BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

257K 43.3K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-37]

5.5K 1K 264
By embrassesmoi

Hatalla. 



"Ireni berangkat kerja..." Ya, 'kan? Sudah gue duga juga, sih. "Tadi, Ibu sudah ngelarang. Ayah juga bilang kalau dia butuh istirahat, tapi Ireni bilang kalau hari ini ada meeting penting sama direksi." Raut khawatir yang Ibu buat sejak gue sengaja pulang ke rumah Menteng siang ini masih melekat di wajahnya.

Seharusnya gue nggak usah sekaget ini juga, sih, karena selama perjalanan ke sini dari kantor Kominfo, gue juga udah mikir kalau Reni nggak bakal mau diem dan istirahat di rumah—seperti apa yang gue, Ibu, dan Ayah minta.

"Jangan dipikir berat-berat, La." Ibu menari tangan gue, membuat gue duduk di sebelahnya di sofa ruang tengah. "Ireni mungkin kepikiran kalau diem di rumah sama Ibu, makanya dia milih kerja. Ya, sama kayak kamu dan Ayah kalau lagi ada masalah larinya ke kerjaan," ucap Ibu memberitahu, mungkin Ibu sadar kalau gue sedang menahan emosi sekarang.

Mau dibilang marah juga sebenarnya gue nggak marah... Gimana, ya? I don't know how to express how I'm feeling right now. Gue lebih ke khawatir dan takut, sih. Baru dua hari lalu, gue menemukan Reni menangis keras di kamar kosannya setelah dia menghubungi gue dan meminta gue untuk datang ke kosannya tengah malam.

Cukup sulit waktu itu untuk tahu alasan apa yang membuat Reni menangis sekeras itu, sampai akhirnya—ketika Reni cukup tenang—dia memberitahu gue kalau keadaannya waktu itu ada kaitannya dengan Ibu Mita.

Don't ask me how devastated and guilty I felt when I found out, because I remembered being one of the people who advised Reni to speak with her mother, dan mendapati kalau semua ini terlalu sulit untuk dihadapinya—membuat gue ikut sedih.

Napas gue terhela kasar, bersamaan tangan Ibu yang bergerak menggenggam tangan gue. "Ibu barusan telepon Ayah, katanya mereka berdua lagi makan siang sama-sama di ruangan Ayah. Reni baik-baik aja, kok," kata Ibu, sepertinya dia berusaha menenangkan dan meyakinkan gue soal keadaan Reni.

Oke, tenang, La...

Jujur, gue sebenernya nggak masalah kalau Reni mau kerja, tapi gue cuma khawatir aja soalnya keadaan Reni terakhir kali waktu gue akhirnya membawa dia buat menginap di rumah Menteng karena gue udah nggak bisa lagi nemenin dia di kosan semalaman cukup mengkhawatirkan.

Ibu bahkan sampai nggak tidur karena ikut menjaga Reni yang masih aja menangis waktu itu, jadi waktu tahu kalau dia berangkat ngantor dan Ibu ngomong kalau Reni baik-baik aja—gue nggak bisa semudah itu merasa lega.

"Malam itu, Reni telepon Mamanya, ya, La?" Gue mengangguk, menatap ke arah bawah sambil mencoba menenangkan diri. "Dia itu masih kepikiran sebenernya, cuma ditutup-tutupi aja kemarahan sama kesedihannya."

Gue mendengar Ibu menghela napasnya kasar, "Pada dasarnya, ya, mau sebesar apa pun kesalahan Mamanya Reni, tapi Ibu percaya kalau Reni, tuh, masih menganggap Mamanya berharga. Mereka dari awal cuma hidup berdua dan cuma bisa bergantung ke satu sama lain." Cerita dari Ibu barusan gantian membuat gue mengembuskan napas kasar, merasai perasaan semacam apa yang mungkin dirasakan Reni akhir-akhir ini. "Reni cuma punya Mamanya, dia satu-satunya keluarga buat Reni and we can't deny that fact. Apalagi dari cerita Reni semalam, dia dibesarkan dari ketakutan-ketakutan Mamanya, soal Ayah Reni yang nggak pernah mengakui dia dan juga tentang keluarga Mamanya yang juga nggak pernah menganggap Mamanya dan dia jadi bagian keluarga mereka.

