BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

257K 43.4K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-34]

4.9K 971 245
By embrassesmoi

Reni.



Have you ever felt confused and frustrated to feel so many happy things in a row when your life is actually such a mess?

'Apa ini masuk akal?' 'Apa orang-orang hanya sedang mencoba menghiburku?' 'Apa mereka benar-benar tulus?'

Well, akhir-akhir ini aku nggak berhenti merasakan perasaan semacam ini. Di tengah kerumitan hidupku, rasanya sangat susah dipercaya dan mustahil bagaimana bisa aku merasakan kebahagiaan sebesar ini di hidupku?

Di sela perasaan bahagia yang aku rasakan, aku juga merasa takut dan khawatir di waktu yang bersamaan.

Bisa dibilang, aku terus-terusan merasa gelisah apalagi ditambah fakta kalau ada beberapa masalah baru—yang nggak begitu besar sebenarnya—mendadak muncul satu per satu ke hubunganku dan Hatalla yang baru saja ingin kami perbaiki bersama.

Satu tahun.

Hatalla, syarat dari Ayah, dan rencana pernikahan kami.

Baru saja Hatalla mengatakan semuanya, dia mengungkapkan apa yang disepakatinya bersama Ayah. Sebenarnya untuk dibilang kesepakatan juga rasanya kurang pas karena Hatalla sama terkejutnya denganku, dan mungkin bisa dibilang dia terpaksa menerima persyaratan dari Ayah itu.

"Gimana, Ren?"

Apanya?

Aku menatap Bapak Wijaya sambil mengerjap pelan, mencoba mengumpulkan fokusku yang aku biarkan berkelana di saat Pak Wijaya sedang menerangkan mengenai perubahan jadwalnya minggu ini.

"Kamu ngelamun apa?" tanya Pak Wijaya membuatku tersenyum segan.

Astaga, Ren, jangan malu-maluin begini, lah! "Maaf, Pak. Untuk perubahan jadwalnya tadi—"

"Saya nanya apa, kamu jawabnya apa." Kepala Pak Wijaya menggeleng pelan. "Mikir apa, Nak?"

Kepalaku langsung tertunduk, aku merasa malu sekaligus kesal karena aku menunjukkan sisiku yang tidak profesional ini di depan Pak Wijaya. It feels like only yesterday that I pledged to do my best, but look who is breaking that promise now.

"Saya minta maaf, Pak." Aku menundukkan kepalaku dalam, berusaha menunjukkan permintaan maafku yang tulus di depan Pak Wijaya. "Lain kali, saya akan lebih fokus lagi ketika bekerja. Saya nggak akan mengulangi lagi kesalahan semacam ini, atau menunjukkan sisi saya yang tidak profesional seperti ini di hadapan Bapak untuk kedepannya," kataku, mengucap janji lain—yang aku harap bisa aku tepati—di depan Pak Wijaya yang tampak duduk santai di kursinya.

Mataku terpejam ketika mendengar bagaimana helaan napas kasar Pak Wijaya terdengar memenuhi ruangan kerjanya.

Ren, you have made a big mistake...

"Duduk, Nak." Jantungku semakin berdegup kencang, sementara itu mataku perlahan terbuka. "Duduk sana." Pak Wijaya mengangguk dan mengulangi ucapannya saat aku menatapnya barusan.

Dengan perasaan yang campur aduk, aku menarik kursi di depan meja Pak Wijaya. "Terima kasih, Pak," gumamku pelan sebelum duduk di sana.

"Kamu kalau kerja sama Hatalla juga begitu?" Huh? Maksudnya? "Pastinya nggak sekaku itu, 'kan? Sama Ayah kamu juga nggak perlu sekaku itu? Memang kamu pernah liat saya menghukum cambuk karyawan yang melakukan kesalahan?" Aku menggelengkan kepala pelan. "Makanya! Gitu kamu tadi aja udah kayak terdakwa bakal kena cambuk saya aja, Ren... Ren..."

