TAKEN YOUR DADDY [SEGERA TERB...

By ZahraAra041

601K 26K 2K

Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly A... More

01. Broken Heart!
02. YOUR DADDY!
CAST
03. Siapa yang Salah?
04. Ide Gila
05. Gue Nggak Sudi!
06. Tinggal Bareng?!
07. Patah Hati Satu Kantor
08. Saingan Sama Tante!
09. Ada Rasa Lama?
10. Tidur Berdua?!
11. Mata-Mata Dena
12. I Want to be Your Wife
13. Simulasi Jadi Mommy
14. Serigala yang Bangun
16. Cemburu nih, ceritanya?
17. Nyaman (?)
18. Mempertanyakan Status
19. Jadian, nih?
20. Pesta Pernikahan Theo (FIRST KISS)
21. Insiden Pesta Malam
22. Penghangatan
23. Kompor
24. Terhalang Restu
25. Nge-date
26. Senjata Makan Dena
27. Alergi
28. Ngurus Bayi
29. Dilamar?!
30. Bongkar Identitas
31. Ellen Kepanasan
32. Para Pengganggu
33. Pearly vs Dena
34. Sentuhan
PENGUMUMAN
35. Sakit Hati Berjamaah
36. Kejutan Besar
37. Gerald
38. Mengulik Kasus
39. Pearly vs Nalika

15. Giliran Dibalas Takut!

16.8K 674 21
By ZahraAra041

Gara mendudukkan diri di atas ranjang kasurnya sendiri. Melirik ke arah jam digital di atas meja, ternyata sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Pikirannya semakin kacau setelah insiden beberapa jam lalu bersama Pearly. Bagaimana bisa ia jatuh hati pada anak berusia tujuh belas tahun? Namun, tak bisa disangkal bahwa pesona yang disuguhkan Pearly selama ini mampu memunculkan hasratnya.

Ia merebahkan tubuh, lalu menyilangkan tangan sebagai bantalan. Bayang-bayang Pearly menghantui kepalanya sejak tadi. Tanpa sadar ujung bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum simpul begitu ia melihat wajah manis Pearly tergambar di hamparan plafon putih.

"Saya rasa saya juga membutuhkan pendamping."

Gara memiringkan kepala, menatap lurus ke samping---bantal kosong milik almarhumah istrinya itu masih di sana. Hela napas panjang terdengar melandai, menyapu seluruh kenangan manis beserta isinya.

"Apa mungkin saya pantas menikahi Pie? Dia masih kecil."

Lain dari itu, Pearly kini sedang melompat-lompat tak jelas di atas kasur sambil terus membayangkan kejadian menggiurkan beberapa jam lalu. Tangan besar Gara yang menarik pinggangnya masih terasa jelas, bahkan seringai pria itu tak bisa hilang dari otaknya. Suara beratnya terdengar berulangkali, membuat Pearly jatuh cinta untuk kedua kalinya setelah Gerald.

"Bapaknya lebih menggoda, Anjir!"

Pegal melompat, lantas Pearly merebahkan tubuhnya. Ia menarik selimut sampai sebatas leher, lalu menggigit-gigit ujung selimut saat bayangan tentang Gara kembali berputar.

"Huwaaa, padahal niat gue cuma mau balas dendam aja biar Gerald kepanasan dengan kedekatan gue sama bapaknya. Tapi kenapa malah saling jatuh cinta gini, padahal baru beberapa minggu, lho!"

Pearly memiringkan tubuh ke arah kiri. Ia mencebikkan bibir seraya menarik selimut lebih tinggi sampai menenggelamkan tubuhnya.

"Liam harus tau kalau om Gara udah mulai naksir sama gue! Hahaha!"

_-00-_

Suara alat makan yang saling bertabrakan memecah kesunyian ruang makan. Bunyi dari peralatan rumah tangga pun tak kalah mendominasi. Pagi hari, waktu di mana manusia mulai menjalani kehidupan. Begitu halnya dengan penghuni rumah Gara yang kini sedang menikmati sarapan pagi sebelum beraktifitas.

Pearly menuangkan air, lalu meletakkan segelas air tersebut di hadapan Gara yang tengah menggigit sebuah roti selai.

