When The Stars Go Blue | KSJ...

By Taeslandlady

30.9K 5K 3.1K

πŸ”žπŸš© Tidak ada anak yang ingin dilahirkan di sebuah keluarga yang kacau dan disfungsional, sayangnya takdir m... More

Sefruit Pengumuman
Prolog
1. Si Sialan Choi
2. Ayah Bilang, Dia Sedang Menyelamatkanku
3. Bukan Peran Kecil Lagi
4. Dosa Besar yang Dia Punya
5. Lim yang Satu Lagi
6. Tentang "Dia"
7. Aku Bukan Tenggelam! Astaga!
8. Bunga Liar di Sudut Taman
9. Dua yang Terluka
10. Sebuah Kebenaran di Waktu yang Salah
11. Pria yang Sedang Melarikan Diri
12. Malam itu, Pada Hari Ketiga
13. Sisi Dirinya yang Lain πŸ”ž
14. Relativitas di Dalam Dunia yang Gila
15. (Not) Saved by the Bell
16. Yang Tak Termaafkan
17. Enigma dari Bukit Seberang
18. Sebuah Kisah di Kala Kabut Turun
19. Obsesi
20. Semua yang Terjadi di Hari Minggu
21. Rencana Gila
23. Motel, Monster πŸ”ž
24. Pria Asing Bermata Biru

22. Hasegawa Touma

1.2K 201 83
By Taeslandlady

Batas antara hidup dan mati itu tipis.

Lim Jinwook teringat ketika dulu ia dihadapkan pada betapa tipisnya batas tersebut. Berkali-kali Kim Sangyoon menceritakannya dengan jelas. Usianya kala itu masih terlalu hijau, lima belas tahun, tapi tragedi memilihnya seakan-akan usianya jauh lebih besar dari itu.

Tahun 1965, di sebuah rumah pelacuran chinatown, satu selang silikon kecil terbebat kuat di pangkal lengannya. Di nadi pertengahan tangan, sebuah suntikan tiga cc masih menancap. Jinwook tergeletak di lantai kayu berbau lembab jamur hampir satu jam lamanya. Yang menemaninya hanya cahaya temaram kemerahan yang berasal dari bilik-bilik berbau asap rokok dan kabut residu dari para pemadat, menerangi gang yang membelah dua sisi rumah bordil tersebut. Tidak ada yang peduli pada tubuhnya yang teronggok di antara kaki-kaki pelacur dan pria hidung belang yang berlalu lalang, hingga Kim Sangyoon menemukannya.

Ketika itu Sangyoon hanya seorang pria biasa yang baru saja bekerja sebagai klerek. Usianya dua puluh depalan tahun. Dia tidak kharismatik dan tidak menarik perhatian. Penampilannya kelewat biasa, khas kaum proletar miskin yang hanya peduli pada apa yang dapat dimakannya hari itu. Maka, ketika dia membopong ketiak Jinwook dan menyeretnya ke tempat yang lebih manusiawi, tidak ada yang memperhatikannya. Dia bak induk kucing liar yang tengah menyeret bangkai anaknya sendiri, peristiwa kerdil di tengah dunia yang luas ini. Dan ketika Sangyoon berhasil membaringkan Jinwook di pelipir ruangan, dia mendekatkan telinganya pada dada pemuda yang tampak menyedihkan itu.

Sulit bagi Sangyoon untuk menangkap suara detak jantung, tapi dia menemukannya walau sangat lemah. Sangyoon lekas tahu bahwa dia harus membawa sosok malang itu ke rumah sakit, berpacu dengan waktu, berpacu dengan sisa harapan, sementara kendaraan andalannya untuk menempuh jarak sejauh dua ratus meter hanya sepasang kaki yang seharian ini baru mendapat tenaga dari sepotong roti mantau.

