HER LIFE - END (OTW TERBIT)

Galing kay ay_ayinnn

4.9M 263K 16.8K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... Higit pa

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 50

45.5K 3.4K 422
Galing kay ay_ayinnn

Part 49 ke hide kah kok kayak ngga ternotice gitu😔

Sebelum lanjut, ramein vote part sebelumnya dulu beb.

Masuknya licik gasi? mentang² mo di sad end-nin terus pada mls vote😭 cung dlu👈🏻

Yang tanya "endnya brp part lagi?" gais, kalo mau aku endingin di part ini juga bisa sebenernya...

Tapi berhubung pada DM minta dipanjangin jadi aku panjangin lagi, sekalian muter otak biar bisa happy ending😇🙏🏻

>>>
SEBELUM BACA VOTE DULU SAYANG

•••••

"I see the light," Elen.

🪔🪔🪔

Jam menunjukkan pukul 20.05 wib. Sudah saatnya Vanya menidurkan Elen sebab anak itu belum terbiasa tidur sendiri di kamar sebesar ini.

Selesai mencuci muka dan berganti baju, Vanya merebahkan diri di samping Elen dengan satu tangan sebagai tumpuan. Tangannya yang lain bergerak menaikkan selimut sebatas dada Elen agar pagi nanti anak itu tidak kedinginan.

"Mama, u-usap i-ni," Pinta Elen menunjuk kening. Sudah lama Elen tak merasakan tidur sambil di usap kening oleh Vanya.

Tanpa basa-basi Vanya mengabulkan apa yang putrinya inginkan. Elen tersenyum menatap Vanya yang juga sedang menatapnya dengan senyuman manis.

"Ma, bo-boleh Elen ta-nya se-sua-tu?" Ucap anak kecil itu, Vanya mengangguk membolehkan.

"Ke-kena-pa Mama sa-sama Papa ga-gak ti-tinggal sa-tu ru-rumah aja?"

"Kok tanyanya gitu?" Kening Vanya mengernyit.

Elen menggeleng, dia cuma mau tahu kenapa Mama, Papanya nggak kayak Mama, Papa orang-orang. Tinggal satu rumah, sarapan dan makan malam bersama, jalan-jalan saat weekend, Elen juga mau merasakan semua itu.

"Mama t-tau gak Elen la-gi pe-pengen apa?"

Vanya merasakan gelenyar aneh ketika Elen mengucapkan kalimat itu. Sebagai ibu, dia kurang memperhatikan anak ya? Sampai-sampai anaknya meminta izin untuk mengutarakan isi hati saat sedang berdua dengannya.

"Coba kasih tahu ke Mama semua yang Elen inginkan," Jawab Vanya masih sambil mengusap kening Elen.

Sepertinya benar, sejak berada di Jakarta Vanya memang kurang memperhatikan Elen. Dia yang biasanya tahu Elen lagi mau apa, sekarang sama sekali gak tahu.

"Ka-kalau aku bi-bilang, Mama ma-mau ber-u-sa-ha kabu-lin ke-ingin-an ku?"

"Emangnya Mama pernah gak berusaha kabulin keinginan Elen?" Sahut Vanya, Elen menggeleng pelan. "Elen mau apa, hm? Kayaknya berat banget mau minta ke Mama."

Elen mengalihkan pandang ke bawah. Dia takut Mamanya marah atau meminta Elen untuk mengganti topiknya.

"A-aku mau Mama sa-sama Papa sa-ma-sa-ma te-rus."

Vanya diam mendengar keinginan Elen. Berarti dia harus nikah sama Gavin ya?

"Mama ma-marah-an la-gi sa-sama Papa?" Lanjut Elen bertanya. Dia belum tahu apa itu artinya bersama-sama terus dalam sebuah keluarga.

"Ma?"

Lamunan Vanya buyar mendengar panggilan dari Elen, "Kalau keinginan Elen yang lain apa?"

"Mama ja-jawab du-lu per-tanya-an ku."

"Pertanyaan yang mana?"

"Ih, Mama ng-nggak deng-e-rin!" Elen menautkan alis kesal sebab pertanyaannya tak didengarkan oleh Vanya.

