BELL THE CAT (COMPLETED)

De embrassesmoi

257K 43.3K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... Mais

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-27]

5.8K 1K 772
De embrassesmoi

Hatalla. 





Gue rasanya beneran kayak ngawang...

I feel as if I'm in a dream, yet I recognize it's also real.

"Gimana, Pak Hatalla? Apa ada masukan untuk rencana kita ini? Mengingat kalau ini baru rencana 'kasarnya' saja, dan kami butuh banyak masukan dan kritik kalau memang ada."

Oke, gue tau lo kaget, La. Tapi, kerjaan harus tetap jalan. Lo harus tetap fokus, apalagi kita lagi meeting besar begini.

Tadi, kita lagi bahas apa?

Gue buru-buru melemparkan tatapan ke arah Ayah yang sayangnya sedang mengobrol dengan para direksi lainnya.

Kalau begini, sih, gue cuma punya satu cara.

Sok ngerti aja.

"Kita ikut planning awalnya dulu aja, ya. Kalau memang nanti di tengah prosesnya ada kendala, kita bicarakan nanti lagi," kata gue, menatap seluruh orang yang mengikuti meeting sore hari ini.

Untungnya jawaban sok bijak gue bisa diterima oleh semua orang, dilihat dari bagaimana mereka menganggukan kepala sambil tersenyum menatap gue—tepat sebelum Ayah menutup meeting kami.

Gue mengangguk sekilas, ikut melempar senyum ke beberapa direksi yang lebih dulu berjalan keluar dari ruang meeting saat gue menghampiri Ayah yang duduk di kursi paling ujung. "Ayah mau langsung balik?" tanya gue, menyalami tangannya.

Kerjaanmu lagi banyak banget?" tanya Ayah balik, nggak menjawab pertanyaan gue sebelumnya. "Tumben meeting nggak fokus? Ada masalah apa lagi, sih?" Ayah menatap gue dengan alisnya yang mengkerut, menunjukkan ketidaksukaannya atas sikap gue selama meeting tadi.

Nggak kaget juga, sih, kalau Ayah sampai tahu.

Gue malah lebih kaget waktu tau kalau orang-orang nggak ada yang sadar kalau gue nggak fokus waktu lagi meeting tadi, atau mereka mencoba memendamnya karena orang yang melamun di tengah meeting tadi itu gue, anak dari Bapak Wijaya Adiwangsa.

Tangan gue terulur menarik salah satu kursi dan mendudukkannya tepat berhadapan dengan Ayah. "Ya, masalah ini-itu," jawab gue sambil memijat sisi pelipis gue pelan.

Sumpah, kepala gue rasanya beneran pusing banget!

Kayaknya gue beneran kurang tidur gara-gara banyak pikiran dan banyak kerjaan. Schedule kerjaan gue kayaknya lebih padat dari Presiden, deh? Setelah pulang ke Sumbawa, gue langsung berangkat ke Semarang karena harus menghadiri seminar dari Kominfo, setelah itu gue balik ke Jakarta malamnya untuk datang ke acara ulang tahun Menkominfo—Pak Darwin, dan paginya gue harus datang ke kantor buat memimpin meeting divisi, dan sorenya gue ada di sini karena harus meeting soal rencana reklamasi di area penambangan ATU.

Kalau diingat-ingat lagi, gue belum punya waktu tidur yang proper dua hari ini apalagi setelah surprise yang dikasih Reni di malam terakhir kami di Sumbawa.

"Resign aja."

Enak banget orang lain kalau ngomong...

"Nggak, Yah." Gue menjawab dengan cepat. "Until now, I've been able to do both. I can still divide my focus into these two different jobs, and it's unfortunate if I have to give up one of them because I find that these two jobs can be helpful in the future. We don't know what will happen in the future, Yah."

Ayah menatap gue dengan matanya yang memicing, "Kamu ngedoain yang enggak-enggak ke ATU?" tanyanya dengan wajah super datar.

