BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

257K 43.4K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-35]

5.1K 1K 394
By embrassesmoi

Hatalla. 







"Is everything going well? Are we on track, Jer?"

Jeremy yang tersambung dengan gue lewat sambungan video call bersama timnya menganggukan kepala, raut wajahnya keliatan yakin—membuat gue diam-diam menghela napas lega. "Semuanya lancar, Pak. We were still monitoring Santoso's family and Malaika's movements, as well as Sahid's. Everything is pretty much in order, according to what we had planned at the beginning." Di sela penjelasan Jeremy, gue ikut menganggukan kepala—mendengarkannya baik-baik. "We could say that the Santoso family is currently working to restore their reputation and disengage from the matter involving Pak Syamsir and his family.

"Tim saya juga dapat informasi kalau Malaika sudah menyiapkan kepindahannya ke New York bersama Ibunya. Dan sisanya, bersih, Pak."

"Dari pihaknya Pak Syamsir gimana, Jer? Mereka nggak ada pergerakan?" tanya gue, begitu Jeremy selesai menjelaskan.

Jeremy mengangguk lagi, dia menatap ke arah iPadnya, lalu bicara, "Beberapa hari lalu, saya dapat kabar dari salah satu tim saya, Pak. Pak Syamsir's family was formulating a plot to involve Santoso's family because they were suspicious of Mr. Santoso, accusing him of being the mastermind behind Pak Syamsir's police report." Selesai menjelaskan, Jeremy melepas fokusnya dari iPadnya dan menatap ke arah kameranya lagi.

What a mess, right?

Sebenernya gue bisa aja nggak mengambil langkah sejauh ini, tapi melihat bagaimana Syamsir, Santoso, dan Malaika yang keliatan gigih dan keras kepala—dan kemungkinan akan menyulitkan gue kedepannya—gue memilih untuk ikut 'mengurus' mereka juga.

Sudah berjalan lebih dua bulan sejak media digemparkan soal kasus korupsi dan rumor prostitusi yang diarahkan ke Syamsir dan keluarga besar Santoso, dan selama dua bulan itu juga Syamsir dan keluarga Santoso saling menyerang satu sama lain.

Santoso dan Malaika jelas udah lupa sama gue, mereka udah pusing duluan dengan masalah yang menimpa keluarga mereka sekarang.

Dan selama dua bulan ini, gue nggak bisa mengendurkan sedikit aja perhatian dan fokus gue dari kasus ini. Untungnya, Hestamma—yang kayaknya lagi kesurupan—membolehkan gue untuk mempekerjakan Jeremy dan timnya sampai semua masalah ini selesai dan nggak ada lagi kemungkinan dari pihak manapun menyerang keluarga gue.

Gue cukup puas mendengarkan penjelasan dari Jeremy barusan, karena bisa dibilang gue masih suka ketar-ketir sebelum dapat konfirmasi jelas dari Jeremy dan timnya.

Ah, ya! "Kalau soal Ibu Mita, keluarga Pramana, sama Frederic Simons sendiri gimana, Jer?" Ini juga jadi pertanyaan penting lain yang selalu gue tanyakan ke Jeremy.

Sebenarnya, selama dua bulan ini, pemberitaan soal masalah yang dihadapi Ibu Mita, keluarga Pramana, dan Frederic Simons sudah nggak begitu lagi menarik perhatian media dan masyarakat. There have been numerous biased comments claiming that this issue is no more entertaining than the cheap soap operas broadcast on television. Ada dari beberapa dari masyarakat yang mulai membela Frederic Simons dan menuduh Mita dan keluarga Pramana hanya ingin mendompleng nama besar keluarga mereka karena kasus yang menimpa keluarga mereka sebelumnya, dan beberapa yang lain mulai meninggalkan—memilih tidak memihak siapapun.

Dan selama itu juga, gue belum membalas pesan dari Ibu Mita—gue hanya membiarkannya terbaca tanpa berniat membalasnya karena sampai sekarang Reni masih belum juga mau 'bergerak' menanggapi masalah yang menimpanya itu.

Ya, selama dua bulan ini gue bener-bener dibuat pontang-panting ngurusin masalah ini-itu.