Susah juga menjelaskannya ke Pak Wijaya sekarang, tapi sebelum bersama Pak Wijaya—even though I'm in a relationship with Hatalla, I maintain a high level of professionalism.

Saat di kantor, sebisa mungkin aku menjaga jarak dan memberi batasan dengan Hatalla—meski Hatalla lebih banyak melanggarnya. Tapi, seingatku, aku nggak pernah melanggar batasan yang sudah aku buat soal hubungan dan profesionalitas selama kami bekerja.

Jadi, aku nggak bisa dengan mudah untuk menuruti dan memahami apa yang dimaksud Pak Wijaya barusan.

Tapi, pada akhirnya aku cuma bisa menganggukan kepala—mengiakan segala ucapan Pak Wijaya untuk sekarang.

"Kamu kepikiran apa?" Dan ternyata, topik pembicaraan kami kembali ke sana. "Jarang ngeliat kamu sampai nggak fokus begitu. Nggak perlu minta maaf, Ayah cuma khawatir soalnya nggak biasanya kamu begini. Kamu nggak lagi sakit, 'kan, Nak?" tanyanya dengan nada lembut—mirip sekali dengan cara bicara Hatalla kepadaku.

Senyumku dengan refleks mengembang, "Saya baik-baik saja, Pak."

Dan sepertinya jawabanku barusan masih belum memuaskan keingintahuan Pak Wijaya, karena setelah itu beliau bertanya lagi, "Syukurlah. Terus, kamu kenapa? Kepikiran apa? Masalah keluargamu?" tanya Ayah, kali ini beliau bahkan menjauhkan punggungnya dari badan kursi agar bisa menatapku dekat. "Ini ada kaitannya soal pernyataan Frederic Simons semalam, Nak? Nggak pa-pa, cerita aja sama Ayah." Pak Wijaya menambahkan senyum di akhir kalimatnya.

Sebenarnya, sebelum ini, Ibu Ainur sudah lebih dulu menghubungiku. Pagi tadi, beliau menanyakan bagaimana keadaanku, apakah aku mau dijemput dan mau makan bubur bersamanya yang sudah aku ketahui alasannya.

Hatalla juga mengirimkan pesan dan voice note, menanyakan dan memastikan kalau keadaanku baik-baik saja.

Dan, sekarang Pak Wijaya gantian yang menanyaiku.

Will others trust me when I say I'm fine? Will others perceive me as cruel and uncaring if I say I no longer feel anything?

Karena sebenarnya perasaan seperti itulah yang aku rasakan sekarang.

Semalam aku menonton press conference yang dibuat Frederic Simons, bukan sesuatu yang baru karena press conference itu kembali dibuat untuk menekankan bahwa Frederic Simons tidak memiliki kaitan dan hubungan apa pun dengan rumor yang ditujukan Mita dan keluarga Pramana kepadanya, bahwa dia akan mengancam Mita dan keluarga Pramana kalau masih bersikeras mengeluarkan rumor-rumor tidak benar mengenai dirinya yang berpotensi menyakiti keluarganya.

"I want to clarify once more that the rumor that I was married and almost had a child is false. What is being spread is a terrible crime that grieves my entire family, particularly my wife and children."


Itu yang dikatakan Frederic Simons di depan kamera wartawan, ditemani kertas yang dibacanya dan raut wajah murka yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Kami memang nggak pernah bertemu secara langsung sebenarnya, aku cuma beberapa kali melihat video dan fotonya secara tidak sengaja—dan yang terakhir, kami sempat bertemu di Singapore—dan aku belum pernah melihat raut semacam itu melekat di wajah Frederic Simons.

Kemungkinan dia sudah pusing dan merasa terpojok dengan rumor yang dibuat mantan pasangannya dulu. Atau kemungkinan besarnya, Frederic Simons mulai dirugikan dan dipaksa membuat pernyataan sebelum masalahnya akan semakin membesar.

Apa pun alasannya, yang pasti cuma satu—aku kembali dihilangkan dari kehidupannya.