Salah paham, kok, terus?

Gue cuma diam, kepala gue bergerak menggeleng pelan—memberitahu Ayah kalau apa yang dipikirkannya jelas salah.

"Soal si Sahid gimana? Udah beres?" Ayah kembali bertanya dengan topik yang sama sekali nggak bisa meredakan pusing yang gue rasakan sekarang.

Masih sambil memijat sisi pelipis kepala, gue balik menatap Ayah dengan mata yang memicing. "Ayah tau dari mana?"

"Deryl," jawabnya singkat dan semuanya menjadi lebih masuk akal.

Kepala gue mengangguk-angguk singkat, "Kalau kata Deryl, sih, sudah beres. But I still don't know all the details, but I feel everything was handled properly because I entrusted the situation to experienced professionals."

Ini kepala gue juga kenapa, sih?

Perasaan gue udah sering nggak tidur beberapa hari, tapi gue nggak pernah merasa sepusing ini sebelumnya?

Gue meringis, merasai sakit di kepala gue waktu gue mendengar Ayah menanggapi dengan nada sarkas yang kental. "Itu karena kamu nggak ada pergerakan! Kalau kamu masih sembunyi-sembunyi begini, ada kemungkinan kalau kasusnya si Sahid ini bakal keulang. Terus, kamu mau apa? Reni memang masih sama kamu, dia bakal tetap memilih kamu, tapi apa kamu nggak merasa kalah sama orang-orang itu? Mereka berani—"

Gue nggak tahu apa ini karena ini baru pertama kali gue denger Ayah ngomel dan gue terlalu kaget, atau karena gue nggak tahan lagi sama sakit yang gue rasakan sekarang—semuanya mendadak berubah gelap dalam sekejap mata.

I don't feel anything at all.

Gue nggak tahu apa yang terjadi sampai perlahan kesadaran gue terkumpul waktu kedua mata gue mencoba untuk terbuka dan mengerjap pelan karena banyaknya cahaya yang masuk menyerbu penglihatan gue, dan langit-langit dari tempat yang nggak begitu familiar adalah yang pertama gue lihat.

"Sadar kamu?" Nggak lama, gue melihat wajah Ayah—kelihatan khawatir tapi juga biasa-biasa saja di waktu yang bersamaan. "Udah istirahat aja. Kata dokter kamu kecapekan, tekanan darahmu juga rendah," kata Ayah bersamaan dengan pening yang kembali gue rasakan. "Ibumu lagi on the way ke sini. Mending istirahat dulu sebelum dengar kultum dari Ibu," ucap Ayah sambil membenarkan letak selimut gue.

"Kenapa harus telepon Ibu?" Gue berdehem pelan, merasai tenggorokanku yang berubah kering.

Ayah dengan sigap mengambil botol air putih dan membantu gue untuk meminumnya, "Deryl tadi saking paniknya liat kamu pingsan di ruang meeting langsung telepon Ibu sama Ayah," ucapnya menjelaskan.

"Telepon Ayah?" Kalau gue beneran pingsan, bukannya gue pingsan di ruang meeting waktu gue lagi ngomong sama Ayah, ya?

Gue memalingkan wajah, memberitahu Ayah kalau gue sudah selesai minum dan membuatnya menarik botol air putih dari depan bibir gue. "Ya, 'kan, saking paniknya? Bentar, ya, Pak, saya butuh untuk menghubungi Bapak Wijaya dan Ibu Ainur dulu. Gitu katanya." Kepala Ayah menggeleng pelan waktu meniru cara bicara Deryl. "Mana dia bingung sendiri waktu teleponnya nggak Ayah angkat. Kocak banget itu anak. Mungkin syok kali, ya, dia? Nggak pernah tahu kalau atasannya ternyata bisa tumbang juga. Dia pikir mungkin kamu semacam robot," kata Ayah yang sempat membuat gue tersedak karena tertawa.