Jeremy nggak langsung menjawab pertanyaan gue, dia sempat menanyai dua orang lain—timnya—yang ikut bergabung dengan gue di video call sore ini. "Since the case is no longer in the news, Ibu Mita and the Pramana family seem to be working on something to reclaim attention and regain their family's good name, Pak." Kedua orang lainnya ikut mengangguki pernyataan Jeremy barusan. "Kalau mau ngobrol tentang kekhawatiran Bapak soal kemungkinan Ibu Mita dan keluarga Pramana bakal menggunakan Ibu Reni di rencana mereka selanjutnya—" Kepala Jeremy menggeleng pelan, dan tanpa mengatakannya pun, gue udah paham.

"It's like they are digging their own graves." Jonathan—salah satu tim yang juga bekerja dengan Jeremy—menimpali yang diangguki Jeremy juga.

Untuk masalah ini, gue bingung harus memberikan reaksi semacam apa sekarang. Gue mau lega juga nggak bisa, mau marah juga jatuhnya jadi ambigu.

Gue sendiri juga nggak sebodoh itu—bahkan Reni pun tau—kalau bukan dari kita—bukan dari Reni-nya sendiri—keberadaan Reni ataupun sosoknya yang diakui nggak pernah lahir di dunia ini—nggak akan pernah keluar dari bibir Ibu Mita dan keluarga Pramana, apalagi setelah keributan dan kehebohan yang sudah dibuat mereka sebelumnya.

Miris, ya?

Gue nggak habis pikir, sih, sama kelakuan Ibu Mita—apa pun alasan yang melatarbelakangi keputusannya—dan juga Frederic Simons.

Kalau Frederic Simons... He was obviously a jerk from the start. Gue pikir awalnya akan ada yang berbeda, mengingat Frederic Simons yang keliatan segitu ingin taunya soal Reni, but now we can watch how he behaves, right?

Jujur aja, gue sempet dibuat kalang kabut juga waktu kepikiran kalau Frederic Simons bisa aja 'menggunakan' Reni untuk menyerang balik keluarga Pramana dan Ibu Mita. Tapi, gue mikirnya kejauhan karena pada kenyataannya, sampai sekarang Frederic Simons malah nggak pernah mengakui Reni.

Gila emang.

Mereka-mereka aja, maksudnya.

"Kalau Frederic Simons?" Rasanya lidah gue rasanya gatel banget waktu nyebut namanya barusan.

"Kurang lebih sama, Pak." Jeremy menimpali cepat. "Frederic is now busy with his new enterprises, especially now that the media attention has died down. Kalau soal Ibu Reni, sih, saya juga menjamin kalau Frederic Simons nggak akan pernah berani 'menggunakan' Ibu Reni juga, Pak," jelasnya masih dengan nada yakin yang sama seperti sebelumnya.

Oke, jadi untuk beberapa saat kedepan, bisa dibilang kami bisa tenang sebentar. Gue dan Jeremy beserta timnya memutuskan untuk mengakhiri sambungan video call setelah menyelesaikan meeting singkat untuk membahas rencana yang akan kami lakukan kedepannya untuk beberapa masalah penting yang harus kami perhatikan baik-baik.

Nggak ada semenit gue berniat istirahat sebentar, suara ketukan terdengar dari arah luar pintu sebelum sosok Rendi muncul. "Maaf, mengganggu waktunya, Pak," ucapnya sambil berjalan masuk setelah gue menganggukan kepala singkat.

"Bukannya meetingnya udah selesai, ya?" Sebelum menghubungi Jeremy tadi, gue harusnya sudah menyelesaikan meeting terakhir hari ini. "Ada meeting dadakan lagi?" tanya gue yang langsung membuat Rendi menggelengkan kepalanya.

Akhir-akhir ini, pekerjaan gue di sini—di Kominfo—lagi padat-padatnya banget. Udah satu bulanan ini, gue sama sekali nggak dapat libur sama sekali dan mendadak kunjungan gue ke luar kota jadi lebih banyak dari sebelumnya. Ngerti aja, 'kan, ya, kalau gue lagi puyeng-puyengnya, terus mendadak kerjaan gue jadi banyak banget kayak sekarang?

What a rare coincidence, right?

Rendi berhenti di depan meja gue dengan iPad di tangannya, "Malam ini, Bapak reservasi tempat di Amorelis, 'kan, ya? Saya ke sini cuma mau mengingatkan dan minta konfirmasi saja, Pak."

Oh, soal itu... "Iya." Gue mengangguk. "Saya ada reservasi di Amorelis untuk makan malam. Tolong kamu follow up langsung ke restorannya, ya, Ndi," kata gue sambil mengecek handphone yang sejak meeting tadi nggak sempat gue periksa sama sekali.