"Reni benar-benar cuma Mamanya sebagai keluarga, La. Dan, tiba-tiba sekarang dia harus dihadapkan situasi di mana Mamanya—" Suara decakkan Ibu terdengar, melengkapi kalimat yang nggak diteruskannya.

Makanya, gue bilang kalau Reni perlu bicara karena seenggaknya dia bisa meluapkan perasaan yang selama ini dia tahan sendirian di depan Ibu Mita—seseorang yang memang bertanggung jawab penuh dengan kondisi Reni sekarang.

I want Reni to be able to move forward without having to ask questions about her mother. I want her to be relieved after talking to her mother, whether the results are good or bad. At the very least, I want something to change about the problems Reni faces with her family.

Gue menyadari kalau genggaman tangan Ibu terasa semakin erat, nggak lama gue melihat senyum dan mata Ibu yang memerah waktu menatap gue. "Satu tahun mungkin akan jadi waktu yang singkat buat kamu dan Reni untuk menyelesaikan semua masalah dan menyiapkan diri kalian masing-masing, tapi, La, Ibu boleh minta tolong untuk temani Reni sampai dia bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan keluarganya? Tolong, ya, Nak.

"Ini bukan cuma soal Reni aja, tapi kalau semuanya nggak berubah—begini-begini aja—Ibu takut kalau kedepannya ini bakal mempengaruhi hubungan kalian juga." Ibu masih mengulas senyumnya, dan gue bisa melihat dengan jelas ada gurat penuh khawatir di kedua mata Ibu sekarang.

Without being asked, I had previously committed to doing all possible to make Reni happy and our relationship work. Cuma setelah kejadian beberapa hari lalu, gue tau kalau gue nggak bisa memaksa Reni karena kenyataannya semua ini juga nggak mudah untuk Reni selesaikan seperti kemauannya.

Setelah menghabiskan waktu makan siang bersama Ibu, gue kembali ke kantor bersama Rendi dan gue juga memutuskan mampir ke ATU meskipun gue nggak ada jadwal kerja di sana—bermaksud buat menjemput Reni sekalian.

Di kursi depan, Rendi tampak menolehkan kepalanya ke arah sekitar sebelum menoleh ke gue yang duduk di kursi belakang. "Ini kita di basement aja, Pak? Nggak mau turun dan masuk?"

"Nggak. Nunggu di sini aja," jawab gue dengan tatapan yang nggak lepas dari layar handphone di mana gue sedang bertukar pesan dengan Reni. "Kamu kalau mau turun, turun aja," kata gue asal.

"Saya... turun juga buat apa, Pak? Bapak mau pesan sesuatu memangnya?"

Nyaut mulu lo, Rendi!

Kepala gue mengangguk, "Mau pesan kamu supaya diam aja, sih, Ndi." Dan untungnya setelah jawaban barusan, Rendi nggak lagi bersuara.

Bukannya gue sensi ke Rendi, ya, tapi hari ini gue memang lagi nggak pengin diganggu. Pikiran gue lagi semrawut, dan berurusan dengan Rendi bisa memunculkan kemungkinan bikin pikiran gue makin amburadul.

Jadi, daripada nyautin Rendi, gue memilih fokus membalas chatting dari Reni sekarang.

Sayang 3
tapi kayanya aku lembur
gimana dong?

ya, gpp. aku tungguin di basement.
ini aku sama rendi

Sayang 3
nggak ngomel emangnya si rendi haha



Gue mendengkus, menatap ke arah depan—ke kursi yang diduduki Rendi tajam.






berani emang dia?

Sayang 3
hahahaha
ya udah deh, aku kerja dulu. aku usahain nggak lama-lama

santai aja, yang.
aku tunggu kok
semangat ya<3







Karena tau Reni lembur dan jam pulangnya nggak pasti, gue mengotak-atik iPad gue—membaca email dan mencicil beberapa pekerjaan sampai gue mendengar suara ketukan di kaca mobil di sisi kursi yang gue duduki.

Senyum gue terbit—nggak lama—sampai gue mendengar Rendi menyahut duluan sambil menurunkan kacanya, "Reni! Lo apa kabar? Astaga, udah lama nggak ketemu! Gue ada kali kirim pesan ke lo, tapi nggak lo bales sama sekali. Gila, boleh sesombong itu emangnya? Mau pulang, ya?" cerocosnya ke arah Reni yang kini bergerak mundur menjauhi mobil.