Nggak usah Deryl, gue sekarang aja juga kaget karena gue nggak pernah merasa sakit yang sampai sebegininya apalagi sampai membuat gue pingsan.

Ngomong-ngomong soal Deryl...

"Reni udah Ayah kasih tau." Bak peramal, Ayah menyahut dan kembali duduk ke sofa yang letaknya lumayan dekat dengan ranjang yang gue tempati. "Tapi, dia nggak bisa meninggalkan kantor begitu aja. Waluyo lagi ada meeting sampai malam nanti, dan Reni jelas harus mendampingi—" Gue menolehkan kepala ke Ayah, dan Ayah menganggukan kepalanya. "Ya, kamu kalah sama Waluyo meski kamu sakit begini."

Bukannya tersinggung, marah, ataupun kesal, gue justru tertawa mendapati lelucon yang dilempar Ayah.

Sialan, kalau dipikir-pikir emang bener? Gue sakit sampai masuk rumah sakit begini aja, Reni lebih milih ikut meeting sama Waluyo. Yeah, I understand that's part of her professionalism, and I have no problem with it. Gue cuma merasa situasi ini lucu aja.

"Reni tadi bilang kalau pekerjaannya sudah selesai, dia bakal datang ke sini," sambung Ayah lagi.

Sekarang jam berapa memangnya?

Dengan hati-hati dan perlahan, gue mengambil handphone di atas meja nakas. Sudah jam sembilan, dan Reni belum datang juga? Apa meetingnya belum selesai?

Gue mengabaikan notifikasi lain yang muncul di layar handphone, dan segera menekan nomor 2 sebagai panggilan cepat ke nomor Reni. Cukup mendengar dua kali nada sambung, sampai telepon gue diangkat Reni.

"Yang?"

"Kamu udah siuman? Kenapa nggak istirahat aja, sih?" Ya ampun, baru juga gue telepon, Reni udah ngomel duluan aja. "Gimana keadaanmu sekarang? Masih nggak baik-baik aja, 'kan? Udah tutup aja teleponnya, kamu mending istirahat," katanya terdengar kesal dan khawatir di waktu yang bersamaan.

Mendengar Reni sekhawatir ini karena keadaan gue di saat dia biasanya bersikap cuek mana bisa gue abaikan begitu aja? Senyum gue refleks terulas, "Masih pusing, tapi sudah agak mendingan. Meetingmu sudah selesai, Yang?"

"Istirahat makanya." Reni menyahut dengan cepat. "I've just finished. I have to finish the meeting minutes because I will be asked tomorrow morning."

"Kata Ayah, kamu mau ke sini?" Gue sempat melirik Ayah yang sekarang fokus menatap iPadnya.

Reni sempat bergumam singkat, "Ya. Ini mau ke sana."

"Nggak usah," sahut gue cepat. "Udah kemalaman. Besok kamu harus kerja. Toh, keadaanku juga udah mendingan."

Gue juga nggak mungkin tega ngebiarin Reni berangkat buat ngejenguk gue malam-malam begini, di saat dia besok harus kerja dan masuk pagi.

"Kita sama-sama baru balik dari Sumbawa, dan aku tahu kerjaanmu lagi banyak-banyaknya sekarang," sambung gue, mencoba untuk menjelaskan ke Reni dengan sangat hati-hati. "Kita dahulukan hal-hal penting dulu, ya, Rein. Kamu juga jangan sampai ikutan sakit," ucap gue yang dihadiahi helaan napas panjang Reni di seberang sambungan.

Pada akhirnya, Reni menuruti gue. Tumben, ya, 'kan? Tapi itu perlu gue syukuri karena gue merasakan adanya perubahan yang baik di hubungan kami sekarang.

"Besok kalau pekerjaanku udah selesai, aku bakal ke sana."

Gue mengangguk, "Kalau nggak, ya, nanti ke rumah aja, Yang," ucap gue yang juga disetujui Reni. "Ini kamu pulangnya naik apa malam-malam begini?"