"Baik, Pak." Gue mengangguk lagi karena fokus gue terpecah karena membaca pesan dari Reni. "Nanti ke sananya mau diantar atau bagaimana, Pak?"

Kepala gue menggeleng, "Nggak usah. Nanti saya bawa mobil sendiri aja. Kamu sama Pak Surya bisa langsung balik duluan," jawab gue yang sudah pasti mengundang senyum bahagia Rendi tanpa perlu gue liat sekalipun.



Sayang 2
Nunggu di basement gitu?
Aku naik taxi aja deh.
Nyusul aja, soalnya aku kayaknya lembur sama Ayah
Km berangkat dulu soalnya nggak enak nanti yang lain pada nungguin



Duh, Ren! Kita ketemu aja udah jarang-jarangan begini, sekalinya bisa ketemu berdua kenapa malah kamu tolak begini, sih, Sayangku?


nggak papa.
yang lain nggak bakal protes.
aku nanti tunggu di basement kayak biasanya.





Baru aja gue mau melepas fokus dari layar handphone, ada notifikasi pesan muncul lagi. Tumben amat Reni balesnya cepet begini?


Sayang 2
bakal malam bgt
kerjaanku banyak bgt soalnya
nggak papa, nanti aku nyusul aja
sahabat-sahabatmu datang jauh-jauh loh? masa iya kamu telat datengnya?








"Lupa nggak nge-briefing Ayah!" Ya, elah, La! Pikiran lo ke mana coba?

"Saya juga nggak di-briefing, Pak?"

Lah, kenapa Rendi masih ada di sini? "Kalau soal beginian aja kamu cepet banget nyautnya, kalau ditanyain waktu meeting—suara langsung mendadak hilang, mendadak sakit, sampai pura-pura maag." Yang akhir, gue lebih-lebihin memang, ya...

Raut Rendi langsung berubah masam waktu gue ngomong barusan. Siapa suruh dia lama-lama di sini? Bukannya kita udah selesai ngomong dari tadi, ya?

"Kamu di sini itu ngapain? Udah selesai semuanya, kan?" tanya gue, membuat Rendi mengangguk. "Mau saya tambah pekerjaanmu—"

Rendi langsung menunduk, "Baik, Pak. Saya akan coba menghubungi restoran Amorelis lebih dulu," jawabnya langsung keluar dari ruangan gue dengan cepat.

Kan, liat aja kelakuannya...

Gue berdecak sambil menggelengkan kepala, masih menatap ke arah pintu ruangan gue yang sekarang sudah tertutup rapat.

Setelah memastikan Rendi sudah keluar dari ruangan, gue segera menghubungi Ayah—masih soal Reni dan pekerjaannya yang membuat wanita itu bakal datang terlambat ke Amorelis nanti malam.

"Sore, Yah."

"Apa lagi?"

Gue refleks mendengkus mendengar jawaban dari Ayah barusan. Bisa nggak ngejawabnya lebih sarkas lagi? Gue sampai heran dan nggak percaya—sempat menyangka kalau Ayah kerasukan atau semacamnya—karena untuk pertama kalinya ngeliat Ayah bertutur kata lembut dan penuh perhatian ke orang lain, ke Reni lebih tepatnya.

Coba aja ngomong ke gue juga pake nada lemah lembutnya ke Reni, 'kan, gue jadi nggak se deg-degan ini buat telepon ke nomor orang tua sendiri...

"Ayah lagi sibuk?" tanya gue, bermaksud basa-basi. Nggak enak juga kalau gue langsung tanya soal Reni, 'kan, ya?

Bukannya jawaban yang gue dapat, gue malah mendengar decakkan Ayah. "Bisa langsung to the point aja, La? Kamu lagi kesurupan apa, kok, pake basa-basi segala?"

Salah lagi, 'kan, gue? Yang bener emang cuma Reni aja emang.

"Reni hari ini lembur, ya, Yah?" tanya gue, melemparkan pertanyaan yang menjadi alasan kenapa gue menghubungi Ayah.

Ayah sempat terdiam, "Kamu sehat, nanyanya ke Ayah? Kenapa nggak langsung tanya ke Reni aja? Nggak usah sok asing, deh, di depan Ayah!"

Pusing banget gue...

Masalah Santoso dan Malaika, belum juga masalahnya Ibu Mita dan keluarga Pramana, sekarang gue harus berhadapan dengan Ayah yang rasanya makin jutek ke gue doang akhir-akhir ini.