Anehnya, meskipun aku merasa sakit hati, tidak sulit untuk mengulas senyum di depan Pak Wijaya sekarang. "Jujur, saya malah nggak kepikiran soal itu sama sekali. I've watched it, and I don't feel anything—perhaps because he never acknowledged me in the first place, so I readily accepted what he said to the press last night."

Berbeda denganku, raut wajah Ayah tampak berubah—tapi, aku nggak bisa menggambarkannya seperti apa. "Meskipun kamu bilang begitu, tapi sudah pasti kamu merasa sedikit sedih dan kecewa, 'kan, Ren?" tanya Ayah lagi, beliau keliatan nggak percaya dengan jawabanku barusan.

Tubuhku tegak di atas kursi, tatapanku juga mengarah lurus ke Ayah. "Kalau dulu, mungkin iya—saya sedih dan kecewa," jawabku cepat. "Tapi, kalau sekarang..." Aku cuma menggelengkan kepala dan semoga Ayah bisa menangkap apa yang berusaha aku katakan.

"You can simply pay back what they have done to you."

Aku mengangguk dengan senyum yang masih terulas di bibirku. "Bahkan saya bisa dengan sombong mengatakan kalau saya bisa membalas mereka tanpa bantuan Bapak dan Hatalla."

Sekali lagi, kalau aku mau—aku bisa membalas kelakuan mereka dengan mudah. Cukup muncul dan membuat diriku hidup, aku bisa menghancurkan dua keluarga besar sekaligus.

"Tapi, saya belum kepikiran ke sana, Pak," lanjutku, membuat Ayah mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya. "Ini bukan cuma soal balas dendam, tapi juga ada kaitannya dengan kehidupan saya kedepannya nanti. Kalau saya memilih mengungkap masalah ini, sudah pasti saya harus siap menerima segala atensi dan perhatian banyak orang yang terarah ke saya, belum juga ada yang mengarah ke keluarga Bapak dan Mas Hatalla kalau mereka sampai tahu saya menjalin hubungan dengan Mas Hatalla—"

Aku belum sepenuhnya selesai berbicara, Ayah lebih dulu memotong perkataanku. "If you wish to fight back, we will support you. You have our complete support," ucap Ayah dengan nada yakin dan raut wajah serius.

Aku tahu, Hatalla sudah pernah mengatakan hal yang kurang lebih sama.

"Tapi, saya belum siap, Pak." Kepalaku menggeleng lagi. Sebesar apa pun dukungan yang diberikan orang di sekitarku, kalau aku sendiri belum siap—semuanya nggak akan berjalan lancar juga, kan? "After all the problems that have happened, from when I was little until now, I just want my life to be calm. I just want to live, thinking that I don't have such a heavy burden in my life. I want to try to live like a normal person—a life that I've never had before."

Setelahnya, Pak Wijaya terdiam dengan pandangannya yang terpaku ke arahku. Aku sempat melihat ada tatapan kasihan dan simpati yang diberikannya sebelum Pak Wijaya memalingkan wajah sebentar—mungkin untuk mengatur ekspresinya—dan kembali menatapku lagi.

"Kalau kamu sudah melibatkan kami dan Hatalla, berarti kamu sudah bicara sama Hatalla?"

Meskipun konteks pembicaraan Pak Wijaya tadi nggak terlalu jelas, aku bisa langsung paham dan menangkap apa yang dimaksud Ayah dari Hatalla barusan.

Benakku kembali penuh dengan banyaknya hal yang aku lamunkan sebelum ini, tentang obrolan singkatku bersama Hatalla di taman belakang rumah Menteng, tentang jawaban yang sampai sekarang belum aku berikan ke Hatalla.

Aku mengangguk lagi, "Sudah, Pak. Tapi, saya belum memberikan jawaban. Maaf," kataku pelan. Perasaan bimbang kembali aku rasakan—yang membuat perasaanku nggak karuan selama berada di rumah Menteng—dan sekarang ketika aku berhadapan dengan Pak Wijaya.