"Supir Ayah masih di ATU." Tiba-tiba aja Ayah menyahut, menatap gue sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Kamu tunggu di basement, Yang. Dianter sama supirnya Ayah."

Reni sempat nggak mengatakan apa pun sampai membuat gue melihat lagi ke arah layar handphone untuk meyakinkan kalau sambungan telepon kami masih tersambung. "Hm... Apa nggak ngerepotin? Nanti Pak Wijaya gimana?" tanya Reni setelahnya, suaranya mendadak berubah pelan.

"Nggak, kok." Gue sempat melirik ke arah Ayah yang masih memperhatikan gue. "Ayah ada di sini, nanti pulangnya bareng Ibu. Jadi, kamu bisa pulang duluan bareng supirnya Ayah," jelas gue agar Reni mau menuruti gue lagi.

Dan lagi, gue nggak bisa menahan senyum waktu mendengar Reni mau pulang bersama supir Ayah. "Sampaikan terima kasih ke Pak Wijaya, ya."

Gue mengangguk, mengucap hati-hati lalu memutus sambungan telepon kami dengan janji Reni harus menghubungi gue lagi kalau dia sampai di kosannya nanti.

"Sudah, La?" Gue mengangguk, meski nggak paham betul konteks kalimat yang terucap dari bibir Ayah barusan. "Soal Reni..." Nah, gue dengan cepat menolehkan kepala menatap Ayah. "Gimana? Maksudnya, dia mau ambil jalan mana untuk melawan keluarganya?" tanyanya sambil menaruh iPadnya di atas meja.

Kepala gue menggeleng, "I haven't told her about it yet. Reni tends to avoid any issue with her mother, and I don't want to force her to tell me about it before she's ready."

Kami memang belum banyak bicara soal masalah yang dihadapi Reni dengan keluarganya, tapi dari obrolan singkat bersamanya beberapa waktu lalu—gue tau kalau Reni masih belum mau membahas tentang masalah itu bersama gue.

Ayah kembali berdiri dari sofa, dia berjalan menuju ranjang perawatan gue. "Itu harus segera kalian bicarakan, sih. Kasihan Reni-nya, seenggaknya dia bisa cerita ke kamu tentang apa yang dia rasakan soal masalah yang sedang dia hadapi. Reni di sini sendirian, La. Ibaratnya, dari berita kemarin kita sudah tahu kalau nggak ada yang bisa diharapkan dari orang tua Reni. Dua-duanya sama-sama sinting," maki Ayah sambil duduk di salah satu kursi yang ada di samping ranjang gue.

Kalau Mita—Ibu dari Reni—gue nggak bisa banyak berkomentar karena gue sendiri nggak habis pikir dengan pilihannya untuk kembali ke keluarga Pramana setelah apa yang dialaminya dan ketakutan apa yang dia berikan ke Reni, thinking about it now causes my blood to boil! Dan gue juga malas berkomentar soal Frederic Simons, karena berbeda dengan Mita, Frederic dari awal memang udah nggak ada otaknya.

Makanya waktu kemarin waktu namanya ramai karena pernyataan Mita dan keluarga Pramana, gue sama sekali nggak expect apa-apa dari dia. Selain karena posisi dan usahanya, Frederic memang udah tolol aja dari awal.

Padahal di awal, gue sempat ketar-ketir karena takut kalau Frederic bakal menggunakan Reni untuk melawan Mita dan keluarga Pramana. Tapi, sekali lagi, Frederic nggak akan berani karena menimbang dari dampak yang didapatkannya kalau sampai dia membenarkan Mita daripada memilih diam atau menepis pernyataan Reni yang sudah pasti akan dilupakan media dan masyarakat secepatnya.

Stress nggak lo dengernya?

Reni ditolak oleh kedua orang tuanya. Bukan orang lain, tapi orang tuanya.

