Intermediate

By veysphere

150 53 0

"Tidak ada kata setara dalam sebuah cinta. Tapi jika itu syaratnya, maka aku akan menjadikanmu setara." - Jea... More

Prolog
Satu ; Pertemuan tak Sengaja
Dua ; Jean dan Empatinya
Tiga ; Kabar Buruk
Empat ; Masa Lalu
Enam ; Misya dan Dongeng
Tujuh ; Kepedulian
Delapan : Perjuangan
Sepuluh ; Dresscode
Sebelas ; Kejutan
Dua Belas ; Dinner dan Dansa
Tiga Belas ; Vanilla Latte
Empat Belas ; Kenangan
Lima Belas; Keputusan
Enam Belas ; Secercah Kebahagiaan
Tujuh Belas ; Tantangan
Delapan Belas ; Perjuangan Misya

Lima ; Janji Jean

8 4 0
By veysphere

Keempat polisi di sana datang tepat saat Sean akan mengarahkan sebuah pistol pada Jean. Aku terbelalak tak percaya, entah sejak kapan Sean menjadi kriminal seperti ini. Beraninya dia mengangkat senjata pada Jean. Namun, untungnya polisi dengan sergap menembakkan peluru ke atas langit untuk memberi tanda jika Sean harus menyerah.

"Turunkan senjata!"

Sean mengangkat tangan dan meletakkan pistolnya. Polisi berlari ke arah mereka dan memborgol Sean dengan cepat. Sementara aku berlari ke arah Jean dan menghambur dalam pelukannya.

"Pak, terima kasih sudah menolong kami."

"Sama-sama, Pak. Saya minta tolong untuk kalian nanti datang ke kantor polisi memberi penjelasan dan kronologi sebenarnya," pungkasnya sebelum pergi membawa Sean dari hadapan ku dan Jean.

"Kau akan kembali bersamaku, Misya. Ingat janjiku ini," ujar Sean penuh penekanan serta menatap tajam ke arahku sebelum akhirnya dia benar-benar pergi.

Aku menyembunyikan wajahku di balik dada Jean. Air mataku tak kembali turun dengan derasnya. Hari ini Sean kembali membuatku trauma. Diriku benar-benar ketakutan, dan Jean pun turut merasakan itu.

"Tenang Misya ... tenang. Kau sudah aman." Jean terus mengusap punggungku yang gemetar.

"Jean aku takut. Aku takut sekali," ucapku yang masih terisak dalam pelukannya.

"Aku di sini, Misya. Aku bersamamu dan tidak akan pergi dari mu. Kumohon kuatlah, Misya."

Jean terus mengusap punggung juga puncak kepalaku untuk sedikit menenangkan. Aku merasa jika ia beberapa kali menciumi puncak kepalaku. Hanya sedikit yang bisa kurasakan, karena jantungku berdegup kencang sebab perilaku Sean tadi.

Seluruh tubuhku lemas, kepalaku pening dan aku tak mampu lagi untuk berdiri. Mataku mendadak hitam, juga pendengaran tentang Jean beberapa kali menyebut namaku yang terdengar samar-samar.

"Misya bangunlah. Misya aku menyayangimu."

××××

Mataku seketika menyipit melihat sekeliling ku yang nampak asing. Pandanganku mengedar ke penjuru ruangan. "Rumah sakit?"

Tak kutemukan siapa pun di sini termasuk, Jean. Dimana laki-laki itu? Terakhir aku ingat betul dia menolongku, tetapi setelahnya aku tak mengingat apa pun lagi.

Kepala ku masih pening. Aku berusaha membangunkan diri. Namun, otakku serasa berputar. Pusing sekali. Aku kembali menidurkan posisiku seraya memegangi kepala.

Ketika aku berusaha menggapai sebuah tombol di bawah brankar untuk memanggil perawat, pintu terbuka. Memperlihatkan seseorang yang sedari tadi kucari keberadaannya. Jean Narengga. Sosok itu telah berganti pakaian entah sejak kapan.