Mengabaikan kondisinya sendiri, Sangyoon menggendong Jinwook yang tak sadarkan diri di punggungnya. Napasnya terasa hanya tinggal seujung kuku ketika ia berlari dengan beban 45-50 kilogram di pundaknya. Dadanya seperti siap meledak kapan saja, tapi Sangyoon tak peduli. Isi selembar surat yang baru dibacanya pagi tadi membuatnya ingin menolong pemuda malang itu. Pemuda yang mengingatkannya tentang betapa dunia tak akan memberikan kesempatan bagi mereka yang lemah. Maka dia terus berlari.

Ketika akhirnya tiba di ruang gawat darurat rumah sakit, Sangyoon menyerahkan Jinwook pada petugas paramedis. Pemuda malang itu lekas dibaringkan pada salah satu brankar, diberi pemeriksaan tahap awal. Dokter menyorot matanya dengan senter sebesar cerutu, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya. Sangyoon pikir, semua berjalan lancar, namun tak berapa lama keanehan terjadi.

Sangyoon melihat seorang suster berbisik pada suster lainnya, lalu suster yang lain itu berbisik lagi pada seorang suster lainnya lagi. Mereka saling melempar pandang dengan mulut menggumam kecil, berdiskusi tentang sesuatu yang tampak serius. Sangyoon tak tahu mengenai apa, tapi tiba-tiba dia merasa sebuah peristiwa besar sedang menanti.

Tak lama, salah satu dari ketiga suster itu berbisik lagi pada dokter. Dia tampak terpegun. Kemudian dokter itu menatap Sangyoon dengan cara yang membuatnya merasa tak nyaman, mirip seperti ketika manajer rumah bordil menatapnya usai seseorang mengadu mengenai uang dalam kotak kasir yang menghilang sebagian.

Sangyoon menelan ludah. Dokter itu mendekat.

"Di mana kau menemukan anak ini?" tanya dokter itu.

"Di rumah pelacuran chinatown," jawab Sangyoon setelah menimbang beberapa saat.

"Apa kau tahu dia anak siapa?"

Seketika Sangyoon tahu dia terlibat jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.

.

.

Jinwook berdeham. Batuk tuanya akhir-akhir ini menghilang dan berganti menjadi dahak yang acap kali susah disingkirkan dari tenggorokannya. Dia menanti alat pemindai tekanan darah selesai melakukan tugas otomatisnya sambil memejam dan menjatuhkan kepalanya pada sandaran kursi.

"Butuh kupanggilkan dokter keluarga, Tuan Lim?"

Jinwook membuka mata, lalu berpaling pada asal suara. Dia menemukan Sangyoon baru saja masuk dan menutup pintu ruang kerjanya.

"Tidak perlu. Pemeriksaan kecil seperti ini tidak butuh dokter. Aku hanya akan melaporkan hasilnya pada Dokter Shin melalui pesan singkat." Jinwook mematikan kembali alat pemindai tekanan darah praktisnya, lalu membuka balutan ban pada lengan atasnya. Di usianya kini, batas tipis di antara kematian dan kehidupan itu bergantung pada angka-angka yang tertera di sana. Tapi untuk sekarang, rasanya dia sudah tidak takut mati lagi. Dia sudah tua, kematian merupakan hal yang sering melekat dengannya hingga dia menjadi terbiasa.

"Haeri menitipkan ini untuk kuberikan padamu," sebut Sangyoon setelah dia tiba di sisi meja kerja Jinwook, di tempat di mana ayah Seokjin itu kini duduk sambil memberi kesan berat pada rautnya.

Jinwook melirik kantung kertas di dalam genggaman Sangyoon sejenak, lalu menghela lelah dan kembali memalingkan wajahnya.

"Minumlah. Ini sari ginseng merah, bagus untuk tekanan darahmu," Sangyoon meletakkan kantong kertas itu ke atas meja.

"Bagaimana Seokjin?" tanya Jinwook.

