BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

256K 43.3K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-33]

4.9K 1K 286
By embrassesmoi

Hatalla.



"Kamu lebih suka dibunuh daripada fokus soal persyaratan yang Ayah kasih kemarin, La?"

Menurut Ayah sendiri gimana?

"Waktu satu tahun yang Ayah kasih itu singkat, sementara apa yang harus kamu selesaikan banyak! Masih aja kamu nggak mau denger omongan Ayah? Ayah harus ngomong pakai cara apa lagi supaya kamu bisa ngerti kalau ini nggak main-main, La! Kalau kayak gini, mending nggak usah diterusin aja hubunganmu sama Reni, biar bubar sekalian!"

Sembarangan!

Amit-amit, ih!

Gue melirik sebentar ke arah Ayah, dari tadi gue sebenernya udah mau ngejelasin tapi Ayah kayaknya masih nafsu banget buat ngata-ngatain gue. "Ayah denger cerita apa dari Ibu? Sejak ketahuan sama Ayah kemarin, aku sama Reni malah belum ketemu sama sekali, Yah," jelas gue sedikit demi sedikit waktu melihat keadaan Ayah sudah agak tenang.

"Who do you think you are fooling?" Dengan raut murkanya, Ayah menimpal cepat. "Ibu cerita kalau kamu nginep sama Reni! Pokoknya nggak pantes, Ayah sendiri malu ngomong di depan kamu kayak sekarang ini, La!"

Untung aja, 'kan, gue bisa ngebujuk Ayah buat ngobrol baik-baik di ruang kerjanya dan akhirnya cuma gue yang denger makian dari Ayah, meskipun lengan gue rasanya nyut-nyutan kena tonjok—asalkan Reni—yang kayaknya sudah datang lebih dulu ke rumah—nggak khawatir.

Berdiri di depan meja kerja Ayah, gue menggelengkan kepala. "Hatalla sama Reni dari kemarin sampai hari ini belum ketemu sama sekali, Yah." Gue mengulang lagi ucapan gue sebelumnya, membuat Ayah memutar kursinya menyamping—nggak lagi mengarah lurus ke arah gue. "Semalam Hatalla ada ketemu sama Algis dan Narendra, kami ke Bleues Notes sampai pagi. Tanya ke Deryl kalau memang Ayah nggak percaya." Ayah masih belum bereaksi juga. "Semalam, kayaknya Hatalla rada mabuk—dikit. Dan, ya, paginya jadi ngomong ngaco waktu Ibu mampir ke rumah Hatalla.

"Toh, Ibu sama Deryl tadi pagi—di hari yang sama—pergi jemput Reni buat nganterin Reni ke kantor, Yah. Jadi, ya, mana mungkin Reni ada di rumah Hatalla—"

"Kalau kamu orangnya, apa yang nggak mungkin bisa jadi sangat mungkin, La." Ayah memotong ucapan gue, dia melirik tajam sebelum memutar kursinya menghadap ke arah gue lagi. "Jangan sampai, ya, La, Ayah kehilangan kepercayaan sama kamu," katanya yang berhasil membuat gue menghela napas panjang.

Seharusnya, malam itu gue nggak menyentuh cocktail yang gue pesan secara sembarangan itu. Seharusnya gue dengerin apa yang dibilang Algis buat pesen air putih atau apa pun minuman yang nggak mengandung alkohol.

Tapi, takdir emang suka main-main sama gue.

If I'm being honest, this isn't my first time being drunk. Dulu jaman kuliah dan awal-awal kerja di ATU, gue beberapa kali mabuk dan bahkan dipulangkan ke rumah Menteng—bukan rumah gue sendiri—tapi, gue nggak pernah se-ngaco semalam dan tadi pagi.

Mungkin saking kangennya gue ke Reni kali, ya? Atau karena setelah kejadian di mana Ayah memergoki kami berdua, gue tau kalau pertemuan kami nggak akan bisa sesering dan se-intens dulu—gue jadi frustrasi duluan.

Ini itungannya baru sehari, gue udah ngaco kalau Reni ada di rumah gue—terlepas gue lagi mabuk dan apa pun itu—dan membuat keributan di depan Ibu yang jelas aja murka ngeliat kelakuan gue.