Pak Wijaya malah tersenyum, sempat membuatku bingung. "Kamu sudah seharusnya nggak memberikan jawaban secepat itu ke Hatalla." Gimana? "You have to think things through because this has to do with your future. You have to weigh what he gives and promises to you, how big the percentage is to be realized in the future—everything you have to think carefully about, Ren." Pak Wijaya mengucap barusan dengan raut wajah serius.

Mengingat Hatalla-lah yang merupakan anak kandungnya, bukankah ini lucu ketika mendengar bagaimana Pak Wijaya memberikanku wejangan semacam ini?

"Actually, it was Hatalla who should have considered everything." Tawaku tertahan saat melihat raut Pak Wijaya yang kelihatan tidak terima. "Dan yang seharusnya membuktikan diri dan memantaskan diri adalah saya. If I want to be compared to Hatalla and the big name Adiwangsa, I'm obviously nothing."

Kenyataannya begitu, kan?

Kalau Pak Wijaya bicara soal pantas dan tidak pantas dan segala hal mengenai persentase yang dijanjikan—seharusnya aku yang merasa banyak kurangnya dibanding Hatalla.

"Kami nggak melihat kamu seperti apa yang kamu pikirkan, Nak." Pak Wijaya melipat kedua tangan di dadanya, menatapku sambil mengulas senyum. "Reni yang kami terima, ya, Widuri Ireni yang seorang mantan model dan personal assistant-nya Hatalla. Kami menerimamu dari sosokmu yang itu, Nak." Tatapan kami bertaut, dan aku masih bisa melihat senyum tipis Pak Wijaya dari pandanganku yang sudah berubah memburam.

Dari sosokku yang bukan siapa-siapa itu?

Dari sosokku yang penuh kekurangan itu, Pak Wijaya dan Ibu Ainur—keluarga Hatalla—menerimaku? Bagaimana bisa?

How could such an unbelievable thing happen in my life? Kita bicara soal orang tuaku—bukan, maksudku orang-orang itu—di mana kami sedarah—yang orang lain bilang tidak ada hubungan yang bisa retak antara orang tua dan anak—di hubungan itu, aku membuktikan sendiri kalau orang-orang itu bisa melupakan dan meninggalkanku.

Sekali lagi, itu orang tuaku.

Dan, ini orang lain.

Sebelumnya, Pak Wijaya dan Ibu Ainur adalah atasanku di kantor—how could they so easily accept me when my parents had just abandoned me?

"Awal bulan, tuh, waktunya foya-foya—seneng-seneng—bukannya melamun sampai nggak sadar kalau pacarnya dari tadi ada di sini."

Aku berdecak, rasanya menyebalkan sekali melihat wajah Hatalla yang jail dari jarak sedekat ini.

Bukannya tadi aku sedang bicara dengan Pak Wijaya di ruangannya? Bukannya tadi aku sedang mengerjakan perubahan jadwal Pak Wijaya minggu ini sekaligus menyelesaikan notulensi untuk meeting pagi tadi, ya?

My mind is so busy that I don't realize a day has practically passed...

"Kamu kenapa bisa ada di sini?" Aku memutuskan untuk duduk di kursi di depan meja riasku. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanyaku berturut-turut, mengarah ke kehadiran Hatalla di kosanku yang sudah seharusnya nggak dia lakukan lagi setelah Pak Wijaya memergoki kami.

Hatalla tampak menyeringai, dia melipat kedua tangannya di sisi pinggang—berdiri lurus menatapku. "Ngelamunin apa, sih? Asyik bener sampai nggak sadar aku dari setengah jam yang lalu ngetuk-ngetuk di depan pintu—dari yang lembut—sampai hampir aku dobrak dan terpaksa masuk ke sini pakai kunci di saat aku sebenernya pengin ngajak kamu ngobrol di ruang tamu bawah—"

Alasan! "Ya, udah. Yuk, turun," ucapku, memotong ucapan Hatalla dan bersiap-siap berdiri dari kursiku sebelum Hatalla mendorong bahuku untuk kembali duduk. "Kenapa? Bukannya kita mau ngobrol di ruang tamu, ya?"