Kirim pesan? Rendi ke Reni?

"Baik. Lo apa kabarnya?" Gue menoleh ke arah Reni sambil menurunkan kaca waktu gue dengar dia malah menanggapi obrolan Rendi barusan. "Gue akhir-akhir ini lagi sibuk banget, makanya nggak sempat balas pesan dari lo. Iya, ini gue lagi mau balik. Lo ke sini ada urusan apa?" tanya Reni balik.

Dan seperti baru menyadari pertanyaan Reni barusan, Rendi langsung menoleh ke arah belakang, ke arah gue dengan gerak kepalanya yang dramatis. "Lagi nemenin Pak Hatalla...," katanya mendadak mengubah sikapnya yang tadinya santai di depan Reni.

Gue berdecak, urusan lo sama gue belum selesai—NGGAK AKAN SELESAI DENGAN MUDAH!

Tangan gue mendorong pintu mobil sampai terbuka, "Masuk, Rein." Gue lalu menggeser tubuh, membiarkan Reni masuk ke dalam mobil dan duduk di sisi yang tadi gue duduki—mengabaikan tatapan terkejut dari Rendi di kursi depan waktu dia menatap gue dan Reni bergantian.

"Sudah, ya, Pak? Ini berarti ke rumah Menteng dulu, ya, Pak." Di kursi depan, Pak Surya melempar pertanyaan.

Gue mengangguk, hampir menjawab pertanyaan Pak Surya saat Reni mendadak mengulurkan tangan—menyentuh sisi belakang kursi yang diduduki Pak Surya. "Langsung ke kosan saya aja, Pak."

"Kok, balik ke kosan?" Gue langsung menoleh cepat ke arah Reni. "Untuk sementara ini, kamu bisa istirahat dulu di rumah Menteng. Kamu sendiri udah setuju juga, 'kan, Rein?" tanya gue sambil mengingat-ingat janji Reni yang bilang kalau dia juga mau menginap di rumah Menteng bersama Ibu dan Ayah untuk sementara.

Reni tersenyum, dia nggak langsung menjawab pertanyaan gue. "Ini," katanya memberikan handphonenya ke gue.

Maksudnya apa, sih? Gue mengambil handphone Reni dan setelah mengetahui alasan kenapa dia meminta balik ke kosan, gue nggak punya alasan lain untuk melarang selain mengiakan permintaan Reni untuk kembali ke kosan.

Di sepanjang perjalanan, gue menggenggam tangan Reni erat dengan tatapan gue yang nggak terlepas sama sekali dari wanita yang tampak santai duduk sambil menatap ke arah jalanan lewat kaca mobil di sisinya.

Sederet pesan yang gue liat dari handphone Reni tadi membuat gue gelisah bukan main, gue juga antara percaya dan nggak percaya kalau Reni mau mengambil langkah sebesar ini ketika beberapa hari lalu gue melihat sendiri kalau Reni benar-benar down terkait masalah yang akan dihadapinya nanti—hari ini.

How could she make a decision in such a short time?

Was she sure about texting her mother to meet her today after work?

"Ini saya tinggal atau gimana, ya, Pak?"

Udah sumpek, bingung, masih ada pertanyaan semacam ini dari Rendi begitu mobil yang kami tumpangi berhenti di depan kosan Reni.

"Menurut kamu aja gimana?" tanya gue balik sambil menggelengkan kepala. "Saya sama Reni mau pulang naik apa? Kamu nyuruh kami jalan kaki?"

Nggak seperti biasanya, Reni malah mengulum senyumnya geli. Tangannya bergerak mendorong lenganku, menyuruhku untuk segera keluar dari dalam mobil. Setelah memelototi Rendi yang meringis menatap gue, gue turun juga dari dalam mobil dan bergerak membuka pintu di sisi Reni—menggandeng dan membantunya keluar dari dalam mobil.

"Are you sure you want to do this?" Oke, gue mungkin kedengaran plin-plan, tapi nggak tau kenapa gue malah gelisah waktu tau Ibu Mita bakal datang ke kosan Reni bat ngobrol sama dia. "I know, I sound annoying right now. But I'm really worried because just a few days ago, you were not doing well," lanjut gue, menggenggam tangan Reni dan berjalan pelan masuk ke dalam kosannya.