"Maaf, Elen, Mama denger kok. Kita gak lagi marahan, Sayang," Vanya kembali mengusap pelan kening Elen ke belakang.

"Te-rus ke-kena-pa gak ti-tinggal ba-reng? Aku pe-pengen di sam-ping sini a-da Papa," Elen menepuk-nepuk kasur sisi kirinya.

"Boleh Mama tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Ciee udah lancar jawabnya," Goda Vanya menoel hidung Elen. Bukannya masuk ke dalam candaan Vanya, Elen malah semakin kesal. Masih kebawa suasana tadi, dikira Vanya gak denger pertanyaan Elen.

"Kalau semisal nanti Elen gak bisa ketemu sama Papa lagi gimana?" Anak itu terdiam, lalu menggeleng cepat.

"Ma-u Papa," Manyunnya. Udah kesal, dibikin sedih lagi. Elen jadi merasa salah mengutarakan keinginannya.

"Eh? Jangan marah dong Sayang, Mama kan cuma tanya," Vanya mendudukkan diri lalu membawa putrinya ke dalam pelukan.

Elen ini sensitif sekali menyangkut Gavin. Vanya jadi bingung harus gimana. Di satu sisi dia sama Acel udah membawa kasus itu ke pihak yang lebih berwajib, disisi lain Elen masih membutuhkan sosok Gavin.

"Papa g-gak bo-leh pe-pergi. Mama ja-jangan bi-lang gi-gitu!" Sebisa mungkin Elen tahan agar tidak menangis.

"Iyaa, enggak sayangku, cintaku," Ucap Vanya menenangkan si kecil.

"Ka-kapan s-sih Papa pu-lang?" Bau-baunya Elen bakal lebih posesif lagi ke Gavin.

Seketika Vanya ingat kalau hari ini Adara telah memulangkan mereka. Dibukalah hp yang tadi sudah Vanya taruh di atas nakas.

Online.

Apa Gavin udah sampai rumah? Batin Vanya bertanya-tanya.

"Elen mau telepon Papa?" Tawar Vanya, Elen mengangguk sambil mengusap air mata.

"Ta-pi aku bo-bosen te-le-pon te-terus. Ka-kapan, Papa pu-lang, Mama?"

"Sabar sayang," Vanya mengusap-usap punggung Elen sambil mengetikkan sesuatu di hp.

•••••

Perjalanan kali ini cukup membosankan. Yang lain sudah pada tepar di dalam mobil. Tersisa Gavin, Juna, dan pak Supir yang tak bisa tidur. Gak mungkin juga sih pak Supir tepar, bisa ambles mobilnya.

Dua orang itu duduk di jok mobil paling belakang. Hanya ada mereka di belakang karena Farel duduk di samping supir, lalu di jok tengah ada Marvel dan Alex.

Marvel sama Alex ini harus duduk di kursi terpisah agar tenang. Makannya Gavin sama Juna mengalah dan memilih untuk duduk bersama di jok paling belakang.

Juna menyandarkan kepala pada kaca mobil bagian kiri, sedangkan Gavin kaca yang bagian kanan. Mereka sama-sama sedang menscroll beranda instagram sebab sudah  hampir 3 minggu tidak menjamah aplikasi itu.

Hening.

Namun tiba-tiba hp Gavin berdering.

Drttt... Drttt... Drtt....

"Silent, Vin," Gumam Juna memperingati.

"Udah gue silent, tapi buat Vanya gue gak bisa."

"Ceilah bang. Lo udah jatuh cinta banget ya ke dia?" Goda Juna melirik Gavin tanpa mengubah posisi tubuhnya. Udah posisi wenak bang.

"Dia cantik, siapa yang gak jatuh cinta?" Juna tertawa sambil menggeleng.

Gavin mendekatkan hp ke telinga. Hatinya tersentuh mendengar suara wanita yang amat sangat lembut dari seberang sana.

"Udah sampai rumah?"

"Belum, ini masih di mobil. Kamu jam segini kok belum tidur?"

