182 Days

By Purplelight01_

3.8K 449 205

Karena perselingkuhan sang ayah, Ken dan ibunya terpaksa pergi dari rumah. Ia tidak rela melihat sang ayah me... More

Prolog
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Cast
Chapter 5
Chapter 6

Chapter 1

766 94 20
By Purplelight01_

Kyle membetulkan tas yang tersampir di bahunya, kemudian melenggang memasuki rumah. Jujur, pulang adalah hal paling memuakkan. Entah apalagi yang kali ini akan dibahas oleh sang mama.

Begitu masuk, ia mendapati sang mama tengah sibuk bertelepon entah dengan siapa, tetapi tampak begitu antusias bahkan bahagia hingga tawanya menggema memenuhi seluruh isi ruang. Melihat Kyle masuk, perempuan itu sempat menoleh dan Kyle hanya menganggukkan kepala, tidak ingin mengganggu. Siapa sangka sang mama justru memutus sambungan teleponnya.

"Kael."

"Iya, Ma?"

"Duduk sini."

Lelaki itu menghela napas, kemudian menghampiri sang mama. "Kenapa, Ma?"

"Kata gurumu hari ini kamu enggak fokus praktikum, bahkan enggak selesai. Kenapa? Kamu mikirin apa?"

Kyle sempat merasa senang karena kali ini apa yang dilontarkan mamanya berbeda dari biasa.

"Enggak ada, Ma. Agak capek aja."

"Mama, kan, udah bilang jangan mikirin apa pun kalau udah di sekolah. Fokus kamu, ya, cuma belajar. Apa jangan-jangan kamu punya pacar? Siapa? Bilang mama. Mama enggak suka ada orang yang ganggu fokus belajar kamu. Jangan kebanyakan main, keluar dari circle yang ngerusak kamu. Mama sama sekali enggak suka, tuh, sama Niki, Juan, atau Januar. Mereka cuma parasit di hidup kamu."

Kyle hanya tersenyum. Merasa tertampar oleh ekspektasinya sendiri. Memang apa yang dia harapkan? Selama ini sang mama bukan menyemangati seperti orang tua kebanyakan, tetapi mendorongnya hingga tersungkur berkali-kali.

Saat hendak menjawab, mamanya kembali bicara.

"Emang sesulit itu, ya, nyusul Ken? Dia pontang-panting cari duit aja masih bisa terus peringkat satu. Kamu yang udah dikasih hidup enak, enggak harus mikir, malah terlalu santai. Buktikan sama papa kalau kamu itu lebih baik dari dia. Mama malu. Mama banyak dihina karena kelahiran kamu, sekali-kali bikin mama bangga enggak bisa?"

"Iya, Ma. Aku bakal berusaha lebih keras."

"Gitu dong."

"Besok pelajaran apa? Belajar dari sekarang. Kalau ada tugas langsung dikerjain, terus dipelajari lagi, jadi kamu enggak sebatas capek tapi ngerti."

"Iya, Ma."

"Seragam kotor kamu simpan di keranjang, nanti diambil sama mbak."

"Aku ke kamar dulu."

"Jangan langsung tidur."

"Hm," sahut Kyle sembari melangkah meniti satu per satu anak tangga menuju kamarnya.

Sebenarnya Kyle lelah, tetapi ia tidak punya pilihan selain menuruti semua perintah sang mama. Apalagi setiap kali mereka bicara tak sekalipun mamanya lupa menyematkan kalimat, 'mama banyak dihina karena kelahiran kamu.' Padahal, Kyle tidak pernah minta dilahirkan. Dia hanya korban dari nafsu dan keserakahan orang dewasa.

Pemuda berkulit putih pucat itu bertukar pakaian, lantas menyeret kursi di depan meja belajar dan mengeluarkan semua buku catatannya. Masuk farmasi bukan keinginannya. Kyle lebih suka musik. Namun, menentang terang-terangan hanya membuat barang-barang kesayangannya berakhir di tempat pembuangan, seperti gitar kesayangannya kala itu. Sekarang, saat pulang cepat dia paling pergi diam-diam bersama sahabatnya sebentar sekadar nongkrong atau menyewa tempat untuk bermain musik.

Baru sekitar sepuluh menit Kyle membuka buku, tiba-tiba saja pandangannya kabur, kepalanya berdenyut hebat. Kyle menjatuhkan buku di tangannya, berganti memegang kepala. Sakit itu mulai begitu intens menyulitkannya. Bahkan, saat pingsan tempo hari sang dokter menganjurkan agar Kyle melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Entah beruntung atau tidak ternyata ia mendapat vonis kurang menyenangkan dengan sisa waktu yang menyenangkan karena sebenarnya ia tidak pernah punya alasan untuk hidup. Semua orang membencinya. Jadi, untuk apa dia bertahan?

***

Ken tersentak saat seseorang melempar botol air mineral dingin padanya. Dia menoleh, kemudian tersenyum melihat kehadiran pria paruh baya yang biasa menemaninya.

"Kamu enggak capek begini terus?" tanya laki itu sembari duduk di samping Ken.

"Ya capek, Om. Om juga, 'kan? Aneh kalau enggak. Patut dipertanyakan, tuh, manusia apa robot abad ke-21."

"Mentang-mentang om bulat kamu pikir Doraemon!"

Ken terbahak mendengar penuturan lelaki itu. Ia memang sudah cukup lama bekerja di tempat cuci motor ini. Tempatnya memang kecil, tetapi cukup ramai. Oleh karena itu, sang pemilik mencari seseorang yang bisa membantunya. Beruntung, Ken yang pertama kali melihat pengumuman lowongan kerja itu, meskipun sempat ditolak karena dianggap masih kecil.