"Terlihat bahagia. Keputusanmu sudah tepat."

Pujian itu tak membuat Jinwook besar hati. Dia merebahkan punggungnya pada sandaran kursi sambil sekali lagi menghempas napasnya lelah.

"Jadi sudah tidak ada harapan lagi, ya?" Jinwook kembali bertanya.

"Bukankah itu yang terbaik? Menghindari Seokjin dan Haeri agar tidak ... kau tahu."

"Aku sudah tidak pernah mengkhawatirkan yang satu itu."

Sangyoon melihat Jinwook yang kembali gusar, "Kau masih ingin Seokjin menggantikanmu?" tanyanya hati-hati.

Jinwook memandang Sangyoon seolah-olah pria kepercayaannya itu bersikap seperti tidak mengenali dirinya, lalu kembali lagi menjatuhkan pandangannya pada satu titik acak di permukaan meja.

"Mereka memiliki rasa hormat khusus pada Seokjin," balas Jinwook. Nada suaranya rendah. Di dalam hati, Jinwook seperti ingin menyangkal fakta yang satu itu. Semakin besar rasa hormat, semakin besar harapan. Entah bagaimana jadinya jika kelompok pemberontak tahu Seokjin mundur dari bisnis ini.

"Rasa khawatirmu itu beralasan, tapi cobalah kurangi sedikit," Sangyoon meraih selembar kertas dari atas meja Jinwook, membacanya sebentar, lalu meremukkannya hingga menjadi bola yang begitu kecil. Sangyoon pikir, kebiasaan Jinwook mengumpulkan hasil tes darah rutinnya hanya akan membuat ruang kerjanya ini menyemak oleh tumpukan kertas-kertas tak perlu, maka dia buang bola kertas itu ke dalam tempat sampah. "Masih ada Haeri, dan menurutku Hasegawa Touma juga bukan pilihan yang buruk untuk kaujadikan ahli warismu."

Jinwook mendecih skeptis mendengar nama menantunya disebut. "Yakuza selalu silau jika ditawari posisi dalam pemerintahan. Dari dulu mereka selalu begitu. Ketamakan mereka tidak baik untuk bisnisku. Bisa jadi bom waktu," ujar Jinwook, lalu dia menggumamkan dasar cacing tamak dengan nada yang begitu rendah, Sangyoon nyaris luput mendengarnya.

"Bukankah kau sendiri yang dulu melamarnya sebagai menantumu?"

"Ya, dulu, sebelum aku tahu Seokjin tidak lagi tertarik pada bisnis kita, sebelum aku tahu dia tidak lagi peduli padaku. Mulanya kupikir Touma bagus untuk menekan sisi liar Haeri."

Jinwook menarik napasnya dalam-dalam untuk yang kesekian kali. Dadanya sesak, paru-parunya seperti tak sanggup lagi menampung banyak udara. Dia sudah tua---walau tak setua Sangyoon---waktunya tak berjalan mundur. Dia berpaling lagi pada pria yang sudah lebih dari lima puluh tahun menemaninya itu, yang masih setia berdiri di sisi mejanya, "Taehyung kini satu-satunya harapanku," sebutnya, dan dia dapat melihat kekhawatiran terbias samar pada dua mata Sangyoon.

***

"Huwaaahh! Bunuh saja aku!"

Aku menurunkan buku yang masih kubaca hingga pertengahan wajah, lalu melirik Taehyung dari baliknya. Dia menyerah dan membiarkan tubuhnya ambruk di lantai, sementara buku-buku pedoman kuliah, buku tulis, semuanya masih terbuka dan kalkulator masih menyala di atas meja rendah tempat kami belajar bersama sebelumnya.

Cih, baru soal sebegitu saja dia sudah ingin mati. Aku memilih pura-pura tak mendengarnya, lalu kembali membaca buku.

