BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

314K 48.3K 19.5K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-28]

6.2K 1.2K 373
By embrassesmoi

Reni.





"Kamu nggak ikut meeting sore nanti? Kenapa? Saya nggak terima alasan ada urusan mendadak, pura-pura sakit dan segala macamnya! Pokoknya saya nggak mau tahu, kamu harus mendampingi saya nanti waktu meeting."

Denger sendiri, kan?

Seperti itulah tatapan yang aku arahkan—dan kalau saja mataku bisa bicara—ke arah Deryl yang berdiri di depan mejaku ketika Pak Waluyo yang sepertinya baru saja kembali dari waktu makan siangnya saat aku meminta ijin lagi—untuk kedua kalinya—mengenai absenku di meeting sore hari ini karena ada urusan mendadak.

Belum juga Pak Waluyo membuka pintu ruangannya, Deryl lebih dulu mengeluarkan suara—membuat pria paruh baya itu kembali memutar tubuhnya menghadap kami dengan wajah kejamnya. "Maaf, Pak. Tapi, Ireni belum bisa mendampingi Bapak di meeting sore hari ini."

"Heh!" Pak Waluyo lantas menunjuk-nunjuk ke arah Deryl. "Kamu itu nggak ada urusannya di sini! Jangan bikin saya makin pusing!" katanya sambil berteriak keras.

Dan seperti biasa, amarah dan teriakan Pak Waluyo yang kencang itu sudah pasti menarik banyak perhatian staf marketing dan staf lain yang kebetulan melewati koridor tempat ruangan Pak Waluyo berada.

"Ini arahan langsung dari Ibu Ainur, Pak," sahut Deryl yang membuat kedua mataku terpejam secara refleks.

Sebenarnya aku nggak ingin membawa-bawa nama Ibu Ainur, bukan cuma itu mengingatkanku soal apa yang terjadi semalam, tapi juga soal rumor-rumor yang mungkin aja datang ketika orang tahu kalau aku dan Ibu Ainur masih berhubungan meskipun kebanyakan dari mereka tahu kalau aku adalah mantan personal assistant Hatalla.

Wajah merah padam Pak Waluyo dengan cepat berubah pucat, dari gesturnya pun kelihatan sekali kalau dia sedang salah tingkah. "Ibu Ainur, istrinya Bapak Wijaya?" tanyanya seakan tidak percaya.

Aku dan Deryl sama-sama mengangguk dan membuat Pak Waluyo menatapku dengan kernyitan penuh di keningnya. Nggak lama setelahnya, tanpa mengatakan apa pun, Pak Waluyo memutar tubuhnya dan masuk ke dalam ruang kerjanya.

Begitu Pak Waluyo menutup pintu ruangannya, aku langsung mengembuskan napas lega dan menarik kursi untuk duduk di atasnya. "Sumpah, bisa tua gue lama-lama di sini," gumamku sambil menyandarkan pipi di atas meja kerjaku.

"Abis nikah juga lo muda terus, Bu."

Celetukan Deryl membuat mataku membelalak lebar, meski harus memaksa—aku mengangkat kepalaku agar bisa menatap Deryl yang masih berdiri di depan meja kerjaku. "Jangan macem-macem, Ryl!" ucapku penuh dengan nada ancaman.

Setelah kejadian semalam, Deryl yang ada di rumah sakit pun juga tahu apa yang terjadi di kamar perawatan Hatalla. Nggak cukup dia tahu soal hubungan kami, tapi Deryl juga sempat menggodaku saat dia mengantarkanku kembali ke kosan semalam.

Do not ask me about how embarrassed I am right now; if I could, I would have left my face in Hatalla's treatment room.

"Santai, lah, Bu." Sayangnya, sejak semalam Deryl nggak mau berhenti menggodaku. "Nggak ada yang tau juga ini. Kalau ketahuan juga berarti sudah saatnya go public," ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya.