Dengan outfit layaknya olahraga; kaos hitam polos dipadukan bersama celana training berwarna abu-abu semakin menambah kesan ketampanannya. Aku lebih suka Jean dengan penampilan rumahan seperti ini, terlihat, menarik.

"Jean kau dari mana saja? Aku pusing sekali."

"Hei, maaf. Aku tadi membelikan ini untukmu." Jean menyerahkan sebotol besar air mineral.

Kepalaku benar-benar berdenyut. Mungkin kurasa karena aku terlalu banyak menangis hari ini. Bagaimana tidak? Semua ini gara-gara Sean. Aku sampai harus berada di tempat yang tak pernah aku sukai semenjak kecil.

"Kau harus dirawat selama beberapa hari, Sya. Nanti aku dan Geena akan bergantian menjagamu di sini."

"Astaga, aku selalu merepotkanmu, Jean, aku malu. Tidak usahlah, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Kumohon pulang saja."

"Tapi Misya-"

"Jean," lirihku merayu Jean. "Kumohon, ya?"

Jean menghela napas berat. Mengangguk, mengiyakan permintaanku dengan tersenyum tipis. Akhirnya aku berhasil merayunya.

"Janji, kau harus on time minum obatnya. Makan juga jangan lupa, nanti aku jenguk beberapa kali bersama Geena atau karyawan yang lain."

"Tapi, Je. Itu merepotkan. Tidak us-"

"Siapa yang menyuruhmu menolak? Kau harus menurut apa kataku, calon istriku."

Kalimat terakhir Jean berhasil membungkam mulutku. Tercengang sekali mendengar perkataannya yang bahkan tak sedikit pun terlintas di benakku. Aku mulai bingung dan dilema dengan semua kejadian ini.

"Je, apakah kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu?"

"Aku masih kuliah," sambungku membuat Jean membisu.

Dia memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celananya seraya berucap, "Tapi bukan berarti tidak bisa menikah, kan? Kita akan menikah dan aku akan menunda untuk memiliki anak jika kita nanti sudah benar-benar bersama. Aku tidak mau kau lelah karena mengurus bayi dan juga tugas-tugas kuliahmu, aku akan berusaha memahami mu, Misya."

"Aku janji." Ia menyambung kalimatnya dengan tatapan tegas.

Mendengar perkataan dan tatapan Jean yang cukup meyakinkan membuatku pasrah. Tak mengerti harus berkata apa. Semakin aku berpikir tentang ini, semakin kepalaku sakit seakan dihantam sesuatu.

Akhirnya aku mengistirahatkan tubuhku dibantu oleh Jean. Sementara setelahnya ia izin untuk pamit karena mengurus administrasi kepulanganku. Jujur saja, aku berhutang budi banyak padanya karena Jean yang terlibat dalam masalahku sedari dulu. Aku merasa tak pantas untuknya.

××××

Kini Jean sudah membawaku pulang ke kosan tempatku tinggal. Dibantu oleh Geena dan satu karyawan laki-laki yang tidak kukenal namanya. Jean menungguku di sini sementara Geena dan temannya kembali ke kafe setelah mengantarku. Aku benar-benar beruntung memiliki Jean dalam kehidupanku.

"Jean ...," panggilku cukup lirih. Bahkan kurasa hanya telingaku saja yang mampu mendengarnya.

Aku terdiam kembali. Tak lagi memanggilnya. Jean masih fokus menghadap laptopnya dengan kacamata putih pemberianku sewaktu kita SMA dulu. Sungguh tak percaya, Jean masih menyimpannya. Sebenarnya aku ingin bertanya, tetapi Jean terlihat sangat sibuk, jadi aku hanya mengamatinya dari jauh.

Sesekali Jean melirik ke arahku, sambil beberapa kali mengangkat salah satu alisnya untuk menggodaku. Iya, tatapan Jean adalah kelemahanku. Dia tahu itu. Memang sial.