Juna terkekeh geli mendengar Gavin bicara selembut itu dengan perempuan. Terlebih selama beberapa tahun ini dia tak pernah mempunyai hubungan bersama perempuan lain selain keluarganya sendiri.

"Papa-Pa-pa," Gavin rasa Elen baru saja menyerobot hp yang Vanya pegang.

"Eh ada Sayangnya, Papa. Ceritanya udah gak marah nih... kenapa, hm?"

"Gavin, gue geli denger lo ngomong kayak gitu," Bisik Juna langsung mendapat lirikan sinis dari Gavin.

"Maaf, maaf," Lanjut Juna kembali ke posisi semula.

"Papa nan-ti pu-lang ke-si-sini ya?? A-ku mau ti-tidur di sa-sam-ping Papa."

"Elen, kan, Mama udah bilang Papa gak bisa nemenin Elen malam ini," Penjelasan Vanya di seberang sana membuat Gavin terdiam.

Lagi ada sesuatu kah di sana?

"Ta-pi aku ma-u sa-sama Papa, Ma!"

"Princess, Papa gak suka denger kamu bentak-bentak Mama kayak gitu. Diajarin siapa sih?" Ucap Gavin pelan memotong perdebatan kecil putrinya.

"Papa ke-ke-sini... Elen ma-u sa-sama Papa. Papa ga-gak bo-leh pe-pergi ke-mana-ma-na la-gi," Rengek Elen kemudian.

Tahu putrinya semakin menjadi, Vanya mengambil kembali hpnya. Gini loh Elen tu. Pas kangen Gavin, Vanya langsung telpon laki-laki itu. Giliran udah diangkat, Elen malah merengek, memaksa kehendak harus ketemu Papanya sekarang juga.

"Besok kamu kesini aja. Aku sama Elen mau buat cookies." Ajak Vanya. Gavin langsung berbinar mendengarnya.

"Boleh? Kalau boleh besok aku ke sana."

"Ya boleh-boleh aja selama kamu belum dapat surat panggilan, kan?"

Jawaban Vanya reflek membuat Gavin berpikir dua kali. Surat panggilan apa? Sebenarnya dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi mendengar rengekan Elen membuatnya tak tega.

"Elen mana, Van?" Tanya Gavin lalu Vanya mendekatkan hpnya ke Elen lagi.

"Aku ga-gak mau ka-kalau Papa ga-gak ke-si-ni!"

"Iya sayang... Besok Papa ke sana. Tapi kalau Elen masih marah-marah ya Papa gak mau ke sana."

"Ta-tapi be-bener be-sok, Papa ke-si-ni?" Gavin mengangguk sambil mengiyakan putrinya.

"Ha-habis i-itu Papa ng-nggak per-gi la-lagi, kan?"

"Kenapa Elen tanya gitu? Kan Papa udah janji bakal kabulin semua yang Elen minta."

Elen diam, dia bingung harus jawab apa. Sedangkan Vanya hanya bisa menghela nafas pelan.

Apa keputusannya dan Acel salah? Tapi Vanya juga butuh keadilan. Kalau disini Vanya egois, dia harus melakukan apa agar tidak egois lagi?

"Gavin, Elen ngantuk. Teleponnya aku tutup ya. Besok pagi jangan lupa kesini."

"Iya Sayang--eh maksudnya, iya, Van. Besok aku ke sana. Mau dibawain apa?"

"Aku gak minta apa-apa. Kamu kesini aja biar Elen seneng."

Agak sedih diminta datang cuma buat anaknya senang. Maksud Gavin, membuat anak senang itu harusnya udah jadi kewajiban, bukan permintaan. Nah Gavin kira, Vanya udah bisa menerimanya sebagai laki-laki sekaligus Ayah kandung Elen.

Tapi ternyata belum sepenuhnya.

"Selamat malam, Vanya."

"Selamat malam juga, Gavin"

•••••

Kringgg.

Vanya masuk ke dalam kamar guna mematikan alarm yang sengaja ia setel untuk bangun di pagi hari. Walaupun dia selalu kebangun terlebih dulu sebelum alarmnya berbunyi.

