HER LIFE - END (OTW TERBIT)

Af ay_ayinnn

4.9M 263K 16.8K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... Mere

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 48

42.5K 3.2K 312
Af ay_ayinnn

"Adara mana, Ma?" Tanya Vanya yang kesekian kalinya.

"Mama gak tahu, Vanya. Kalau gak ada di rumah berarti di apartemen."

"Mama pasti tahu tentang pacar Adara kan?" Ucap Vanya menginterogasi. "Mama juga tahu tentang pacar Acel kan?"

Kamar yang tadinya sunyi mendadak lumayan ramai. Clara menghentikan kegiatannya yang sedang mencari-cari artikel kesehatan di laptop. Kepalanya menoleh menatap Vanya.

Kemarin Charles sempat meminta izin mau membawa Vanya dan Elen menemui Gavin. Tanpa berpikir panjang, Clara mengizinkan. Toh juga kasihan Elen kalau jauh dari Gavin. Clara rasa cukup enam tahun itu Elen hidup tanpa seorang ayah. Tapi kenapa pulang dari sana Vanya malah mencari Adara? Nyangkut ke Acel lagi.

"Van, kamu ingat kan kata dokter Meera? Jangan terlalu tersulut emosi. Mama rasa kamu lagi marah, ya, sama Adara?"

"Kenapa, Vanya?" Charles keluar dari walk in closet.

Vanya menggeleng, dia malas menceritakannya. Tak lama, Vanya ingat Mamanya sempat ngajak kita semua makan siang bersama.

"Lunch-nya bisa hari ini aja gak?" Ucap Vanya tiba-tiba.

"Kenapa? Bukannya kita semua udah sepakat lusa?" Clara mengernyitkan kening.

"Aku mau bicara sama Adara, kalo bisa juga sama Acel."

Clara menggelengkan kepala kecil. Dia merasa ada yang tidak beres beneran ini.

Oke, apakah sekarang Vanya bisa diajak bicara serius? Kalau bisa jadwal makan siang mau Clara majukan hari ini. Mumpung weekend juga, pasti Adara sama Acel senggang. Pacar mereka kan lagi diasingkan.

"Kalau jadwal makan siang Mama majukan hari ini. Apa kamu bisa janji ke Mama buat nggak terlalu kepikiran lagi? Mama cuma takut kamu sakit."

"Aku nggak sakit, Ma. Kalian aja yang terlalu takut sampai-sampai manggil dokter ke rumah," Jawab Vanya tetap pada pendiriannya kalau dia tidak sakit.

"Ya, Mama percaya," Pandangannya beralih menatap Charles seperti sedang meminta izin. Charles pun mengangguk tegas. Dia percaya Vanya sudah lebih baik karena seminggu kemarin rutin terapi.

Waktu itu, Vanya masih suka kepikiran, kan, karena terapinya bolong-bolong. Charles dan Clara juga gak bisa memaksa Vanya terapi kalau bukan atas kemauan perempuan itu sendiri.

"Nanti Mama tanyain ke Adara sama Acel dulu. Siapa tahu kan mereka sibuk."

"Aku aja yang tanya ke mereka."

"Tanya lewat apa? Kamu bahkan gak punya hp buat--" Kalimat Clara terpotong saat Vanya mengeluarkan sebuah benda pipih dari kantong celana pendeknya. "Kamu dapet dari siapa??"

Sungguh Clara baru tahu kalau Vanya punya hp. Bagaimana tidak? Hp lama Vanya masih berada di brankas pribadi Clara. Yang tahu password-nya juga cuma Clara.

"Papa yang kasih," Celetuk Vanya tanpa beban. Perempuan itu lalu keluar dari kamar orang tuanya untuk menelfon Adara sekaligus Acel.

Ketika pintu kamar kembali tertutup, Clara menatap Charles dengan penuh tanda tanya. Sejak kapan dan kenapa tidak ada perbincangan terlebih dulu? Namanya suami-istri, rumah tangga, tentang anak pasti semua harus diperbincangkan oleh keduanya kan? Bukan cuma suami aja kan?