"Ayah ingetin sekali lagi, ya, La. Kamu yang sekarang—yang belum punya apa-apa ini—harusnya malu kalau mau berhadapan dengan Ireni, apalagi kamu punya misi—mau menikahi dia." Ayah kembali buka suara, dia juga ikut menunjuk kursi yang ada di hadapannya. "Siapa yang nyuruh kamu duduk?" Gue kembali berdiri, mengurungkan niat untuk duduk. Bukannya barusan Ayah yang nyuruh gue duduk, ya? "Pinggirin kursinya! Kamu berdiri depan situ!"

Kena lagi gue.

Sesuai dengan perintah Ayah, gue menarik kursi yang dimaksud Ayah dan menaruhnya di pojok ruangan.

"Progress-mu sekarang sudah sampai mana?" tanya Ayah begitu gue kembali berdiri di depan meja kerjanya.

Baru satu hari kerja terus ditanyain soal progress, nih, konsepnya gimana?

Belum juga gue ngejawab, Ayah langsung menimpali dengan nada sinis. "Nggak ada progressnya?"

"Ada, Yah." Gue menyahut nggak kalah cepatnya. "Malaika—" Waktu gue menyebut nama barusan, Ayah langsung menghela napas panjang. "—soal Malaika sudah Hatalla urus. Jeremy says he already has a list of things that can keep Malaika and her family busy."

Dengan gerak tangannya, Ayah menyuruh gue untuk menggeser tubuh sementara dia memegang remote tv, mengganti beberapa saluran sampai akhirnya layar tv menunjukkan wajah Pak Syamsir. "Kamu sudah dikasih tahu detailnya?" tanya Ayah dengan pandangan yang mengarah ke televisi.

"Sudah, Yah." Gue juga ikut menatap ke arah televisi. "Tadi siang barusan selesai ngobrol bareng Jeremy, Narendra, sama Deryl."

Gue menatap lagi ke arah Ayah yang sekarang sedang menganggukan kepala. "You've thought this plan through, haven't you, La? Make sure there's no excuse for the media or even Santoso's family to attack recklessly because of the urgency of their position." Raut serius Ayah masih menempel lekat di wajahnya ketika menatap lurus ke arah televisi.

"Everything is well prepared." Ayah mengangguk lagi menanggapi ucapan gue barusan. "Hatalla juga minta tolong ke Pak Lek Tim." Gantian gue yang mengangguk sekarang waktu Ayah menolehkan kepalanya ke arah gue dengan cepat. "It's about the business I planned to start with Santoso's family. I've chosen to withdraw and cancel everything—"

"Apa mereka nggak curiga?" Ayah langsung memotong ucapan gue, dia bahkan sempat menggebrak meja. "Setelah kamu membatalkan semuanya, mendadak mereka kena masalah. Kalau Ayah jadi mereka, ya, Ayah pasti mikir sudah pasti ini ada sangkut pautnya sama kamu, La!" Raut wajah Ayah berubah khawatir sekarang.

Panik amat?

Nggak bisa nyalahin aja juga, sih. Toh, yang lain—Jeremy, Narendra, dan Deryl—juga sama panik dan kagetnya waktu gue ngasih tahu ke mereka soal planning gue yang mau membatalkan semua rencana bisnis gue sama keluarga Santoso.

Setelah bicara dengan Malaika malam itu di Sumbawa, gue semakin yakin kalau rencana ini nggak akan berjalan mulus kalau misi visi kami nggak searah, and I've heard that Santoso and his family are circulating stories about my and Malaika's relationship in order to get business. Ditambah dengan fakta kalau gue menyetujui berita korupsi Syamsir dan rumor soal bisnis prostitusi yang dikerjakan keluarga Santoso lah yang akan kami keluarkan ke media, gue jadi semakin nggak pengin lagi berurusan dengan keluarga itu.

Gue menggeleng, tapi raut khawatir Ayah masih tercetak jelas di wajahnya. "Nggak bakal, Yah. Sebelum ini, Hatalla sudah minta tolong ke Pak Lek Tim. He had his team complicate the legal process and also made a huge fuss about my business plan with the Santoso family. Malah bakal jadi suatu hal yang mustahil kalau aku tetap mau jalan sama mereka."

Pada akhirnya, gue memang meminta tolong ke Pak Lek Tim soal urusan gue dengan keluarganya Malaika. Dan, tentu saja Pak Lek Tim dengan senang hati membantu gue. Cuma butuh waktu satu hari untuk membuat rencana bisnis gue dan Pak Santoso berantakan, Pak Lek Tim mengacaukan beberapa proses-proses penting, menarik beberapa investor yang membuat Pak Santoso menghubungi gue dan mengatakan kalau rencana bisnis kami mungkin nggak bisa terlaksana dengan mudah.