Gadis berseragam sekolah lengkap itu dengan jahilnya membelai lembut bahu hingga ke leher Gara setelah selesai meletakkan segelas air di sana.

Gara terbatuk-batuk, tersedak saat tekstur jemari lentik milik Pearly membelai bagian sensitifnya. Dengan cekatan Pearly pun menyodorkan segelas air pada Gara, ia cekikikan ketika mengetahui bahwa rupanya Gara bereaksi setelah ia memancingnya dengan belaian lembut nan menggoda.

Gara mencekal tangan Pearly yang hendak duduk di sebelahnya. Tatapan tajamnya menyorot pada Pearly. "Jangan sering memancing saya, Pie."

Pearly malah cekikikan, sudah gila memang gadis itu. Pearly menarik bangku yang hendak ia duduki agar lebih dekat dengan Gara, karena pria itu belum juga melepaskan cekalan tangannya.

"Kalau Om mau sarapan sambil pegangin tangan Pie juga nggak apa-apa," goda Pie, tak lupa memberikan kedipan di akhir kalimatnya.

Gara tersentak, ia buru-buru melepas cekalan tangannya dari Pearly kemudian melanjutkan sarapan. Keduanya menikmati sarapan pagi ini, dengan Pearly yang selalu menempeli Gara, dan Gara yang lama-kelamaan merasa nyaman. Gara tidak pernah menyangka bahwa pengisi hatinya yang telah lama kosong adalah anak kecil yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga.

Gara adalah tipikal orang yang tidak akan pernah sudi melepaskan sesuatu yang telah dicintainya. Ia akan terus mempertahankan orang tersebut. Sekalipun Pearly masih kecil, Gara berjanji akan menjaga Pearly dari apa pun sampai nantinya ia bisa memiliki anak itu seutuhnya. Apa pun yang telah dicintai oleh Gara, jangan harap bisa lepas darinya dengan mudah.

Di dalam keheningan pagi itu, tiba-tiba saja Gara teringat akan sesuatu. "Lho, Gege mana, ya? Tumben lama sekali turunnya."

Pearly menggedikkan bahu, masa bodoh dengan Gerald. "Nggak tahu, masih sakit kali. Semalam, 'kan badannya panas."

Mendengar anaknya sakit, lantas Gara pun hendak bangun untuk mengecek kondisi sang anak, tetapi segera ditahan oleh Pearly yang masih setia menempeli tubuhnya.

"Biar Pie aja yang cek."

Pearly pun berlalu dari sana untuk mengecek kondisi Gerald. Ia diam sejenak saat sudah tiba di depan pintu kamar Gerald yang tertutup rapat. Lantas gadis itu mulai mengetuknya.

"Ge? Gege! Ge, gue masuk, ya?"

Tak mendapat jawaban dari penghuni kamar Pearly pun memilih untuk langsung masuk. Ia membuka sedikit demi sedikit sampai pintu tersebut menghasilkan celah. Ia mengintip situasi kamar melalui celah kecil tersebut sebelum masuk ke dalam.

Melihat Gerald yang masih terbaring di atas kasur, Pearly pun membuka lebar-lebar pintu kamar. Ia menyilangkan tangan di depan dada sembari bersandar di depan pintu.

"Enak banget ya, udah pagi masih aja molor!"

Tak ada jawaban, Pearly memutar bola matanya jengah lalu berjalan mendekati Gerald. Diamatinya tubuh Gerald yang ditutupi selimut itu. Penasaran apa yang terjadi, Pearly pun menyentuh keningnya.

"Lho, masih panas? Ah, lemah banget lo jadi laki padahal kelakuannya kayak brengsek!" hina Pearly sambil mendudukkan diri di bibir kasur.

Gerald berdecak tanpa bergerak dari posisinya. "Nggak usah mulai. Udah sana mending lo sekolah!"

Gadis itu membuang napas panjang, lalu membelai kening Gerald layaknya ibu dan anak. "Utututuu ... kacian banget anaknya Mamaa ...."

"Ly!" Gerald membuka selimutnya. Laki-laki itu melirik tajam ke arah Pearly yang kini tertawa cekikikan.