"B-bukan aku!" Charles mengangkat kedua tangan seperti tersangka. "Gavin yang beli diam-diam."

"Gavin beli diam-diam?" Gumam Clara mengulangi kalimat suaminya.

"Cla, kamu sempat gak suka sama Gavin. Mempertemukan Gavin sama Vanya aja kayaknya jijik, najis gitu. Dan kamu lupa kalau diantara mereka ada anak kecil yang butuh kasih sayang keduanya. Makannya, demi Elen, diam-diam Gavin beliin hp buat Vanya biar Vanya sama Elen bisa komunikasi."

Clara mengangguk paham, "Sampai sekarang juga masih jijik sekaligus najis sama cowok itu."

Walaupun dia memperbolehkan Vanya dan Elen menemui Gavin kemarin. Tetap saja di pandangan Clara, Gavin serta pelaku lainnya adalah manusia paling najis, malah udah memasuki kata haram kayaknya.

Hukuman pengasingan seperti ini hanyalah hukuman menye-menye bagi seorang ibu.

Bayangkan saja, anak kalian, anak perempuan kalian diperlakukan tidak layak oleh segerombol laki-laki. Dia ditendang. Dia dipukul. Dia dijadikan manusia anjing. Dia dijambak. Dia diperkosa. Dia menanggung semua akibatnya sendiri selama enam tahun.

Hamil dan melahirkan seorang anak kecil lucu karena perbuatan tidak senonoh dari segerombolan laki-laki itu.

Sekali lagi,  sebagai seorang ibu, Clara, bertanya, ibu mana yang bakal biasa saja, diam saja, bahagia layaknya ibu-ibu sosialita pada umumnya ketika mengetahui putrinya diperlakukan seperti itu?

Ceklek.

"Ma, Adara sama Acel bisa makan siang diluar hari ini."

Detak jantung Clara berdebar mendengar putrinya berkata dari ambang pintu. Pikirannya mendadak kaku, dari yang awalnya kesal karena Charles, kini terdiam memikirkan Acel.

Perempuan itu, apa siap dengan ucapannya enam tahun lalu?

•••••

"Perasaan gue gak enak."

Mereka berlima sedang mempersiapkan sarapan. Pagi ini mereka makan enak karena kemarin habis gajian. Kecuali Gavin, gajiannya kan udah dipake buat makan sekeluarga kemarin. Yang sama Elen, Vanya itu.

Tapi untungnya sih temen-temen Gavin gak setega itu. Mereka tetap saling berbagi apalagi hampir setengah bulan ini mereka hidup bekerja sama. Susah bareng, kelaparan bareng, nangis bareng, sakit bareng, besok apa lagi yang bareng.

"Bisa nggak tiba-tiba, gak sih, Rel?" Sahut Juna membalikkan tempe. Gosong dikit gak ngaruh, namanya juga baru belajar.

"Perasaan gue gak enak beneran," Farel termenung memikirkan perasaannya yang mendadak gelisah.

"Kenapa? Masih sakit makannya ngerasa gak enak?" Tanya Gavin mengetahui dua hari kemarin Farel demam.

"Bukan, gak tahu masalah apa."

"Lagi laper kali, makannya mikir yang nggak-nggak. Nih tempenya udah jadi," Juna menaruh tempe yang sudah ia tiriskan dipiring plastik.

"Anjir gosong!" Pekik Marvel melihat tempe hasil jerih payah Juna. "Lo masak sambil tidur??"

"Api di tungku-nya gede bangsat. Gue gak bisa ngecilin."

"Ntar juga abis lo makanin, Vel," Sahut Gavin, Marvel nyengir tidak jelas.

"Makan duluan aja, Rel. Siapa tahu lo belum beneran sembuh," Ucap Alex melihat Farel tidak seperti biasa.

"Bareng-bareng aja."

Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk memasak nasi dan menggoreng lauk, akhirnya mereka duduk melingkar di teras rumah seperti biasa. Pagi ini tidak ada orang desa yang berlalu lalang sebab cuaca mendung.

