BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

314K 48.3K 19.5K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-36]

6.1K 1K 221
By embrassesmoi

Reni.

When was the last time Hatalla and I felt so awkward?

Mau diingat-ingat juga, kayaknya ini baru pertama kalinya kami merasa canggung seperti ini. Mungkin karena ini juga menjadi pertama kalinya aku dan Hatalla muncul berdua sebagai pasangan kekasih.

Sama sepertiku, Mbak Ririn juga nggak melepaskan perhatiannya dari Tyas, Dira, dan Dara yang masih terpaku diam menatapku—mereka benar-benar terlihat terkejut.

"Mereka masih napas, 'kan? Nggak pada ilang, kan?" bisik Hatalla yang masih bisa—bukan—maksudnya masih bisa kami—dengar ketika dia menatap ketiga wanita yang duduk bersebelahan di kursi seberang.

Mbak Ririn tertawa kecil, dia mengangguk—kali ini menatap Hatalla dan aku secara bergantian. "Terlalu shock kayaknya, tapi masih pada napas, kok, Pak."

Sebenarnya aku nggak berniat datang menemui mereka dengan cara seperti ini—bersama Hatalla, maksudku. Jadi, sudah dari beberapa minggu lalu kami memang sudah membuat janji untuk bertemu—menghabiskan waktu makan siang bersama—karena sahabat-sahabat Hatalla pulang ke Jakarta.

Aku mengiakan seperti biasa, toh, kami bertemu di hari Minggu di mana aku mendapat hari libur dari Pak Wijaya.

Nggak ada masalah.

Sampai tiba-tiba Hatalla bilang kalau dia mau mengantar sekaligus menemui teman-temanku. Karena perubahan hubungan kami dan juga janjiku yang bilang kalau aku akan merubah sikap dan cara pandangku soal hubungan kami, aku nggak punya pilihan selain mengiakan permintaan Hatalla.

"Memang mau sampai kapan disembunyikan lagi, 'kan? Toh, tahun depan rencana menikah kita juga udah jelas—semua orang sudah pasti tahu, termasuk teman-temanmu juga."

Apa yang dikatakan Hatalla memang masuk akal, tapi kalau mengingat pasangan yang aku sembunyikan itu adalah mantan atasanku sendiri—yang dulunya sering aku keluhkan di depan mereka—tentu semuanya berubah agak membingungkan, 'kan, ya?

Seperti sekarang ini contohnya.

Kecuali Mbak Ririn, aku dan Hatalla, semua orang yang ada di meja ini nggak memberikan reaksi apa-apa kecuali tatapan mereka yang terpaku ke arahku—membuatku bergerak gelisah, membuang tatapan ke sembarang arah sambil sesekali melirik ke arah mereka.

"Reni soalnya nggak cerita apa-apa, Pak." Mbak Ririn jadi satu-satunya yang memulai obrolan di antara kami. "Maksudnya, nggak bilang kalau Bapak juga ikut ke Amuz dan ikut makan siang sama kita," ucapnya dengan raut wajah geli.

I purposefully didn't say anything because I had been trying to suppress my worry on the way here.

Jadi, ya, begitu...

Hatalla langsung menoleh ke arahku, "Kamu nggak bilang ke mereka?" Aku menggeleng. "Reni mungkin lupa. Lagian, saya juga dadakan bilang mau ikutnya," terangnya, menyambung obrolan bersama Mbak Ririn—dia terdengar santai.

"Udah mulai go public, Pak?" Mbak Ririn sempat melirik genit ke arahku. "Soalnya, saya sering dengar selentingan dari Pak Narendra. Tapi, baru tahu ini—sekarang. Rada kaget dikit."

Sekarang, gantian aku yang menatap ke arah Hatalla yang menganggukan kepalanya. "Pelan-pelan, ke orang-orang terdekat kami berdua dulu aja," jawab Hatalla tampak tanpa beban. "Sama sekalian mau kenal dekat sama teman-temannya Reni juga," balasnya sambil menatap Tyas, Dira, dan Dara bergantian.