Genggaman tangan kami bergerak pelan, sementara Reni sempat melirik ke arah gue sebelum dia meluruskan pandangannya ke arah depan. "Honestly, I'm not sure why I want to do this," balasnya pelan, sementara langkah kami sekarang mengarah ke anak tangga. "However, the pain and tightness that I felt that night when I contacted her have not gone away until today. I'm still thinking about her, and I believe that talking to her as soon as possible will help to clarify things."

Gue lebih dulu mengambil kunci kosan dari tangan Reni, membantu membuka pintunya lalu menggandeng Reni masuk ke dalam.

"Aku sebelumnya bilang kalau aku nggak merasakan apa pun soal pemberitaan yang ramai diluaran sana, kan?" Kepala gue mengangguk dan bersamaan dengan itu gue mendudukkan Reni lebih dulu ke tepi ranjangnya. "It turns out I didn't realize I was so arrogant, and when I heard her voice and her apology last night..." Reni nggak melanjutkan kalimatnya, dia menghela napas panjang sambil mendongakkan kepalanya sampai tatapan kami bertemu.

"Whatever happens tonight, good or bad, I want to find out about my feelings first, and I don't want to force it. If it turns out that I'm not strong enough, I'll quit—even if nothing comes of it—and ask him to leave this place," lanjutnya, masih mengulas senyum tipis ke gue.

I'm not sure how to react, but all I can do now is support Reni.

Tubuh gue bergerak menunduk, dengan bantuan kedua tangan gue kepala Reni mendongak sampai kening kami menempel. "I didn't believe you'd do it so quickly; I assumed you needed more time, and I was more than prepared to wait with you. But, even now, it remains the same: I will be by your side, standing by your side as you face your issues one by one. Rein, I will be here to keep you company and ensure that you have the peaceful life you wish..." Gue berbisik sementara mata gue menangkap senyum yang diulas Reni sebelum gue mengecup keningnuya lama.

God, please listen to my prayers once more—the ones I constantly pray. Please make everything easier for Reni and strengthen her heart and steps in every situation she meets.

"Kamu nanti di sini aja, ya?" Kening gue berkerut waktu Reni buka suara waktu gue menjauhkan wajah kami, "I need you to stay with me here," katanya sambil menarik gue duduk di sampingnya.

Hah? Maksudnya ini Reni mau gue ada di sini waktu dia ngobrol sama Ibu Mita nanti, 'kan, ya? "Are you sure? Maybe you need some privacy to have a one-on-one conversation with your mother."

Gue sama sekali nggak keberatan juga nunggu di luar ataupun di mobil sampai Reni dan Ibu Mita selesai mengobrol nanti.

"Nggak. I want you to be here with me. I doubt I'll be able to do it alone," ucapnya, menggenggam tangan gue erat.

Karena Reni memohon dan gue juga nggak sampai hati meninggalkannya sendirian di saat Reni baru aja mengaku kalau dia nggak akan bisa kuat melewati semua ini sendirian—kepala gue mengangguk pelan, membuat senyum di bibir Reni terulas tipis.

"Thanks, ya, La." Setelahnya, Reni menyandarkan kepalanya di bahu gue. Dia juga merangkul lengan gue dengan kedua tangannya setelah melepas genggaman tangan kami. "Let's get back to our relationship now that everything that was holding me back is over. Let us consider the most significant aspects of our future preparations. It's just me and you." Gue bergumam singkat selagi gue memberikan beberapa ciuman di puncak kepala Reni. "After this, I plan to devote more time to myself. I want to prepare and steady myself, even if I only have a limited amount of time."

Meskipun semua masalah kami belum selesai, nggak tau kenapa gue malah merasa ringan sekarang. Mungkin ini ada kaitannya dengan peran Reni yang aktif di dalam hubungan kami, jauh berbeda dengan sebelumnya di mana gue cuma punya diri gue sendiri untuk mempertahankan hubungan gue dan Reni dulu.

Gue kembali mencium puncak kepala Reni sambil menganggukan kepala, "I'll do the same. Slowly, one by one, we will encounter and overcome problems and hurdles. After that, I will concentrate on myself and the progress of our relationship so that our plans for next year can be done." Reni menegakkan kepalanya, menolehkan kepalanya ke gue dengan senyum yang melebar. "Moreover, I can't wait to show myself worthy of being with you in the future."

