PENGASUH

Autorstwa Cratelius

150K 13.8K 1.2K

[Completed] Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu caba... Więcej

Note;
Prolog
1
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
End

3

4.6K 365 24
Autorstwa Cratelius

'Kepala' keluarga Davidra

*


Kathrina membuka kelopak matanya yang masih terasa berat, perlahan ia mendudukkan dirinya dan bersandar pada headboard kasurnya. Ia melamun, mengingat mimpi-mimpi yang menggelitik perutnya tadi malam. Bermimpi bahwa kemarin, dia berciuman panas dengan seorang gadis yang memenuhi tipe idamannya.

Kathrina mengedarkan pandangan dan menatap pantulan dirinya yang berada di cermin, ia menyadari bahwa ia masih mengenakan baju yang sama persis seperti yang dipakainya dalam mimpi. Oh, ternyata ciuman itu bukan mimpi. Bibir Kathrina sedikit tertarik keatas, menampilkan senyum manis nya yang bisa membuat para lelaki tergila-gila.

Ia kembali merebahkan tubuhnya, menutup wajahnya dengan bantal dan berguling ke kanan dan ke kiri. Wajahnya memerah mengingat rasa lembut bibir Gita yang bersentuhan dengan bibir miliknya, wajah datar dan polos dari gadis itu benar-benar membuat Kathrina gila. Dia menjadi rindu pada Gita, meskipun interaksinya dan gadis itu terbilang sedikit, namun ciuman dan obrolannya dengan Gita kemarin benar-benar intim. Membuat Kathrina menginginkan sesuatu yang lebih dari Gita.

Pintu kamarnya terbuka dari luar, Azizi masuk sembari mengerutkan keningnya menatap Kathrina yang masih berguling di atas kasurnya. "Lo demam, Tin?" Tanya Azizi sedikit cemas dengan tingkah Kathrina.

Kathrina segera bangkit dari tidurnya, menatap malas pada Azizi yang seenaknya masuk kedalam, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Punya tangan tuh buat ngetuk!" Tegurnya dengan nada sinis, bola matanya berputar saat Azizi hanya memberikan cengiran sebagai respon.

"Ngapain?" tanya Kathrina begitu menyadari Azizi duduk di sebelahnya. Perempuan itu menggeleng kecil sebelum merebahkan tubuhnya. "Gapapa, cuma bosan aja," jawab Azizi, matanya terpejam seolah ingin menumpang tidur di kamar Kathrina.

"Tin, rasanya jatuh cinta itu gimana?" tanya Azizi tiba-tiba. Membuat Kathrina menghela napasnya sebelum ikut merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya yang polos.

Mendengar pertanyaan Azizi mengenai jatuh cinta itu, membuat Kathrina menjadi teringat akan pesona gadis yang ia cium kemarin pagi.

"Gue nanya, Tin," lanjut Azizi, bertanya kembali karena tak mendapatkan respon apapun dari Kathrina. Gadis itu tertawa kecil lalu menolehkan kepalanya pada Azizi, yang matanya masih terpejam. "Lo jatuh cinta sama klien lo sendiri?" Tanya Kathrina, membuat Azizi membuka matanya dan melotot menatap Kathrina.

Gadis itu tersenyum tipis saat tubuh Azizi kembali berdiri dari tidurnya dan berjalan keluar dari kamar meninggalkan Kathrina sendirian. Gadis itu tertawa kecil, melihat adik seumurannya yang salah tingkah karena pertanyaan konyol.

Tak lama, Azizi kembali. Kali ini ia hanya berdiri diambang pintu sambil menatap Kathrina yang masih terbaring diatas kasur. "Iya." Lirihnya sembari menunduk.

Kathrina kembali tersenyum, ia duduk dengan segera lalu menatap manik coklat milik Azizi. "Ga cuma lo yang begitu."