Ingin kenal dekat teman-temanku, ya?

Mungkin karena sebelum ini kami menyembunyikan semuanya dari orang lain, aku baru merasakan perasaan semacam ini ketika Hatalla mengaku kalau dia mau mengenal duniaku—lewat teman-temanku.

Mencoba menahan perasaan bahagia dan haruku, aku kembali menatap ke arah Tyas, Dira, dan Dara yang keliatan semakin terkejut. Mata mereka membelalak lebar setelah menukar pandangan ke satu sama lain.

Mbak Ririn tersenyum geli lagi, "Wah, berarti Bapak temen kita juga, ya, Pak? Bisa gitu nggak, sih, Ren?" Sekarang, Mbak Ririn menatapku sambil memangku dagunya. "Temanmu, teman Bapak. Gitu, Pak?" Lalu, Mbak Ririn mengarahkan tatapannya ke arah Hatalla lagi.

Kedua alisku terangkat ketika Hatalla mengangguk, wajahnya tampak santai—sama sekali tidak terganggu dengan ucapan Mbak Ririn barusan. "Bisa... Boleh...," balasnya di sela kegiatannya menuang air putih ke dalam gelas.

"Berasa mimpi, sih." Mbak Ririn bergumam pelan yang masih bisa aku dengar.

"Kenapa gitu?" sahutku cepat.

Kedua bahu Mbak Ririn mengedik bersamaan, dia menatapku dengan seulas senyum janggal—oh, I clearly made the wrong move... "Dulu, 'kan, tiap ketemu, kamu selalu ngeluh soal kerjaan, soal Pak Hatalla sampai nangis dan nekad mau pulang kampung segala, Ren. Inget, dong? Itu dulu udah jadian sama Pak Hatalla belum?"

Kepalaku menggeleng, sementara bibirku mengulas senyum geli.

"Oh, ya? Sampai nangis dan pengin pulang ke Malang?" Hatalla menyahut, ia sepertinya sangat tertarik dengan topik obrolan yang baru saja dibuka Mbak Ririn.

Dulu, aku masih ingat bagaimana besarnya perasaan bersyukurku ketika tahu Pak Werni memberikanku tawaran untuk bekerja di ATU—perusahaan pertambangan besar milik keluarga Adiwangsa. I cherished every moment there and worked hard to gather as much knowledge as possible before being transferred to work for Hatalla.

Awalnya aku berpikir kalau aku mendapatkan hasil dari segala hal yang aku usahakan setelah tahu kalau aku akan bekerja di sisi Hatalla, tapi setelah tahu kenyataannya—I have never gone a day without sobbing or whining. Rumor yang mengatakan kalau bekerja dengan Hatalla harus siap mental memang benar. I felt like I was in the military during my early years working with Hatalla.

Melelahkan, dan menyiksa batin.

Mbak Ririn sendiri keliatan begitu menikmati untuk membuka aibku di depan Hatalla, dia mengangguk dan melanjutkan, "Katanya dia mau cari kerja aja di Malang. Nggak pa-pa, asal nggak di sini dan nggak kerja sama Bapak," ucapnya memberitahu bagaimana tantrumnya aku dulu melawan ketantruman Hatalla saat kerja.

Duduk di sebelah Hatalla, aku memilih diam dan membiarkan Mbak Ririn mengungkap semua apa yang ingin diungkapkannya di depan Hatalla. I enjoyed the story just as much—it was like going down memory lane, when I used to loathe and love Hatalla at the same time.

Aku ikut mengangguk, "Dulu rasanya beneran kapok terima tawaran jadi personal assistant-nya Hatalla. Nggak kuat." Kepalaku sekarang menggeleng, membuat Mbak Ririn tertawa dan Hatalla mendengkus di sebelahku.