"Elen, Elen, bangun. Coba lihat di bawah ada siapa," Vanya berusaha membangunkan Elen.

07.30 wib dan Elen belum juga terbangun.

Anak itu tidur begitu pulas, bahkan sampai mengguling ke sana kemari. Entah gaya tidur siapa yang Elen tiru, tapi tadi Vanya sampai hampir jatuh karena kasur dikuasai oleh Elen seorang diri.

Apa ini efek semalam Elen marah makannya jadi buas begitu?

Melihat Elen mulai membuka mata, Vanya berinisatif membantu putrinya duduk. Ya, Vanya tahu Elen masih sibuk dengan dunia fantasinya.

"Si-siapa?" Gumam Elen tidak jelas dengan nada khas anak kecil bangun tidur.

"Makannya bangun dulu. Cuci muka sama Mama oke?" Perempuan itu duduk di tepi kasur. Ia merengkuh pundak Elen lalu mengelus pelan lengannya. Membantu Elen yang tengah mengumpulkan nyawa.

"Ng-nggak m-mau!" Sentak Elen belum sepenuhnya sadar. Dia risih dielus-elus lengannya gitu.

Tok... Tok... Tok...

"Masuk aja," Jawab Vanya pelan.

Orang itu membuka pintu kamar Vanya secara perlahan. Dia masuk lalu mendekati kasur yang diduduki dua perempuannya. Vanya berdiri mendadak, kaget Gavin berani masuk ke dalam kamar ini.

"Papa!!" Girang Elen berusaha sadar seratus persen.

"Kok kamu disini?!" Pekik Vanya kaget, orang itupun tak kalah kaget.

"Kan kemarin kamu suruh aku kesini?"

"Ya iya, tapi kenapa masuk ke kamar aku sih?!" Dia mendorong-dorong bahu Gavin agar segera keluar dari kamarnya, namun sayangnya badan Gavin sama sekali tidak bergerak.

Kecil sekali tenaga Vanya.

"Tadi Papa yang suruh aku masuk," Ucap Gavin membela diri.

Mendengar kata Papa keluar dari mulut Gavin membuat Vanya menghentikan aksinya. Maksud dia, Charles?

"Apa?? Papa?? Kamu panggil Papa aku, Papa?" Laki-laki itu mengangguk tanpa beban. "KOK BISA?!"

"B-bisa aja," Jawabnya lalu meneguk saliva susah payah.

"MAMA! Ke-kenapa pu-kul-in Papa, s-sih!" Bentak Elen berdiri di atas kasur. Dengan nafas yang masih tak beraturan, Vanya memutar badan ke belakang.

Elen dengan rambut singanya itu menatap Vanya penuh amarah. Gavin sendiri malah cuma bisa terbengong ditempat. Gila, dibelain sama anak cuy.

"Ja-jangan pu-kul-pu-kul, Papa, huaaa!!" Rengek Elen menjejak-jejak kasur.

"Eh?" Beo Gavin.

"Liat? Kamu kasih Elen apa sih sampai segitunya belain kamu?" Sengit Vanya sebab tak ada pembelaan dari Elen untuknya.

"Hiks Papaaa!!!" Isak Elen mengangkat kedua tangan. Dia ingin digendong Gavin.

"Gak aku kasih apa-apa, Van. Beneran!" Tak mau kesalahannya dicari-cari lagi sama Vanya, Gavin berjalan mendekati Elen lalu menggendong anak itu dengan penuh rasa sayang.

"Cup, cup, cup, masa pagi-pagi Princess Papa nangis sih?" Gavin mengusap-usap punggung belakang Elen.

Bukannya menjawab, Elen malah mengalungkan kedua tangan kecilnya ke leher Gavin. Sebisa mungkin Elen peluk erat Papanya agar tak pergi-pergi lagi.

"Aku bawa keluar ya, Van?" Izinnya sebelum keluar dari kamar Vanya.

Sekarang, Vanya sudah bisa tak secemburu itu kepada Gavin. Kalau belakangan ini Elen lebih memilih bersama Gavin ya karena mau jungkir balik pun cinta pertamanya Elen cuma Gavin.