"Bukan cuma supaya kamu tahu soal langkah apa yang baiknya kamu ambil sebagai pasangannya Reni, tapi juga supaya Reni tahu kalau dia nggak sendiri." Ayah menyela, membuat gue sadar dari lamunan. "Kadang Ayah mau nggak kasihan itu susah karena tahu keadaannya gimana meskipun dia nggak nunjukin di depan orang lain. Ayah mau reach out juga nggak enak, takut malah memberatkan Reni. Jadi, cuma kamu orang terdekatnya yang bisa bantu dia sekarang," jelas Ayah panjang lebar, menatap gue serius.

Gue mengangguk, menemukan kalau situasi ini rada aneh karena gue nggak pernah membayangkan kalau Ayah bisa begitu perhatian dengan Reni dan juga hubungan gue dan Reni.

"La... La..."

"Mulai... Action!" Ayah bangkit dari kursi bersamaan dengan pintu kamar perawatan yang gue tempati terbuka dibarengi suara Ibu yang terdengar panik meski dia sudah mencoba menahannya.

Bersandar di ranjang perawatan, gue berusaha untuk menahan geli waktu mendapati Ayah sudah kembali duduk di sofa dengan iPad di pangkuannya tepat ketika Ibu menggerayangi wajah gue.

"Kok, bisa, sih? Kamu itu udah bukan lagi ada di umur di mana kesehatan aja perlu diingatkan sama orang tua lagi, La!" Ibu memukul lenganku pelan, setelah itu duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Ayah. "Ibu khawatir bukan main, loh, La! Hampir aja jantungan—"

"Memang Ibu dari mana? Kok, baru sampai ke rumah sakit jam segini?" tanya Ayah, memotong ucapan Ibu.

Sambil menolehkan kepalanya ke belakang, Ibu menjawab—kelewat polos atau memang sengaja. "Dari arisan."

Bukannya Ibu bilang kalau dia hampir jantungan karena khawatir soal keadaan gue, ya? Jadi, alasan kenapa Ibu baru datang di jam setengah sepuluh malam ini karena Ibu harus menyelesaikan acara arisannya dulu, baru datang ke rumah sakit?

Kocak amat?

Ayah melempar pandangan 'tuh, kan?' ke gue, membuat gue tertawa menatap Ibu yang kembali memasang raut wajah khawatir ketika menatap gue. "Jadinya, Ibu khawatir apa enggak, sih?" tanya gue bercanda di sela tawa geli gue.

Ibu mengangguk, "Jadi, lah! Kalau enggak, sih, ya, Ibu tinggal pulang ke rumah abis acara arisan tadi! Kamu pikir Ibu nggak capek apa?" ucapnya jauh lebih galak.

Gue akhirnya cuma diam mendengarkan bagaimana lucunya Ibu yang malah menginterogasi Ayah soal keadaan gue. Ibu sempat berkaca-kaca ketika tahu kalau tekanan darah gue rendah dan kelelahan adalah alasan kenapa gue bisa ada di sini sekarang.

"Gimana bisa sampai kecapekan, sih?" Ibu memukul lengan gue lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. "Kamu udah kerja dari dulu, bukan yang baru sehari-dua hari, tapi kenapa bisa sampai masuk rumah sakit sekarang? Kemarin-kemarin, jadwal kerjaanmu lebih gila lagi, tapi nggak sampai sakit dan drop begini, kok!"

"Ya, memang udah waktunya sakit aja, Bu," jawab gue asal karena gue nggak tau harus menjawab apa.

Ibu mendengkus, menyilangkan kedua tangan di dadanya. "Jawaban apaan barusan?" Tatapan kesal sekaligus malas gue terima dari Ibu, membuat gue tergelak geli. "Kamu udah tua, La. Udah hampir 40 dan..." Ibu menghela napas sambil melihat ke arah sekitar. "... Sudah bukan seharusnya Ibu sama Ayah yang ngurusin kamu kalau sakit begini, La. Pacar kamu—"

"Kan, ada Deryl sama Rendi yang ngurus, Bu?"