Cobaan calon mempelai pria, kok, ya, begini banget?

Perasaan si Reni—yang harusnya lebih kalang kabut dari gue—cuma uring-uringan perkara berat badannya yang naik.

Di seberang sambungan, gue masih mendengar Ayah mendumel—mengomel soal waktunya yang terbuang karena telepon gue sekarang. "Kenapa nggak tanya langsung ke Reni-nya aja?" tanyanya lagi, masih sama kedengeran juteknya.

"Udah tanya, Yah. Reni bilang tadi lembur," kata gue dengan nada pelan. Bahu gue ikut turun saking capeknya ngomong sama Ayah sekarang.

Mata gue langsung terpejam, tangan gue dengan refleks menjauhkan handphone dari telinga. "TERUS KENAPA KAMU TANYA KE AYAH?" Bisa santai dikit nggak, sih, Bos? "Kamu mau minta supaya Reni nggak lembur biar bisa jalan gitu sama kamu, hah? Itu pacarmu sendiri yang minta lembur karena merasa bertanggung jawab sama pekerjaannya! Nggak kayak kamu yang bisa-bisanya—"

"Yah, bentar, ada telepon masuk dari Pak Menteri—"

"Menteri apa, hah?" Gue langsung menipiskan bibir waktu Ayah menyahuti ucapan gue cepat. "Menteri pengalihan isu? Kamu pikir bisa ngeboongin Ayah? Mentra-Mentri, alasanmu itu, loh!"

Napas gue terhela kasar, "Maaf, Yah. Tadi itu—"

Ini... sambungan teleponnya nggak mendadak diputus sama Ayah, kan? "Halo, Yah? Halo." Senyum gue terulas masam waktu melihat kalau sambungan telepon gue dan Ayah benar-benar terputus.

"Susah... Susah, udah..." Kepala gue menggeleng, sementara jari-jari gue sibuk mengetikkan sesuatu ke nomor Ayah—sesuatu yang belum gue sampaikan.

Setelah selesai mengirim pesan ke Ayah, gue kembali membuka laman chatting gue bersama Reni.




ya udah. nanti kamu nyusul aja.
nggak usah naik taxi, ya, yang. bareng aja sama deryl.
aku kirim makan malam nanti, ya<3
semangat lemburnya, sayangku!





Nggak usah ketemu langsung sama Reni buat tau gimana reaksinya waktu dapat balasan pesan macam itu dari gue.

Reni selama ini kayaknya salah paham juga, sih. Dia mengira kalau pesan-pesan berlebihan yang sering gue kirim ke dia itu cuma akal-akalan gue untuk menjaili dan membuatnya kesal, padahal gue memang begitu—apa adanya.

Kali ini, gue nggak perlu nunggu Reni buat balas pesan gue karena gue yakin dia nggak akan membalas pesan gue juga.

Karena itu juga, gue jadi lebih fokus lagi buat menyelesaikan sisa pekerjaan yang perlu gue selesaikan sebelum cabut dari kantor satu jam lagi. Dan untungnya, fokus gue lagi nginep—dia nggak pergi ke mana-mana—yang membuat gue bisa menyelesaikan pekerjaan gue tepat waktu.

"Saya sudah konfirmasi ke pihak Amorelis, Pak." Tepat saat gue sedang membereskan barang-barang, Rendi kembali masuk ke dalam ruangan gue. "Mereka bilang semuanya sudah diurus lebih dulu sama Pak Algis, Pak."

Selalu seperti ini... "Oke, thanks informasinya." Padahal, gue udah sengaja nggak bilang apa-apa ke Algis ataupun yang lainnya sebelum gue menyelesaikan pemesanan tempat kami bertemu—di mana gue yang mengajak mereka—di Amorelis, supaya hal seperti ini nggak terjadi.

Rendi mengangguk singkat, dia dengan cekatan—tumben—membuka pintu ruangan gue, membiarkan gue berjalan keluar dari ruangan sebelum dia menutupnya pintunya. "Bapak mau langsung pergi ke Amorelis?" tanyanya, ikut melangkah bersama gue menuju lift.

Sambil melirik singkat ke arahnya, gue menjawab, "Iya. Masa' saya mau antar kamu pulang, sih?"