"Kesempatan sudah habis. Ibarat nyawa di game, tuh, udah game over sejak aku ngetuk pintu kosanmu hampir seribu kali tadi." Dengan gaya songongnya, Hatalla menjawab santai.

Dengan gaya sok-nya itu, gimana aku bisa percaya, kan? "Terus, kita bakal ngobrol di sini gitu dengan persentase ketahuan sama Ayah dan Ibu yang jadi jauh lebih tinggi daripada sebelumnya?" ucapku sengaja menyindir kejadian terakhir kali di mana Hatalla dengan polosnya keceplosan di depan Ibu.

"Masnya dulu mana?" Hatalla mengedipkan salah satu matanya. "Mas dulu, baru kita ngobrol di ruang tamu," katanya ditambah raut genit yang sungguh aku benci dari dulu.

Kepalaku menggeleng, "Nggak usah, aku mau langsung tidur aja," kataku berusaha mengerjai Hatalla sekarang.

"Mas doang, Yang..." Hatalla dengan cepat menahan lenganku ketika aku hampir berjalan menuju ke arah ranjang. "Aku nggak minta apa-apa, loh."

"Itu... Kamu sendiri yang bilang nggak minta apa-apa, kan?" ucapku, mengulang ucapan Hatalla sebelumnya.

Serius, rasanya sudah lama sekali aku dan Hatalla nggak punya momen-momen ringan semacam ini lagi. Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang terjadi, dan kami tidak lagi bisa punya waktu untuk mengerjai satu sama lain seperti yang biasanya sering kami lakukan dulu.

Hatalla tiba-tiba saja menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Please have some mercy on me, lah, Yang..." Dia lalu menatap IWC yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku harus balik jam 11, ini udah jam sembilan, loh, Yang," katanya, lengkap dengan tatapan khawatir.

"Memang kenapa gitu?" Jangan bilang Hatalla masih ada pekerjaan dan dia menyempatkan waktu untuk datang ke sini?

Mata Hatalla melotot, "Kamu nanya, Yang? Serius?" Serius, lah. Hatalla langsung memegang keningnya waktu aku mengangguk. "Sekarang, pertemuan kita ada jam malamnya, Reina... Kalau udah jam 11, aku harus balik—mau kita lagi ngedate diluar pun, aku harus antar kamu pulang sebelum jam 11 malam."

Astaga... Ini pasti karena Ayah dan Ibu, 'kan, ya?

"Makanya, Yang, kita harus bisa memanfaatkan waktu setiap kita ada kesempatan buat ketemu." Hatalla menjelaskan lagi, kali ini dia memegang kedua lenganku erat. "Kangen-kangenan, tuh, butuh waktu lama, Yang. Aku masih belum terbiasa—"

"Yuk, ngobrol di ruang tamu aja, Mas." Aku berdiri dari kursi, mengamit lengan Hatalla dan mengajaknya keluar dari kamarku.

Bukan karena menuruti keinginan Hatalla—karena aku sih penginnya malah mengerjainya terus-terusan—tapi, aku sudah cukup muak dengan sikap berlebihan Hatalla yang sudah pasti akan terus ia lakukan kalau aku nggak buru-buru memotong perkataannya tadi.

Hatalla menoleh ke arahku, rautnya keliatan kaku. "My entire body shook with shock,loh, Reina. I thought you would not give in to my wishes." Hatalla bahkan nggak berkedip waktu melihatku sebelum aku memukul lengannya lumayan keras, menyuruhnya untuk fokus menatap ke arah depan.

Aku mengajak Hatalla pergi ke ruang tengah yang ada di lantai dua karena informasi dari Ibu kos, semua penghuni di lantai dua sudah pindah kecuali aku. Jadi, aku pikir kami berdua bisa bicara leluasa di sini dibanding di ruang tengah lantai satu.

"Tapi, kayaknya kita perlu revisi nama panggilan tadi, deh." Hatalla masih aja membahas soal panggilan yang aku katakan tadi begitu kami duduk bersebelahan di sofa di ruang tengah lantai dua.