"Stop ngomong aneh, deh! Gue nggak suka dengernya!"

Pearly mengerjap beberapa kali sambil menaik-turunkan alis. "Lho, kenapa nggak suka?"

Gerald berdecak lidah, lalu menenggelamkan seluruh tubuhnya pada selimut tebal. "Dari pada gangguin gue, mending lo berangkat sekolah sana!"

"Tolong panggilin papa, Ly," lanjut Gerald.

Pearly mencebikkan bibir, lalu bangkit dari dudukannya. Ia melemparkan beberapa obat yang tergeletak di atas meja ke arah Gerald.

"Tuh, minum obatnya. Sembuhin sendiri, jangan manja! Gue aja sembuh sendiri waktu lo nyakitin gue."

Pearly pun membalikkan badannya berniat untuk pergi dari sana, tetapi langkahnya terpaksa berhenti begitu wajahnya membentur dada Gara yang ternyata sudah ada di belakangnya sejak beberapa detik lalu. Pearly mendongak ke atas, gadis itu cengengesan saat bertemu pandang dengan Gara.

"Eh, calon suami Pie! Hehe, maaf ya, kalau Pie galak ke anak kita."

"Lily!" sahut Gerald, lantas dibalas dengan juluran lidah oleh Pearly.

Tidak membalas ocehan dua remaja tersebut, fokus Gara kini hanya terpaku pada kondisi Gerald. Ia menyentuh kening sang anak, lalu mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang.

"Halo, selamat pagi."

"...."

"Anak saya sakit, saya butuh bantuan dokter."

Kedua mata Gerald refleks membelalak begitu mengetahui jika sekarang ini Gara sedang menelepon seorang dokter yang kemungkinan besar untuk menanganinya. Ah, ayolah! Dia hanya sakit biasa. Seharusnya Gara tidak perlu sampai memanggil dokter, jika Gara tidak memiliki trauma.

"Ah, Papa! Papa ngapain panggil dokter, sih?" rengek Gerald begitu Gara menyelesaikan panggilan teleponnya.

Gara melempari senyum hangat, kemudian mengusap kening Gerald yang basah. "Kalau kamu tidak mau pergi ke dokter, maka Papa terpaksa panggilkan dokter ke sini."

Gerald masih terus merengek layaknya bayi. Laki-laki itu memohon sedemikian rupa pada Gara agar ayahnya itu membatalkan perjanjiannya dengan seorang dokter. Bukan apa-apa, sejak dulu Gerald itu memang sudah trauma dengan sosok yang bernama 'dokter'. Menurut Gerald, dokter adalah seorang penyiksa yang bersembunyi di balik kata penyelamat.

Masalahnya bukan ada pada dokter, melainkan alat-alatnya yang sangat mengerikan. Termasuk jarum suntik yang membuat Gerald langsung lari terbirit-birit ketika dokter sudah mulai mengeluarkan jarum suntik.

Sementara itu Pearly justru sibuk mentertawakan Gerald. Ia tak pernah menyangka bahwa Gerald memiliki sisi bayi yang sangat menjengkelkan. Jika Gerald bukan calon anaknya, maka sudah bisa dipastikan Pearly akan langsung membuang anak itu ke jurang saking jengkelnya.

"LO TAKUT DOKTER? HAHAHA!"

"Dih? Bukan gitu, ya!" bantah Gerald tak terima Pearly merendahkannya. Malu sekali ia sekarang terhadap gadis itu.

"Udah sana, Papa bawa aja anak ini sekolah biar nggak gangguin Gege terus!"

Gara tertawa kecil, tawa yang tak dibuat-buat dan murni keluar tanpa sengaja saat ia memandangi Pearly yang begitu bahagia meledek Gerald.

Pearly berjengkit dan menghentikan tawa kala ia merasakan sebuah tangan besar memegang pinggulnya perlahan-lahan. Pearly menoleh ke pinggulnya, lalu ke arah Gara dengan ekspresi antara senang dan takut.

"Papa pergi dulu sama Pie. Kamu jaga diri."