Nggak tahu jawaban gue yang mana yang salah, tapi begitu mendengar sahutan gue barusan, Ibu memelototkan matanya. "PACAR! Ibu bilang pacar! Kok kamu malah nyambungnya ke Deryl? Kamu mau beneran bikin Ibu jantungan! Jangan bilang—"

"Kan, mulai ngawur ngomongnya!" Ayah lebih dulu menyahut sebelum gue berniat menjelaskan. "Udah, Bu. Mending kita balik kalau kamu malah bikin Hatalla nggak bisa istirahat begini!" ucap Ayah, memperingati Ibu yang langsung melengos, kembali meluruskan kepalanya menghadap gue.

"Kalau Ibu perhatiin, ya, La..." Mulai lagi... Gue cuma mengulas senyum, menunggu kejutan semacam apa yang akan Ibu lontarkan. "Kamu bisa mendadak sakit sekarang, tuh, karena jadwal kerjamu nggak teratur. Ibu nggak bilang kalau kerjanya Deryl atau Rendi nggak benar dan berantakan—" Sejujurnya, itu yang dipikirkan Ibu memang. "—cuma kalau mau dibandingkan sama kerjaannya Reni, jelas beda jauh. Selama Reni yang urus kamu, mana pernah kamu drop begini, La? Semuanya diatur dan ditata Reni rapi. Ibu aja yang nggak ngerasain kerja sama Reni, jadi suka banget sama kerjanya dia karena kamu diurus dengan baik."

Sebelum ini, Reni sudah menceritakan juga soal pertemuannya dengan Ibu di kantor ATU dan komunikasi mereka yang bisa dibilang lebih lancar daripada saat Reni menjabat sebagai PA gue. Sebelumnya, Ibu juga berkali-kali menanyakan tentang alasan kenapa Reni harus dipindahkan dan apakah gue nggak bisa menerima Reni lagi.

Ibu menipiskan bibirnya, rautnya berubah segan. "Apa ini karena omongan Ibu waktu kita di Penang Bistro waktu itu, ya? Kamu dan Reni jadi merasa canggung dan nggak enak? Ibu cuma bercanda, La. Coba, deh, lebih profesionalitas kamunya, La." Di akhir kalimatnya, Ibu bahkan menghela napasnya panjang. "Sebenernya Ibu nggak mau cerita, tapi kayaknya kamu perlu tahu. Terakhir kali Ibu ketemu sama Reni di kantormu itu... Reni sampai nangis, loh, La. Ibu nggak tega," katanya sambil memegangi dadanya.

Remembering those days always made my chest tight, especially since Reni had a lot of problems when I wasn't around.

"Apa kamu nggak mau ngasih Reni kesempatan, La? Ini bukan cuma masalah personal aja. tapi coba kamu pertimbangkan soal kemampuan dia selama bekerja. Apa yang Ibu bilang tadi ada benernya, kan?"

Gue meringis, sempat melirik ke Ayah yang sejak tadi nggak melepaskan tatapannya dari Ibu.

Kayaknya gue harus mengatakannya lebih dulu supaya Ibu nggak salah paham, deh...

"Bu..." Ibu menaikkan kedua alisnya, dia bahkan mendekatkan tubuhnya ke arah ranjang perawatan gue dengan senyum lebarnya. "Sebenarnya, tuh, Hatalla sama—"

"Permisi, Pak, Bu. Maaf mengganggu."

Kenapa Deryl harus masuk ke kamar perawatan gue di waktu yang nggak pas begini, sih?

Pemilihan timing lo nggak banget, deh, Ryl!

Sebelum gue menyahut senewen, Ayah lebih dulu buka suara. "Ada apa, Ryl?" tanyanya sambil berdiri dari sofa, berjalan menghampiri Deryl yang masih berdiri di depan pintu kamar perawatan gue.

"Ini, Pak." Gue mengerutkan kening waktu Deryl menatap gue, dia keliatan kebingungan. "Ada Reni, baru datang mau menjenguk Pak Hatalla."

Gimana?