Menahan diri untuk nggak berdecak, aku menatap ke arah Hatalla. "Bukannya kamu sendiri yang minta?"

Hatalla mengangguk, lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak lagi, deh. Selain nggak baik buat jantungku, aku juga merasa nggak cocok kamu panggil Mas," katanya sambil memegang dadanya.

Repot amat, ya, La?

Terserah dia, deh. Suka-suka Hatalla aja.

"Nanti kita pikir lagi soal panggilan sayang buat aku, ya, Yang?" tanyanya, mengulas senyum dan menggenggam salah satu tanganku. "Gimana hari ini? Kerja sama Ayah betah, 'kan? Nggak ada masalah, kan?" tanyanya sama persis seperti pesan yang dikirimkannya sebelum aku pulang dari kantor beberapa jam lalu.

Mendadak, aku mengingat tentang obrolanku dengan Ayah di ruangannya tadi. "Sempet kena tegur—nggak bisa dibilang kena tegur juga, sih..."

Jawabanku barusan membuat Hatalla bergerak terburu-buru menatapku, "Kenapa? Ada kerjaan yang nggak selesai?" tanyanya dengan nada dan raut wajah yang keliatan khawatir.

Perasaanku untuk kesekian kalinya berubah menghangat saat mendapatkan reaksi semacam ini dari Hatalla.

"Bukan masalah begituan." Kepalaku menggeleng pelan. "Tadi, waktu diajak ngobrol sama Ayah, aku malah nggak fokus."

Sesuai tebakanku, Hatalla menatapku heran. "Kamu? Tumben amat?" tanyanya keliatan bingung dan nggak percaya.

"Kepikiran soal kamu. Soal apa yang terakhir kali kita omongin di rumah Menteng." Kalau dulu aku berusaha menutup-nutupi banyak hal, sekarang aku sudah mulai jujur ke Hatalla—membagi gelisahku dengannya.

Raut wajah Hatalla langsung berubah, "Maaf, ya, kalau apa yang aku omongin malah bikin kamu kepikiran." Aku diam karena tahu Hatalla belum selesai bicara. "Tapi, aku pikir kalau aku nggak cerita secepatnya, semuanya makin makin susah buat dibicarakan berdua kedepannya. Since everything is still in its early stages, I think that I might gain insight about your willingness to put up with me in this relationship. I need to know the answer as soon as possible, preferably from the start, before we both fight for the following year."

Kepalaku mengangguk, setelah mencerna apa yang dikatakan Hatalla saat itu, aku juga tahu kalau membicarakan ini sedini mungkin akan jadi pilihan yang terbaik untuk kami berdua.

I can't imagine how startled I'll be when I discover it's too late to fight for our relationship with Hatalla.

"Sebelum ini, kamu pernah mikir soal pernikahan nggak, sih, La?" Aku memutar tubuh, menghadap ke arah Hatalla yang duduk di sampingku.

Hatalla sempat menipiskan bibirnya lalu kepalanya bergerak menggeleng pelan, "Jujur aja, belum pernah kepikiran, Yang." Dan entah kenapa, aku malah berubah lega. "Hubungan kita... Hubungan kita sebelum ini masih belum siap untuk sebuah pernikahan, itu pendapatku, ya. I thought we still had a long way to go—working on our relationship—before we were both ready to marry."

Aku setuju dengan apa yang dikatakan Hatalla. "Lima tahun ini, hubungan kita benar-benar cuma diam di tempat aja, ya?"

Tapi, Hatalla tampaknya nggak setuju dengan ucapanku. "Aku bisa jawab benar dan salah di waktu yang bersamaan." Kepala Hatalla menggeleng, dia mencium tanganku sebelum kembali melanjutkan, "We've learned a lot over the last five years, and we've gotten to know each other better. But I also can't deny that our relationship has stagnated, because sometimes I feel that way." Kepala Hatalla terlihat menunduk, membuat hatiku berdenyut sakit saat aku kembali membayangkan seberapa menyakitkannya ada di posisi Hatalla dulu.