Intinya, Pak Lek Tim berusaha menyamarkan kemungkinan kalau gue ikut berperan ke permasalahan yang menimpa keluarga mereka sekarang.

Setelah menjelaskan secara panjang lebar ke Ayah, barulah raut wajah Ayah berubah lega. "Kalau kamu ada waktu, datang ke rumahnya Pak Lekmu. Ajakin Reni sekalian," katanya yang gue angguki cepat. "Oke. Kalau progress masalahnya Reni gimana?"

Nah kalau yang ini...

"Belum ada progress apa-apa," jawab gue sambil menggelengkan kepala. "I discussed this with Reni, and she does not want to take any action with her family just yet. She prefers to believe that she will let things happen the way her parents want them to." Gue menjelaskan persis seperti apa yang dijelaskan Reni ke gue.

Sementara itu, di depan gue, Ayah tampak bergumam panjang—dia keliatan seperti memikirkan sesuatu. "Tapi, dia butuh ngomong sama Ibunya, sih. Supaya ada closure yang jelas juga buat dia. Diam-diam begitu, kita nggak tahu, 'kan, perasaannya kayak gimana?" Gue mengangguk merasa sepemikiran dengan Ayah. "Apalagi ini ada kaitannya dengan orang tua. Ireni dibesarkan sendiri sama Ibunya, sudah pasti Ibunya berharga—meskipun Ibunya sebenarnya nggak pantas dapat perhatian juga dari Reni—seenggaknya mereka perlu bicara berdua."

"Tapi, Reni belum mau." Diliat dari obrolan kami sebelumnya dan bagaimana gue mengenal pribadi pacar gue itu, gue sangat yakin kalau Reni akan susah dibujuk tentang hal-hal yang sudah sesuai dengan pendiriannya. "She is pretty stubborn about it, dan untuk sekarang—aku cuma bisa nurut dulu," kata gue yang juga membuat Ayah menghela napas panjangnya.

"Tapi..." Ayah menimpali lagi, menatap gue dengan kedua alisnya yang terangkat.

Gue nggak tau dari mana Ayah bisa tahu kalau sebenarnya gue sedang bimbang soal satu hal, dan ini memang masih ada kaitannya dengan Reni.

Kedua bahu gue mengedik bersamaan, "Ibu Mita minta ketemu, but I still haven't responded."

"Ibunya Reni?"

Gue mengangguk, "She sent me a message, and I still don't know how to answer."

"Jangan ambil keputusan sendiri, La." Ayah langsung menimpali dengan cepat. "Kamu harus ajak Reni buat diskusi dulu, apalagi kamu tadi ngomong sendiri soal Reni yang belum mau ngurusin masalah sama keluarganya itu," ucapnya, menatapku lurus dan tajam.

Gue sendiri, sih, juga nggak bego buat jalan sendirian ngurusin masalah keluarganya Reni di saat gue tahu Reni akan bersikap gimana setelah tahu nantinya.

Dan sekarang gue kebingungan karena Ibu Mita beberapa kali menghubungi gue, di saat gue juga nggak bisa nge-block nomornya.

Nggak lama setelah itu, Ayah mengajak gue buat turun menemui Ibu dan Reni yang ada di taman belakang.

Sebelum kami melewati pintu bifold pemisah antara area dalam rumah dan taman belakang, Ayah lebih dulu menyikut lengan gue sambil berbisik, "Kamu jangan berulah macam-macam di depan Ibumu kalau nggak mau kena tonjok lagi."

Orang waras mana yang berani berulah di depan Ibu setelah gue dibuat berdiri di ruangan kerja Ayah kurang lebih selama satu jam-an?

Setelah membiarkan Ayah lebih dulu keluar ke taman belakang, gue ikut menyusul di belakangnya.

Gue sudah sering pergi ke banyak tempat yang dibilang orang jadi tempat terindah dan blablabla, tapi gue pikir pemandangan di taman belakang gue ini bisa dibilang jadi tempat terindah buat gue. Ngeliat Reni ketawa, dan ngobrol sama Ibu—I believe I used to dream of times like these, but I never imagined that they would become a reality.

"Oh, terserah. Memang kalau makan di luar, anakmu bisa diajak?" Mulai lagi... Gue sengaja berhenti dan berdiri di samping Ayah dan menatap Ibu lembut lengkap dengan senyum manis gue. "Resiko aja, sih. Soalnya, 'kan, anakmu sekarang sedang dalam keadaan pikiran yang nggak baik-baik aja. Sakit banget kayaknya. Yakin mau makan di luar?" tanya Ibu penuh sindiran sambil melirik ke arah gue tajam.