"H... Ha... Hatalla?" Tyas bergumam, ucapannya bahkan terputus-putus—menarik perhatian kami semua.

Oh, kecepetan, ya?

Mereka aja belum terbiasa dengan sosok Hatalla di sini bersamaku, dan pastinya mereka semakin nggak terbiasa waktu mendengar aku menyebut nama Hatalla tanpa Bapak—nggak seperti biasanya.

Aku sontak meringis, sementara Mbak Ririn menyahut, "Ya, manggilnya masa' harus Bapak? Kan, Reni sama Pak Hatalla pacaran. Gimana, sih?" Mbak Ririn lalu kembali meluruskan tatapannya, menatap ke arahku dan Hatalla. "Tapi, waktu itu aku bilang buat bertahan dulu, 'kan, ya, Ren?" lanjut Mbak Ririn kembali menyambung obrolan kami sebelumnya. "Selain karena sayang sama kesempatan dan usaha yang udah kamu dapat, aku juga tahu kalau Pak Hatalla udah suka sama kamu di awal-awal kamu kerja sama Bapak." Tawa kecil Mbak Ririn keluar di akhir kalimatnya.

Well, aku baru pertama kalinya mendengar ini dari orang lain, sih. Hatalla juga nggak pernah menceritakan semuanya secara detail soal bagaimana dia bisa menyukaiku dulu.

Makanya, setelah ucapan Mbak Ririn barusan, aku lebih tertarik melihat dan mendengar respons yang akan diberikan Hatalla.

Dan mengejutkannya, Hatalla dengan santai menganggukan kepala. "Kamu tahu juga, Rin?" Mbak Ririn menganggukan kepala. "Who are we trying to fool all this time?" tanyanya sambil menatapku.

Aku mengedikkan dagu ke arah depan, "Them."

Tyas, Dira, dan Dara masih juga belum memberikan respons apa pun sampai sekarang.

"Reni, sih, aktingnya oke banget, ya, Pak. Bukannya saya ngebela teman saya sendiri, tapi kalau diliat dari Reninya sendiri di awal-awal, tuh, memang nggak seberapa keliatan. Tapi, kalau Bapak—" Kepala Mbak Ririn menggeleng pelan. "—nggak bisa ketolong, sih, Pak. Reni nggak ada dikit, Bapak langsung kelabakan. Kalau ada Reni di dekat Bapak, mata Bapak cuma fokus ke Reni aja. Meskipun Bapak marah-marah, sorot mata Bapak ke Reni, tuh, malah kayak lagi sayang-sayangin dia. Jadi nggak singkron, bikin orang bingung."

Apa yang dibilang Mbak Ririn barusan sempat membuatku melongo sebelum tawaku keluar lumayan keras. Honestly, I didn't pay much attention to Hatalla since I was too busy with myself and how we might hide our relationship from others.

Sambil mendengar cerita dari Mbak Ririn, tangan Hatalla bergerak menarik salah satu tanganku dan menggenggamnya di atas meja.

Aku diam, membiarkannya. Di sebelahku, Hatalla tidak berhenti tersenyum, mungkin dia sudah menunggu momen ini sejak lama—momen di mana kami bisa percaya diri muncul di depan orang lain sebagai pasangan.

Hatalla ikut tertawa, "Itu kayaknya di awal-awal saya jadian sama Reni, deh," ungkapnya sempat mengejutkanku karena aku nggak mengira Hatalla akan seterbuka ini ke Mbak Ririn dan yang lainnya. "Jadi, saya punya metode akting marah-marah buat nutupin hubungan kami. It was strange, but I believe it worked because others knew I had a horrible relationship with Reni." Hatalla sempat mendengkus juga, mungkin dia nggak habis pikir dengan cara yang digunakannya dulu.

"Tapi, ternyata banyak orang yang tau duluan hubungan Bapak sama Reni..."