"Lo gak kedinginan makan disini?" Tanya Gavin.

"Gue udah sembuh, cuma masih pikiran aja," Jawab Farel.

"Mikirin Acel?" Tebak Marvel.

"Gak tahu. Intinya perasaan gue gak enak makannya kepikiran terus."

"Lo pasti sedih kan, Rel, gak didatengin Acel?" Ngawur Juna. "Gak apa, masih mending dari pada Acel batalin pernikahannya sama lo."

"Kali ini gue gak ikut-ikut ya cok," Ucap Alex bercanda sama halnya Juna tadi.

"Makan bro," Santai Marvel yang sudah melahap sarapannya.

"Udah mulai aja si bocil," Sahut Juna bangga karena Marvel bocil nggak susah makan. Padahal awal kesini Juna takut Marvel kurang gizi karena gak mau makan, taunya malah lahap. Wajar masih masa pertumbuhan.

"Bocal bocil, gue udah kepala dua, Sat!" Sahut Marvel tidak terima.

"Siap si paling kepala dua!" Sambung Alex sembari hormat kepada Marvel. Bodohnya, Marvel malah membalas hormat kepada Alex.

"Udah, ayo lah sarapan. Laper juga gue," Ucap Farel setelah beberapa detik memikirkan perasaannya.

"Bawa santai aja, Rel. Terlalu banyak pikiran juga gak baik buat masa pemulihan lo. Gak inget dua hari kemarin demam sampai gak bisa bangun?"

"Makasih loh, Vin. Jiwa kebapakan lo keluar."

"YA MASA JIWA KEIBUAN. NANTI LO KAGET LAGI," Ucap Marvel asal menyahut.

•••••

Mobil yang dikendarai Bram, supir Charles telah sampai di sebuah restoran ternama Jakarta. Tentu saja nilai untuk restoran ini sempurna mengetahui semua makanannya digemari pendatang bahkan warga lokal.

Bedanya, mereka tidak memesan tempat privat yang tertutup. Mereka menyetarakan dengan pengunjung lain, reservasi dan dipilihkan oleh pelayan restoran.

Charles, Clara, dan Vanya diturunkan tepat di lobby restoran oleh Bram. Mereka sengaja tidak mengajak Elen sebab takut kalau gadis kecil itu akan menangis uring-uringan tak betah.

"Eh, Vanya, Mama, Papa, kalian barusan sampai?" Tanya Adara tiba di lobby restoran. Tidak ada sahutan dari Vanya, sehingga membuat alis Adara menyatu. Hal itu kembali netral setelah mendengar jawaban dari Clara.

"Iya, kamu gak bareng sama Acel?"

"Acel..."

"Siang Tante," Acel datang dari belakang Adara. Perempuan itu baru saja tiba menggunakan ojek online. Berbeda dengan Adara yang berangkat dengan mobilnya sendiri.

Hubungan Acel dan Adara belum sedekat itu, makannya Adara agak canggung mau nawarin tebengan ke Acel. Kebetulan Acel juga bukan tipe orang yang harus banget dapet tebengan selagi dia bisa berangkat sendiri.

"Eh, Cel. Kirain sama Adara," Acel tersenyum menanggapi Clara.

"Enggak Tante, aku tadi sempet pergi sebentar makannya gak bareng Adara," Jawab Acel sembari melirik ke arah Adara yang juga sedang menatapnya.

Yang Clara dan Charles tau, Duo A ini udah kembali berteman baik walaupun memang benar. Hanya saja mereka masih terlalu gengsi untuk saling menganggap teman setelah permasalahan kemarin.

"Ayo masuk, Ma," Ucap Vanya membuat perbincangan mereka terputus.

Charles yang merasa Vanya memiliki masalah dengan Acel dan Adara pun merangkul pundak putrinya serta berjalan masuk lebih dulu. Clara menggeleng tidak mengerti dengan sikap Vanya hari ini.

Tibalah mereka di meja yang ditandai oleh tulisan reservasi. Pelayan itu mengambil penandanya lalu menyuruh tamunya duduk menggunakan attitude baik.