"I also pledge to do my best for you and our relationship. I know I still have many imperfections, and there are many things I need to work on myself to be worthy of you and our relationship." Gue mengulas senyum ketika Reni mengecup pipi gue sekali—kilat.

Jujur, gue nggak pernah membayangkan kalau gue dan Reni—kami berdua—akan benar-benar ada di momen ini. Di momen di mana gue dan Reni bisa sama-sama berjuang dan menerima satu sama lain. Gue bahkan pernah berpikir pesimis waktu dengar Ayah memberikan persyaratan ke gue dan jangka waktu satu tahun yang diberikannya. Nggak usah gue, orang lain kayak sahabat-sahabat gue aja yakin kalau membujuk Reni—membuatnya sepaham dengan gue—nggak akan mudah.

But look at us now...

Tatapan kami bertaut lurus, apalagi setelah kami sama-sama mendengar suara ketukan dari arah luar pintu kosan Reni.

"Kamu duduk di sini." Melihat kalau Reni sempat terdiam membeku, gue akhirnya berinisiatif beranjak dari kursi dan membuka pintu kosannya lebih dulu.

Reni sempat melemparkan senyum tipisnya ke arah gue waktu gue sempat menoleh sebentar ke arahnya, sebelum gue melangkah mendekati pintu.

Dan, untuk pertama kalinya akhirnya gue bisa bertemu dengan Ibu Mita tepat setelah gue membuka lebar pintu kosan Reni. Dulu ini adalah satu-satunya sosok keluarga yang nggak pernah berani Reni kenalkan ke gue, dia selalu punya berbagai taktik agar gue tau kalau dia nggak ingin membahas soal orang tua tunggalnya itu.

"Selamat malam, Ibu Mita." Gue menyapa, mengulurkan tangan di depan Ibu Mita yang keliatan nggak menyangka kalau gue ada di kosan anaknya.

"Jadi, rumor yang saya dengar itu benar, ya?"

"Isn't that why you contacted me? I'm sorry that I couldn't greet you properly. Salam kenal, Ibu. Saya Hatalla." Karena ini pertemuan pertama kami, gue lebih dulu memperkenalkan diri.

Sama seperti Reni di beberapa kesempatan di mana dia kesal dengan gue, Ibu Mita cuma mengangguk singkat dan berjalan melewati gue untuk masuk lebih dulu ke dalam kosan.

Okay, I don't think this is going to be easy.

Nggak masalah, La. Toh, Ibu Mita ke sini juga buat ketemu sama Reni bukan sama gue atau kami berdua. Jadi, santai aja.

Gue menutup pintu kamar Reni, dan sebelum kembali ke arah ranjang di mana Reni dan Ibunya sedang bicara sekarang—mungkin—gue memilih berjalan menuju ke arah kulkas untuk mengambil minum dan gelas untuk Reni dan Ibu Mita.

"Mama nggak tau harus bilang apa..."

Oke, gue nggak bermaksud buat mengganggu momen pribadi antara Ibu dan Anak, apalagi sambil membawa dua botol orange juice dan dihadiahi tatapan terganggu Ibu Mita sekarang.

"Nggak usah repot-repot, tapi terima kasih banyak, La." Berbeda dengan Ibunya, Reni tampak lega menyambut kedatangan gue.

Reni membantu gue menaruh orange juice yang gue bawa ke atas meja nakas, sebelum dia ikut menarik tangan gue untuk duduk di tepi ranjang—bersebelahan dengannya dan berhadapan dengan Ibu Mita yang duduk di kursi yang berhadapan dengan ranjang Reni.

"Ireni..." Dari raut wajahnya, gue tau kalau Ibu Mita keberatan dengan kehadiran gue di tengah obrolan serius mereka berdua. "Kita perlu ngobrol...," ucapnya sambil menatap Reni dengan kedua matanya yang memerah.

Belum terlambat buat gue untuk keluar dan meninggalkan mereka berdua—Reni dan Ibunya—agar bisa mengobrol berdua, tapi gue nggak bisa pergi ke mana-mana setelah mendapati tangan dingin Reni menggenggam tangan gue erat.