Setelahnya Gara pun menarik pinggang Pearly, membawanya mengikuti langkah jenjangnya untuk turun ke lantai bawah dan ke garasi. Jantung Pearly berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya. Ia takut suara detak jantungnya ini terdengar sampai ke telinga Gara. Pearly merutuki dirinya sendiri yang sudah menggoda Gara tanpa tahu akibatnya. Kalau sudah terlanjur begini, mau bagaimana lagi? Yang Pearly bisa lakukan hanyalah menikmati.

Gara membuka pintu mobil samping tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu Pearly pun masuk dan duduk di sebelah kemudi.

Pearly setia memandangi Gara yang auranya bertebaran pagi ini. Setelan kemeja berwarna cokelat seperti selai kacang yang dipadukan celana panjang berwarna hitam benar-benar memperkuat pesonanya. Pria matang memang tidak ada tandingannya.

Gara membuka laci mobil, lalu menyodorkan sekotak susu strawberry pada Pearly.

"Saya sudah stok beberapa kotak susu strawberry untuk kamu."

Pearly mengerjap, lalu bersorak kegirangan sambil merebut kotak susu berwarna merah muda itu dari tangan Gara.

"Om! Ih, sumpah Om baik banget!! Jadi sayang deh!" Terlampau senang, Pearly memajukan wajahnya dan mengecup singkat pipi Gara.

"Aakk! Makin cinta deh!"

Gara memejamkan mata, kemudian tangan penuh otot itu mulai menarik tuas sampai mobil yang mereka naiki melaju.

"Kamu hobi sekali menggoda saya."

Pearly tidak mendengar, susu strawberry membuatnya lupa akan dunia. Gadis itu masih fokus menikmati rasa manis di setiap tetes minuman merah muda tersebut. Susu strawberry adalah sahabat terbaiknya. Pearly rasa dirinya akan selalu menjadi maniak susu strawberry meskipun sudah tua nantinya.

"Jika kamu terus menggoda saya, kamu harus siap jika saya---"

"Pie udah siap dengan segala konsekuensinya kok!" Pearly melempari kedipan mata pada Gara, lalu menyenderkan kepala pada bahu berototnya.

Gara tercengang, memang sudah tidak waras sepertinya anak ini. Dia heran, bagaimana bisa anak remaja itu menyukai pria yang umurnya jauh lebih tua darinya?

"Pie, saya bingung kenapa kamu menyukai saya."

"Ngapain bingung? Om pernah ngaca nggak, sih?"

Gara mendelik, tak mengerti kemana arah pembicaraan Pearly. Ia semakin bingung saat Pearly mengarahkan kaca mobil padanya.

"Tuh lihat! Pesona Om tuh menggoda banget, lho! Perempuan yang pernah khianatin Om pasti nyesel. Kayak si tante ulat bulu itu!" Pearly memicingkan mata sinis, menjengkelkan rasanya saat mengingat Dena.

"Tante ulat bulu?"

_-00-_

Mobil yang dikendarai Gara akhirnya berhenti di depan pagar tinggi yang menjaga area depan gedung sekolah. Banyak siswa yang berbondong-bondong masuk ke dalam sekolah. Suasana sekolahan di pagi hari memang tidak pernah berubah sejak dahulu. Suasananya ceria, semangat, dan hangat karena dipenuhi oleh ribuan remaja yang berambisi terhadap masa depan.

Pearly mengambil ranselnya yang ada di jok belakang. Namun, saat itu juga pergerakannya terhenti begitu Gara mendekatinya. Napasnya tercekat saat geremang tangan Gara menyelip masuk ke sela pinggangnya. Pearly terpaksa menyandarkan tubuh tegangnya saat wajah Gara hampir menempel. Dengan jarak sedekat ini, Pearly bisa melihat dengan jelas bagaimana tegasnya tulang rahang Gara yang sejajar dengan matanya. Aroma parfum khas pria menyeruak masuk ke indera penciuman.

"Om---"

"Selesai." Gara kembali menjauhkan diri dari Pearly.

Pearly langsung menengok ke arah pinggangnya sendiri yang sempat digerayangi tangan Gara. Rasa paniknya kian memuncak. Baiklah, Pearly mulai takut sekarang.