Acel dan Adara duduk bersebelahan. Lalu di seberang mereka ada Clara dan Charles. Tak mau duduk di sebelah Acel, Vanya memilih duduk di sebelah Charles. Tidak ada yang berani bertanya. Mereka membiarkan Vanya memilih pilihannya mengingat kata Meera, jangan terlalu mengekang Vanya.

"Makanan udah Mama pesenin ya. Mama gak tahu kamu suka apa, Acel, tapi Mama yakin semua makanan disini pasti kamu sukai," Ucap Clara.

Acel mengangguk, "Gak apa Tante. Aku bisa makan semua makanan kok."

"Syukurlah, tadi Tante sempat takut kalau kamu ada alergi. Oh ya, buat Adara, tenang aja makanannya ada yang pedas sama gak pedas kok."

"Makasih ya, Ma," Ucap gadis itu tersenyum. Clara pun mengangguk senang.

"Nah Vanya, Mama pesenin juga loh makanan kesukaan--"

"Aku perlu tanya sesuatu ke Adara sama Acel. Bisa kalian jawab jujur?" Potong Vanya tanpa ekspresi.

"Mau tanya apa, Van?" Tanya Adara.

"Apapun yang kamu tanyain, bakal kita jawab jujur kok," Sahut Acel.

"Sejak kapan kamu sama Farel tunangan dan sejak kapan kamu sama Juna pacaran?" Pertanyaan singkat dan jelas dari Vanya namun membuat Acel serta Adara gelagapan.

Mereka gelagapan bukan karena takut kepergok, melainkan takut Vanya berpikir macam-macam lalu depresi kembali. Itu bisa memicu hal yang tidak diinginkan terjadi, tahu kan hal yang dimaksud apa.

"V-van, kamu tahu?" Lirih Acel dapat didengar oleh mereka. Clara dan Charles memilih diam.

Vanya menggeleng tidak mengerti, "Cel, waktu sekolah, disaat Mama sama Papaku nggak sadar kalau hari itu aku demam, ada kamu yang pasti sadar. Aku ingat."

"Udah, Van--" Baru saja Charles ingin menghentikan putrinya, dia malah marah.

"Nggak, Pa! Aku mau tahu kenapa Acel sama Farel bisa sampai punya hubungan spesial."

"Jangan terlalu memikirkan hal berat, Van," Tegur Adara.

"Kamu juga, Adara! Kenapa, kenapa harus Juna?? Asal kalian tahu, aku benci mereka semua! Tapi aku gak pernah bisa ngeluapin."

Ini kali pertama Vanya meluapkan perasaan bencinya kepada Teman-teman Gavin. Ya, perkembangan mental Vanya sekarang jauh lebih baik.

Dulu, dia masih takut untuk meluapkan amarah. Namun hari ini, dia benar-benar lepas. Segala rasa ketidaksukaannya kepada para bajingan itu keluar.

"Ssttt sayang," Charles memeluk Vanya dari samping.

"Aku putusin Juna setelah tahu sebajingan apa dia," Jawab Adara.

"Terus kamu juga yang mengasingkan mereka?" Tanya Vanya memelan. Adara mengangguk.

Vanya sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan Adara karena dia tidak tahu banyak tentang masa lalunya. Dia cuma gak habis pikir. Kenapa harus Juna itu dari sekian banyak nama Juna.

"Pengasingan apa yang kamu maksud, Dara?" Tanya Vanya sadar desa itu jauh dari kata desa maju.

"Cuma sedikit hukuman dari aku karena selama ini mereka hidup enak tanpa karma."

Hening, Vanya tak tahu harus membalas apa. Hingga pada akhirnya, Acel angkat suara. Padahal sedari tadi perempuan itu hanya diam sambil menimang sesuatu.

"Van, kamu nggak akan ngerti gimana rasanya jadi aku. Kita sama-sama sakit di jalan yang berbeda," Celetuk Acel tiba-tiba. Baik, ini saatnya Acel bercerita bagaimana hidupnya setelah Vanya putus sekolah kala itu.