Nggak ada gunanya juga untuk menyesali apa yang sudah terjadi sebelum ini, 'kan? Toh, semuanya nggak akan mendadak mengubah masa lalu juga...

I just need to accept everything and use it as a learning experience and a warning not to make the same mistakes again.

"Kita ubah, ya, buat kedepannya." Ucapanku barusan membuat Hatalla mengangkat kepalanya, menatapku dengan sorot mata terkejut. "I can't promise that everything will go easily over the next year, but let us strive for it together," kataku, ikut membalas genggaman tangan erat kami yang sekarang ada di pangkuan Hatalla.

Meskipun aku takut, khawatir, dan masih banyak lagi perasaan nggak karuan yang aku rasakan, tapi aku mengingat kembali alasan yang membawaku sampai ada di titik ini sekarang.

Bukannya aku berubah demi hubunganku dan Hatalla? Bukannya aku sendiri yang mengatakan akan mengusahakan semuanya?

"Jadi, jawabanmu itu, Yang?" Hatalla masih juga belum lepas dari keterkejutannya ketika ia menggenggam kedua tanganku dan mempersempit jarak kami.

Aku nggak mengangguk dan juga nggak menggelengkan kepala, "I actually felt scared and hesitant. I still feel like everything is happening too hastily. We only have one year, La. With my flaws and imperfections, I don't know where to start to prove my worthiness to be with you—"

Kata-kataku rasanya hilang entah ke mana saat melihat Hatalla tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca. "We share the same feelings, Rein. I also feel exactly the same feelings as you do. I also feel confused about where to start to make myself worthy when I ask you to be with me for the rest of my life." Hatalla buru-buru menundukkan kepalanya. "Sorry, I got a little emotional because I finally felt like you were willing to fight for me and our relationship," tanyanya bagaikan pisau yang langsung menancap dalam di hatiku sekarang.

How insecure and ignorant was I that Hatalla would say such a thing?

Mataku juga ikut berkaca-kaca sekarang, rasanya seperti aku diingatkan soal seberapa jahat dan bodohnya aku di hubungan kami dulu. Dan aku juga menyadari kalau Hatalla nggak pantas mendapat perlakuan semacam itu dariku ketika dia adalah satu-satunya orang yang berjuang untuk hubungan kami selama ini.

"Sebenarnya aku maunya menolak, aku nggak bisa terima soal persyaratan satu tahun itu." Untuk kesekian kalinya, Hatalla kembali mengarahkan tatapannya ke arahku dengan cepat. "I still feel like nobody to be with you." Kepalaku menggeleng, melarang Hatalla yang sudah siap untuk menyela ucapanku. "Kenyataannya memang begitu, kan? It's difficult for me when we only have one year. I believe the level of appropriateness is different for each of us. I definitely have a lot more homework to complete. There were a lot of concerns in my mind, but after speaking with you, I feel confident that I want to give it a shot—try to work on my merits, try to realize, and do all of the goals that were assigned to us over this one year."

Meski takut dan ragu masih aku rasakan, aku pikir aku sudah memberikan jawaban terbaikku ke Hatalla.

I want Hatalla to know that I fought for him as well, that I am worthy of being with him, and that he deserves everything from me.

Pelan-pelan, ya, La, bakal aku buang satu per satu ragu dan takutku. 

Continue Reading

You'll Also Like

57.6K 9.7K 37
Tervonis amnesia disosiatif, Dokter Chadi Kharisma melanjutkan hidup "normal"-nya penuh teka-teki. Hingga terkuak bahwa ia duda dan punya mantan istr...
1.2M 55.8K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
47.4K 8K 18
Berteman sejak kuliah, membuat aku memahami teman-temanku. Fauzan yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, Aldi yang tidak pernah siap berkomitm...
138K 9.9K 51
Bagaimana rasanya berada disuatu tempat yg terlihat hangat di depan namun jika kau berada di dalamnya, mungkin kau akan mencari segala cara agar dapa...