"Kenapa soal-soal analisis regresi itu susah sekali, sih?" Taehyung menggerutu lagi, "ayolah Hello Kitty, biarkan aku mencontekmu. Untuk sekali ini saja, ya?"

Aku menutup buku dan meletakkannya kembali pada rak tinggi di kamar Taehyung, "Tidak mau. Kau sudah janji, kerjakan sendiri dulu, baru setelahnya kuperiksa dan kuperbaiki," balasku, lalu kuambil buku lainnya.

Taehyung mendengkus keras. Dia terlihat luar biasa kesal, namun diam-diam aku tersenyum puas. Mengerjai Taehyung dan membuatnya putus asa ternyata memberiku dopamin tersendiri. Anggap saja ini sedikit bayarannya karena seenak udel memanggilku dengan sebutan Hello Kitty.

Aku terkesiap ketika Taehyung tahu-tahu sudah berada di belakangku dan merebut buku yang baru saja kubuka.

"Buku yang ini tidak boleh dibaca," sebutnya dengan wajah datar. Dia menyelipkan lagi buku itu di antara deretan buku-buku lainnya pada rak.

"Mengambil kesenanganku karena aku tidak mau memberimu contekan, wow, dewasa sekali," sindirku, tapi Taehyung tidak memedulikannya. Dia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan mendesah lega seperti baru saja menyelesaikan pekerjaannya sebagai sapi pembajak ladang.

"Hey, Hello Kitty, menurutmu berapa lama lagi sebelum orang-orang di kampus tahu kalau kau dan Hyung sudah menikah?" tanyanya.

Kuputar bola mataku malas. Taehyung yang kelelahan usai mengerjakan soal-soal statistik ternyata bisa menanyakan hal se-random ini. "Memangnya sepenting apa pertanyaanmu itu sampai aku harus menjawabnya?"

"Penting sekali."

Aku menyerah, lantas menjengkit bahu, "Kami selalu pergi dan pulang terpisah, jarang berinterkasi di kampus, jadi katakan saja ... sekitar dua tahun lagi?"

"Ketika kita akan lulus?"

"Kalau mulutmu punya rem dan tidak keceplosan di depan Bitna," Aku bersumpah, Bitna itu punya hidung seperti Hellhound, dia pintar membaui keanehan dan pasti sudah punya kecurigaannya walau hanya setitik.

Taehyung tak membalas lagi. Dia hanya diam memandangi langit-langit. Setelah beberapa lama, dia kembali berujar, "Kau tahu kenapa Hyung tidak mau orang-orang tahu kalau kami kakak beradik?"

Sebelum aku menjawab, Taehyung berpaling padaku yang masih berdiri di depan rak dan memutuskan untuk menjawabnya sendiri, "Hyung membenci garis keluarga Lim dan tidak ingin lagi ada orang lain yang mengangapnya sebagai keturunan Lim."

Fakta yang baru saja kudengar itu tak membuatku memikirkan Seokjin sama sekali. Aku memikirkan Taehyung. Dia berbicara dengan tatapan kosong. Seketika aku tahu, ada luka yang dipendamnya dalam, dan aku merasa tak pantas untuk menyinggungnya. Karena itu, kubiarkan saja dia kembali menerawang pada langit-langit kamar.

Kesenyapan yang terjadi setelahnya membuatku canggung. Aku menutupinya dengan berpura-pura sibuk menelusuri buku-buku pada rak.

"Kau ternyata sentimental, ya?" ujarku sambil memperhatikan buku-buku puisi Emily Dickinson, Walt Whitman dan Sylvia Plath yang berjejer rapi berdekatan.

"Sentimental, tampan, dan kau masih bingung mengapa separuh mahasiswi naksir padaku?" seloroh Taehyung. Suasana kembali hangat.

"Apa jadinya kalau separuh mahasiswi itu tahu kau aneh dan suka mengumpulkan fosil amonite?" balasku.

"Pasti makin naksir."