"Setelah kamu di DO, aku selalu sendiri di kelas. Duduk sendiri, ngerjain tugas sendiri, kalo ada kerja kelompok semeja sendiri, aku gak punya temen. Tiap istirahat, kalau ke kantin, aku selalu dijadiin babu sama Farel, ada satu masalah yang ngebuat aku kayak gitu," Pandangan Acel beralih menatap Clara yang sedari tadi juga tengah menatapnya.

"Waktu prom, sebenernya aku gak mau ikut. Tapi Farel ngancem. Katanya, kalau aku gak ikut, apa yang terjadi ke Vanya bakal ke ulang lagi," Kini Acel memejamkan matanya. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Vanya ditendang-tendang mereka saat itu.

"Ibuku terkena kanker otak stadium akhir, yang ada di pikiranku saat itu, gimana kalau ibu cemas soal kondisiku, di tambah kalau Farel ngurung aku, semua bener-bener mikir tentang ibu. Jadilah aku ikut prom sama dia."

"Malam itu hujan deras. Karena prom-nya yang ngadain diluar sekolah, tanpa membawa nama baik sekolah, mereka ngebebasin kita buat minum-minuman keras. Kamu tahu kan seberapa brengseknya cowok-cowok di sekolah itu?"

"Mereka semua mabok. Aku takut, Van. Cewek yang ikut aja juga berani mabok-mabokan. Aku yang cuma deket sama Farel, terpaksa bawa dia keluar dari tempat itu. Sayangnya, belum sempat kita keluar, seseorang bilang ke aku, bawa aja temennya ke kamar nomor 10. Kata dia tempat itu memang digunakan untuk istirahat. Aku yang gak tahu tentang dunia malam pun mengiyakan kata orang itu, apalagi yang aku tahu dia salah satu panitia prom Euphoria. Sampai di kamar itu, aku bawa Farel masuk dan bertepatan dengan Farel yang aku jatuhkan di atas kasur, pintu kamar tertutup juga terkunci. Aku rasa itu bukan prom night, tapi kesenangan anak-anak orang kaya sesaat."

Semua masih menyimak cerita Acel dengan seksama. Mereka, bahkan Clara pun baru tahu tentang masalah Acel yang bisa dekat dengan Farel hari ini.

"Paginya aku cuma bisa nangis. Aku udah hancurin masa depan yang orang tua aku susun susah payah. Sakitnya lagi, di malam yang sama dengan hujan yang begitu lebat, orang tua aku kecelakaan," Acel terisak.

Adara yang peka pun mengelus-elus lengan perempuan itu. Dia tidak menyangka hidup Acel seperti ini melihat dari awal anaknya kalem dan positif vibes.

"Hiks, malam itu Ibu drop. Ayah terus nyariin aku tapi aku nggak ada di sana. Takut terjadi apa-apa sama Ibu, Ayah berinisiatif membawa Ibu ke klinik deket rumah, jalan kaki karena saat itu kita gak punya kendaraan. Mau keluar ke jalan yang biasa dilewati mobil atau truk untuk memotong jalan, sebuah truk melaju dengan kecepatan sedang. Itu bukan menjadi masalah besar kalau gak tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan kencang dari arah berlawanan. Mobil itu nggak stabil, dia membelok ke kanan dan kiri sampai truk yang tadinya biasa aja ikutan bingung. Truk itu mendadak mengencangkan gasnya dan berhenti mendadak melihat Ayah serta Ibu keluar gang kecil. Tapi karena mobilnya gak stabil, mereka gak sempat menyelamatkan diri. Alhasil Ayah dan Ibu tertabrak. M-mereka berada ditengah-tengah dua kendaraan itu."

"Acel," Adara langsung memeluk Acel dari samping. Sungguh diluar dugaan ada cerita itu dari hidup Acel.

Vanya melepaskan diri dari pelukan Charles. Perempuan itu berdiri, lalu duduk di sebelah Acel. Dipeluk lah tubuh Acel yang penuh kejutan ini.