Aku dan Hatalla mengangguk bersamaan, menyetujui apa yang dikatakan Mbak Ririn barusan.

"Capek-capek nyembunyiin, akting segala macam—eh, orang lain ngetawain kita di belakang kali, ya, Yang?" Hatalla mendengkus sambil menarik satu per satu jari-jari tanganku.

Aku ikutan mendengkus ketika mengingat kalau ide bodoh untuk menyembunyikan hubungan kami itu berasal dari keinginanku—persyaratan utama kalau Hatalla mau menjalin hubungan denganku.

"Y... Yang?" Kali ini gumaman Dira yang terbata-bata membuat obrolan kami terjeda.

Isengnya, Hatalla malah mengangguk. "Iya. Saya manggil Reni Sayang, Yang. Gitu." Aku sempat berdecak, menarik tanganku yang digenggam Hatalla dan masih digenggamnya sampai sekarang. "Biar ilang sekalian mereka. Dari tadi abisnya nggak ngomong apa-apa. Kaget, sih, kaget. Tapi, apa nggak bahaya soalnya mereka belum respons apa-apa? Are you sure they're okay?"

Pertanyaan Hatalla barusan membuatku ikut menatap ke arah Tyas, Dira, dan Dara yang sejak tadi masih terdiam menatap ke arah kami berdua bergantian. Mereka baik-baik aja, kan?

Tatapanku sempat bertemu dengan mata Mbak Ririn, wanita itu mengangguk sambil mengibaskan tangannya. "Mereka baru bakal ngomong kalau Bapak sama Reni pulang. Tenang, mereka baik-baik aja, kok."

"Kaget, sih, saya." Hatalla sempat menatapku, sebelum menunjuk ke arah ketiga wanita yang duduk di seberang kami. "Mereka, 'kan, biasanya heboh banget. Berisik. Tumben, sekarang sepi gini. Padahal saya tadi udah menyiapkan mental untuk menerima kehebohan kalian, lah, kok, saya ternyata yang kepedean."

Tyas terlihat membuka dan menutup mulutnya cepat seperti ikan kehabisan napas, dia tampak ingin mengatakan sesuatu tapi juga terlihat ragu mengatakannya. "Bukan gitu, Pak... Begini, Pak... Jadi, Pak...," ucapnya terbata-bata sambil menarik lengan Dira yang duduk di sebelahnya.

Menggunakan tanganku yang lain, aku memukul paha Hatalla lumayan keras sampai membuat pria itu memelototkan matanya dan menatapku cepat. "Jangan dikerjain, La. Anak orang pada nangis ntar gimana? Kamu mau tanggung jawab?" ucapku penuh dengan penekanan, berharap Hatalla akan berhenti menjaili Tyas, Dara, dan Dira.

"Dibikin terbiasa." Hatalla menaikkan kedua bahunya. "Kedepannya, aku bakal sering ketemu mereka as pasanganmu, bukan atasanmu lagi. Kalau tiap kali ketemu Tyas, Dira, dan Dara begini terus, yang ada kamu bakal dimusuhin sama mereka." Pikiran absurd ini munculnya dari mana, sih? "Ini aku lagi coba pendekatan ke mereka, loh, Yang. Seharusnya kamu support aku, bukan malah nganggep aku tersangka yang bikin mereka mendadak nggak mau ngomong di depan kita kayak sekarang ini!"

...

Capek banget...

Setelahnya, aku lebih banyak diam. Bukannya mengalah, aku cuma mau melihat bagaimana cara Hatalla membuat Tyas, Dira, dan Dara terbiasa seperti apa yang dia bilang dan sombongkan tadi.

Dan, hasilnya...

Seperti yang sudah aku tebak sebelumnya.

"During this time, I have met several business partners and clients, used over a thousand marketing techniques to persuade clients, and completed countless business deals—tapi, kenapa buat bujuk teman-temanmu, aku bisa gagal begini?"