Gue cuma diam, membiarkan Ayah yang mengobrol bersama Ibu karena tahu kalau dikit aja gue nyahut—semuanya bakal lebih rumit dari keadaan sekarang. Jadi mending lo diem, La.

Seru lagi sambil lirik-lirik Reni, 'kan, ya. Duh, sudah berapa hari kita nggak ketemu, Rein? My longing does not feel like a longing because I desperately want to meet and hug you, Rein...

Mata gue mengerjap cepat ketika merasakan sesuatu memukul gue di wajah, sampai gue menyadari kalau Ibu hampir aja mengarahkan majalah yang ada di atas meja ke wajah gue sekali lagi.

Gue salah, sih... "Ngeliatnya bisa biasa aja? Tuh, matamu jatuh ke bawah!" kata Ibu sambil membelalakkan matanya lebar.

"Mana, Bu? Mana?" Gue menurunkan pandangan, dan dalam sekali lirikan gue tau kalau Ibu tengah menahan tawanya sekarang.

Gampang sebenarnya maafan sama Ibu, tuh. Justru jauh lebih gampang, daripada gue harus berhadapan sama Ayah. Makanya, gue nggak terlalu heboh tadi waktu sadar kalau gue keceplosan di depan Ibu—nggak kayak Deryl yang udah hampir dicabut nyawanya.

Berbeda dengan respons yang gue dapat dari Ibu, Reni menatap gue datar sama seperti Ayah—membuat gue langsung terdiam canggung.

Santai dikit kali, Bos?

"Jadinya mau makan malam di mana? Di rumah aja?" tanya Ayah lagi, kali ini menatap gue dan Reni juga.

"Di rumah aja." Gue menjawab lebih dulu sambil menatap ke arah belakang. "For now, we should avoid going out together," bisik gue pelan, memastikan cuma Ayah saja yang bisa mendengarkan.

Ayah mengangguk waktu gue kembali menatap ke arah Ibu dan Reni, "Bu, coba telepon chef Rudi, minta tolong buat datang ke sini."

"Kenapa nggak jadi makan di luar?" tanya Ibu, menatap curiga gue dan Ayah.

"Memang Ibu nggak malu kalau ngajakin anak Ibu ini makan di luar?" tanya gue, gantian menggoda Ibu supaya Ibu nggak terlalu berlarut-larut mempertanyakan pertanyaan yang sama.

Masih menatap gue judes, Ibu berdiri dari kursinya. "Ya, kamu ditinggal, lah. Kita, 'kan, niatnya cuma mau pergi bertiga," jawabnya sambil berjalan berlalu dari gue, masuk kembali ke dalam rumah disusul Ayah yang sebelumnya menatap gue tajam.

Serba salah banget gue?

Setelah memastikan kalau Ibu dan Ayah benar-benar masuk ke dalam rumah, gue mengembalikan tatapan gue ke arah Reni yang keliatan khawatir melihat kepergian Ibu dan Ayah barusan.

"Tenang, Ibu sama Ayah udah nggak marah lagi, Yang." Sumpah rasanya geli banget waktu liat wajah khawatir Reni sekarang.

Reni langsung melirik gue tajam—kagetnya, gue sempet salah liat dan mengira kalau Ibu masih ada di sini—sebelum melengos, "Kamu beneran nggak ada kapoknya, ya, La?"

"Kapok, Yang." Gue berdecak, masih memilih berdiri di depan kursi yang diduduki Reni. "Kalau nggak kapok, semalam aku tetep pulang ke kosanmu dan ketauan lagi sama Ibu," kata gue yang dihadiahi pelototan tajam dan lebar dari Reni.

"Capek, ah, ngomong sama kamu," katanya, melempar tatapan ke arah lain. "Kamu... tadi sama Ayah gimana?" Gue melipat bibir, mencoba menahan senyum waktu menyadari kalau Reni mencoba melirik ke arah gue.

Sebenernya, gue nggak pengin menceritakan apa pun—berusaha untuk nggak membuat Reni khawatir, tapi kalau kayak begini, 'kan, gemes sendiri, ya? I can't miss any opportunity, ibaratnya gitu.