"Kita ngobrol sekarang, kan?" jawab Reni. Nada dingin yang keluar dari mulutnya sempat membuat gue terkejut karena gue belum pernah mendengar nada seperti itu keluar dari bibirnya.

Di hadapan kami, Ibu Mita membuang napasnya pelan dengan tatapannya yang masih mengarah ke arah Reni.

"Ini Hatalla." Reni mengangkat pandangannya, membalas tatapan Ibu Mita selagi genggaman tangannya terasa mengerat. "Sudah 5 tahun kami pacaran, dan dia ini jadi satu-satunya alasan kenapa selama ini saya selalu menolak perjodohan yang sudah kamu atur." Ada yang menyesaki hati gue waktu mendengar ucapan Reni barusan, hampir sama dengan reaksi yang diberikan Ibu Mita. "Hatalla is also the one I destroyed; I almost lost him at the same moment I lost you."

Gue menggelengkan kepala, dan sempat melirik Ibu Mita yang melakukan gestur yang sama. "Nggak gitu, Ren..."

"During my five-year relationship with Hatalla, I only caused him pain when I believed I was the sole victim due to anxieties I kept to myself." Nada bicara Reni kedengaran bergetar, dari sisi wajahnya, gue bisa melihat Reni masih mempertahankan raut datarnya di depan Ibu Mita. "The anxieties you instilled in me as a teenager, the fears you shared with me in the hope that I would understand your agony and avoid the same destiny as you.

"Masih ingat, 'kan, seberapa seringnya kamu bilang kalau 'jangan hidup seperti Mama', 'jangan sampai kamu merasakan sakit yang sama seperti yang Mama rasakan.'"

Selama Reni buka suara, kepala Ibu Mita bolak-balik tertunduk. Sesekali matanya terpejam, dan tangannya mengepal erat di atas tas yang diletakannya di atas pangkuan. Semuanya terlihat jelas di mata gue sekarang.

Gue kembali menoleh ke arah Reni saat mendengar dia mendengkus pelan, "Could you imagine how horrible my life has been? I loved someone and hurt him, but I also hurt myself out of fear that it would not happen to me! Can you imagine how frustrated I was then?" Kali ini nada bicara Reni berubah sarkastik, dan masih sama seperti sebelumnya—Ibu Mita nggak memberikan respons apa pun.

"And the one who instilled that fear in me, who told me that we only had each other, and who told me that in this world, I just had her to call family, has also left me." Mata gue terpejam, sementara itu kedua tangan gue bergerak menggenggam erat tangan Reni di atas pangkuan gue. "How did that happen? Does this all make sense? She left me in the worst way I could have ever imagined. From her own lips, I knew that we had no one and that everyone close to us had left us in such a painful way.

"But she hurt me more than she had previously. She had the courage to do this to me. How could that happen?"

Rasanya hati gue ikut sesak mendengarnya.

Selain Ibu Mita, ini juga jadi yang pertama kalinya bagi gue mengetahui soal perasaan Reni seterang-terangan ini.

Dan begitu mata gue kembali terbuka, yang gue liat adalah raut penuh penyesalan Ibu Mita yang dibungkus bersama air mata deras yang mengalir dari kedua matanya.

Isn't it too late, though? After battering Reni and forcing her to confront all of these unexpected difficulties on her own, what precisely are the tears in her eyes now?

Reni sepertinya juga merasakan perasaan yang sama, dia juga sama bingungnya karena sampai detik ini dia masih bisa mempertahankan raut datarnya. "I don't care anymore; I don't want to hear your explanations, especially since you stated that you did all of this for my own good. Which one is good for me?" tanyanya, nggak melepaskan tatapan dari Ibu Mita yang masih duduk dengan kepalanya yang tertunduk. "Aku sebenarnya masih mau egois, itupun kalau kamu merasa bersalah, but I no longer want to... I want to let go of everything. I want to live a life of peace after all that has happened to me from childhood until now."

Dan untuk pertama kalinya setelah Reni bicara panjang lebar, Ibu Mita mengangkat kepalanya—dia menatap Reni dibalik air mata deras yang turun dari kedua matanya. "Mama salah... Mama memang salah." Kalimat itu lagi yang keluar dari bibir Ibu Mita. "Mama pikir ini kesempatan yang tepat. Mama mau memberikan kamu kehidupan yang nyaman, dan Mama—juga egois—karena berpikiran kalau dengan cara Mama sekarang, Mama bisa membalas rasa sakit hati Mama ke orang-orang yang menyakiti Mama dulu...," ucap Ibu Mita nggak jelas karena tertelan isak tangis kerasnya.