Kuabaikan opini tak berimbang dan kelewat percaya diri yang keluar dari mulut Taehyung itu, lalu kuperhatikan lagi buku-buku pada rak. Tiba-tiba aku menemukan keganjilan. Buku yang tadi Taehyung rebut dari tanganku itu mencuatkan sesuatu di antara lembar-lembar kertasnya yang tebal. Terlihat seperti sudut sebuah amplop, tapi warnanya tak lagi putih cemerlang.

Aku menariknya, rasa penasaranku mengalahkan larangan Taehyung agar tak mengambil buku itu lagi, dan yang kudapati setelah menariknya keluar memang benar-benar sebuah amplop surat yang kondisinya sudah memprihatinkan--menguning termakan waktu. Tidak ada perangko, tidak ada cap pos, tapi sesuatu pada surat itu membuat dadaku berdesir tak nyaman.

Surat itu memilliki lambang bendera Korea Utara berukuran kecil di salah satu sudutnya. Tidak ada alamat pengirim, tidak ada alamat penerima, tapi selarik tulisan tergores di baliknya, di sudutnya yang polos tanpa tertutup simbol bendera: Teruntuk, Kim Sangyoon. Seketika tanda tanya besar muncul di benakku.

Aku terpekik kecil saat Taehyung kembali menyambar benda yang kugenggam.

"Taehyung, maaf, aku tidak tahu---"

"Sudah kubilang jangan sentuh buku itu!"

Bentakan Taehyung membuat isi perutku seperti meluncur ke lutut. Aku mematung penuh rasa bersalah. "Maaf," sebutku pelan karena tahu aku tidak punya pilihan apa pun selain meminta maaf. Aku sudah bersikap lancang. "Aku benar-benar menyesal," tambahku lagi.

Raut Taehyung melunak. Dia menatap benda tipis persegi panjang di tangannya itu sesaat, lalu tanpa menoleh padaku, dia mengambil buku tadi dan menyelipkan amplop itu lagi di sana.

"Ini surat dari mendiang orang tuaku," jelas Taehyung tanpa kuminta, masih dengan matanya yang tak melirik padaku.

Kutebak, sesudah ini pasti ada kesenyapan yang canggung lagi. Rasanya belum apa-apa suasana hatiku di hari Minggu ini sudah berantakan.

Taehyung baru akan meletakkan buku itu pada rak, sekonyong-konyong pekikan histeris Haeri menghentikannya. Kami sama-sama saling menatap dengan kening berkerut, lalu secara serempak tergesa menuju jendela.

Kamarku dan Taehyung sejajar, maka pemandangan luar jendela kami pun sama. Aku bisa melihat jelas pekarangan depan rumah Seokjin yang luas, jalur paving block-nya yang panjang, pagar alami pohon-pohon cypress yang berjejer rapi, dan di gerbang depan, kulihat Haeri bersitegang dengan seseorang.

Haeri memutar badan dan berlari masuk, tapi sosok asing itu lekas menyusulnya. Dia merenggut lengan atas Haeri, sedikit kesusahan karena Haeri meronta, lalu mereka bersitegang lagi di sana. Dengan jarak yang tak terlalu jauh seperti ini, aku dapat menyaksikan sosok asing itu dengan baik.

Seorang pria, usianya terlihat sebaya dengan Haeri, atau Seokjin. Tubuhnya tinggi, berwajah tegas, kulitnya kecoklatan, namun lebih terang dari madu. Rambutnya hitam dan dipangkas dengan gaya konvensional. Bahkan dari jarak sejauh ini pun aku tahu dia pria yang menarik. Dia mengenakan kemeja bergaya retro, penuh corak, seperti yang dikenakan para pemuja kebebasan di tahun 70an. Lengannya dilinting separuh, beberapa kancing di bagian dadanya dibiarkan terbuka. Yang membuatku lebih takjub lagi, seluruh tubuhnya dipenuhi tato hingga leher.