Rendi sempat tertawa sebeluim sadar kalau dia keceplosan. Setelahnya, gue menyuruh Rendi kembali ke ruangan untuk bersiap-siap pulang sementara gue pergi ke lobby sendiri.

Gue butuh waktu yang agak lama untuk pergi ke Kemang—ke salah satu cabang restoran Amorelis, tempat gue akan bertemu sahabat-sahabat gue—karena Jakarta kalau nggak macet, kayaknya bakal kena tipes.

Begitu sampai, gue diarahkan oleh salah satu waitress yang langsung menyadari kedatangan gue ke ruangan VVIP yang sudah gue reservasi sebelumnya. "Silakan, Pak," katanya sambil membuka pintu ruangan.

"Terima kasih," ucap gue singkat, sebelum masuk ke dalam ruangan yang ternyata sudah ramai.

"Telat amat, La? Jam 8 banget datengnya?" Jatmika yang duduk dekat dengan posisi gue berdiri sekarang menyapa lebih dulu, dia mengulurkan tangannya tanpa berdiri dari kursi. "Kita pesen makan duluan. Abis, kalau nungguin lo bisa pingsan lemes semua orang di sini, La," lanjutnya yang membuat gue meringis segan.

Gue lalu bergerak menyapa sahabat gue lainnya yang datang bersama istri mereka masing-masing, satu per satu. "Sorry, ya, Mbak. Jalanan macet—"

"Basi, sih, alasannya." Laras—yang sebenarnya nggak gue ajak ngomong—ikut menyahuti dengan raut sinisnya.

Hestamma yang duduk di sebelahnya cuma mengulas senyum tipis, seakan meminta gue untuk memaklumi tingkah Laras.

Dari dulu aja gue disuruh ngalah terus!

Mbak Nana menepuk bahu gue pelan, membuat gue kembali mengarahkan fokus gue ke arahnya. "It's okay. Terima kasih juga, ya, udah diundang dinner begini," katanya setelah memeluk gue singkat.

"Algis, tuh, Mbak—" Belum juga gue selesai ngomong, Algis yang masih duduk di kursinya yang letaknya di belakang Mbak Nana yang lagi ngobrol sama gue langsung memelototkan mata dan menggelengkan kepalanya.

Padahal, barusan gue mau ngadu kalau Algis yang ngebayarin dinner malam ini, bukan gue! Harusnya dia say thanks-nya ke suaminya, dong?

Tapi, daripada gue bikin rame ruangan yang udah rame ini karena Algis udah pasti marah dan nggak terima—I preferred to remain silent and follow the game he had started first.

"Loh, ini apa?" Gue menunjuk ke arah beberapa perkakas familiar yang ada di pojok ruangan. Dengan cepat, gue menoleh ke istri Jatmika. "Ini serius, Mbak?"

Mbak Samahita ikut berdiri dan menghampiri gue, "Aku nggak pernah mau kalau disuruh melukis di acara ulang tahun. Yang pernah cuma Mas Abi," katanya sambil melirik ke arah Jatmika yang langsung mengulas senyumnya—cuih. "Sama kamu aja," sambung Mbak Samahita, kali ini membuat gue tersenyum. "Selamat ulang tahun, ya, La."

"Thanks, Mbak. Ini ntar bayarnya gimana?" tanya gue balik, melemparkan candaan ke Mbak Samahita yang langsung memutar kedua bola matanya malas.

Jatmika tertawa ketika melihat istrinya kembali berjalan ke kursinya, dia lalu menatap gue sambil mengangkat salah satu tangannya. "Bayarannya masukin ke rekening gue aja. Tenang, harga saudara, kok."

"Dapat murah?" Lucunya, Katon, Hestamma, dan Narendra menimpali bersamaan.

"Ya, lebih mahal, lah! Dia kaya, kok." Jatmika lalu tertawa keras, dan Mbak Samahita yang duduk di sebelahnya langsung memukul keras lengan suaminya itu.

Garing banget...

Momen-momen begini, nih, yang sering gue pertanyakan. How can I put up with these jokes when I'm already sick of hearing them?

Setelah menyapa mereka satu per satu, gue akhirnya bisa duduk juga. Di atas meja sudah terhidang banyak sekali makanan khas Indonesia yang memang menjadi signature dari Amorelis.

"Nyonya lo mana?" Pertanyaan dari Narendra mengurungkan niat gue untuk menyendokkan nasi goreng Jawa ke piring gue. "Kok, dateng sendirian? Berantem lagi kalian?"