"Saya cuma membenarkan seragam kamu yang keluar dari rok. Kalau sekolah, pastikan seragam kamu rapi."

Pearly masih linglung, lantas buru-buru melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Namun, lagi-lagi pergelangan tangannya dicekal oleh Gara yang masih duduk di depan kemudi.

"Memangnya cuma kamu saja yang bisa membuat jantung tidak aman?"

Pearly menelan salivanya susah payah, tubuhnya masih tegang. Dia takut, tapi senang. Entahlah, Pearly tak bisa mendeskripsikan bagaimana kondisinya sekarang.

"Pie mau sekolah dulu, Om," pamit Pearly gugup, lalu menyalami tangan Gara.

Pearly tidak suka momen canggung seperti ini. Dia memang suka menjahili Gara, tetapi rupanya Gara lebih pandai dalam membalaskan dendamnya. Pearly segera berlari menjauh dari mobil Gara. Namun, baru saja ia berhasil mendapat tiga langkah, suara Gara kembali menghentikannya.

"Pie!"

Pearly menengok ke belakang, di sana ia mendapati Gara yang menyodorkan dua kotak susu strawberry.

"Buat bekal sekolah Pie."

Di samping itu, terdapat sepasang mata yang memandangi mereka dari sisi lapangan. Gadis berseragam sekolah dengan rambut yang sengaja terurai itu memperhatikan tiap gerak-gerik Pearly maupun Gerald.

"Itu Lily, kan? Kok sama bapaknya Gerald? Gerald ke mana?" monolog Kalea seorang diri.

Kalea tahu jika Pearly sekarang tinggal di rumah Gerald. Namun, mengapa Gara hanya mengantar Pearly saja? Ke mana anak kandungnya itu? Kalea berniat menghampiri Pearly yang kini sudah memasuki gerbang sekolah. Kalea berjalan cepat menghampiri Pearly yang sedang berjalan cepat menuju kelas dengan gerak-gerik gugup.

"Lily!"

Pearly menoleh ke arah timur. Hela napas kasar terdengar begitu Kalea datang mendekati. "Apaan?"

"Kok lo sama bapaknya Gerald? Gerald-nya mana?"

Pearly menggedikkan bahu malas. "Ya nggak tahu. Telfon aja sendiri. Dia 'kan, pacar lo, kenapa nanya ke gue?"

Malas meladeni Kalea yang bisa membuat mood-nya anjlok, Pearly memilih untuk segera pergi ke kelas. Bisa naik darah pagi-pagi begini jika terus-menerus meladeni mantan sahabatnya itu.

Kalea berdecak, lalu bersedekap sambil memandangi kepergian Pearly. "Lo sengaja manfaatin bapaknya supaya lo bisa dekat lagi sama Gerald, 'kan?"

Pearly menggeram, darahnya mendidih sekarang. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya sampai emosinya mereda. Menghadapi makhluk sialan seperti Kalea tidak bisa jika dilakukan dengan emosi. Pearly memutar tubuh, lalu menatap Kalea dengan sorot santai namun mengintimidasi.

"Buat apa gue manfaatin om Gara cuma buat deketin Gerald? Gue nggak sebego itu jadi perempuan."

"Gue sama Gerald itu dua makhluk yang jauh berbeda. Tapi, kalian cocok banget kok, kan sama-sama brengsek," sindir Pearly.

Kalea membuang ludah, lalu maju mendekati Pearly. "Terus, kenapa lo mau tinggal di rumah Gerald? Jujur aja, lo masih sayang sama Gerald, 'kan?"

"Dih, ambil tuh pacar lo! Karungin sekalian! Ogah banget gue sama cowok brengsek kayak gitu," sembur Pearly.

"Ya terus, kenapa lo mau tinggal di rumah Gerald? Pasti ada alasan tersembunyi, 'kan?" bisik Kalea dengan menekan kata-kata di kalimat terakhirnya.

Pearly menyunggingkan senyum miring, kemudian mengibaskan rambutnya. "Iya, gue punya alasan."

Kalea menaikkan sebelah alis, menunggu jawaban selanjutnya dari Pearly.