Gue memegang lengan tangan gue yang sebenarnya udah nggak kerasa sakit lagi, "Sakit, sih, dikit." Dan jawaban gue berhasil menarik perhatian Reni sampai dia kembali menatap gue lagi. "Cuma rada nggak enak buat digerakin gitu, loh," kata gue sambil mencoba menggerakkan tangan gue ke depan dan ke belakang.

"Dipukul sama Ayah? Keras banget?" Raut Reni berubah khawatir, dia mengulurkan tangannya dan menarik tangan gue. "Kamu, sih, pake acara keceplosan di depan Ibu! Ini agak bengkak nggak, sih? Kayaknya, bengkak, deh," ucap Reni waktu dia memijat lengan yang tadi sempat ditonjok Ayah.

Sumpah, gue rasanya bukan bahagia lagi—tapi, lebih dari itu—waktu dengar bagaimana Reni menyebut Ayah gue dengan sebutan Ayah. Sebelumnya, dia masih menggunakan sebutan Pak Wijaya. Gue nggak tahu dia sadar apa nggak dengan apa yang diucapkannya barusan, tapi gue pikir ini salah satu kemajuan di hubungan kami yang sedang diusahakan Reni.

Reni masih memijat tangan gue waktu gue memutuskan untuk berjongkok di hadapannya, membuat Reni menatap gue dengan kernyitan penuh di keningnya.

"Rein, do you think our relationship has gotten better?"

Raut Reni keliatan heran waktu dengar pertanyaan dari gue barusan, "Kenapa tanya gitu?" tanyanya balik, menghentikan pijatannya di lenganku.

"Even though it's not obvious, I think there have been a lot of small changes in our relationship that are leading to good things. It's not just me who feels it and realizes it, right? You also feel the same way, right?" tanya gue lagi, gantian gue yang menggenggam kedua lengan Reni supaya dia memfokuskan tatapannya ke gue.

Meski keliatan ragu, Reni menganggukan kepalanya. "I tried to change myself little by little. I'm also trying everything I can to make our relationship work." Reni menatap gue lurus, tampak yakin dengan apa yang dikatakannya. "Kamu kenapa tiba-tiba tanya begini? Kamu bikin aku takut..."

Gue menggelengkan kepala sambil mengulas senyum, "Cuma mau tanya aja." Yang sebenarnya gue lakukan untuk meyakinkan dan menyemangati diri gue sendiri. "Satu tahun." Reni mengerutkan keningnya.

"Maksudnya?" tanya Reni, sesuai tebakan gue.

Jujur aja, gue bisa aja nggak menceritakan semuanya ke Reni—tapi bukan cuma karena gue sendiri yang menuntut keterbukaan di hubungan kami yang sekarang—gue juga nggak mau menutupi apa pun—apalagi hal sepenting gue yang cuma butuh waktu satu tahun untuk membuat semuanya berhasil dari Reni.

Pada akhirnya, gue memilih menceritakan semuanya dan raut terkejut dan nggak percaya bisa gue tangkap di wajah Reni di sela gue bercerita barusan.

Mungkin ini terkesan tiba-tiba, tapi gue sudah memikirkannya secara baik-baik setelah mengobrol dengan Ayah.

"Aku bisa aja memilih buat nggak cerita ke kamu soal ini." Gue menurunkan tangan gue dari lengan ke tangan Reni, menggenggamnya erat. "Tapi, aku pikir kamu perlu tahu soal ini karena ini menyangkut soal hubungan kita berdua." Reni masih belum bereaksi apa-apa. "Kamu harus tahu apa yang bakal aku lakukan satu tahun kedepan, dan kamu harus tahu sebesar apa perjuanganku nantinya, Yang.

"And unlike other people, I'm asking for your willingness to help me make this all work because I know that on my own, I won't be able to do or strive for anything. I need your help. I need you to fight for this relationship too."

Continue Reading

You'll Also Like

579K 55.4K 124
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
26.3K 1.3K 22
Hanya secuil kisah tentang kisah cinta rumit antara jaemin dengan sang ibu jeno,cinta yang sangat di benci orang Mark Kaka dari jeno sendiri ⚠️❗ Per...
KALENZO By sita_tata

Teen Fiction

53K 1K 44
"jaga baik-baik calon anak gue!!".bentak Kal pada istri nya anez. "ga!! gue ga mau hamil anak lo,gue akan gugurin kandungan ini". plak tamparan keras...
520K 2.3K 11
Rekomendasi cerita-cerita genre romance, chicklit, metropop PART 2 🧡