-

"Hari ini kita dapat panggilan dari keluarga Davidra, mereka meminta kita mengawal anggota keluarga mereka selama acara pemakaman" ucap Gracia pada dua anak didiknya yang tengah duduk dihadapannya, mendengarkan penjelasan darinya dengan seksama.

"Darius Rayman Davidra, anak sulung dari keluarga Davidra." Sambungnya lagi sembari menunjukkan foto seorang laki-laki berusia sekitar 18 tahun. "Dan adiknya, Praja Mandiro Davidra. Mereka berdua adalah pewaris utama dari almarhum Devanko Davidra yang baru meninggal tadi malam."

Kathrina mengerutkan keningnya, menandakan ia memiliki pertanyaan dalam benaknya. Kathrina menatap Bu Boss nya, meminta interupsi baginya untuk bertanya. "Devanko Davidra meninggal? Tadi malam?" Tanya Kathrina atas penjelasan yang Gracia berikan tadi.

Wanita itu mengangguk, lalu mengutak-atik tabletnya dan menunjukkan sebuah berita yang menampilkan kapal pesiar tempat Kathrina menjaga Gita tadi malam.

'Kembali membuat heboh! Pemegang saham terbesar dari perusahaan X ditemukan tewas termutilasi bagian kepala di dalam kamar kapal pesiar. Bagian kepalanya menghilang tanpa jejak membuat polisi semakin gencar menyelidiki kasus ini-'

Gracia mematikan tabletnya, lalu menatap pada dua anak didiknya, berharap pertanyaan yang disampaikan oleh salah satu dari mereka terjawab. "Kita ga berurusan dengan pembunuhan ini, kita hanya perlu mengawal anggota keluarga Davidra selama acara pemakaman. Itu saja, tidak lebih,"

"Acara pemakaman akan berlangsung besok pagi, jadi malam ini kalian sudah harus berada di kediaman mereka. Itu saja, silahkan bubar!" Titah Gracia lalu mengibaskan tangannya, memberi isyarat pada dua anaknya untuk segera keluar dari ruangannya.

Kathrina menutup pintu ruang rapat, lalu berjalan bersama dengan adiknya menuju ruang tengah. Mereka duduk disana lalu menyalakan televisi, jemari Sello dengan gesit mengganti saluran, mencari suatu acara yang bisa menghibur mereka berdua.

"Kakak kenapa?" Tanya Sello setelah meletakkan remote televisi dan mengambil setoples keripik pisang diatas meja. Kathrina menggeleng, manik matanya terkunci menatap berita yang disiarkan di televisi.

"Cape?" Tanya Sello lagi, tidak puas dengan gelengan kepala Kathrina. Gadis itu lagi-lagi menggeleng, membuat Sello menyerah bertanya. Kini atensi kedua orang itu fokus pada berita yang baru saja mereka bicarakan diruang rapat, berita kematian kepala keluarga Davidra.

"Kayaknya pembunuh nya punya hobi ngoleksi bagian tubuh korban juga deh, kak," Celetuk Sello sembari memasukkan keripik pisang kedalam mulutnya.

Kathrina terkekeh kecil, membayangkan Freya memajang kepala Devanko di kamarnya sebagai hiasan dinding. "Kalau kakak sih, bakal nguliti bagian bawahnya aja, kata orang-orang kan produk keluarga Davidra ga pernah gagal," jawab Kathrina lalu tertawa. Suasana hatinya mulai membaik karena pikiran keji dan kotorannya itu.

"Bagian bawah?" Tanya Sello kebingungan.

"Ohhh,"

Dengan cepat Sello menekuk wajahnya dan menatap kaget pada kakaknya yang masih tertawa. "IHHH!"

Lelaki itu menutup bagian bawahnya dengan bantal, lalu bergeser sedikit jauh dari kakaknya yang tak berhenti tertawa. Ia menatap ngeri pada perempuan itu, pasalnya ia tahu kalau Kathrina tidak bercanda dengan ucapannya.