Pearly melambaikan tangan, menyuruh Kalea untuk mendekatinya. Gadis itu menurut saja saat Pearly mendekati telinganya.

"Gue naksir sama bapaknya."

Kalea terperanjat setengah mati begitu bisikan maut Pearly menggerayangi indera pendengarannya.

"Nggak waras lo, Ly!"

_-00-_

Langkah anggun milik seorang wanita berpakaian kemeja putih dengan rok span pendek terdengar menyita seluruh atensi penghuni kantor. Ellen Luziana, sebuah nama yang dibordir di dadanya. Kecantikan wanita itu memang tidak perlu diragukan lagi. Sudah banyak pria yang tergila akan pesonanya. Namun, Ellen tidak pernah menerimanya karena ia sendiri menyukai Gara.

Sifat dingin Gara membuat Ellen tidak berhenti menyukai, malah membuat Ellen semakin merasa tertantang. Namun, sejak kehadiran Pearly yang mengatakan bahwa ia adalah calon istri sang pujaan hati, barulah Ellen merasakan sakit yang luar biasa. Pagi ini Ellen sedang melangkah ke ruangan Gara untuk menaruh beberapa berkas di mejanya.

Matanya melirik ke atas meja, seperti biasa di sana sudah tersedia segelas air untuk Gara. Namun, ada sesuatu yang mencuri perhatiannya. Seekor lalat mati, kenapa bisa lalat mati masuk ke dalam gelas yang ditutup itu? Bersamaan dengan itu muncul pikiran jahat di otaknya. Ia mengambil gelas tersebut, sementara tangan yang satunya merogoh saku kemejanya untuk mengambil sesuatu.

"Nggak ada yang boleh merebut Gara dari gue. Enak banget bocah itu, gue yang mati-matian deketin pak Gara dari dulu malah dia yang dapat."

Para wanita yang terobsesi dengan Gara memang tak segan untuk melakukan berbagai cara. Terhitung sudah beberapa kali para wanita itu berusaha mendapatkan Gara dengan cara yang tidak wajar. Kebanyakan orang berasal dari pegawai kantornya sendiri, Gara tak segan memecat dan memenjarakan orang tersebut.

Namun, entah mengapa Ellen merasa seperti ada yang merasukinya kali ini. Ia tahu perbuatannya ini akan diangkat ke meja hukum jika Gara mengetahuinya. Masa bodoh, yang terpenting sekarang adalah mendapatkan Gara. Ya bagaimana tidak terobsesi? Gara itu makhluk sempurna di mata mereka. Tampan, kaya, tegas, berwibawa, cerdas, gagah. Sungguh penggambaran yang luar biasa sempurna.

Mereka mengabaikan segala kelemahan Gara demi mendapatkan hal positif darinya.

Baru saja Ellen hendak mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, pintu ruangan berbunyi, tanda ada yang memasuki ruangan.

Ellen membatu di tempat, tanpa sadar gelas yang ada di genggamannya jatuh ke lantai begitu mendapati tatapan horor Gara di ambang pintu.

"Bapak ...."

_-00-_


Huwaaa, kepanjangan ya part ini? 😭😭

Ayo dipersilakan main tebak-tebakan!

Tinggalkan jejak kalian berupa vote dan komentar yaa!!

SPAM NEXT KALAU MAU LANJUT 😗

see you, babe!

Ayo, kenalan sama penulis Pie centil di akun Instagram bearlars_wp!

Continue Reading

You'll Also Like

6.4M 329K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
515K 24.2K 34
Zaira salah memilih negara tempat pelariannya agar tidak jadi di jodohkan dengan Gerald, kesalahan memilih negara membuat Zaira harus lari semakin ja...
46.6K 3.9K 27
"Kenalin, Ma. Ini Sasya, calon istri aku," ucap Marcell dengan santainya mengatakan bahwa Sasya adalah calon istrinya. What? Calon istri?! Oh, no! Sa...
16.4K 2.5K 16
Kehidupan itu aneh, dan (Y/n) hanya mempercayai apa yang dia lihat serta alami. Hatsuki (Y/n) pemain terbaik dunia, pria itu mati pada umur ke 30nya...