Salah satu tanganku bergerak naik, mengambil ancang-ancang seakan bergerak menonjok Deryl yang tertawa keras sambil mengambil langkah mundur. "Santai, Bu. Attitude dan manner harus dijaga mulai sekarang supaya nanti nggak ada berita miring—"

Mataku bergerak cepat—ke arah sekitar mejaku—mencari barang agar bisa aku lempar ke arah Deryl yang langsung beranjak berlari keluar dari area koridor ruangan Pak Waluyo yang juga termasuk ruanganku sambil tertawa lebar.

"Kurang kerjaan emang," gumamku pelan, mengomel sambil mulai mengerjakan laporan Pak Waluyo yang baru selesai setengah untuk keperluan meeting sore nanti bersama seluruh divisi marketing.

Bicara soal keperluan Deryl ke sini barusan itu sebenarnya karena ada kaitannya dengan meeting sore ini juga. Karena dia belum menguasai bahan meeting yang akan dipimpinnya sore ini, sejak jauh-jauh hari Pak Waluyo sudah mengingatkanku untuk ikut mendampinginya datang. Aku bahkan sampai menandai hari ini di kalender, baik itu di handphoneku dan kalender meja yang ada di meja kerjaku.

Sayangnya, siang tadi aku mendapatkan kabar dari Ibu Ainur yang menyuruhku untuk datang ke rumah Menteng sore ini.

Kalau boleh jujur, aku malah lebih memilih mendampingi Pak Waluyo meeting daripada harus pergi ke rumah Ibu Ainur dan Bapak Wijaya setelah apa yang terjadi semalam di kamar perawatan Hatalla.

Sayangnya (lagi), Ibu Ainur memerintahkan Deryl untuk memastikan kalau aku datang ke rumah menteng sore ini dengan ikut membujuk Pak Waluyo sekaligus mengantarkanku nanti.

Sudah gila, kan?

Deryl maksudnya.

Aku dan Hatalla juga.

Semalam itu... sepertinya aku harus berterima kasih ke kondisi Hatalla yang sedang sakit karena Ibu Ainur memutuskan untuk nggak menginterogasi kami dan memilih pulang setelah menimbang keadaan Hatalla yang harus banyak istirahat.

Semalam juga, aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku terjaga memikirkan reaksi sebenarnya Ibu Ainur setelah tahu kalau aku menjalin hubungan dengan Hatalla.

Dari raut wajah Ibu Ainur yang bisa aku ingat semalam, aku tidak bisa benar-benar menilai dan menebaknya karena Bapak Wijaya buru-buru menginterupsi dan mengajak Ibu Ainur untuk kembali ke rumah. Tapi, bayangan dari kemungkinan-kemungkinan terburuk sudah aku pikirkan sejak semalam, and that was one of the reasons I couldn't sleep at all.

Mendadak ketakutanku soal kesetaraan antar pasangan kembali muncul, merecoki kinerja otakku selagi aku mencoba fokus menyelesaikan laporan yang harus aku berikan ke Pak Waluyo sebelum aku pulang duluan nanti.

Bisa dibilang, aku begitu mengenal baik Ibu Ainur tentang pilihan wanita yang beliau inginkan untuk bisa bersanding dengan Hatalla. Dan tentu saja, aku nggak masuk ke dalam listnya melihat semua wanita yang dikenalkan Ibu Ainur selama ini datang dari background keluarga yang nggak sembarangan. Meskipun aku mencoba untuk bersikap positif karena sempat mengingat soal obrolan singkat kami di Penang Bistro beberapa waktu lalu yang sayangnya aku anggap sebagai lelucon dari Ibu Ainur, malah semakin membuatku nggak tenang.

"Sudah semuanya?" Aku mengangguk, menyerahkan laporan berupa hard copy ke atas meja Pak Waluyo. "Handphone kamu harus aktif," katanya dengan raut wajah yang tampak masam. "Jangan berpikiran kamu bisa bolos kerja, ya, meskipun Ibu Ainur yang nyuruh kamu!"

Aku mengangguk singkat, "Baik, Pak," jawabku singkat sebelum keluar dari ruangan Pak Waluyo.