Ken tak hanya bekerja di satu tempat. Sore setelah pulang dari tempat ini, dia melanjutkan pekerjaannya sebagai pramusaji di salah satu tempat makan sekitar rumahnya hingga malam yang khusus menyajikan Korean food.

Jika ada yang bertanya, dengan waktu yang sesingkat itu kapan Ken belajar? Ken bangun jam tiga dini hari, salat malam, kemudian belajar. Ia bahkan masih sempat membantu sang ibu menyiapkan dagangan untuk dititipkan di warung-warung, juga kantin sekolahnya.

"Om."

"Hm?"

"Om pernah enggak, sih, ngerasa marah dan benci sama manusia sampai rasanya semua yang dia lakuin itu salah. Mau dia benar sekalipun tetap buruk di mata kita."

"Pernah. Namanya benci, mau sebaik apa pun dia akan selalu terlihat salah. Kamu harus tahu kalau perasaan benci itu enggak cuma melukai dia, tapi menggerogoti kita dari dalam."

Ken tahu itu. Bertahun-tahun menyimpan perasaan benci dan dendam tak membuatnya lebih baik. Dia kesakitan setiap harinya mengingat semua rasa sakit yang mereka berikan. Apalagi, Ken bertemu Kyle bahkan sekelas dua tahun berturut-turut.

"Siapa yang kamu benci?"

Ken tersadar dari lamunannya, kemudian menjawab, "Om! Habisnya Om bawel banget. Kupingku sampai mau copot."

Tanpa diduga lelaki paruh baya itu menyemprotkan air hingga Ken basah kuyup. "Rasain. Bocah kurang ajar kamu, ya."

Pemuda bertubuh jangkung itu tertawa terpingkal-pingkal sembari berlari berusaha menghindari serangan. "Om ampun, Om! Aduh, basah. Kalau aku enggak masuk berarti masuk angin, ya."

"Masuk angin, kok, direncanain. Udah sana pulang. Ganti baju dulu sebelum kerja lagi."

"Siap!"

Saptadi tersenyum melihat kepergian anak itu. Mereka memang sudah cukup dekat karena Ken bekerja di sini pun hampir satu tahun lamanya. Ia sudah menganggap Ken seperti anaknya sendiri.

Ken bergegas pulangpulang karena kurang dari tiga puluh menit dia harus sudah berangkat kerja lagi.

"Assalamu'alaikum ibuku yang cantik."

Sabrina tersenyum. "Waalaikumsalam anakku yang ganteng. Kok basah-basahan, sih, Nak? Nanti masuk angin."

"Habis main sama Om Sapta."

"Kalian, tuh, kayak anak kecil aja."

"Ibu lagi apa?"

"Siapin bahan buat dagangan besok. Ibu udah masak. Kamu mandi sama ganti baju dulu nanti kita langsung makan sama-sama."

"Oke siap, Bos."

Tak mau berlama-lama, Ken langsung mandi dan ganti baju, kemudian kembali dengan seragam kerjanya.

"Nak, kamu pasti capek kerja sana-sini. Kamu boleh berhenti kok. Uang ibu cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah kamu. Kamu tinggal fokus belajar."

"Beasiswaku bisa dicabut sewaktu-waktu, jadi aku harus punya uang sendiri, Bu. Aku enggak mau bikin Ibu susah kalau sampai itu terjadi. Tapi, Ibu tenang aja sebisa mungkin aku bakal berusaha keras supaya tetap dapat beasiswa."

"Tapi, kamu capek. Ibu enggak mau kamu sakit, Sayang."

"Bu, aku kerja biasa. Tidur normal juga. Belajar dengan metode yang Ibu ajarin juga membantu banget, lebih gampang masuk karena jam-jam segitu cukup tenang. Jadi, Ibu jangan khawatir. Aku bakal bilang kok kalau enggak sanggup."

"Makasih, ya, Sayang. Makasih udah jadi anak ibu yang paling hebat."

Ken tersenyum. Pemuda itu mengikis jarak antara dia dan ibunya, lalu berkata, "Makasih udah tetap hidup, Bu. Makasih udah jadi ibuku yang paling hebat, hebat, hebat. Aku sayang Ibu."

"Ibu juga sayang kamu, Nak. Sayang banget."

"Pulang kerja, Ibu mau dibawain apa?"

"Enggak usah. Uangnya kamu simpan aja buat keperluan kamu."

Meski sudah bertutur demikian, Yumna yakin anak laki-lakinya itu pasti tetap membawa sesuatu saat pulang nanti.

Selesai makan, Ken langsung berpamitan pada ibunya dan berjalan kaki ke tempat kerjanya. Sebenarnya, Ken lelah, sungguh. Namun, orang-orang seperti mereka tidak boleh merasa lelah bukan? Jika lelah dan malas bekerja, mereka tidak akan bisa makan. Jadi, Ken berusaha sekeras mungkin agar bisa tetap makan dan sekolah dengan nyaman. Oleh karena itu, setiap hari ia merapal doa agar Kyle dan ibunya merasakan apa yang dia rasakan selama ini.

- Bersambung -

Maafkan aku kesiangan wkwkwkk.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 83.7K 45
"They say love is the most dangerous thing in the world." ✿ hanahaki disease ↳ In which the victim coughs up flower petals when they suffer from one...
1M 51.3K 27
And high up above, or down below When you're too in love to let it go But if you never try, you'll never know Just what you're worth HIGHEST RANKING:...
1.3M 98.1K 50
-JASUKE- In which a girl who thought she was the extra character that everyone used to get closer to the heather, not knowing that there were men...
1.4M 55.1K 90
"I'd never thought a girl would join our team. But I'm glad it was you." In where the secret 8th member of Enhypen turns out to be a girl named Lili...