Sambil menggendong Elen, Gavin menuruni anak tangga secara perlahan. Ada Vanya yang juga ikutan turun di belakang mereka.

"Om, itu Vanya?" Tanya Juna melongo melihat Vanya setelah enam tahun tidak bertemu.

Mendengar Juna bertanya, Marvel, Alex, dan Farel mengikuti arah pandang laki-laki itu. Mereka sama-sama tercengang, secantik itu kah Vanya?

Charles yang sedang menemani mereka di ruang tamu ikut menoleh. Dibelakang sana ada Vanya mengekor di belakang Gavin.

"Van, kamu gak mau sarapan dulu?" Tanya Clara menghentikan putrinya agar tak mengikuti Gavin sampai ke ruang tamu.

"Nanti aja, Ma. Elen juga belum sarapan."

Langkah Gavin terhenti tepat di depan Clara, "Elen mau sarapan dulu?" Tanya Gavin sebelum pergi membawa Elen ke ruang tamu.

Anak kecil itu masih asik menempelkan kepala di pundak Gavin. Dia menggeleng lalu memperdalam menyembunyikan wajahnya.

"Kenapa?" Tanya Clara heran melihat tingkah Elen.

"Biasa, pagi-pagi yang dicari Gavin," Jawab Vanya sekenanya. Clara mengangguk paham. Sudah bukan sekali, dua kali Elen kayak begini, makannya gak kaget lagi.

"Gavin ke depan dulu ya, Ma?" Clara mengangguk.

Tapi di detik berikutnya dia baru sadar Vanya terus membuntuti laki-laki itu, "Van..." Kayaknya udah telat. Mereka baru aja melewati sekat antara ruang keluarga dan ruang tamu.

Clara berdoa semoga Vanya bisa mengontrol emosi didepan orang yang pernah menyakitinya. Walaupun itu mustahil bisa terkontrol dalam waktu sehari. Lihat saja sekarang, badan Vanya sudah kaku.

"Mbak! Mbak!" Teriak Clara.

"Iya, Nyonya?" Art itu datang mendekati Clara di ruang keluarga.

"Tolong ambilin air putih hangat buat Vanya," dia mengangguk lalu bergegas mengambilkan apa yang majikannya minta.

Di ruang tamu, Gavin menyumpah serapahi semua teman-temannya. Padahal tadi yang minta turun dari mobil cuma Gavin, sisanya diantar ke rumah masing-masing. Tapi kenapa mereka semua malah ngikut turun?

Gavin menoleh ke arah Vanya. Perempuan itu tak bereaksi sama sekali. Badan Gavin panas dingin memikirkan apa yang sedang Vanya pikirkan. Pikirannya pasti sedang mengulang memori buruk itu.

"Van," Tangan kiri Gavin yang menganggur bergerak menggenggam telapak tangan Vanya. Dielus lah pelan tangan lembut itu, terasa dingin.

"Ssttt, jangan pikirin yang gak perlu kamu pikirin."

"Van, mereka temen-temen kamu kan?" Ucap Charles. Bukannya bermaksud jelek, tapi Meera bilang, gak ada masalah kita memaksa Vanya bertemu dengan tokoh-tokoh dimasa kelamnya.

Kalau di percobaan pertama mental Vanya kembali turun drastis maka terpaksa Meera harus menghentikan percobaan kedua. Namun, kalau di percobaan pertama ada perkembangan dimana Vanya bisa meluapkan emosi tanpa berpikiran buruk, maka percobaan kedua bisa Meera lakukan setelah percobaan pertama selesai.

Ralat, kata mencoba itu harusnya tidak ada dalam kehidupan dokter. Sebab tugas dokter adalah menyembuhkan pasiennya sampai titik darah penghabisan. Itu tadi hanya sebagai bahasa gampangannya saja agar lebih mudah dipahami.