Hatalla merebut kunci kosan yang baru saja aku keluarkan dari dalam tas, dia membuka pintu dan mempersilakanku masuk lebih dulu.

"Ya, jangan disamain," sahutku setelah menaruh tasku sembarangan di atas ranjang. "Or can we conclude that your skills may have dropped?"

Aku melihat Hatalla mendengkus, dia meletakkan kunci di atas meja nakas. "If my ability really goes downhill, you won't be here with me, Dear," ucapnya sebelum berjalan memutar menuju arah kulkas. "Ini kamu nggak ada cemilan atau apa pun yang bisa dimakan gitu, Rein?"

Kedua tanganku terlipat di depan dada, memperhatikan bagaimana luwesnya Hatalla berada di kosanku sekarang. "Kamu masih laper, La?" Bukannya kita barusan balik dari Amuz, ya?

"Masih," jawabnya cepat dan singkat. "Soalnya tadi keasyikan ngobrol sama Ririn, sama kamu juga—jadi, makanku nggak banyak." Ia memutar tubuh, menghadap ke arahku sekarang.

"Mau pesan makanan?"

Hatalla menggeleng, "Nggak usah, deh. Nanti aja aku mampir makan sekalian balik. Kamu lapar? Mau pesan makan?" tanyanya balik.

Aku juga menggeleng, "Nggak. Aku udah kenyang." Aku masih diam berdiri di tempatku waktu Hatalla berjalan mendekat ke arahku. "Kamu mau balik sekarang?"

"Ya, nanti dulu, lah, Yang. Baru juga sampai, belum duduk, belum sempat minum—udah kamu suruh balik aja." Hatalla menatapku datar, dia lalu berjalan melewatiku dan merebahkan dirinya di ranjangku. "Abis ini... Aku masih mau ngobrol sama kamu. Masih kangen juga." Tangan Hatalla bergerak ke udara, memberikan gestur seakan menyuruhku untuk ikut menyusulnya.

"Aku juga kangen." Well, akhir-akhir ini bisa dibilang aku dan Hatalla sedang sama-sama sibuknya. Kami sudah satu mingguan ini tidak bertemu secara langsung karena kesibukan masing-masing. "Tapi, nggak gini juga caranya," ucapku sambil menggerakkan telunjukku—membuat Hatalla tertawa sinis.

"It's called reaping what you've been taught." Hatalla lalu bergerak bangkit dari atas ranjang bersamaan dengan pelototan mataku yang mengarah ke dia. Udah gila, ya? "Mau ngobrol aja di luar?" Meski begitu, Hatalla pada akhirnya berdiri juga dari ranjangku.

Akhir-akhir ini, aku dan Hatalla memang jarang menghabiskan waktu di dalam kosanku—seperti sebelumnya—kami biasanya duduk-duduk di ruang tengah lantai dua untuk mengobrol sebelum akhirnya Hatalla pulang di jam sebelas malam pas, atau bahkan bisa lebih cepat.

Melihat perubahan ini, jujur aku merasa bahagia dan haru karena aku tahu kalau Hatalla benar-benar mengusahakan segala hal untuk mewujudkan rencana kami sampai tahun depan.

Aku kadang masih suka ragu, dan takut tapi melihat bagaimana Hatalla hanya melihat ke depan membuatku akhirnya melakukan hal yang sama.

Don't look back; we both have wonderful things ahead of us. Itu adalah salah satu kalimat yang selalu aku ulang—untuk aku putar di dalam benakku—ketika ragu dan takutku kembali muncul.

"Aku mau ngasih tau ke kamu sesuatu." Sambil bergandengan tangan, aku dan Hatalla keluar dari dalam kamarku. "I was genuinely hesitant to tell you, but after discussing it with Father, I decided to tell you," katanya, menuntunku ke arah ruang tengah yang letaknya nggak jauh dari kamarku.