Ini sudah keberapa kalinya aku mengatakan kalau aku lebih memilih untuk stay di sini, bertahan dengan omelan dan makian dari Pak Waluyo daripada—

"Sudah siap belum? Kok, barang-barang lo masih berantakan, sih, Ren?" Deryl yang entah sejak kapan datang, tiba-tiba aja sudah berdiri lagi di depan meja kerjaku. "Ibu Ainur udah telepon gue bolak-balik, Ren, nanyain lo udah sampai mana ini." katanya sambil menyerahkan handphonenya ke arahku.

Aku kembali menggeser handphone Deryl ke arahnya tanpa melihat pesan yang dimaksudkannya tadi, dan segera bergegas membereskan barang-barangku dengan jantung yang berdetak keras nggak karuan.

Bahkan untuk melihat pesan dari Ibu Ainur saja aku nggak berani, apalagi setelah ini kami akan bertemu secara langsung...

Lord, please save me...

Di sepanjang perjalanan, aku cuma diam sambil menatap ke arah luar kaca mobil. Melamunkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi ketika aku bertemu dengan Ibu Ainur nanti. It's really sad, isn't it?

"Bu Ren! Bu Reniiiii." Mataku mengerjap cept, bersamaan dengan kepalaku yang mengarah ke kursi depan, tempat di mana Deryl duduk. "Telpon lo bunyi dari tadi! Astaga, mikir apaan, sih?" katanya sambil menunjuk ke arah tasku.

Setelahnya, aku baru bisa mendengar dengan jelas dering handphone yang aku letakkan di dalam tas. Masih dengan jantung yang berdetak cepat, aku mengeluarkan handphone dari dalam tas. Antara lega dan kebingungan, aku menatap lama layar handphone yang menampilkan nama Hatalla di sana.

"Rein. Yang..."

Salivaku tertelan kelat begitu mendengar sapaan Hatalla barusan, suara pria itu masih terdengar lemas. "Ya?" sahutku sama pelannya.

Well, meskipun Deryl sudah tahu soal hubunganku dan Hatalla, rasanya masih canggung untuk bersikap layaknya pacar ketika ada di tempat yang sama sepertinya—seperti sekarang ini contohnya.

"Kamu... nggak marah, kan?" tanya Hatalla diselingi batuk kerasnya.

"Nggak," jawabku singkat. Aku nggak ada di posisi di mana aku bisa marah ke Hatalla karena apa yang terjadi semalam istilahnya kami tanggung berdua. "Nggak usah mikirin soal itu dulu, La. Kamu istirahat aja."

Suara batuk Hatalla masih bisa aku dengar, membuatku ikut merasakan kering di tenggorokan. "Ini aku juga lagi istirahat. By the way, tadi pagi aku udah pulang ke rumah. Badanku udah agak enakan, cuma aneh aja karena mendadak batuk begini," celetuk Hatalla dengan suara sangat serak.

"Udah makan?" Aku menatap ke arah luar kaca, tepat ke arah jalanan Jakarta yang sedang macet-macetnya. "Jangan lupa minum obat," lanjutku ketika mendengar gumaman singkat Hatalla di seberang sambungan.

"Iya, Yang." Aku refleks menghela napas sambil mendengar Deryl yang mengoceh soal kemacetan Jakarta. "Kamu lagi ada di mana? Kok, ada suaranya Deryl? Di kantor? Ngapain kamu sama dia? Kamu, 'kan, nggak seruangan sama Deryl lagi? Itu suara Deryl, 'kan? Suara cowok barusan, suaranya siapa, sih?" Hatalla melemparkan banyak pertanyaan, mendadak batuk yang sejak tadi dialaminya hilang seketika.

Soal beginian, mau dia sakit atau nggak, sepertinya memang sudah menjadi kebiasaannya. "Aku lagi di jalan—"

"Sama Deryl? Mau ke mana? Ini belum pulang? Jam kantor belum selesai, Yang!" Hatalla langsung memotong ucapanku. "Kalian mau jalan ke mana? Bentar, deh!" Tiba-tiba mode panggilan kami berubah ke mode video call.

Sabar, Ren... Hatalla lagi sakit...

Sambil menggelengkan kepala, aku menyambungkan sambungan video call kami setelah memasang headset di kedua telingaku agar suara Hatalla tidak terdengar oleh Deryl dan Pak Surya yang mengantarkan kami ke kediaman Ibu Ainur dan Bapak Wijaya.