Air mata Clara menetes, tak berbeda jauh dengan Charles yaang sedari tadi juga mendengar cerita hidup Acel. Pantas saja Charles melihat Acel selalu dibuat bahagia oleh Farel.

Acel terus terisak sampai ada dimana dia akan menghentikan isakannya dan kembali melanjutkan cerita.

"Hiks o-orang yang naik mobil itu, Papanya Farel. D-dia lagi terjerat hutang lumayan besar karena salah tanda tangan kontrak. Farel nggak tahu soal itu, dia baru tahu setelah para korban di bawa ke rumah sakit. Ibuku ditanyakan meninggal ditempat kejadian sedangkan Ayah kritis. Papa Farel juga sempat dinyatakan kritis tapi gak lama."

"Menurut kalian, sakit gak sih malemnya Farel gak bisa mengendalikan nafsu terus paginya dapet kabar Ibu kalian meninggal, Ayah kalian kritis? Aku sakit, hancur banget. Mau nangis meratapi semua aja sampai gak sempat. Aku gak tahu harus lari ke siapa. Kalau ada kamu, Van, mungkin aku bakal lari ke kamu."

"Di hari itu aku bener-bener udah gak punya masa depan. Mahkotaku rusak, keluargaku dirusak. Waktu dapet telfon, aku lebih kaget lagi Farel juga dapet telfon. Awalnya kita mau ke tujuan masing-masing, melupakan kejadian semalem sesaat, tapi ternyata kita malah dipertemukan lagi di satu rumah sakit. Disitulah aku tahu kalau yang nabrak orang tua aku adalah Papanya Farel."

"Ketika Ayahku sadar, beliau minta ketemu sama pihak keluarga dari yang nabrak. Dari caranya ngomong aja udah susah payah. Aku makin takut. Farel sama Mamanya masuk sebagai pihak dari keluarga yang nabrak. Saking takutnya, Mama Farel sampai mau kasih cash lumayan besar sebagai uang penutup mulut. Tapi Ayah bilang ke mereka dia gak butuh cash dengan jumlah besar, melainkan Ayah malah menginginkan aku menikah dengan Farel selaku anak dari pelaku dan itu keinginan terkahir Ayah sebelum benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya."

"Ujianku nggak sampai disitu. Dua bulan berlalu aku dinyatakan hamil. Farel sama keluarganya tahu dan orang tua Farel susah nerima aku. Terlalu stress memikirkan hidup, aku sampai gak sadar kalau sedang mencelakai hidupku untuk selamanya. Kala itu aku lagi berada di rumah Farel. Sebelum di rombak ulang, tangga di rumah Farel itu lumayan tinggi. Ketika mau turun kebawah, aku nggak fokus dan kepleset saat memijakkan kaki ke anak tangga. Tubuhku yang gak siap pun jadi mengguling sampai ke lantai satu. Dibawah, aku pendarahan. Keadaan rumah sepi, Mama Farel di rumah sakit, nemenin suaminya check up. Farel lagi keluar. Gak tahu berapa lama menunggu pertolongan, aku pingsan. Waktu sadar, Farel bilang kalau aku keguguran. Rahimku juga terpaksa diangkat karena benturan keras."








Bersambung.

Jadi, gitu... Ada yg mau ditanyain buat part ini?

3k++ Vote bisa?? Bisa lahhh👨‍🎤

9 3 24

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

410K 25.6K 47
Xevira. Gadis dengan segudang sifat petakilannya. Gadis yang tidak bisa diam. Gadis yang selalu mengikuti Kevin kemana pun ia pergi. Dan gadis terane...
ALZELVIN Af Diazepam

Teenage Fiktion

4M 240K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
Roomate [End] Af asta

Teenage Fiktion

773K 52.5K 42
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
Cuek & Pendiam Af A.Qsw

Teenage Fiktion

1M 55.4K 56
Yang satu Cuek, dingin, irit bicara, acuh tak acuh. Yang satu lagi Pendiam, pemalu, lugu nan polos. Apa jadinya jika mereka berdua terikat suatu hubu...