Gue merasakan tangan Reni semakin mengerat keras, jari-jari tangannya sampai berubah memutih. "By hurting me, is that what you mean? I don't understand at all what you mean by saying that you want to provide a comfortable life for me. I felt like everything was just right, everything was normal, and our lives were fine." Reni menyergah cepat, suaranya mendadak berubah serak. "That is how I feel, but it is possible that you feel differently. Maybe you're not happy, or, as you said earlier, you're so lured by your desire for revenge and the other perks of the Pramana family's offer that you're willing to let go of me, CLAIMING THAT IF I WERE DEAD, I'D NEVER BE ALIVE—IN A WAY THAT'S EVEN WORSE THAN WHAT THEY DID TO YOU!"

Dengan gerak cepat, gue menurunkan tangan Reni yang bergerak menunjuk Ibu Mita yang benar-benar terkejut mendengar teriakan ungkapan dari Reni barusan.

Napas Reni keluar nggak beraturan waktu dia menatap gue yang menggelengkan kepala. "Kita bicara baik-baik, Ren. Bisa, kan?" tanya gue, meminta Reni untuk menenangkan diri, sementara dari ujung mata, gue bisa melihat kalau Ibu Mita memperhatikan kami berdua.

Reni mengangguk, dia lalu memejamkan matanya seakan dengan cara itu dia bisa tenang.

"Karena Mama pikir Frederic bakal menggunakan kamu dan membongkar semuanya." Gue nggak salah dengar, 'kan, barusan? "Dengan cara itu, Mama bisa terlepas dari keluarga Pramana karena mereka sudah nggak punya lagi cara lain kalau Frederic benar-benar membongkar identitas kamu dan kebohongan Mama," kata Ibu Mita sambil menyeka air matanya.

Did I hear the right thing just now? Apa kalimat itu benar-benar keluar dari bibir seorang Ibu?

Gue masih menatap Ibu Mita penuh keterkejutan, setiap kata yang tersusun juga mendadak hilang saking nggak habis pikirnya gue mendengar sanggahan yang dibuat Ibu Mita barusan.

"Do you still have the heart to sacrifice me for your own sake and trouble?" Reni sendiri juga keliatan nggak percaya dengan apa yang didengarnya. "Bahkan buat terlepas dari keluarga Pramana, kamu masih juga mau nyakitin aku lagi?" Kepala Reni menggeleng pelan. "What's gone into you? Do you think the man who left you, abandoned me, and attempted to hide our existence from the world would readily fall into your petty trap? Do you think Frederic could not have solved this problem in any other way than by confronting you? Are you truly that naive?" tanya Reni berturut-turut, sama persis dengan apa yang gue pikirkan.

Gue jadi bingung dan juga sesak membayangkan bagaimana Ibu Mita bisa berpikiran kalau nama dan sosok Reni akan digunakan lawannya dan membuatnya terlepas dari keluarga Pramana, di saat dia sendirilah yang sukarela bergabung dengan keluarga yang dulu sudah membuatnya hidup susah.

Kalau tadi gue masih bisa menahannya, tapi sekarang rasanya gue benar-benar marah dan nggak habis pikir.

Ibu Mita kembali menangis, kali ini jauh lebih keras daripada sebelumnya. "Makanya, Mama sadar kalau salah sekarang, Ireni. Mama ke sini karena Mama mau minta maaf. Mama janji bakal memperbaiki semuanya—"

"Apa yang bisa diperbaiki?" Reni dengan cepat memotong ucapan Ibu Mita, lengkap dengan tatapan tajamnya. "Apa kamu bakal mengungkapkan sosokku ke media? That you've been lying to them? Would you do something like that?" Reni mendengkus, sementara gue lagi-lagi dibuat nggak bisa bicara apa-apa waktu Ibu Mita nggak memberikan respons apa pun. "Nggak, 'kan? Kamu nggak akan—"

"Kalau sekarang, belum bisa." Ibu Mita buru-buru menggelengkan kepalanya. "Nanti, kalau Mama sudah ketemu waktu yang pas, Mama bakal mengatakan semuanya ke media, Ren."