Seluruh perhatian yang tadinya bercecer ke banyak hal, langsung mengarah lurus ke gue.

"Beneran lagi berantem?" Katon bertanya, mencoba memastikan.

Sementara itu Hestamma menggelengkan kepalanya, "Belum juga ada satu tahun... Belum semua masalah lo selesai, udah main berantem-beranteman aja—"

"What bullshit are each of you talking about right now?" Itu tadi, kalau gue biarin, bisa melebar ke mana-mana dan makin nggak karuan ujungnya. "Reni lagi kerja—lembur," jawab gue bersama decakkan di akhir kalimat yang gue ucapkan barusan.

Kan, kalau begini gue jadi inget lagi kalau di hari ulang tahun gue—di pesta ulang tahun yang gue buat sendiri—Reni—salah satu orang terpenting di hidup gue—nggak bisa datang tepat waktu karena lembur, dan itu semua ada sangkut pautnya dengan Ayah—Bapak gue sendiri.

Sabar yang banyak, La.

Di ulang tahun lo sekarang, itu satu-satunya keinginan yang lo harus minta—sambil nangis kalau perlu.

Gue berdecak lagi, buru-buru menjauhkan wajah waktu jari Jatmika menjawil dagu gue. "Duh, yang ulang tahun—dan udah go public—yang tahun depan mau nikah—yang lagi sibuk banget akhir-akhir ini—masih aja datang sendirian?"

"Udah, Jat. Jangan mulai." Untungnya, sebelum gue bertindak, Katon lebih dulu melemparkan peringatan yang membuat Jatmika langsung bungkam.

Rasain, 'kan? Lo juga pake cari gara-gara sama gue waktu ada Katon sama istri lo di sini. Ya, lo sendiri, 'kan, yang kena sekarang?

Suasana kembali kondusif, dan gue akhirnya bisa menikmati makan malam gue. Dari banyaknya menu Amorelis yang udah nggak perlu lagi diragukan rasanya, gue memang paling suka makan nasi goreng Jawanya. Makanya, gue nggak kaget waktu tahu ada lebih dari enam piring besar nasi gireng Jawa yang kayaknya sudah dipesan khusus buat gue—pede dikit—meskipun alasan sebenarnya mungkin karena ada banyak orang di sini.

Lebih masuk akal yang mana?

"Gue denger dari Jeremy, semuanya lancar, La?" Di tengah nikmatnya gue menyantap nasi goreng Jawa, Hestamma melempar pertanyaan.

Mentang-mentang lo udah selesai makan, terus lo bisa seenaknya nanya-nanya gue yang lagi makan?

Meski senewen, kepala gue mengangguk. "Semoga sampai kedepannya begitu terus," gumam gue pelan, sebelum menyendok kembali nasi goreng Jawa ke dalam mulut gue.

"But do not let your guard down, La. You need to keep an eye on things. Remember that you only have a year to fix everything." Kali ini, Narendra yang bicara—dia menatap gue lurus dengan kedua tangannya yang terlipat di atas meja.

Di sampingnya, Mbak Adelia cuma menggeleng sambil mengulum senyumnya. Ada apa, sih?

Meski nasi goreng gue belum habis, gue memutuskan untuk menaruh sendok dan garpu di samping piring gue.

Jatmika menatap gue sambil menepuk bahu gue beberapa kali, "Bapak lo khawatir banget, La. Hatalla pinter, kok, Ndra. He recognizes his current situation and his future plans."

Aneh banget, sih?

Apalagi gue sempet liat Katon, Algis, Jatmika, Hestamma sempat melempar tatapan geli ke satu sama lain.

Ini gue bakal dikasih surprise kali, ya?

Duh, udah 35 tahun banget gue! Acara dinner begini aja udah cukup, nggak usah pake acara surprise-surprise segala!

"Abis Narendra yang tantrum, lo juga ikut kesurupan, La?" Suara Algis dan nama gue yang disebutkannya membuat gue menatap ke arahnya. "Ngapain lo senyum-senyum sendiri gitu?" katanya sambil pura-pura bergedik ngeri.

Bibir gue langsung berubah kaku. Sialan, pake acara ketauan segala, sih?

Suara tawa geli dari istri-istri sahabat-sahabat gue, berbanding terbalik dengan tatapan datar yang gue terima dari Algis, Narendra, Jatmika, Hestamma, dan Katon.

"Lo bisa gitu mikir jorok di acara beginian?" celetuk Narendra membuat gue hampir tersedak.