Ini Reni gue, 'kan, maksudnya?

"Loh... Hah..."

Saking kagetnya, gue bahkan nggak bisa mengatakan apa-apa bahkan sampai Reni masuk ke dalam kamar perawatan gue dan disambut heboh oleh Ibu.

"Malam-malam begini? Baru selesai meeting? Kamu datang cuma mau menjenguk MANTAN atasan kamu? Ya ampun, Ren, kamu baik sekali, loh. Ini sampai bawa buah-buahan segala. Mangga, melon, apel, sama jeruk, semuanya buah-buahan kesukaan Hatalla." Sambil merangkul Reni, Ibu sengaja melirik ke arah gue beberapa kali.

Nggak perlu genius buat tahu kalau Ibu tengah menyindir gue, apalagi timing kedatangan Reni sangat pas juga, kan?

"Nggak merepotkan, kok, Bapak, Ibu. Kebetulan kosan saya juga ngelewatin sini, jadi sekalian mampir waktu dengar kabar Bapak Hatalla masuk rumah sakit," kata Reni berubah sangat manis di depan Ibu.

Jangan salah, Reni memang manis, tapi manis-sangar di depan gue.

Setelahnya, Ibu malah membawa Reni untuk duduk di sofa bersamanya—mengobrol juga bersama Ayah dan meninggalkan gue sendirian di ranjang perawatan.

Hhh... I'm not sure whether I should be happy or unhappy in this situation. Sebelumnya gue bahkan sempat memuji kalau hubungan dan komunikasi antara gue dan Reni membaik dengan sikap menurutnya tadi—gue tau kalau gue nggak bisa menilai dari sana aja—cuma gue berasa kayak ketipu... dikit, tapi banyak senengnya juga karena Reni ada di sini.

Gue sama sekali nggak keberatan waktu sadar kalau gue ditinggalkan sendiri demi melihat bagaimana respons hangat yang diterima Reni dari orang tua gue, sambutan yang diterimanya mungkin jauh lebih heboh daripada sambutan yang biasanya gue terima kalau gue mampir ke rumah mereka.

"Nggak pa-pa. Nanti Bapak sama Ibu pulang sama supirnya Ibu, kamu biar pulang sama supirnya Bapak aja," ucap Ibu waktu Reni bilang dia akan pulang dengan taxi online saja. "Kamu mau datang ke sini aja—setelah apa yang terjadi, ya, Ren—sudah luar biasa baik, kok. Jadi, nggak perlu merasa kalau kamu merepotkan segala," katanya sambil menepuk tangan Reni yang berada di dalam genggamannya.

Gue sampai beberapa kali menguap, tapi masih betah mendengarkan obrolan Reni, Ibu, dan Ayah sampai Ibu dan Ayah pamit pulang lebih dulu.

"Reni masih mau di sini?" tanya Ayah sambil memasang jasnya lagi,

Reni nggak menjawab, dia cuma memasang senyum dan Ibu menghampirinya. "Dibicarakan baik-baik sama Hatalla, ya, Ren, soal masalah kemarin. Siapa tahu dari sini semuanya bisa kembali seperti semula, 'kan, ya?"

"Ya, nggak sekarang juga, Bu." Ayah menimpali cepat, membuat Ibu melemparkan tatapan tajam ke arahnya. "Ini udah malam, Bu. Anakmu butuh istirahat. Kalau Reni mau ngobrol sama Hatalla boleh, tapi ingat waktu. Dia juga perlu istirahat, Reni besok tetap masuk ke kantor, Bu," cetus Ayah masuk akal sampai membuat Ibu terdiam.

Singkatnya, Ibu dan Ayah akhirnya keluar dari ruangan perawatan gue—meninggalkan gue dan Reni berduaan.

Gue melebarkan tangan, "Sini, Yang." Reni keliatan menghela napasnya sebelum melangkah mendekati gue. "Kamu kenapa nggak nurut? Nggak pulang langsung ke kosan, tapi malah ke sini?" tanya gue begitu Reni berada di dalam pelukan gue.

