa lah yg bersalah karena sudah menelantarkan Miranda dan membiarkan kakaknya mengadopsinya, harusnya sekarang Marissa tidak menyalahkan Marina karena bagaimanapun secara hukum Miranda sudah resmi menjadi anak angkat Marina, lagi pula belum tentu juga saat bersamanya Miranda akan tumbuh menjadi gadis cantik yg berkecukupan materi seperti sekarang.
"Kakak sudah tanya Sa, tapi dia hanya bilang mau jalan - jalan, Miranda gk pernah seperti ini sebelumnya, sekalipun dia tidak pulang pasti dia akan menelpon kakak". Kata Marina dengan wajah lesu, dalam hati Marina juga takut jika terjadi sesuatu yg buruk dengan anak angkatnya, Marina sangat menyayangi Miranda melebihi rasa sayang Marissa terhadap Miranda.
"Yasudah bagaimana lagi, mending kita lapor polisi saja agar bisa membantu kita mencari keberadaan Miranda". Kata Marissa yg beranjak dari duduknya.
"Kamu benar Sa, kenapa kakak tidak kepikiran dari kemarin untuk melapor ke polisi ya". Ucap Marina sambil menggaruk tengkuknya yg tidak gatal, sedangkan Marissa yg mendengarnya hanya memutar bola matanya malas. "Lebih baik kita berangkat sekarang Sa agar pencarian Miranda bisa segera di lakukan, kamu ke bawah dulu kakak mau ganti baju". Imbuhnya lagi. Marissa hanya mengangguk dan keluar dari kamar Marina turun ke lantai bawah. Marissa memilih menunggu Marina di ruang keluarga sambil menonton tv.
***
Setelah menempuh perjalanan yg cukup jauh, kedua kakak beradik itu turun dari mobil yg sudah terparkir rapi di halaman depan kantor polisi. Marina dan Marissa melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam, di dalam sana keduanya di sambut oleh polisi yg bertugas jaga di depan, setelah Marissa mengatakan tentang tujuannya datang ke kantor polisi, polisi itu mengantar Marissa dan Marina masuk ke dalam ruangan untuk di mintai keterangan lebih lanjut, kedua wanita paruh baya itu duduk di hadapan dua orang polisi yg salah satunya bertugas mencatat laporan dari yg bersangkutan.
"Ada yg bisa kami bantu Bu?". Tanya polisi berbadan tegap dengan name tag Budi santoso.
"Begini pak, kami datang kemari ingin membuat laporan tentang orang hilang, lebih tepatnya putri kami yg hilang sudah lebih dari seminggu dia tidak pulang". Ucap Marina sopan.
"Apakah sebelumnya ibu sudah menghubungi putri anda atau teman - temannya?". Tanya pak Budi Santoso.
"Sudah pak tapi ponselnya tidak aktif dan teman - temannya pun tidak ada yg tau dimana keberadaannya". Jawab Marina yg di angguki oleh pak Budi.
"Baik bu, ibu bisa menyebutkan ciri - ciri putri anda dan kapan terakhir anda bertemu dengannya biar rekan saya yg mencatatnya". Tutur pak Budi sambil menunjuk seorang polisi di sebelahnya. "Kalo ibu memiliki fotonya itu bisa lebih memudahkan kami untuk mencari keberadaan putri ibu". Imbuhnya lagi.
Marina yg mendengar penuturan pak Budi segera mengambil ponselnya di dalam tas, dia membuka galeri dan menunjukkan foto Miranda pada kedua polisi di depannya.
Kedua polisi itu terkejut saat melihat foto gadis yg selama ini menjadi buronan mereka terpampang di layar ponsel wanita paruh baya yg mengaku ibu dari gadis tersebut.
"Apa ibu yakin dia putri yg ibu cari?". Tanya pak Budi yg sudah bisa mengendalikan diri dari rasa keterkejutannya.
"Iya pak, dia memang putri saya, memang ada apa ya pak?, apa bapak mengenal putri saya?". Tanya Marissa yg penasaran dengan reaksi polisi di depannya ini. Marissa yg sedari tadi diam memilih buka suara saat melihat perubahan wajah dua polisi di depannya yg kentara sekali terkejut meski bisa di tutupi kembali dengan wajah tegas dan datarnya.
"Dia adalah buronan yg selama ini kami cari bu, putri anda telah melakukan tindakan kriminal dengan mencelakai seorang pria paruh baya hingga koma dan bukan hanya itu saja masih ada kejahatan lainnya yg bisa memberatkan tersangka". Ucap pak Budi menjelaskan.
"Tidak mungkin pak, putri saya tidak mungkin tega melakukan tindakan kriminal seperti yg bapak tuduhkan tadi, saya bisa menuntut bapak balik dengan dalih pencemaran nama baik jika putri saya terbukti tidak bersalah". Marissa ngotot membela Miranda yg di tuduh melakukan tindakan kriminal, padahal jika di telaah seorang polisi tidak mungkin dengan gampang menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti - bukti yg akurat. Marina yg mendengar itu hanya bisa terdiam dan sesekali mengelus lengan Marissa agar tenang.
"Apa bapak memiliki bukti - bukti kejahatan yg telah di lakukan oleh putri kami, saya ingin melihatnya sekalian surat penangkapannya, jika memang yg bapak ucapkan itu benar". Kata Marina tenang, Marina lebih bisa menguasai dirinya dari pada Marissa yg meledak - ledak emosinya. Marina berharap polisi di depannya hanya salah sasaran, bukan Miranda putrinya yg menjadi tersangka melainkan seorang gadis yg mirip dengan putrinya.
"Baik bu, ibu bisa lihat sendiri semua bukti - buktinya, dan ini surat penangkapan saudari Miranda". Ucap polisi yg duduk di samping pak Budi menyodorkan map yg berisi laporan dari wanita paruh baya istri dari selingkuhan Miranda. Polisi itu juga menunjukkan sebuah rekaman cctv saat Miranda melakukan aksinya mencelakai selingkuhannya.
Tubuh Marina gemetar dengan wajah pucat pasi, hatinya tersayat melihat betapa kejamnya anak angkatnya yg dengan tega ingin melenyapkan nyawa orang lain, Marina tidak menyangka ternyata putri yg selama ini dia besarkan dengan kasih sayang tumbuh menjadi perempuan jahat.
Berbeda halnya dengan reaksi Marissa yg terlihat lebih tegar dari kakaknya, tanpa sepengetahuan orang - orang disana Marissa menyeringai melihat rekaman itu, dalam hatinya Marissa berkata 'buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya ternyata putriku sangat menuruni sikapku dan kedepannya aku bisa menjadikannya partner untuk menguasai harta keluarga Mahawira dan menghancurkan orang - orang yg gila kekuasaan itu'.