Bukan cuma Mbak Adelia yang langsung memukul dan memberikan tatapan tajam ke Narendra, tapi dia hampir menerimanya dari kami semua.

Kan, gue udah bilang? Jangan macem-macem kalau lagi ramean begini.

"Umur 35... Rencanamu apa aja, La?" Nggak melihat situasi menegangkan sekarang, pertanyaan yang dilontarkan Kumala terasa seperti pilihan di timing tepat.

"Nikah," jawab gue cepat. Nggak terdengar ragu sama sekali.

Gue nggak tahu harus berterima kasih karena kami—gue dan Reni—ketahuan Ayah yang sampai membawa gue dan Reni ada di titik ini, di titik di mana gue akhirnya bisa memikirkan tentang sesuatu yang dulu nggak berani gue bayangkan.

Gue pun juga susah percaya kalau pada akhirnya gue bisa mengatakan kalimat barusan dengan sangat yakin, apalagi dengan usaha keras gue dan Reni bersama-sama untuk mewujudkan pernikahan selama satu tahun kedepan.

Suasana di ruangan makan mendadak jadi hening untuk beberapa saat, sebelum Mbak Adelia ikut buka suara. "You sound really assured. I can't wait to watch you and Reni make this happen." Mbak Adelia bahkan ikut mengacungkan ibu jarinya, melempar senyumnya ke gue.

"Nggak minta, sih, ya. Tapi, biasanya ujiannya kalau begini, tuh, pasti ada aja." Mbak Samahita ikut menimpali, dan gue liat Mbak Nana ikut mengangguk juga. "This is merely advice, La. I also discussed it with Reni over chat. Whatever the issue is or whatever the future holds, don't let your emotions get in the way of your plans. The main thing is to talk about it clearly. Communication must also be maintained, ya, La." Di sebelah Mbak Samahita, Jatmika juga ikut menganggukan kepalanya.

Gue sendiri juga mendengar dan mencoba mengingat saran dari Mbak Samahita barusan, tapi gue lebih tertarik waktu nama Reni terselip keluar tadi. "Mbak ngomong sama Reni?" Mbak Samahita mengangguk. "Masalah ini? Ngomongin soal pernikahan?" tanya gue lagi.

"Iya." Mbak Samahita tersenyum, dia mengangguk lagi. "Nggak cuma ke aku, tapi ke kita semua," katanya, menunjuk Mbak Nana, Mbak Adelia, Laras, dan Kumala bergantian.

"Reni minta banyak saran soal kehidupan pernikahan, La." Jawaban dari Mbak Adelia barusan membuat gue terpaku.

Gue nggak tau sama sekali...

Dan, gue nggak bisa bohong kalau perasaan gue berubah menghangat sekarang—I imagined her learning until she didn't hesitate to ask for married life counsel, indicating that Reni was carefully considering our future married lives.

"Sekarang kamu udah tau, kan?" Kedua alis gue bertaut, menatap Katon yang menatap gue sambil memangku dagunya. "Pekerjaan rumahmu bukan cuma menyelesaikan masalah dan memantaskan diri, tapi juga belajar soal kehidupan pernikahan yang bakal kamu jalani nantinya—seenggaknya biar kamu ada pandangan sedikit karena kehidupan pernikahan nantinya bakal jauh berbeda sama apa yang kamu pikirkan sekarang, La," ucapnya nggak melepas tatapannya dari gue.

Kepala gue bergerak mengangguk, "Gue udah buat jadal untuk datang konseling sama Reni, kok."

Jawaban gue barusan diangguki mereka semua bersamaan, setelahnya obrolan mengalir normal. Kami membicarakan banyak hal, kebanyakan mereka yang bertanya soal rencana gue yang lain, pekerjaan gue—mengingat kalau gue yang punya acara malam ini sampai gue hampir melupakan kehadiran satu orang yang gue tunggu-tunggu—yang anehnya, sampai sekarang nggak datang-datang juga.

Gue melihat nggak ada pesan lain dari Reni, meski sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Tanpa basa-basi, gue memutuskan untuk menghubungi Reni—mengabaikan kehebohan di dalam ruangan makan.

"Aku masih lembur, La. Kerjaanku masih numpuk." Adalah kalimat sapaan yang terima dari Reni begitu sambungan telepon kami tersambung. "Jangan telepon dulu. Makin kamu telepon, makin lama aku selesainya!" katanya, sedikit membentak gue.