"Kamu mau ke mana? Beneran lagi di jalan?" Kedua mata Hatalla kelihatan melotot, meski setengah wajahnya tertutup oleh selimut.

Awalnya, aku ingin berbohong ke Hatalla soal pertemuanku dengan Ibu Ainur sore ini. But, in retrospect, I had sworn not to hide anything from Hatalla if I wanted to get our relationship off to a good start. Apalagi melihat dan mendengar sendiri respons super heboh dari Hatalla, sepertinya aku harus benar-benar mengatakan ke mana aku akan pergi sekarang.

"Aku mau ke rumah Kemang," jawabku sambil berbisik. Kening dan alis Hatalla terlihat berkerut. "Ibu Ainur tadi siang kirim wa ke aku, she asked me to come."

Meski nggak terlihaty jelas, aku sempat menangkap helaan napas kasar yang dibuat Hatalla. "Ibu itu nggak terduga orangnya. I really can't guess what she'll do when she meets you, but I hope she won't do anything bad. I believe she won't do that either. Ayah juga ada di rumah, jadi kamu nggak perlu khawatir," katanya sambil menyembunyikan seluruh wajahnya dibalik selimut karena batuknya yang keras.

Kalimat yang keluar dari bibir Hatalla—yang menggambarkan soal kebimbangannya mengenai sosok Ibu Ainur—entah kenapa malah membuatku geli. "Ya, udah. Kamu istirahat, ya."

Hatalla mengangguk, "Kalau udah agak enakan, aku mungkin bakal nyusul ke Kemang." Dia ikut menggeleng waktu aku menggelengkan kepala. "We should have discussed this together, and you should not have to face it alone; I should be by your side. Kalau ada apa-apa, Yang, please hubungi aku, ya?"

Mendadak perasaan geli yang aku rasakan sebelumnya berubah menghangat, bukan cuma mendengar nada bicara Hatalla yang selalu terdengar lembut di teligaku, tapi juga tatapannya yang sayu yang mengarah ke kamera sekarang.

Kepalaku mengangguk, "Oke. Nanti aku hubungi kamu lagi," ucapku sebelum memutus sambungan video call kami.

Seperti mantra, setelah bicara dengan Hatalla—padahal kami cuma mengobrol sebentar—hatiku yang tadinya gusar berubah sedikit tenang.

Apa pun itu, kali ini akan aku hadapi semuanya demi hubunganku dan Hatalla.

Setelah lima tahun ini Hatalla berjuang—hampir sendirian—sudah saatnya aku membuktikan kalau aku pun juga berjuang untuk hubungan kami, meski aku nggak percaya diri dan rasanya mau mati...

"Gue tinggal, ya, Bu Ren."

Tanganku bergerak menggapai lengan Deryl begitu aku keluar dari mobil dan berdiri di halaman depan rumah Ibu Ainur dan Bapak Wijaya. "Lo nggak nemenin sampai ke dalam, Ryl?"

Ada yang aneh...

Aku tahu, kok, soal Bapak Wijaya yang suka mengoleksi mobil, tapi apa memang semua mobilnya sebanyak ini dan dibiarkan terparkir dari area depan rumahnya?

Ini pertama kalinya aku melihat ini, kecuali... di acara-acara besar atau soiree yang diadakan keluarga Adiwangsa di rumah mereka.

Tatapanku langsung turun mengamati penampilanku sendiri sore hari ini, dan aku tidak pernah merasa se menyesal ini karena nggak menanyakan soal undangan Ibu Ainur tadi karena sudah terlalu panik.

"Ini gue pake blazer banget, Ryl," gumamku pelan, rasanya ingin menangis... "Kenapa lo nggak bilang kalau Ibu ada acara soiree, sih?" Aku menatap ke arah Deryl dengan perasaan setengah kesal.

Deryl sendiri keliatan bingung, pria itu lalu menggelengkan kepalanya cepat. "Acara soiree apaan? Ibu sama Bapak nggak ada acara apa-apa, Bu Ren," katanya menyangkal sambil mengintip ke arah dalam rumah. "Tapi, tumben rame juga, ya..."