"Jorok banget, masa mau ngoleksi kulit gituan," ucap Sello merinding membayangkan kakaknya menyimpan kulit sunat di kamarnya.

Gila, batin Sello.

Azizi datang, menghampiri mereka berdua di ruang tengah dan duduk disebelah adik bungsunya. Tangan kanan Azizi bergerak cepat menyerobot pisang kripik yang Sello taruh dipangkuan. Tentu saja gerakan tangan Azizi membuat anak itu melompat kaget, hingga toples kripik itu terjatuh berserakan dilantai.

"Yah, Sello! Jatuh semua kripiknya!" Protes Azizi pada Sello karena belum sempat memakannya.

"Lagian kenapa kakak langsung ngarahin tangan kakak kesini sih!" Protes Sello balik, anak itu tidak mau kalah karena Azizi lah yang membuat dirinya terkejut.

"Apaan sih? Lebay!"

Azizi beranjak dari duduknya, dan berpindah ke sebelah Kathrina yang masih tertawa melihat interaksi dua adiknya. "Tawa lo!"

Sello turun dari sofa, memungut kripik pisang itu dan membawanya kebelakang. Azizi menatap wajah Kathrina, gadis itu kini fokus menonton televisi yang masih menayangkan berita pembunuhan keluarga Davidra.

"Gue ketemu Freya," ucap Azizi.

"Oh, ya? Kapan?"

"Kemarin sore,"

"Dimana?"

"Bandara,"

"Ngapain dia?"

Azizi terdiam, ia mengangkat bahunya sekilas tak tahu harus memberikan jawaban apa. Ini jujur, tak ada yang ia tutupi.

"Kalian ngobrol?" Tanya Kathrina lagi, Azizi menggeleng kecil. "Gue cuma lihat dia sama kak Olla dari jauh," Lirih Azizi sembari mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan memeluk pahanya dengan erat.

"Terus, orang yang tadi pagi lo ceritain ke gue?"

Azizi merogoh saku celananya, mengeluarkan benda pipih dengan logo MI dibelakangnya. Jemarinya mengetuk layar ponselnya dengan cepat, lalu menampilkan sebuah foto seorang perempuan yang Kathrina kenali.

"Dia itu anak menteri, kan?"

Azizi mengangguk. "Anak menteri yang gue kawal kemarin," jawab Azizi, lalu kembali memasukkan ponselnya kedalam saku.

"Selera lo ga main-main ya, Zee."

"Kan lo gurunya."

-

"Kayaknya ini deh rumahnya kak," ucap Sello memperhatikan sebuah rumah megah berwarna putih dengan pagar yang tinggi mengelilingi.

"Kayaknya iya." Kathrina menginjak pedal rem, lalu menarik rem tangannya mengunci pergerakan mobil merah yang sedang ia kemudikan. Kathrina turun lalu menghampiri seorang laki-laki berseragam hitam tengah berjaga di depan gerbang. "Malam, ini rumah keluarga Davidra?" Tanya Kathrina pada lelaki berambut panjang terikat itu.

Orang itu mengangguk. "Mbak pengawal bayaran itu?" Tanyanya sembari memperhatikan Kathrina dari atas hingga bawah. Ia mengangguk, lalu mengeluarkan tanda pengenal miliknya yang baru saja di berikan Gracia sebelum mereka berangkat tadi.

"Langsung masuk aja, mbak! Mobilnya biar saya saja yang bawa kedalam nanti," silah lelaki itu sembari membuka gerbang kecil mempersilahkan Kathrina untuk masuk kedalam.

Gadis itu melirik kearah kaca mobilnya, mengangguk memberi syarat pada Sello agar segera keluar. Kathrina kembali membalikkan pandangan pada satpam itu, lalu memberikan senyum tipis padanya.

"Makasih ya, mas?"

"Tara, panggil saya mas Ara juga gapapa," ucapnya sembari melepaskan topi hitamnya, memperlihatkan gestur sopan saat mengenalkan diri.