Ini gue nggak salah dengar, kan?

Gue buru-buru berdiri dari kursi, dan tanpa mengatakan apa pun—gue memutuskan untuk berjalan keluar dari ruangan. "Yang, ngomong baik-baik bisa, kan? Toh, aku belum ngomong apa-apa," timpal gue, merasa sedikit sakit hati mendengar bentakan Reni barusan.

"Kamu udah pasti bakal tanya aku di mana, 'kan? Kenapa aku belum ke sana, kan? Aku kerja, La! Ngerti dikit, dong!" Nada bicara Reni sama sekali nggak memelan meski gue sudah menegurnya barusan.

Tanpa gue sadari, gue melangkah menjauhi ruangan VVIP dengan salah satu tangan gue mengepal erat di sisi tubuh.

Tenang, La.

Mungkin Reni lagi capek banget sekarang... "Keep your tone while I talk nicely, Reina." Setelah menarik dan membuang napas perlahan, gue kembali melanjutkan, "Aku khawatir. Aku memang nungguin kamu, tapi apa perlu kamu ngomong sekasar itu sama aku, Yang?" Sumpah, kalau ini gue teruskan—semua nggak akan berjalan dengan baik. "Setelah kerjaanmu selesai, balik aja ke kosan, ya. Istirahat. Lagian, acara di sini sudah mau selesai. See you soon, Yang."

Dan untuk pertama kalinya gue memutus sambungan telepon lebih dulu, padahal biasanya gue membiarkan Reni yang melakukannya.

Ya, mungkin Reni kelelahan. Mungkin dia banyak pikiran. Mungkin rencana pernikahan kami juga membuatnya sedikit kebingungan—karena hal-hal itu, Reni jadi berubah sensitif.

Gue? Gue gimana?

Kita sama capeknya...

Oke, La. Untuk sekarang, tahan dulu semuanya. Besok gue akan menemui Reni dan bicara baik-baik dengannya.

Gue memutar tubuh, berjalan malas menuju ruangan makan dengan pikiran penuh dengan pertengkaran singkat gue dan Reni barusan.

"SURPRISE!"

"Happy birthday to you... Happy birthday to you..."

Bentar...

Barusan Reni bilang kalau dia lagi di kantor, 'kan? Dia lembur dan marah ke gue, 'kan? Ayah juga? Terus, ngapain Ibu ada di sini juga?

Gue masih belum sepenuhnya sadar waktu Jatmika menarik tangan gue, membuat gue berdiri berhadapan dengan Reni yang membawa kue ulang tahun sementara itu, di sebelahnya Ayah dan Ibu juga ikut menyanyikan lagu ulang tahun.

Reni tersenyum lebar, ia mengarahkan kue ulang tahun yang dipegangnya mendekat ke gue. "Tiup lilinnya. Jangan lupa, make a wish...," ucapnya pelan di sela nyanyian ulang tahun yang keras, tapi suara Reni barusan malah terdengar yang paling jelas.

Gue ikut mengangguk, membalas senyumannya sebelum memejamkan mata.

Tanpa Reni ketahui, selama lima tahun ini, di setiap ulang tahun gue—namanya akan jadi nama yang paling lama gue sebut dan gue doakan.

Dan tahun ini, masih sama.

Lord, make mine and Reni's path one that we can walk together. Make us strong for each other. Make Reni the only one for me.

Begitu mata gue kembali terbuka bersamaan dengan lilin di atas kue ulang tahun tertiup habis, gue tau bahwa doa gue diaminkan banyak orang—bahwa sekali lagi, Tuhan akan menguatkan gue dan Reni melewati tahun-tahun kedepannya, seperti apa yang gue minta dari doa gue di ulang tahun sebelumnya.

Continue Reading

You'll Also Like

57.6K 9.7K 37
Tervonis amnesia disosiatif, Dokter Chadi Kharisma melanjutkan hidup "normal"-nya penuh teka-teki. Hingga terkuak bahwa ia duda dan punya mantan istr...
219K 9K 27
[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Aku mau kita cerai" Deg Sekali lagi cerita ini mengandung unsur 18+ jadi buat kalian bijak bijaklah dalam memilih...
275K 46.8K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
3K 507 5
Saat ada banyak cerita romansa dimana tokohnya terlibat dalam kisah cinta pura-pura atau drama rumah tangga kontrak, Zahn tak menyangka dia akan jadi...