Di sebelah Deryl, aku menganggukan kepala melihat sekelebat orang-orang berlalu lalang di dalam rumah dan teras kediaman Ibu Ainur dan Bapak Wijaya.

"Ini Ibu Ainur wa gue, lo disuruh langsung masuk aja," ucap Deryl sambil mencoba melepaskan peganganku di lengan tangannya.

Oke, tenang, Ren...

Kalau dipikir-pikir lagi, bukannya situasi ini menguntungkan, ya? Kalau Ibu Ainur ada tamu atau beliau mengadakan acara dadakan, sudah pasti interogasi yang membawaku ke sini kemungkinan dibatalkan, kan?

"Ireni!" Di tengah meditasi yang sedang aku lakukan, suara berat Pak Wijaya mengejutkanku. Kepalaku refleks menoleh ke kanan dan kiri secara bergantian, dan aku menemukan sosok Pak Wijaya tengah melambaikan tangan dari arah teras.

Deryl mendorong bahuku pelan, "Nanti gue jemput, ya, Bu Ren. Tinggal wa aja," katanya sambil menunjuk ke arah handphonenya.

Dari kejauhan, Deryl pamit lebih dulu ke Pak Wijaya sebelum ia kembali ke mobil yang ditumpanginya dengan Pak Surya.

Sementara aku...

Aku...

Aku mencoba melangkah pelan ke arah teras, menghampiri Pak Wijaya yang sepertinya sedang menghubungi seseorang.

"Nggak usah dipaksa datang juga kalau nggak bisa. Iya... Nggak usah mikir macam-macam, lah!" Aku mendengar beberapa penggal kalimat yang diucapkan Pak Wijaya saat aku berhenti—menyisakan beberapa jarak—untuk memberikan space dan menunjukkan kesopananku ketika Pak Wijaya sedang menghubungi seseorang.

Tapi, Pak Wijaya sepertinya nggak berpikiran seperti itu karena dia menarik bahuku dan menunjuk ke arah dalam rumah tanpa mengatakan apa pun. Melihat dari teras, ternyata keadaan di dalam rumah jauh lebih ramai. Bahkan, ada beberapa anak-anak—yang pernah aku temui dan aku kenal sebagai keponakan Hatalla—juga ada di dalam rumah, bermain bersama.

Mungkin karena terlalu asyik memperhatikan keadaan sekitar, aku jadi baru sadar kalau Pak Wijaya sudah mengakhiri sambungan teleponnya dan menepuk bahuku ringan. "Masuk sana. Kamu ditunggu Ibu," ucap Pak Wijaya terdengar santai sekali.

"Ini ada acara apa, ya, Pak? Maaf sebelumnya karena saya datang begini—" Tanganku mengarah ke penampilanku sendiri yang kelewat formal. "—saya juga nggak menyiapkan apa-apa."

Tangan Pak Wijaya mengibas di depan wajahnya, "Santai. Ini acara arisan keluarga aja, kok." Pak Wijaya lalu mendorong bahuku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya.

Memasuki ruang tengah, aku menyapa beberapa saudara dari Pak Wijaya dan Ibu Ainur. Ada beberapa orang yang sudah aku kenal sebelumnya karena pernah bertemu beberapa kali di acara soiree, bahkan di kantor ATU.

"Saya mantengin instagram kamu, loh, Ren! Duh, jadi artis lama-lama kamu!"

"Nggak menutup kemungkinan, sih. Cantik begini!"

"Makin cantik, ya? Sayang, ah, cantik-cantik begini masih belum ada pasangannya."

Aku cuma bisa tersenyum, meringis, menanggapi seadanya godaan dan lontaran kalimat dari keluarga besar Pak Wijaya dan Ibu Ainur yang berpapasan denganku di ruang tengah.

"Masa', sih, secantik ini nggak punya pacar?" Ibu Sari—adik dari Ibu Ainur—menjawil daguku dan mengamit lenganku. "Kalau aku ada anak cowok, sudah aku ambil jadi menantu, sih. Sayang, ih, kalau diambil orang lain," katanya dengan kepala yang bersandar di lengan tanganku.