Sembari menunggu Jean selama beberapa jam, aku mendengar alunan musik klasik untuk merilekskan pikiranku sejenak. Sembari menatap wajah teduh Jean rasanya badanku berangsur pulih.

"Misya, aku sudah selesai. Mau ku belikan apa? Ini sudah waktunya kau minum obat."

"Tidak usah, kau di sini saja sudah cukup membuatku kenyang," ucapku masih fokus menatap wajahnya

"Maksudmu?"

"Eh, tidak, aku-" Aku terdiam, tersadar dengan ucapanku. Astaga, yang baru saja kubilang benar-benar terdengar ambigu. Jean pasti menganggap yang tidak-tidak. Ah, malu!

Jean menyeringai menatapku. Aku tahu pikirannya gampang terpancing pada hal yang buruk. Dia mendekat ke arahku yang masih terbaring di bilik selimut.

"Jean, stop!"

"Eh, kenapa? Aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Masih panas atau tidak."

Saat Jean berucap seperti itu, hatiku sangat lega. Napas ku kembali teratur. "Ah, begitu, ya? Maaf. Aku sudah enakan, kok."

Sepertinya memang pikiranku yang buruk, bukannya Jean. Oh, Tuhan. Untung Jean tidak berpikir macam-macam, Bisa dikeluarkan aku dari kos ini jika terjadi sesuatu antara aku dan Jean, batinku.

"Misya aku belikan bubur saja, ya? Atau sup? Kau suka sup?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Oke akan aku belikan setelah ini."

Entah dari mana datangnya pikiran ini, tetapi saat Jean hendak beranjak dari tempat duduknya untuk membelikan ku makanan, aku memanggilnya. "Je ...."

"Iya?"

Aku merentangkan tanganku penuh membuat Jean bertanya-tanya. Ia mengerutkan keningnya menatapku keheranan. "Apa?"

Pertanyaan Jean membuatku tidak mood seketika. Aku melengos ke arahnya dengan wajah kesal sambil melipat tangan. "Begitu saja tidak peka. Dasar laki-laki."

Tawa Jean memenuhi ruanganku seketika. Bisa-bisanya malah tertawa padahal tidak ada yang lucu dari semua ini. Aku sebal, dan dia tertawa. Benar-benar menyebalkan!

Kukira setelah itu Jean akan pergi, tetapi aku salah. Dia justru berjalan santai ke arahku, membantuku bangun, kemudian membawa tubuhku erat dalam pelukannya.

Jean berdecak, "Ah, dasar wanita. Bilang saja rindu atau minta peluk. Apa susahnya?"

Meskipun dia terlihat kesal karena ku, aku tak peduli. Yang terpenting adalah pelukan hangat dari Jean yang saat ini kudapatkan. Laki-laki ini selalu wangi, dari dulu.

"Sebenarnya aku tau, Misya. Tapi aku menunggumu saja yang langsung berbicara. Kukira kau jagoan karena mampu mengutarakan keinginanmu. Da, ya, ternyata kau cemen." Lagi, Jean berbicara penuh tawa meledekku habis-habisan.

"Aku adalah perempuan, dan aku bebas melakukan apa saja," tuturku bangga.

"Oh, begitu. Ya, sudah. Aku juga bisa," balasnya yang turut melepas pelukannya dariku.

"Ih, Jean!" Laki-laki itu berlari keluar seraya mengejekku dari jauh, depan pintu. Benar-benar kurang ajar!


~Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

215 79 9
Her name is Mydeline Niami. Adopted child raised with love. Her journey began when Mydeline was growing up. Knowing the secret that was revealed, Myd...
2.6M 151K 48
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...
847K 70.5K 34
"Excuse me!! How dare you to talk to me like this?? Do you know who I am?" He roared at Vanika in loud voice pointing his index finger towards her. "...
55.1M 1.8M 66
Henley agrees to pretend to date millionaire Bennett Calloway for a fee, falling in love as she wonders - how is he involved in her brother's false c...