Gue bisa melihat raut Reni berubah mengeras, "Don't even mention my name in front of the media, let alone get me into the difficulties you've caused," ucap Reni dengan penuh penekanan.

Tangis Ibu Mita kembali pecah, dia bahkan sekarang mencoba meraih tangan Reni yang ada di genggaman tangan gue. "Ren... Ireni... Mama harus gimana, Ren? Mama harus gimana semuanya bisa normal, supaya kamu bisa memaafkan Mama..."

"After you decided to go to Pramana's family without consulting with me first. After you told everyone so firmly that your child died before she was born and after seeing you cry in front of so many cameras that day, I knew I could never forgive you. I don't know how long this will last."

Di dalam genggaman tangan gue, gue merasakan Reni mencoba melepaskan genggaman tangan kami—tapi, gue berusaha untuk menahannya. "You've left me, and I hope whatever you're doing with the Pramana family works out since you've come this far." Gue membebaskan salah satu tangan gue untuk mengusap punggung Reni, mengusapnya perlahan karena gue menyadari kalau napasnya mulai berantakan. "After this, I hope we don't cross paths again, and please stop bothering me and people around me. Focus on what you want to attain, and don't worry about anything else," kata Reni—menutup obrolan mereka cepat.

Suasana sempat berubah hening, gue cuma mendengar suara isak tangis yang dibuat Ibu Mita sementara Reni pergi masuk ke dalam toilet setelah dia menyuruh Ibu Mita untuk segera angkat kaki dari kosannya.

Tanpa mengatakan apa-apa—setelah menyeka air matanya—Ibu Mita berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu kamar Reni, dan di belakangnya, gue mengikuti perlahan.

"Saya..." Begitu melewati pintu kamar Reni, suara Ibu Mita terdengar pelan. Tanpa memutar tubuhnya menghadap gue, Ibu Mita sempat menghentikan langkahnya. "Saya titip Ireni. Tolong perlakukan dia dengan baik," ucapnya sebelum kembali melangkah untuk menuruni anak tangga.

Gue membuang napas perlahan, masih berdiri di depan pintu Reni yang terbuka—gue menatap ke arah anak tangga yang tadinya dilewati Ibu Reni.

Meskipun ini bukan masalah gue, tapi gue nggak bisa bohong kalau obrolan antara Reni dan Ibu Mita tadi membuat dada gue sesak bukan main.

Dari penjelasan Reni tadi, gue jadi benar-benar tau bagaimana hancurnya hati wanita itu meski dia mencoba menutupinya dan keputusan Reni untuk membuat gue ada di sisinya—dilibatkan dalam masalah yang ingin diselesaikannya—membuat gue nggak berhenti kagum dengan sosok Reni.

Perlahan, gue menutup pintu kosan Reni dan mata gue langsung bertemu dengan Reni yang baru saja keluar dari dalam toilet.

"Dia... sudah balik?"

Gue mengangguk sementar alangkah gue terjalin mendekat ke arah Reni, "Sini, Sayang." Kedua tangan gue melebar, menyambut Reni masuk ke dalam pelukan gue.

Dan untuk pertama kalinya gue merasa lega luar biasa mendengar Reni akhirnya menangis sekeras ini, bersama gue—di dalam pelukan gue.

"Cry as much as you want, because after this, I promise to bring a lot of happiness into your life. Cry as much as you want, because after this, your sadness will be paid off by the happiness that is waiting for you—waiting for us ahead."

Continue Reading

You'll Also Like

860 147 8
Tidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk men...
219K 9K 27
[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Aku mau kita cerai" Deg Sekali lagi cerita ini mengandung unsur 18+ jadi buat kalian bijak bijaklah dalam memilih...
KALENZO By sita_tata

Teen Fiction

53K 1K 44
"jaga baik-baik calon anak gue!!".bentak Kal pada istri nya anez. "ga!! gue ga mau hamil anak lo,gue akan gugurin kandungan ini". plak tamparan keras...
3.7K 774 10
Yayan Tanuwijaya yakin selama ini semua perempuan dengan mudah naksir padanya. Satu ketika, Yayan bertemu dengan Fralita Angkasa yang terang-terangan...