Kathrina mengangguk, "makasih ya, Mas Ara. Oh ya, ini rekan yang bakal kerja sama aku, namanya Sello." Tangan Kathrina memegang pundak Sello, anak itu tersenyum lalu sedikit menunduk memberi salam pada mas Ara.

"Kalau gitu, kami masuk ya mas," ucap Kathrina sebelum melangkah melenggang masuk ke halaman rumah kliennya.

Rumah ini terlalu besar dan megah, untuk melihat bagian atasnya saja, mereka harus mendongak hingga membuat leher mereka terasa pegal.

Pintu utama rumah itu terbuka, seorang perempuan paruh baya keluar dan bergegas menghampiri mereka berdua. Matanya sembab, terlihat sekali habis menangis.

"Saya Melinda Davidra, istri Devanko Davidra. Saya yang meminta kalian berdua untuk mengawal kedua putra saya besok, selama acara pemakaman almarhum ayah mereka." Jelas perempuan itu dalam sekali tarikan napas.

"Bagaimana dengan ibu? Ibu ga butuh penjagaan?" Tanya Kathrina sembari mengelus pundak wanita itu, mencoba menenangkan dirinya yang masih berkabung. Melinda menggelengkan kepalanya. "Saya tidak ikut proses pemakaman, saya.. terlalu takut melihat suami saya.. dikubur tanpa kepala." Lirihnya dengan lemas, kaki ibu itu bergetar hingga membuat ia terjatuh dalam pelukan Kathrina.

Sello membantu sang kakak, menggotong wanita itu masuk kedalam rumahnya, dan merebahkan Melinda diatas sofa ruang tamu yang lebar. "S- saya benar-benar tidak kuat.. membayangkan suami saya dikubur tidak lengkap dengan kepala.." Isak Melinda, air matanya kembali mengalir dengan deras. Membuat perhatian penghuni lain yang ada di rumah tertuju padanya.

Dua orang laki-laki datang lalu menghampiri Melinda yang terbaring menangis di sofa, memeluknya dengan erat dan mencoba menenangkan perempuan itu.

Situasi ini terjadi begitu cepat, membuat Kathrina tidak sadar bahwa dua lelaki itu yang sedang memeluk Melinda adalah klien yang akan mereka jaga besok. Pewaris saham perusahaan keluarga ini, Darius Rayman Davidra dan Praja Mandiro Davidra.

Kathrina akui, kedua wajah laki-laki itu sangat tampan dengan perawakan mereka yang terbilang nyaris sempurna di mata para wanita. Namun sayang, mereka bukan tipe Kathrina.

Setelah keadaan mulai tenang, anak sulung mereka, Rayman berdiri lalu menghampiri Kathrina yang masih berdiri ditempatnya. Tangan laki-laki itu terulur. "Rayman, panggil aja Ian."

Kathrina mengangguk tersenyum sebelum akhirnya ia menjabat tangan kekar milik Ian.

"Besok ga usah terlalu dekat jaganya, gue bisa jaga diri. Kalau ada masalah, yang ada malah gue yang melindungi lo." Satirnya sembari melirik tubuh Kathrina dan Sello yang lebih kecil darinya secara bergantian. Ia melangkah pergi, menarik tangan adiknya dan meninggalkan mereka berdua bersama ibunya yang tertidur di ruang tamu.

"Gue kulitin penis lo, anjing!"

Sello memegang pundak Kathrina, mencoba menahan kakaknya untuk tidak melangkah menyusul lelaki tadi. Ia takut misi mereka akan gagal jika Kathrina benar-benar melaksanakan perkataannya barusan.

"Udah, kak! Sabar!"

.
.
.
.
.

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

195K 9.6K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
152K 14.1K 71
"Lebih baik menyakiti satu hati dari pada kedua nya" -L
1M 84.9K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
155K 12.3K 35
Kalau cinta itu indah mengapa banyak orang yang menangis karena cinta?