"Enak aja!" Mataku mengerjap cepat waktu mendengar suara familier datang dari arah belakangku. "Ini calon mantuku!"

Barusan... aku dengar apa?

"Loh?"

"Udah diambil duluan sama Hatalla," lanjut Ibu Ainur tampak bangga ketika mengamit lenganku dan menjauhkanku dari Ibu Sari. "Yuk, ke belakang. Ibu mau ngenalin kamu ke teman-teman arisan Ibu."

Barusan... apa aku salah dengar?

"Loh, ini pacarnya Hatalla?"

"Bukan! Calonnya Hatalla. Namanya Widuri Ireni. Kenalan dulu, Ren. Ini teman-teman arisannya Ibu."

Barusan... aku nggak tuli, kan?

Masih setengah terkejut, aku mengulas senyum sambil mengulurkan tangan untuk membalas jabatan tangan teman-teman arisan Ibu Ainur. "Salam kenal, Ibu. Widuri Ireni," kataku, mengulang perkenalan diri yang sebelumnya sudah diucapkan Ibu Ainur.

"Ini personal assistant-nya Hatalla, 'kan, ya, Bu? Yang fashion influencer itu, kan?" tanya salah satu teman arisan Ibu.

Di sebelahku, Ibu Ainur mengangguk dengan semangat. "Betul. Mbak Marisa sudah kenal berarti sama Ireni?"

"Kenal karena liat berita sama instagram aja," katanya sambil tertawa. "Aslinya cantik banget! Tinggi seperti model, ya? Cocok sama Hatalla."

Aku cuma tersenyum kaku menanggapi pujian semacam itu dari teman-teman arisan Ibu Ainur. Sebenarnya, aku nggak benar-benar sadar dengan apa yang kami bicarakan. Pikiranku melayang entah ke mana. Sesekali, aku cuma tersenyum tipis dan menganggukan kepala untuk membuat orang-orang di sekitarku tahu kalau aku mendengar dan tertarik dengan obrolan mereka.

Apa Ibu Ainur nggak salah bicara, ya?

Kenapa bisa Ibu Ainur menerimaku dengan mudah? Nggak seharusnya semua berjalan semudah ini, kan?

Tapi, bukannya ini baik? Terlepas dari alasan yang membuat Ibu Ainur menerimaku, bukannya dikenalkan secara seterbuka ini oleh Ibu Ainur bisa aku manfaatkan untuk menetapkan posisiku di sini—posisi sebagai calon istri Hatalla—seperti bagaimana cara Ibu Ainur mengenalkanku ke beberapa keluarga jauhnya.

Bukankah ini salah satu alasan kenapa aku menerima undangan dan datang ke rumah Ibu Ainur sekarang? Kalaupun semuanya tidak berjalan dengan lancar, bukankah aku berjanji untuk berjuang sampai bisa mendapatkan apa yang aku inginkan? Bukannya aku sendiri yang bilang kalau aku juga akan berjuang demi hubunganku dan Hatalla?

Jeez, use that brain of yours, Ren!

Ini bukan saatnya aku memikirkan hal-hal tidak penting semacam ketakutanku ataupun perasaan insecure yang baru saja akan mengganggu momen-momen ketika kepercayaan diriku datang—just now, they'll come and try to mess things up.

Tenang, Ren...

"Udah, ya. Aku mau kenalin Ireni ke lainnya dulu. Nanti kita ngobrol lagi." Ibu Ainur kembali mengamit lenganku, mengajakku berjalan menuju taman belakang rumahnya. "Selama Hatalla belum ada di sini dan nggak nemenin kamu, Ibu nggak akan macam-macam." Huh? "Now, call the confident Ireni and ask her to come here because I want to introduce the future wife of the Adiwangsa family's only son to my other guests.

Continue Reading

You'll Also Like

562K 10K 43
#1 in boyfriend (um what? Am I dreaming?) "Oh kid," he laughs and walks closer to me. He doesn't get close enough to stand between my legs, but his t...
JAWAHIR By hafsatou

General Fiction

364K 39.1K 62
JAWAHIR is the only daughter to a single mother hajiya saratu who forced her into an arranged marraige to the son of her childhood best friend hajiy...