Tanpa perlu dikatakan, sebenarnya aku sudah punya beberapa dugaan tentang apa yang akan Hatalla coba diskusikan denganku sekarang.

"Soal dia?"

Hatalla langsung menghela napasnya kasar, "Iya. Kamu tahu dari mana?" tanyanya setelah kami duduk bersebelahan di sofa.

Aku mengeluarkan handphone dari dalam saku celana, menekan ke bagian menu panggilan tidak terjawab dan menunjukkannya ke Hatalla. "She always tries to contact me with a new number after I block her phone, but lately she's started sending me spam texts, and I'm guessing she's doing the same with you."

Kalau saja aku nggak mempertimbangkan kesibukan Hatalla, mungkin aku sudah menanyakan hal yang juga sudah mengganggu fokusku akhir-akhir ini.

Dan kekhawatiranku dibalas lewat anggukan kepala Hatalla, "Tapi, nggak sampai spam juga. Mama only sent me one message per week, asking if she could see me," ucapnya sambik memberitahukan pesan yang dikirimkannya lewat layar handphonenya yang sekarang dihadapkan ke depanku.

Entah kenapa aku selalu merasa terganggu ketika Hatalla menyebutnya dengan sebutan Mama, di saat dia sama sekali nggak tahu kalau orang yang dipanggilnya Mama itu dulu pernah dan mungkin akan menjadi salah satu rintangan dan penghalang di hubungan kami.

"Kamu balas?" tanyaku basa-basi karena sebenarnya aku tahu kalau Hatalla mengabaikan seluruh pesan yang dikirimkannya.

Kepala Hatalla menggeleng, dia masih memperlihatkan handphonenya di depan wajahku. "Nggak. Sebelum kamu ngebolehin." Hah? Mungkin karena Hatalla melihat raut kebingunganku, dia menurunkan handphonenya dan melanjutkan ucapannya. "Sampai sekarang kita, 'kan, masih belum ambil langkah apa-apa untuk masalah sama Mama. So, despite my desire to address the problem, I did not dare to make a move. You don't have to worry about me messing up since I won't do anything unless you give me permission," jelas Hatalla cukup panjang dengan tatapannya yang mengarah lurus ke mataku.

Aku menatap lama mata Hatalla, suasana berubah hening cukup lama. "Will this problem be a burden to our relationship in the future? Apa kamu—"

"Bukan." Hatalla memotong ucapanku sambil menggelengkan kepalanya. "I'm doing it all for you. I don't want you to feel burdened in the future because you haven't had an opportunity to speak with Mama or because you keep thinking about this problem, which has led your relationship to drift away as it is today." Tangan Hatalla terulur menyentuh sisi wajahku. "It's not for me, my family, or anything else. I'm only doing this for you, Rein..."

Pernah, aku berpikir sekali saat Hatalla mencoba meyakinkanku soal menyelesaikan masalah antara aku dan yang dia bilang sebagai keluargaku itu karena Hatalla takut kalau aku akan menimbulkan masalah kedepannya kalau aku nggak buru-buru menyelesaikannya sekarang.

It wasn't an awful thought at all, but it made sense given who Hatalla was and how powerful the Adiwangsa family was in the country.

Tapi, jawaban yang baru saja diberikan Hatalla jauh dari apa yang aku pikirkan—sejauh aku mengenalnya.

Lagi-lagi—dalam diam—aku mengunci tatapan Hatalla, mencoba mencari keraguan di matanya, tapi nggak kunjung aku temukan. "Are you also on the side that believes that every problem needs closure, La?" tanyaku tiba-tiba.