"Hasegawa Touma. Suami Noona," sebut Taehyung tanpa berpaling dari adegan dramatis di bawah sana. Dia seakan bisa membaca pikiranku.

"Jadi itu suami Haeri? Mereka terlihat tidak akur."

"Yah, biasalah, namanya rumah tangga."

Aku tahu ini akan terdengar aneh, tapi aku dengan tulus berharap agar kedua pasangan di bawah itu lekas berbaikan. Berbaikan dengan sungguh-sungguh, saling memberi afeksi lagi, mesra lagi, lalu pergi jauh-jauh dari rumah ini. Aku tak tahan kalau Haeri masih harus tinggal di sini. Tapi melihat situasi di bawah sana, sepertinya mereka tidak akan berbaikan dalam waktu dekat. Aku berdecak pelan.

Suara pintu kamar Taehyung yang dibuka dengan kasar hingga terhempas pada dinding membuatku dan Taehyung menoleh ke belakang. Dari sana, Seokjin bergegas masuk. Padahal kupikir di hari Minggu seperti ini dia akan selalu lembur di ruang kerjanya dan hanya keluar ketika makan malam, tapi nyatanya sekarang dia di sini. Selagi dia terus mendekat, kegelisahan tergambar jelas di wajahnya. Dia lantas menggamit pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari jendela.

"Touma datang. Situasi di antara dirinya dan Haeri tidak begitu bagus. Aku akan membawa Jinah keluar dari rumah untuk mencegah kemungkinan terburuk," sebutnya pada Taehyung, "kau di sini, berjaga agar Haeri tidak terlalu hilang kendali. Jika terjadi apa-apa, hubungi Paman Sangyoon."

Taehyung mengangguk saja, lalu Seokjin menarikku keluar tanpa membiarkanku mengambil apa pun, termasuk ponselku.

Kami melangkah terburu-buru, menyusuri lorong, menuruni tangga, membelah dapur, dan keluar dari pintu belakang. Kami masih terus berjalan cepat melewati halaman samping hingga akhirnya tiba di garasi yang terpisah dari rumah utama.

Tak mau membuang waktu, Seokjin segera membuka pintu mobil dengan mode senyap, tanpa menimbulkan bunyi alarm, lalu dia menggiringku hati-hati untuk masuk ke dalamnya.

"Kita akan keluar dari pekarangan dengan laju, jadi pasang sabuk pengamanmu dengan baik, oke?" peringat Seokjin ketika aku sudah duduk di kursi penumpang depan. Aku mengangguk, Seokjin lekas menutup pintuku.

Sebelum Seokjin masuk, aku mendesah pendek dan menjatuhkan kepalaku pada sandaran kursi. Betapa menyebalkannya berada pada situasi rumit begini. Kenapa, sih, Haeri selalu saja merepotkan? Ugh.

[]

Author's note:

Ternyata aku masih bisa up bab ini. Berarti bab selanjutnya ditangguhkan dulu ya gaiseu, krn bakalan NSFW. Aku up setelah puasa aja 😁😁

Gimana gimanaaa... Teka teki dan cerita masa lalu Lim Jinwook, Sangyoon, Taehyung mulai terkuak dikit-dikit ya 👀

Btw, ini visual Touma 🌚⬇️⬇️⬇️

Continue Reading

You'll Also Like

68.4K 6.2K 5
Ini pasal Jihan yang harus menyelesaikan tugas dari Taehyung. Β©Arriverdeci 2020
797K 82.2K 56
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
39.4K 3.9K 68
RATE 19+ !!!! Souls full of vengeance and wounds that fools believe in love
18.2K 1.5K 17
Naruto Β© Masashi Kishimoto [ AU ] [ NaruHina Fanfict Story ] [ Dedicated : @PipitIswanti ] ... Hujan. Tak ada hal terindah ketika butiran permata itu...