Genggaman tangan Gavin semakin mengerat. Hal itu dapat Gavin rasakan karena dia masih menggenggam tangan Vanya untuk memberikannya kekuatan

"Vanya, kami semua disini mau minta maaf. Kami tahu kelakuan kami tidak bisa ditoleransi dengan cara apapun. Tapi kami dengan amat sangat memohon, meminta maaf atas perbuatan kami pada masa itu." Ucap Farel menutup kedua tangan guna meminta maaf.

"Iya, Van, maaf udah kasar selama tiga tahun di SMA," Lanjut Alex menundukkan kepala.

"Kami harap, kamu mau nerima maaf kami," Lesu Marvel.

"Kami janji bakal terima apapun konsekuensinya, asal kamu beneran bisa maafin kesalahan kami, Van," Ucap Juna diangguki tiga temannya yang lain.

Mereka sedang dilanda perasaan bersalah. Lebih-lebih mereka juga mengingat perbuatan yang paling kasar ketika bersama Vanya kala itu.

Elen yang merasa disini ada banyak orang berdiri tegak. Dia memutar badan ke belakang. Ada banyak teman Papanya disini.

Melihat Elen menatap mereka semua penuh tanda tanya membuat Marvel ingin sekali menyapanya. Sayang kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk dia menyapa alias mengajak bocah itu bercanda.

"Keluar!!" Usir Vanya. Semua yang ada di sana kaget setengah mati. Termasuk Elen kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Gavin.

"Papa," Lirihnya.

"Gakpapa Princess, ada Papa," Gavin yakin Elen sedang mengingat kejadian di pasar malam.

"Tolong pergi dari sini, aku gak mau lihat muka kalian!!!" Teriak Vanya kemudian.

Clara datang bersama art yang ia mintai tolong dibelakangnya. Dia mengambil alih Vanya lalu membawanya masuk.

"Mama mereka harus pergi dulu!" Tegas Vanya. "Elen, ayo kita masuk."

Vanya berusaha mengambil alih Elen tapi Gavin tahan karena takut Elen malah kenapa-napa. Di samping Vanya, Clara menggeleng melihat apa yang sedang putrinya lakukan.

"Iya, mereka bakal pergi. Kamu masuk dulu sama Mama," Ajak Clara terus menerus.

"Nggak! Kalo mereka sakiti Elen gimana?!"

"Mereka gak bakal sakiti Elen. Kenapa mikir sampai Elen?"

"Mama, mereka tu bisa nyakitin siapa aja!"

"Itu cuma pikiran kamu. Mereka gak akan nyakitin Elen. Kamu percaya Gavin kan? Elen bakal aman sama dia. Gak mungkin Gavin sama temen-temennya nyakitin Elen. Ayo ikut Mama ke dalam."

"Vanya, ke dalam sama Mama dulu sana," Ucap Charles lembut.

"Papa kok jadi belain Gavin terus??"

"Gak ada yang belain Gavin," Charles mengangkat kedua bahu.

"Udah ayo, masuk." Clara terpaksa menyeret Vanya masuk ke dalam.

"Papa, ja-janji ya ga-gak a-kan ti-ting-ga-lin aku la-gi?" Ucap Elen tiba-tiba. Ketiga teman Gavin kecuali Marvel membeku di tempat.

Memang mereka pernah bertemu Elen sebelumnya. Tapi mereka baru ngeh sekarang kalau anak kecil itu kesulitan dalam wicara.

"Iya sayang, Papa janji."

"Gavin, anak lo..." Tanya Juna tak enak.

"Iya."




Bersambung.

17 3 24

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

146K 6.8K 42
Berhenti atau bertahan? Ketika lelaki yang kamu cintai, memiliki rasa untuk kakakmu sendiri? Ingin bertahan tapi tak mungkin Harus mundur tapi tak i...
3.8M 297K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
4K 543 55
Nata. Siapa yang tak mengenal Natania Amira? Model cantik yang terkenal di seluruh penjuru negeri. Seperti model-model lainnya, ia dibanjiri job untu...
514K 50K 48
Ardeo Mahendra. Wajah sempurna perpaduan Rio dan Tata. Cowok murah senyum yang terkesan genit dengan sejuta pesonanya. Remaja SMA yang suka sekali al...