Hatalla mengangguk dan menggeleng, "Ada beberapa masalah yang aku pikir memang butuh closure, but the rest I usually leave alone since I believe I can manage it and don't want to make a fuss or trouble myself by having to listen to and explain a lengthy explanation of something I'd rather forget." Aku mengulas senyum tipis mendengar jawaban Hatalla, dan sepertinya dia menangkap dengan jelas apa yang membuatku tersenyum. "Aku tahu, Rein... But will you be able to hold on to the future without hearing some kind of clarification? In your case, I think you need to hear an explanation and need closure. That's my opinion, ya.

"Ini Mama, loh, Rein. Salah satu orang yang berharga buat kamu—"

"Tadinya." Masih sambil mengulas senyum, gantian aku yang memotong ucapan Hatalla. "Sekarang—" Aku lebih memilih nggak melanjutkan kalimatku.

Mataku terpejam merasakan usapan tangan Hatalla yang mengusap pipiku lembut, "I realize it's difficult for you right now, but wouldn't it be far harder to simply accept everything without explanation or to make your own excuses to hurt yourself? Masalah ini nggak akan selesai dalam waktu sebentar, meskipun media nggak lagi menyorot mereka—aku tahu kalau keluarga Pramana nggak akan semudah itu buat menyerah, Yang."

Nggak lama, aku merasakan tubuhku ditarik pelan masuk ke dalam pelukan Hatalla. "Kedepannya kamu akan masih melihat sosok Mama yang nggak mengakui kamu, yang bakal terus membenarkan rumor soal Linda yang membuatnya keguguran dan Frederic Simons yang meninggalkan Mama. Are you confident you can handle it all in the future? I'm not asking you to solve all of these problems because I respect your decision not to deal with them any longer—about you wanting to live a quiet life—but don't you want to give yourself a chance to feel relieved and truly be able to live a quiet life after meeting and releasing all of your sadness and anger to those who deserve it? I need you to express your feelings, which is why I asked you to meet with Mama.

"Kalian butuh bicara," gumam Hatalla pelan di telingaku. "Aku nggak maksa kamu, Rein. Tapi, coba pikirkan semuanya baik-baik, ya, Sayang," katanya sebelum memberikan kecupan lama di sisi pelipisku.

Pikirkan baik-baik, ya?

Pikirkan baik-baik...

Untuk meluapkan perasaanku? Perasaanku yang mana?

"Ren? Ireni? Ini bener nomor Ireni, 'kan? Terima kasih sudah angkat telepon Mama, Nak."

Bukannya beberapa waktu lalu aku bilang kalau aku sudah nggak merasakan perasaan apa pun lagi, ya? Dan perasaan semacam apa yang aku rasakan sekarang ketika dengan sangat sadar aku menekan sederet nomor asing—yang aku tahu siapa pemilik nomor itu—dan menghubunginya begitu Hatalla pamit pulang dua jam yang lalu.

"Nak... Mama mau ngomong... Jangan diputus dulu, ya—jangan dimatikan—Ireni, Nak..."

Tangis ini bukannya tangis yang sama saat dia mengatakan kalau satu-satunya anak yang dikandungnya hilang di depan kamera wartawan, ya?

Bukannya aku bilang kalau aku sudah nggak merasakan perasaan apa pun lagi—

Salah. Aku salah.

Karena kalau aku sudah nggak merasakan apa pun, sudah seharusnya aku nggak menangis sekeras ini, 'kan, sekarang?

"Maafin Mama, Ireni. Mama salah... Mama sadar... Mama salah, Nak..."

Bukannya aku bilang kalau aku sudah nggak—

Somebody—Hatalla—please help me...

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 10.9K 6
THIS BOOK IS NOW A PREVIEW It wasn't the color of his eyes, or how they were hooded and look almost half asleep, everything took on life as long as s...
63.2K 1.7K 34
"Evil? What is that? Who gives more shape to history? The good, who adhere to the tried and true? Or those who seek to rouse beings out of their conf...
4.7M 154K 76
When good girl highschooler Ellie falls in love with an ex-convict, old family secrets come back to haunt them and keep them apart. ...