"Aku khawatir setengah mati tau, nggak?" ucapnya dengan nada lega yang kentara.

Gue refleks tertawa, "Tadi ada yang bilang kaget sampai jantungan, tapi ternyata pulang arisan. Jadi, rada trust issue denger jawabanmu barusan," balas gue melempar candaan supaya Reni bisa sedikit tenang.

"Sebenernya, aku juga tadi mampir dulu buat makan sebelum datang ke sini, sih." Reni tertawa, dia melabuhkan ciuman singkat di kening gue.

Gue juga ikut terawa selagi mendongakkan kepala supaya bisa melihat Reni, sementara salah satu tangan gue bergerak mengusap perut Reni. "Dia baik-baik aja, 'kan, Yang?"

Reni mengangguk, "Baik. Kamu kayaknya yang nggak baik." Senyum yang dibuat Reni langsung hilang digantikan wajah datarnya.

Nggak berhenti sampai di sana, gue menempelkan wajah gue ke perut Reni yang tertutupi oleh kemeja. "Andai aja, ya, Yang—"

"Kalau sampai beneran, sih, kamu bakal digantung ramai-ramai!" Meski jawaban yang terdengar dari bibir Reni terkesan jutek, tangan wanita itu bergerak lembut mengusap rambut gue. "Siklus datang bulanku aja yang lagi berantakan. Aku udah bilang berapa kali sama kamu, sih?"

Gue tersenyum geli, membayangkan seberapa panik dan bahagianya gue (walau banyak paniknya, sih) di malam terakhir kami di Sumbawa. Gue sama sekali nggak berpikiran akan memesan test pack di tengah malam sekaligus menenangkan Reni yang hampir pingsan di tempat malam itu.

"Kamu kenapa senewen banget, sih, Rein?" Kening gue berkerut dalam, menatap Reni yang juga sama herannya ketika menatap gue. "Jangan-jangan..."

Reni memelototkan matanya, dia mengusap rambutku dengan kedua tangannya sampai membuat kepalaku mendongak, "Nggak perlu testpack, sih, bisa langsung periksa di sini aja," timpalnya ikut melempar candaan.

Kami tertawa, dan ajaibnya rasa sakit gue mendadak hilang seketika.

"Mau nginep di sini aja. Kamu bisa pakai kamar sebelah, pagi-pagi biar nanti diantar supirnya Ayah ke kosan dan berangkat ke kantor sekalian." Gue mendorong bagian belakang leher Reni dan mendekatkannya ke wajah gue.

"Aku abis ini pulang. Nggak enak tidur di sini," jawabnya pelan, selagi bibir kami menempel saat Reni menjawab barusan.

Before long, I had closed the gap between us, making the air around us disappear for a few seconds while I lightly kissed Reni's lips.

Tapi itu nggak berlangsung lama waktu gue dan Reni sama-sama mendengar suara pintu ruang perawatan gue dibuka. Saking paniknya, gue dan Reni nggak bisa melakukan apa-apa. Dengan bibir yang masih bertaut, gue dan Reni bertukar pandangan dengan mata melotot lebar.

"Ini... teknik bicara yang baru antara mantan PA sama atasan atau kayak gimana? Kenapa Ibu baru tau..."

Mati, Ren...

Mati sudah kita berdua!

Continue lendo

Você também vai gostar

26.3K 1.3K 22
Hanya secuil kisah tentang kisah cinta rumit antara jaemin dengan sang ibu jeno,cinta yang sangat di benci orang Mark Kaka dari jeno sendiri ⚠️❗ Per...
274K 46.7K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
580K 55.5K 124
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
Perhatikan Celah Peron De sashi

Ficção Adolescente

670 86 3
Ario tahu ia menyukai Gia, dengan semua senyum kecil dan kalimat-kalimat singkat yang keluar dari mulut perempuan itu. Tapi, di peron stasiun hari it...